Terbit Aturan Urun Biaya JKN, Begini Mekanismenya

Untuk pelayanan kesehatan yang menimbulkan penyalahgunaan pelayanan program JKN, peserta dapat dikenakan urun biaya. YLKI menilai kebijakan urun biaya dan selisih biaya ini cukup rasional untuk diberlakukan dalam program JKN.

Upaya pemerintah membenahi pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terus dilakukan BPJS Kesehatan. Dalam rangka menindaklanjuti Peraturan Presiden (Perpres) No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, Kementerian Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan.

Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan (JPKR) BPJS Kesehatan, Budi Mohamad Arief mengatakan Permenkes yang diundangkan 17 Desember 2018 itu mengatur 2 hal utama. Pertama, urun biaya yang merupakan tambahan biaya yang dibayar peserta saat memperoleh manfaat pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan. Pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan yaitu pelayanan yang dipengaruhi selera dan perilaku peserta.

Untuk menentukan jenis pelayanan apa saja yang dapat menimbulkan penyalahgunaan, kata Budi, akan ditetapkan Menteri Kesehatan (Menkes). Penetapan itu dilakukan setelah pemangku kepentingan yakni BPJS Kesehatan, organisasi profesi, dan/atau asosiasi fasilitas kesehatan menyampaikan usulan berdasarkan data dan analisa pendukung. Untuk menetapkan jenis pelayanan itu, Menkes membentuk tim dari unsur Kemenkes, BPJS Kesehatan, organisasi profesi, asosiasi fasilitas kesehatan, akademisi dan pihak lain yang terkait.

“Mekanisme yang pertama itu pemangku kepentingan menyampaikan usulan, tim yang dibentuk Menkes membahas usulan itu. Kemudian dilakukan uji publik dan diserahkan ke Menkes untuk ditetapkan,” kata Budi dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (18/1/2019).

Setelah Menteri Kesehatan menetapkan usulan yang telah melalui proses uji publik itu, Budi menekankan urun biaya tidak otomatis berlaku. Proses terakhir yang harus dilalui sebelum kebijakan ini diterapkan yakni melakukan sosialisasi. Jika Menteri Kesehatan menolak usulan itu, penolakan tersebut akan disampaikan kepada pengusul.

Fasilitas Kesehatan (faskes) berperan penting menginformasikan jenis pelayanan yang dikenai urun biaya serta besarannya kepada keluarga atau keluarga peserta sebelum pelayanan kesehatan diberikan. Budi menegaskan urun biaya sekaligus pelayanannya itu dikenakan setelah peserta atau keluarganya memberikan persetujuan. Urun biaya dibayar oleh peserta kepada faskes setelah mendapat pelayanan kesehatan.

Besaran urun biaya yang dibayar peserta Rp20 ribu untuk setiap kali kunjungan rawat jalan pada RS kelas A dan B. Untuk RS kelas C dan D serta klinik utama besarannya Rp10 ribu. Atau paling tinggi Rp350 ribu untuk maksimal 20 kali kunjungan dalam jangka waktu 3 bulan. Untuk rawat inap besarannya 10 persen dari total biaya pelayanan dihitung dari total tarif INA-CBGs setiap melakukan rawat inap atau paling tinggi (maksimal) Rp30 juta.

Kedua, selisih biaya yaitu tambahan biaya yang dibayar peserta saat mendapat manfaat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi daripada haknya. Misalnya, peserta minta dilayani di poliklinik eksekutif. Dalam kasus ini, peserta dikenakan selisih biaya antara biaya yang dijamin BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan pelayanan. Peningkatan pelayanan rawat jalan ini tidak berlaku untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) dan pekerja penerima upah (PPU) yang mengalami PHK.

Budi mengingatkan peningkatan kelas pelayanan untuk rawat inap hanya boleh naik satu tingkat di atas kelas pelayanan yang menjadi haknya. Misalnya, dari rawat inap kelas 3 ke kelas 2, dan kelas 2 ke kelas 1. Untuk peningkatan pelayanan ini peserta harus membayar selisih biaya antara tarif INA-CBGs pada kelas rawat inap lebih tinggi yang dipilih dengan tarif INA-CBGs pada kelas rawat inap sesuai hak peserta.

Untuk peningkatan kelas rawat inap di atas kelas 1, Budi menjelaskan pembayaran selisih paling banyak 75 persen dari tarif INA-CBGs kelas 1. Pembayaran selisih biaya pelayanan rawat jalan eksekutif paling banyak Rp400 ribu untuk setiap episode rawat jalan. Selaras itu, Budi menegaskan kebijakan ini tidak ditujukan untuk mengatasi defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS Kesehatan, tapi mengedukasi peserta agar mengetahui pelayanan apa saja yang tidak diperlukan.

Cukup rasional

Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, berpendapat kebijakan urun biaya dan selisih biaya ini cukup rasional untuk diberlakukan dalam program JKN. Dari informasi yang diperolehnya, Tulus melihat sering terjadi persoalan di lapangan, misalnya peserta mendapat hak perawatan kelas 3, tapi ketika membutuhkan pelayanan kesehatan peserta ini melakukan peningkatan kelas perawatan ke VIP.

“Ini celah regulasi. Mengingat program JKN itu asuransi sosial, celah itu layak untuk diantisipasi,” ujarnya.

Tulus menekankan kepada pemangku kepentingan untuk menetapkan secara baik dan benar pelayanan kesehatan apa saja yang dapat berpotensi menimbulkan penyalahgunaan pelayanan. Jangan sampai aturan ini membuat pasien dieksploitasi, misalnya peserta bisa melahirkan secara normal, tapi dokter menyarankan untuk operasi caesar. Tindakan pelayanan kesehatan seperti ini menurut Tulus justru membebani program JKN.

“Tapi kalau konsumen (peserta) itu menginginkan pelayanan kesehatan yang sebenarnya tidak perlu, maka kebijakan urun biaya cukup rasional diterapkan,” katanya.

sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c41a9fc64a5a/terbit-aturan-urun-biaya-jkn--begini-mekanismenya