RI Dorong Finalisasi RCEP 2017
Pemerintah Indonesia mendorong penyelesaian perundingan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) pada 2017 dengan menjembatani kepentingan berbagai negara dan tidak merugikan kepentingan nasional. Meskipun skema perdagangan bebas tersebut masih menuai protes dari sejumlah pihak karena mengancam beberapa sektor, terutama pertanian dan kesehatan.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengharapkan perundingan yang sesungguhnya dijadwalkan rampung pada 2015 itu bisa mengatasi berbagai perbedaan dari negara anggota. "Kita semua pada dasarnya sama (menginginkan perundingan cepat selesai), India dengan Republik Rakyat Tiongkok belum pernah ada kesepakatan. Menyatukan yang belum pernah ada itu sulit," kata Enggartiasto pada 16th RCEP Meeting of The Trade Negotiating Committee (TNC) and Related Meeting di Tangerang Selatan, Banten, Selasa (6/12).
Dengan kondisi global yang masih memberi ketidakpastian, penyelesaian perundingan RCEP dinilai penting untuk segera dilakukan. Terlebih untuk saat ini, kerja sama Trans Pacific Partnership (TPP) dalam posisi yang tidak mampu memberikan kepastian setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan akan mundur dari kemitraan itu.
"TPP masih banyak ketidakpastian, sekarang justru semua mata memandang RCEP. Kami tetap mengharapkan ini semua selesai dalam kurun waktu yang kita sepakati bersama," kata Enggartiasto.
Prioritas Indonesia dalam kesepakatan ekonomi megaregional itu antara lain terkait perdagangan, jasa dan investasi termasuk pengembangan usaha kecil menengah (UKM).
Monopoli Korporasi
Namun, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di dalam negeri memprotes traktat perdagangan bebas melalui skema RCEP yang dinilai bisa mengancam sektor pangan dan kesehatan nasional. Sebab, adanya hak kekayaan intelektual yang dikuasai korporasi.
Koordinator Advokasi Aliansi Petani Indonesia (API) Ferry Widodo menilai perjanjian RCEP akan memicu monopoli korporasi atas benih. Sedangkan terkait kesehatan, Advokasi Indonesia AIDS Coalition Sindi Putri berpendapat, RCEP akan membuat akses publik terhadap kesehatan akan semakin sempit, khususnya akses terhadap obat-obatan murah dan berkualitas.
Seperti diketahui, RCEP merupakan kerja sama antara sepuluh negara anggota ASEAN dengan enam partner lain, yakni Australia, Republik Rakyat Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru dan Korea Selatan.
RCEP memiliki populasi sebesar 45 persen dari populasi dunia, dengan Produk Domestik Bruto 22,4 triliun doll AS, dan mencakup 30 persen dari total perdagangan dunia. Selain itu, pertumbuhan negara seperti Tiongkok, India, dan Indonesia akan mencapai nilai 100 triliun dolar AS pada 2050.
Sebelumnya, Rektor Universitas Paramadina, Firmanzah menilai RCEP dinilai sebagai pilihan tepat bagi Indonesia. Menurut dia, RCEP lebih baik ketimbang skema perdagangan bebas lainnya, TPP.
"Selain itu, masih banyak alternatif lain untuk bergabung ke dalam kelompok kerja sama perdagangan internasional, seperti RCEP, yang lebih ramah ketimbang TPP," ujarnya beberapa waktu lalu.