Telemedicine Indonesia Terhambat Biaya Mahal

Jakarta, PKMK. Penerapan telemedicine di Indonesia terhambat oleh sejumlah faktor. Satu di antaranya adalah biaya penyelenggaran infrastruktur teknologi informasi yang masih mahal. dr. Erik Tapan, MHA, pengamat informatika kedokteran, mengatakan hal tersebut di Jakarta hari ini. Erik menyampaikan dengan infrastruktur teknologi informasi yang masih mahal, telemedicine Indonesia menjadi tidak feasible untuk dipasarkan. "Bandwidth di Indonesia itu kan terbilang mahal," kata dia. Kecepatan perkembangan telemedicine di Indonesia, ia mengatakan, akan sejajar dengan harga infrastruktur teknologi informasi. Semakin menurun harga tersebut, semakin cepat pula perkembangan telemedicine.

Erik menambahkan untuk saat ini yang lebih berkembang di Indonesia adalah telemedicine yang tidak memerlukan bandwidth besar. Salah satunya yaitu layanan yang bersifat konsultatif antara dokter dengan pasien. "Pokoknya, yang berkembang lebih cepat adalah telemedicine yang tidak bersifat real time," kata Erik. Seperti apa bentuk telemedicine yang ideal di Indonesia saat ini? Erik menjawab, sekarang ada rumah sakit yang menerapkan teleconference dengan institusi pelayanan kesehatan di luar negeri. Hal yang harus diingat bahwa telemedicine yang baik adalah yang bersifat D to D, bukan D to P. Pada prinsipnya, telemedicine adalah pengobatan jarak jauh menggunakan teknologi. Itu sedari layanan konsultasi, diagnosis, sampai pengobatan. "Termasuk di situ adalah operasi," jelas Erik.

BELANJA NEGARA 2014: Naik 20%, Pagu Indikatif Ditetapkan Rp1.900 Triliun

JAKARTA--Pemerintah menetapkan pagu indikatif belanja kementerian/lembaga negara pada 2014 sebesar Rp561,2 triliun. Pagu indikatif tersebut belum termasuk anggaran Pemilu dan BPJS yang mencapai Rp24,52 Triliun.

Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo mengatakan pagu indikatif belanja negara pada 2014 diperkirakan mencapai Rp1.900 triliun. Pagu tersebut meningkat sekitar 20% dibandingkan belanja negara APBN 2013 yang mencapai Rp1.683,0 triliun.

"Dari Rp1.900 triliun itu, resource envelop untuk lembaga sama kementerian di pusat jumlahnya Rp561 triliun. Itu secara riil nanti saat nota keuangan disampaikan, akan ditambah Rp50 triliun lagi," tutur Menkeu seusai Rapat Kerja Pemerintah 2014 di Bappenas, Senin (8/4).

Tambahan anggaran belanja K/L sebesar Rp50 triliun, imbuhnya, merupakan pagu anggaran penyelenggaraan Pemilu 2014 sebesar Rp16 triliun, anggaran penyelenggaraan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan Rp8,52 triliun dan sisanya sekitar Rp25 triliun untuk anggaran kenaikan gaji PNS.

Apabila dikalkulasi, total pagu indikatif belanja K/L pada 2014 mencapai Rp611,2 triliun. Pagu tersebut lebih tinggi dibandingkan anggaran belanja K/L dalam APBN-P 2012 Rp547,92 triliun dan APBN 2013 Rp594,59 triliun.

Dalam rapat tersebut, pemerintah memaparkan besaran dan arah kebijakan pada tahun anggaran 2014 kepada K/L dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) seluruh Indonesia.

Menkeu berharap penyusunan RKP dan RAPBN 2014 dapat berlangsung dengan efisien, menghindari duplikasi, dan menghindari berulangnya kegiatan yang perlu dianggarkan.

"Sekarang K/L akan selesaikan rencana mereka untuk dibicarakan di trilateral meeting. Jadi pos-pos yang spesifik belum dibicarakan," ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Herry Purnomo mengatakan dalam penyusunan RKP dan RAPBN 2014, K/L diharapkan dapat memenuhi target pembangunan meski dengan anggaran yang terbatas.

"Biasa lah K/L minta anggaran sebesar-besarnya, tetapi kita kan kemampuan duitnya terbatas dan tidak bisa memenuhi semua," ujar Herry.

