Pemerintah Tidak Fokus Atur Regulasi Kesehatan

Jakarta - Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai, pemerintah tak pernah fokus membuat regulasi kesehatan, karena lebih banyak mengatur pertanian, industri, dan tata niaga tembakau dan rokok.

Penilaian tersebut disampaikan peneliti IGJ Salamuddin Daeng, di Jakarta, Senin (24/9). Menurutnya, aturan yang dibuat pemerintah adalah seperangkat regulasi yang berisikan tentang pengetatan produksi, standarisasi bagi industri, serta merek dan label yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan masalah kesehatan.

"Aturan sebagaimana yang termaktub dalam RPP Tembakau, termasuk aturan yang dibuat oleh berbagai pemerintah daerah, akan semakin memperkuat dominasi perusahaan-perusahaan besar asing dalam industri ini. Sebagaimana kita ketahui, bahwa perusahaan rokok dari AS, Eropa, Jepang, China tengah berusaha mengejar pasar Indonesia," bebernya.

Daeng mengatakan, perjanjian perdagangan bebas yang ditandatangani antara Indonesia-China (ACFTA), Indonesia-Jepang (IJEPA) Indonesia-AS (OPIC), dan Indonesia-Uni Eopa (CEPA) semakin membuka ekspansi perdagangan negara-negara maju ke Indonesia, termasuk perdagangan tembakau dan produk tembakau.

Ia menilai, China dan AS merupakan negara yang haus dengan pasar tembakau Indonesia. China adalah produsen tembakau dan rokok terbesar di dunia, sekitar 35-40 persen pasar tembakau global dikendalikan oleh China. Sementara AS, merupakan produsen terbesar lainnya, di mana perusahaan-perusahaan asal negara adi daya tersebut sangat agresif dalam menguasai perusahaan tembakau nasional di berbagai negara.

"Salah satu yang paling agresif adalah Philip Morris," ungkapnya.

Sikap pemerintah Indonesia yang sibuk membuat persyaratan yang ketat bagi pertanian dan industri nasional, mendapat tanggapan peneliti ReIde Indonesia, Agus Surono. Menurutnya, sikap pemerintah tersebut justru akan memukul pasokan bagi industri kretek besar dan menghancurkan industri skala kecil. Di lain sisi, impor tembakau dan produk tembakau tidak terbendung akibat perdagangan bebas tersebut.

Agus mengatakan, dalam rangka membendung impor, seharusnya pemerintah memperkuat pertanian dan melindungi industri nasional, baik melalui kebijakan subsidi pertanian, bea masuk dan hambatan non tarif lainnya.

"Hal ini mengingat perekonomian Indonesia telah dirugikan sangat besar akibat impor produk pertanian termasuk tembakau yang selama ini telah menciptakan kerugian yang besar bagi petani," tegasnya.

Dengan demikian, imbuhnya, dapat disimpulkan, bahwa regulasi anti tembakau bagi kesehatan telah menyimpang dari tujuan yang sebenarnya yakni untuk memperbaiki kesehatan.

"Seharusnya pemerintah fokus mengatur tentang pembatasan konsumsi tembakau bagi anak-anak di bawah umur, menyediakan ruang boleh merokok pada setiap tempat umum sehingga tidak timbul prasangka dalam masyarakat kita," pungkasnya.

(gatra.com)