Mahalnya Biaya Obat Terapi Kanker di Indonesia

Kementerian Kesehatan (Kemkes) menunda sementara pelaksanaan kebijakan mengenai dua obat terapi target kanker kolorektal (usus besar), yaitu Bevaxizumab dan Cetuxumab, yang dikeluarkan dari paket manfaat program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).

Penundaan ini dikarenakan masih ada perdebatan antara Kemkes dengan organisasi dokter bedah digestif mengenai benefit dari dua obat tersebut.

Namun ada yang menarik dari polemik dua obat ini, yaitu mahalnya biaya pengobatan kanker di Indonesia dan membengkaknya pembiayaan JKN-KIS yang diduga karena peresepan secara tidak tepat di fasilitas kesehatan (faskes).

Data BPJS Kesehatan (BPJSK) 2018 menunjukkan, delapan penyakit katastropik termasuk kanker menyerap anggaran terbesar dalam pembiayaan JKN-KIS.

Penyakit katastropik menyerap 25,77% dari total pengeluaran untuk membayar klaim manfaat di rumah sakit.

Penyakit kanker menempati posisi kedua terbesar setelah jantung dengan biaya sebesar Rp3,4 triliun atau 17% dari seluruh biaya katastropik selama 2018 itu sebesar Rp20,4 triliun.

BPJSK juga mencatat obat Bevaxizumab dan Cetuximab masuk dalam daftar 10 obat yang menyerap anggaran terbesar. Pada 2014, obat Bevaxizumab digunakan untuk terapi target pada 867 kasus dengan biaya sebesar Rp14,2 miliar. Sedangkan obat Cetuximbab digunakan untuk terapi pada 580 kasus dengan biaya mencapai Rp9,2 miliar.

Angka ini meningkat di 2017, di mana Bevaxizumab menelan anggaran Rp39,2 miliar untuk 3.386 kasus, dan Cetuximab sebesar Rp28,6 miliar untuk 2.216 kasus.

Dalam layanan JKN-KIS, dua obat ini digunakan sebagai terapi target untuk pasien kanker kolorektal metastatik, yaitu pasien stadium lanjut dengan kondisi kanker yang sudah menyebar ke organ tubuh lain dan sudah tidak mempan dengan terapi lain.

Dengan perkembangan teknologi, dua obat ini diciptakan dengan cara kerja yang sama sekali berbeda untuk memperlambat atau mematikan pertumbuhan sel kanker. Obat ini bekerja menghalangi suplai darah kanker atau memblokir protein yang dibuat oleh kanker untuk meningkatkan pertumbuhan.

Ketua Komite Penilaian Teknologi Kesehatan (KPTK), Sudigdo Sastroasmoro, belum lama ini mengungkapkan, dari kajian yang mereka lakukan terhadap benefit obat Bevaxizumab dan Cetuxizumab ditemukan pemberian obat-obat terapi mahal ini kepada pasien dilakukan secara tidak tepat di sejumlah rumah sakit (RS). Ini dikarenakan RS tersebut tidak memiliki fasilitas penunjang, misalnya untuk pemeriksaan biomarker.

Dihubungi terpisah, Sabtu (16/3/2019) pagi, Sekjen Perhimpunan Ahli Bedah Digestif Indonesia (IKABDI), Abdul Hamid Rochman, mengatakan, untuk memberikan terapi target kepada pasien kanker kolorektal metastatik harus didahului pemeriksaan molekular genetik yang dilakukan oleh dokter bedah digestif dan dokter hematologi onkologi.

Namun, dalam prakteknya banyak dokter yang tidak punya keilmuan dan kompetensi di bidang ini memberikan persetujuan terhadap sebuah terapi target.

sumber: https://www.beritasatu.com/kesehatan/543267/mahalnya-biaya-obat-terapi-kanker-di-indonesia