Berdasarkan data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, tema RKP 2014 adalah memantapkan perekonomian nasional untuk peningkatan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. (if)

(sumber: web.bisnis.com)

Rekam Medis Elektronik Masih Banyak Berstandar Lokal

Jakarta, PKMK - Penerapan sistem rekam medis elektronik di rumah sakit seluruh Indonesia sudah lebih berkembang daripada sebelumnya. Meskipun seperti itu, dapat dikatakan bahwa rumah sakit yang menggunakan rekam medis elektronik standar internasional masih sedikit jumlahnya. Dengan demikian, rekam medis elektronik itu belum memungkinkan adanya komunikasi internasional. hal ini diungkapkan Prof. Johan Harlan, Kepala Pusat Studi Informatika Kedokteran Universitas Gunadarma di Jakarta (8/4/2013).

Demi mengatasi hal tersebut, rumah sakit ataupun lembaga kesehatan lain se-Indonesia perlu memperjelas standar rekam medis elektronik yang digunakan. Dalam hal ini, yang perlu diperjelas adalah tipe standar internasional yang hendak digunakan: versi awal atau versi open source yang kini mulai banyak ditawarkan. Saat ini yang menggunakan standar internasional masih sedikit. Sebuah rumah sakit besar di Yogyakarta sudah mulai menggunakan standar internasonal itu. Demikian pula dengan beberapa rumah sakit di Jakarta. "Tetapi, mayoritas mereka membeli software. Bukan mengembangkan sendiri," ucap Johan lagi.

Kini sistem rekam medis elektronik di Indonesia digunakan untuk keperluan internal sebuah lembaga. Bukan untuk komunikasi antar-lembaga kesehatan. "Kementerian Kesehatan RI mencoba membuat interkoneksi itu. Namun, itu untuk koneksi data yang sudah terakumulasi bagi keperluan Dinas Kesehatan. Jadi, bukan untuk interkoneksi data pasien," demikian Johan menjelaskan. Selanjutnya, selain memperjelas standar internasional yang akan digunakan, sudah seharusnya lembaga kesehatan di Indonesia selanjutnya mempersiapkan tenaga mumpuni untuk itu. Kemudian standar yang disepakati bersama itu perlu diimplementasikan ke seluruh lingkungan manajemen kesehatan di Indonesia. Dari segi regulasi, sebenarnya tidak ada hambatan berarti bagi Indonesia untuk lebih intensif mengembangkan rekam medis elektronik. Regulasi terbaru menyatakan bahwa, dengan syarat-syarat tertentu, data digital berstatus sama dengan data kertas. Nah, kita tinggal memerjelas definisi syarat-syarat tertentu itu.

Hari Kesehatan Sedunia: Waspadai Ancaman "Silent Killer"

Jakarta - Peringatan Hari Kesehatan Sedunia (World Health Day/WHD) yang jatuh pada 7 April tahun ini mengingatkan seluruh negara di dunia untuk mewaspadai ancaman hipertensi atau tekanan darah tinggi.

Hipertensi kini merupakan masalah kesehatan dunia yang mencemaskan dan menyebabkan beban biaya kesehatan semakin tinggi.

Hipertensi memberikan kontribusi terhadap tingginya angka kematian akibat penyakit tidak menular, seperti stroke dan jantung koroner.

Dalam statistik kesehatan dunia tahun 2012, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa hipertensi adalah suatu kondisi berisiko tinggi yang menyebabkan sekitar 51% dari kematian akibat stroke, dan 45% dari jantung koroner.

Pada tahun 2011, WHO mencatat satu miliar orang di dunia menderita hipertensi.

Dua per tiga di antaranya berada di negara berkembang yang berpenghasilan rendah dan sedang. Indonesia berada dalam deretan 10 negara dengan prevalensi hipertensi tertinggi di dunia, bersama Myanmar, India, Srilanka, Bhutan, Thailand, Nepal, Maldives.

Prevalensi hipertensi akan terus meningkat, dan diprediksi pada tahun 2025 sebanyak 29% orang dewasa di dunia terkena serangannya.

Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemkes) Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan, di Indonesia sendiri prevalensi hipertensi sebesar 31,7%, yang berarti 1 dari 3 orang mengalaminya.

Ironisnya, 76% dari mereka yang tidak mengetahui dirinya telah mengalami hipertensi, sehingga tidak mendapatkan pengobatan.

