Indonesia dan Skandal Obat GlaxoSmithKline

VIVAnews - Dunia kesehatan kembali diguncang oleh skandal produsen obat-obatan. Kali ini, dunia dicengangkan oleh penipuan yang dilakukan perusahaan farmasi raksasa GlaxoSmithKline Plc (GSK).

Perusahaan asal Inggris itu mengaku bersalah atas tuduhan tindak kriminal yang ditimpakan oleh pemerintah Amerika Serikat. Skandal ini disebut sebagai penipuan kesehatan terbesar sepanjang sejarah negeri Abang Sam itu.

GSK dituduh telah melanggar hukum AS dalam memasarkan dan mengembangkan obat-obatan. Denda US$3 miliar--yang masih perlu persetujuan pengadilan--harus dibayar oleh GKS untuk menyudahi tuduhan itu.

Pembayaran itu meliputi denda pidana US$1 miliar dan perdata US$2 miliar. Denda ini melampaui rekor Pfizer Inc yang setuju membayar sebesar US$2,3 miliar karena tuduhan memasarkan 13 obat-obatan secara tak semestinya pada 2009.

GSK menyatakan siap membayar denda. Sebagian denda pidana yang dibayar akan diserahkan untuk Medicaid, program kesehatan untuk warga miskin di AS. Sebagian denda perdata akan diserahkan ke sebuah kelompok whistleblower yang berperan dalam investigasi.

Tiga tuduhan

Tuduhan kepada GSK itu berdasar hasil investigasi Departemen Kehakiman AS. GSK dinyatakan telah memasarkan obat antidepresi Paxil pada pasien di bawah usia 18 tahun. Padahal obat ini hanya dibolehkan untuk orang dewasa.

GSK juga memasarkan obat Wellbutrin untuk tujuan yang tidak disetujui otoritas kesehatan, termasuk untuk menurunkan berat badan dan terapi disfungsi seksual.

Pelanggaran lain, perusahaan ini bertindak lebih jauh dengan mempromosikan obat-obatan ini dengan menyebar artikel jurnal kesehatan yang menyesatkan dan menyediakan dokter dengan fasilitas makan dan spa.

Selain itu, GSK juga gagal menyerahkan data keamanan obat diabetes Avandia kepada Badan Makanan dan Obat-obatan AS.

Tindakan kriminal ini tidak dilakukan dalam waktu singkat. GSK melakukannya sejak akhir 1990an, dan terus berlanjut sampai kasus Avandia terungkap di tahun 2007.

CEO GSK Andrew Witty menyatakan kesalahan ini merupakan warisan dari era sebelumnya. Dia berjanji tindakan ini tidak akan lagi ditolerir. "Saya menyatakan penyesalan kami dan belajar dari kesalahan yang dibuat," katanya dalam pernyataan tertulis seperti dimuat Reuters.

Reuters juga memuat sejumlah 'dosa' yang pernah dilakukan GSK. Pada tahun 2010, perusahaan ini menghabiskan biaya US$2,4 miliar untuk menyelesaikan klaim dari pasien yang menggunakan Avandia.

Sekitar setahun lalu, GSK juga membayar hampir US$41 juta untuk 37 negara bagian dan District of Columbia dalam kasus standar proses manufaktur di pabrik Puerto Rico.

Sampai ke Indonesia

GlaxoSmithKline Plc merupakan perusahaan farmasi besar. Berdasarkan laman perusahaan, perwakilannya hampir ada di setiap negara di seluruh benua. Sejumlah obat mereka lempar ke pasar. Indonesia tidak luput dari ekspansi produk-produk perusahaan ini.

Wakil Menteri Kesehatan, Ali Gufron Mukti, mengatakan produk farmasi GSK telah lama menyerbu tanah air. Lebih dari sepuluh tahun. "GlaxoSmithKline lama memasok obat, dia perusahaan besar. Tentu ada beberapa produknya yang beredar di Indonesia," kata Ali Gufron saat berbincang dengan VIVAnews, Selasa 3 Juli 2012.

Namun demikian, Ali Gufron mengaku belum mengetahui apakah di Indonesia beredar pula obat yang jadi masalah di AS tersebut. Ali berjanji akan melakukan pengecekan. "Termasuk apakah obat yang seharusnya dipasarkan untuk dewasa apakah dijual untuk anak di bawah umur," katanya. "Mungkin saja obat itu juga beredar di sini."

Menurut dia, seluruh obat dan makanan yang masuk ke Indonesia pasti melalui proses seleksi yang ketat. Indonesia telah memiliki Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk menyaring masuknya berbagai obat dan makanan dari luar ke dalam negeri.

"Pasti diverifikasi untuk prosedur, pasti dicek. Kalau tidak memenuhi standar kita larang beredar masuk ke Indonesia," tutur Ali Gufron.

Kementerian Kesehatan, tambah dia, secepat mungkin akan memastikan peredaran obat GSK yang diduga bermasalah di AS tersebut. Jika memang ditemukan pelanggaran, pemerintah tidak segan akan memberikan sanksi.

"Kalau ada pelanggaran pasti ada sanksinya, tapi saya tidak bisa mendahului sebelum ada klarifikasi," katanya.

Sementara itu, Government Affair Director GSK Indonesia Prelia H Munandar, saat dikonfirmasi VIVAnews, belum bisa memberikan keterangannya. Dia mengatakan akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan perusahaan pusat sebelum memberi penjelasan untuk kliennya di Indonesia.

"Kami harus menyamakan jawaban secara global," kata dia. Dia menambahkan, GSK Indonesia untuk sementara juga belum bisa memberikan data-data obat produksinya yang beredar di Indonesia