Papua Jadi Sentra Pelayanan Kesehatan Saraf di Indonesia Timur

World Health Organization (WHO) sepakat bekerja sama dengan Perhimpunan Spesialis Bedah Saraf Indonesia (Perspebsi) untuk mengembangkan pelayanan pengobatan saraf untuk Indonesia Bagian Timur, khususnya Papua.

Kesepakatan itu dilakukan, setelah tim ahli bedah saraf Indonesia dipimpin oleh Ketua Perhimpunan Spesialis Bedah Saraf Indonesia (Perspebsi) Prof. Dr. Endro Basuki, Sp.BS (K), M. Kes melakukan pertemuan dengan Kepala Perwakilan WHO untuk Indonesia, Dr Khamchit Limpakarnjanarat di kantor perwakilan WHO gedung Kementrian Kesehatan, Jakarta, Jumat (30/5).

Dua dokter ahli bedah saraf dari Brain and Spine Centre (BSC) Surabaya, masing-masing dr Sofyanto, Sp.BS dan Dr Agus Anab, Sp.BS yang mengikuti pertemuan itu menjawab Tribun, menjelaskan bahwa untuk pertama kalinya WHO mengundang ahli bedah saraf Indonesia dalam kerangka untuk mengembangkan pelayanan saraf di Indonesia, khususnya Indonesia Timur.

"Dalam pertemuan itu, WHO menyatakan akan mendukung upaya pelayanan medis saraf di Indonesia timur. Untuk Indonesia timur akan dipusatkan di Papua," kata Dokter Agus Anab. Dengan bantuan WHO pula, ahli bedah saraf Indonesia akan memberikan pelayanan di Papua.
"Tentu ini semua akan di bawah naungan Kementrian Kesehatan. WHO memberi support agar pelayanan bedah saraf dan penanganan saraf bisa di Indonesia timur, karena memang selama ini pelayanan bedah saraf di Indonesia sangat kurang.

Dalam presentasi di depan perwakilan WHO di Jakarta, Dokter Endro Basuki menyatakan bahwa jumlah ahli bedah saraf di Indonesia memang kecil, yaitu 280 orang saja harus melayani sebanyak 247 juta penduduk Indonesia.

"Disebutkan perbandingan antara ahli bedah saraf dengan penduduk Indonesia adalah 1:1.000.000. Jadi sangat kecil sekali," kata Dokter Endro. Dari 280 ahli bedah saraf Indonesia yang ada terbanyak ada di Jakarta, yaitu 80 orang. Sisanya baru tersebar di seluruh Indonesia.

Persoalannya, tak satu pun dokter bedah saraf Indonesia berpraktik di Indonesia Timur, khususnya Papua. "Ini yang menjadi tantangan Perspebsi di masa mendatang," kata Endro menegaskan.

Bandingkan dengan Jepang, negeri Sakura itu mempunyai 6.000 dokter ahli bedah saraf dengan jumlah penduduk 128 juta jiwa, dengan perbandingan 1:21.000 (satu dokter melayani 21.000 jiwa). Sedangkan Amerika Serikat memliki 5.000 dokter ahli bedah saraf untuk melayani 389 juta jiwa, dengan perbandingan 1:65.000 (sat dokter bedah saraf untuk 65.000 jiwa).

Kini Perspebsi bertanggung jawab untuk mengembangkan tenaga ahli bedah di Indonesia yang belajar di beberapa pusat pendidikan bedah saraf di Unibersitas Indonesia (1971), Universitas Padjajaran Bandung (1980), Universitas Airlangga (1983), Universitas Sumatera Utara (2010), Universitas Gajah Mada (2011).

"Sampai saat UGM belum melahirkan ahli bedah saraf, karena pendidikan ini membutuhkan waktu lama," tegas Endro Basuki.
Kelak menyusul Universitas Dipongeoro (Semarang), Universitas Udayana (Denpasar), dan Universitas Hasanuddin (Makassar) membuka jurusan spesialis bedah saraf di Indonesia. (priyo suwarno)

sumber: http://kaltim.tribunnews.com