"Padahal hipertensi yang tidak diobati dapat menyebabkan komplikasi yang fatal, seperti serangan jantung, stroke, dan gagal ginjal. Hipertensi juga dapat menyebabkan kebutaan, irama jantung tidak beraturan, dan gagal jantung," katanya, di Jakarta, baru-baru ini.

Ia mengatakan, peringatan WHD tahun 2013 mengusung tema hipertensi, karena banyak orang tidak mengenali dan memahami bahayanya. Hipertensi seringkali tidak bergejala, sehingga sering disebut silent killer atau pembunuh terselubung yang tidak disadari.

Peningkatan prevalensi hipertensi juga berpotensi mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena di samping mengakibatkan kesakitan dan kematian tinggi, biaya pengobatan yang harus diberikan mahal karena seumur hidup.

Memperingati WHD tahun ini Kemkes mengimbau masyarakat untuk saling mengingatkan tentang bahaya hipertensi.

Selain itu, Kemkes juga meminta masyarakat menerapkan perilaku CERDIK, yaitu cek kesehatan secara berkala, enyahkan asap rokok, rajin aktivitas fisik, diet sehat dengan kalori seimbang, istrahat cukup, dan kelola stress.

Mengukur tekanan darah secara rutin serta teratur minum obat sesuai anjuran dokter juga penting bagi mereka yang sudah terkena hipertensi.

"Hipertensi bisa dicegah dan diobati. Sederhana saja, setiap datang ke fasilitas kesehatan, tekanan darah wajib masuk sebagai salah satu pemeriksaan. Setiap orang harus tahu berapa tensinya. Dengan begitu orang akan lebih waspada," kata Tjandra.

Kemkes juga sedang menggodok regulasi untuk mengontrol konsumsi garam di dalam negeri.

Dalam memperingati WHD yang mengusung tema "Waspadai Hipertensi, Kendalikan Tekanan Darah", Kemkes akan melakukan rangkaian kegiatan yang bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan ancaman hipertensi.

Di antaranya, gerakan pengukuran tekanan darah bagi masyarakat sejak 7-14 April.

Pengukuran tekanan darah ini dilakukan pada setiap pasien maupun pengunjung berusia di atas 18 tahun di semua fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit baik pemerintah maupun swasta, klinik, dan posbindu penyakit tidak menular.

Perwakilan WHO di Indonesia Kanchit Limpakaryanarat mengatakan secara individu setiap orang berisiko terkena hipertensi.

Akan tetapi belakangan ini kejadiannya lebih banyak terjadi di perkotaan, karena pengaruh gaya hidup, seperti pola makan, pola diet, kurang aktivitas fisik, stress tinggi, alkohol, dan merokok.

Menurutnya, mudah saja mencegah hipertensi, yakni hindari faktor risiko, seperti kurangi konsumsi garam, dan makan tidak berlebihan dan selektif dalam memilih makanan.

"Selama kita memotong faktor risikonya, kita bisa terhindar dari ancaman hipertensi," katanya.

(sumber: www.beritasatu.com)

Penderita AIDS di Indonesia 5.686 dan HIV 21.511 Orang

Surabaya - Jumlah penderita HIV di Indonesia 2012 mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan penderita AIDS mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

"Penanggulangan HIV-AIDS merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional," ujar Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi di sela acara seminar dengan tema 'Penguatan kampanye "Aku bangga aku tahu", pada Rapat kerja kesehatan nasional (rakerkesnas) 2013 di The Empire Palace Surabaya, Rabu (3/4/2013).

Sejak 1987 hingga 2005, jumlah orang yang sudah masuk dalam stadium AIDS lebih banyak dilaporkan daripada yang baru terinfeksi HIV. Sementara itu, mulai 2006 hingga 2012, sudah lebih banyak orang terinfeksi HIV dan belum masuk stadium AIDS yang ditemukan.

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, pada 2012 ditemukan kasus HIV sebanyak 21.511 orang dan AIDS sebanyak 5.686 orang. Berdasarkan presentase kasus AIDS menurut faktor risiko pada 1987 hingga Desember, secara komulatif, faktor risiko penularan HIV terbanyak pada heteroseksual (58,7 persen); Injecting drug users (IDU) sebanyak 17,5 persen; penularan perinatal 2,7 persen dan homoseksual sebanyak 2,3 persen.

Sementara itu, data pada 2011, penderita HIV sebanyak 21.031 orang dan penderita AIDS sebanyak 5.686 orang. Pada 2010, penderita HIV sebanyak 21.591 orang dan AIDS sebanyak 6.845 orang. Pada 2009, penderita HIV sebanyak 9.793 orang dan AIDS sebanyak 5.483 orang. Sedangkan pada 2008, penderita HIV sebanyak 10.362 orang dan AIDS sebanyak 4.943

orang.

Nafsiah mengatakan, salah satu tantangan penanggulangan HIV-AIDS adalah peningkatan pengetahuan anak sekolah dan remaja tentang HIV-AIDS. Pasalnya, berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010 yang dilaksanakan Kemenks menunjukkan masih rendahnya pengetahuan komprehensif tentang HIV-AIDS pada penduduk usia 15 sampai 24 tahun, yakni 11,4 persen.

"Perlu dukungan seluruh masyarakat dan kerjasama bebrbagai pihak untuk melakukan berbagai upaya pengendalian penyakit HIV-AIDS," jelasnya.

Dia menambahkan, pendekatan yang dilakukan diantaranya 'Total Football' secara intensif, menyeluruh, komprehensif dan terkoordinasi.

(sumber: surabaya.detik.com)

Pasien BPJS Bisa Tak Dilindungi UU Konsumen

Ketua Pengurus Harian YLKI: SudaryatmoJAKARTA, PKMK - Pasien pengguna layanan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan bisa tidak dilindungi oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sebab, dalam undang-undang tersebut, yang diatur adalah relasi antara konsumen dengan pelaku usaha, termasuk jasa layanan kesehatan. Sementara, bentuk penyedia jasa layanan kesehatan saat ini bervariasi. "Rumah sakit kan ada yang berbentuk PT (perseroan terbatas), unit pelaksana teknis, dan yayasan," kata Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, di Jakarta, Kamis (4 April).

Di samping itu, kata Sudaryatmo, saat ini masih belum jelas apakah BPJS Kesehatan berbentuk badan usaha atau bukan. "Jadi, sebaiknya semua hal itu harus clear sebelum BPJS Kesehatan berjalan. Jangan menyisakan grey area," dia berkata.

Apa akibatnya bila grey area itu masih tersisa sementara BPJS Kesehatan berjalan? Jawab Sudaryatmo, konflik horisontal antara pasien dengan penyedia layanan kesehatan bisa terjadi. "Bisakah pasien menuntut sebagai konsumen kalau kondisi tersebut belum diperbaiki?" kata dia.

Di negara lain seperti India, telah diperjelas bahwa jasa layanan kesehatan gratis tidak bisa digugat melalui Undang-undang Perlindungan Konsumen. Jadi, di India, Undang-undang Perlindungan Konsumen hanya bisa dipakai untuk menggugat penyedia jasa layanan berbentuk PT. "Di India, perlindungan buat dokter dalam menghadapi gugatan pun jelas. Dokter diasuransikan sehingga ada yang menjamin manakala ada gugatan dari pasien," ia menambahkan.

YLKI mendorong adanya mekanisme yang melahirkan rasionalitas dalam pengobatan. "Terus terang, dengan people service seperti BPJS, ada hal yang kurang rasional. Karena tidak ada kontrol dan pasien dalam posisi yang lemah."

Di satu rumah sakit swasta di Jakarta, karyawannya mesti membayar iuran Rp 90.000 per bulan untuk mendapatkan semua pelayanan kesehatan kelas III. "Nah, dengan iuran BPJS yang di Rp 15.000-an per orang per bulan, apakah itu rasional?" kata Sudaryatmo.

 

 

Sebaran Dokter yang tidak Merata Ancam Pelaksanaan BPJS

Surabaya: Kesenjangan distribusi dokter di wilayah Indonesia akan menghambat pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi, Selasa (2/4), mengatakan pemerintah daerah (pemda) harus turut mengambil andil mengatasi distribusi dokter yang tidak merata tersebut.

Kebutuhan akan pelayanan kesehatan khususnya pengobatan diperkirakan akan meningkat saat sistem ini diberlakukan. Ada sebagian daerah yang kelebihan tenaga dokter, ada juga yang kekurangan. Distribusinya tidak merata hingga ke daerah terpencil dan menumpuk di kota-kota besar.

Rasio dokter di beberapa provinsi bahkan melebihi rata-rata nasional saat ini yaitu 33/100.000 penduduk.

Rasio dokter di DI Yogyakarta sudah mencapai 69/100.000 penduduk. Sementara itu di Kota Semarang rasionya mencapai 119/100.000 penduduk. DKI Jakarta memiliki rasio sebaran dokter yang tinggi yaitu 74/100.000 penduduk dan Sulawesi Utara 74/100.000 penduduk.

Beberapa provinsi dengan rasio sebaran dokter terendah antara lain adalah Sulawesi Barat sebesar 8/100.000 penduduk, Nusa Tenggara Timur (NTT) 9/100.000 penduduk, Nusa Tenggara Barat (NTB) 12/100.000 penduduk, Maluku dan Maluku Utara 13/100.000 penduduk. Adapun Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara 14/100.000 penduduk, Lampung 15/100.000 penduduk, dan Papua 16/100.000 penduduk.

"Para Gubernur melalui Dinas Kesehatan bisa mendistribusikan kelebihan itu untuk ditempatkan di daerah lain sehingga pemerataan di tingkat provinsi bisa tercapai," ungkap Menkes dalam kunjungan kerja ke Puskesmas Dupak Surabaya, Selasa (2/4).

Provinsi, disebut Menkes, memiliki posisi strategis untuk menempatkan tenaga kesehatan sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) 38/2007 tentang pembagian urusan pemerintah.

Menurut Menkes, rasio sebaran dokter terhadap penduduk berdasarkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pemerintah menargetkan 40/100.000 atau 1 dokter umum melayani 2.500 penduduk.

Produksi dokter setiap tahun di Indonesia diperkirakan mencapai 7.000 orang sehingga dari sisi jumlah seharusnya sudah tercapai.

Pemerintah daerah (Pemda) harus mengalokasikan anggaran sekurang-kurangnya sebanyak 10% untuk pembangunan kesehatan. Kewajiban mengalokasikan anggaran sebesar 10% dari total Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tertuang dalam Undang-Undang (UU) nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan.

Pemda wajib ikut serta dalam proses pembangunan kesehatan yang dilakukan bersama dengan pusat.

Salah satu kewajiban Pemda adalah menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Anggaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun ini mencapai sekitar Rp34,5 Triliun dimana 83% diberikan ke daerah dan 17% untuk di pusat. (Vera Erwaty Ismainy)

(sumber: www.metrotvnews.com)

Birokrasi Rumit Membuat Perawat Indonesia Tidak Dicari

Jakarta, PKMK - Birokrasi yang berbelit di Indonesia membuat sejumlah negara enggan mencari tenaga perawat dari Indonesia. Sementara, negara tersebut kekurangan tenaga perawat. Anton Sihombing, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati), menyampaikan hal tersebut di Jakarta (2/4/2013). Negara yang sebenarnya potensial menjadi pasar bagi perawat asal Indonesia antara lain negara Timur Tengah seperti Dubai, demikian juga Hong Kong, Australia, dan lain-lain.

"Saya sendiri enggan mengurus pengiriman tenaga perawat ke negara lain. Itu karena birokrasi kita yang terlalu rumit. Kalau bisa dipersulit, kenapa mesti dipermudah?"ungkap anggota Komisi IV DPR RI itu. Selanjutnya bila hendak diintensifkan, pengiriman perawat Indonesia ke luar negeri sebaiknya tidak bersifat government to government (G2G). Namun, prosedur diserahkan ke pihak swasta. "Sebaiknya, Pemerintah Indonesia cukup berperan sebagai regulator. Jangan menjadi wasit sekaligus pelaksana," tambah Anton.

Sudah saatnya Indonesia menambah pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) dari sektor formal seperti perawat. "Kita sebaiknya jangan melulu mengirimkan tenaga kerja informal," jelasnya. Dia pun menyoroti mekanisme jaminan asuransi kesehatan dan lain-lain kepada TKI. Selama ini, asuransi tersebut dibayarkan di Indonesia sementara TKI bekerja di luar negeri. "Ini kan membuat pengurusan asuransi menjadi sulit dan berbelit-belit. Mana bisa diterima akal, TKI bekerja di luar negeri namun asuransinya dibayar di Indonesia." Akan lebih baik bila semua asuransi tersebut dibayarkan oleh pihak pemberi kerja kepada TKI. Jadi, premi ataupun klaim asuransi dibayarkan di negara lain, bukan di Indonesia. Pihak pemberi kerja harus mengasuransikan TKI secara menyeluruh. Hal tersebut meliputi asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi kecelakaan, dan lain-lain.