Ada 9 Indikator Kesehatan Yang Perlu Perhatian Serius Pemerintah

Surabaya - Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengakui masih ada sembilan indikator pembangunan kesehatan yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah.

Karena itu, pemerintah daerah (pemda) diminta lebih berperan aktif lagi untuk mengkoordinir penyelenggaraan pembangunan kesehatan di daerah masing-masing.

Demikian Menkes saat membuka Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) 2013 untuk regional tengah, di Surabaya, Jawa Timur, Senin (1/4) malam ini.

Kegiatan ini diikuti perwakilan dinas kesehatan kabupaten/kota yang berasal dari provinsi, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Bali, Nusa Ternggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.

Turut hadir pada kesempatan ini Gubernur Jawa Timur Soekarwo,Sekjen Kemkes Supryantoro, sejumlah pejabat eselon 1 Kemkes, Dirut PT Askes Fachmi Idris, dan Plt Kepala BKKBN Sudibyo Alimoeso.

"Berdasarkan hasil mid term review rencana pembangunan jangka menengah yang dilaksanakan pada tahun 2012, dari 51 indikator pembangunan kesehatan yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan, terdapat 9 indikator yang memerlukan perhatian lebih serius," kata Menkes.

Sembilan indikator yang dimaksud, menurut Menkes, yakni penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) di mana saat ini berada pada angka 228/100.000 kelahiran hidup (KH) tahun 2009, masih jauh dari target pemerintah yaitu 118/100.000 KH di tahun 2014.

Penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) dari 32/1000 KH pada 2012, diakui masih sulit mencapai target 24/1000 KH di tahun 2014.

Sementara angka kelahiran total (Total Fertility Rate/TFR) 2,6 anak pada 2012, masih sulit diturunkan menjadi 2,1 anak pada 2014.

Peningkatan persentase penduduk dengan akses air minum yang berkualitas yakni 42,76% pada 2011, sulit diturunkan menjadi 68% pada 2014. Penurunan Annual Parasite Index untuk penyakit malaria adalah 1,69 pada 2012, menjadi 1 pada 2014.

Selain itu, ada empat indikator lain yang masih dalam status warna kuning. Di antaranya peningkatan umur harapan hidup dari 71,1 tahun saat ini, menjadi 72 tahun pada 2014.

Peningkatan cakupan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terlatih dari 88,64% pada 2012, menjadi 90% yang ditargetkan pemerintah pada 2014.

Peningkatan persentase penduduk 15 tahun ke atas yang memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS sebesar 79,5% pada 2012, menjadi 90% tahun 2014.

Yang terakhir adalah peningkatan persentase penduduk yang memiliki jaminan kesehatan dari 64,58% pada 2012, ditargetkan 80,10% pada 2014.

Oleh karena itu, melalui kegiatan Rakerkesnas, diharapkan Provinsi sebagai penyelenggara di pemda, mampu berperan aktif dan efektif sebagai koordinator penyelenggara pembangunan kesehatan di daerah masing-masing, agar upaya kesehatan dapat dilaksanakan secara optimal, terutama untuk percepatan pencapaian target Millenium Development Goals (MDGs) 2015.

Sebelumnya, rakerkesnas regional barat yang diikuti 13 provinsi telah dilaksanakan di Jakarta tanggal 19-20 Maret 2013 menghasilkan 5 rekomendasi.

Di antaranya langkah percepatan pencapaian MDGs kesehatan dengan pemetaan masalah, penguatan manajemen, penguatan SDM, penguatan peran masyarakat, dan penguatan program.

Selain itu, adanya langkah-langkah peningkatan pengendalian penyakit tidak menular, peningkatan askes dan mutu pelayanan, serta peningkatan upaya promotif, preventif, dan pemberdayaan masyarakat.

Selanjutnya, Rakerkesnas Regional Timur akan dilaksanakan di Makassar pada 14-17 April 2013 mendatang, yang akan diikuti 10 provinsi. [D-13]

(sumber: www.suarapembaruan.com)

Mekanisme Birokrasi Kesehatan Jawa Timur Dinilai Lambat

Jakarta-PMPK.Mekanisme birokrasi pelayanan kesehatan untuk warga Jawa Timur belum cukup baik. Pelayanan yang diberikan masih lambat sehingga perlu dipercepat. "Koordinasi antara Dinas Kesehatan di kotamadya dengan propinsi, perlu dirapikan," kata Endang Agustini Syarwan Hamid, Anggota Komisi IX DPR RI, dalam rapat di DPR, Jakarta, Senin (4/2/2013). Endang mengatakan, akhir tahun 2012 ada sekitar 60 orang pasien cuci darah di Malang. Mereka tidak bisa berobat karena tidak ditanggung oleh Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). "60 orang pasien cuci darah, itu jumlah yang signifikan, bukan?" kata Endang.

Ia pun berkata, "Bagaimana bisa bahwa seorang bidan yang membantu persalinan, tidak bisa mendapatkan haknya karena sulitnya birokrasi? Maka, pelayanan birokrasi kesehatan di Jawa Timur harus lebih dipercepat." Ia pun menyatakan prihatin karena di satu propinsi di Pulau Jawa, kelambanan seperti itu masih ditemui. Endang menambahkan, kekurangan koordinasi antara para kepala Dinas Kesehatan dengan para direktur utama rumah sakit umum daerah (RSUD), juga merupakan penyakit yang tidak kunjung sembuh. "Pemerintah Propinsi Jawa Timur perlu memperbaiki semua hal itu," kata dia.

Selanjutnya, ia mengatakan bahwa bantuan yang diberikan Pemerintah Indonesia kepada warga miskin seringkali tidak mampu menyelesaikan persoalan, sekalipun dana yang diberikan besar. "Bantuan yang diberikan Pemerintah Indonesia kepada sekitar 86 juta penerima Kartu Jamkesmas , juga bisa saja demikian. Maka, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (tnp2ki) harus mempunyai strategi yang lebih jitu untuk mengurangi kemiskinan." Sementara, dalam rapat yang sama, anggota Komisi IX DPR RI yang lain, Surya Chandra mengungkapkan bahwa dirinya banyak mendapatkan pengaduan dari warga yang tidak mendapatkan pelayanan Kartu Jamkesmas. "Ada yang dari Jawa Timur ataupun propinsi lain."

"Apa sebenarnya yang menyebabkan hal itu? Apakah ada semacam perbedaan kriteria penerima?", ucap Surya. Ia menambahkan,"Sering pula, Kartu Jamkesmas sudah dipegang tapi tidak bisa digunakan di rumah sakit. Untuk menyelesaikan persoalan ini, harus ada koordinasi yang bersifat lintas sektoral. Ini penting mengingat berlakunya BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) di tahun 2014 semakin dekat."

Kisruh Data BPJS Dinilai Wajar

Jakarta-PMPK. Ketidaksesuaian data penerima Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang sekarang terjadi merupakan hal yang wajar. Demikian pula kurang sesuainya data warga peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang akan berlangsung pada 2014. 'Harapannya, kekurangan yang terjadi dapat diperbaiki di masa datang', ungkap Profesor Ali Ghufron Mukti, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) RI, di sela rapat dengan Komisi IX DPR RI, di Jakarta, Senin (4/2/2013). Ia menambahkan, sebelumnya di Indonesia belum pernah ada upaya untuk menghimpun data warga miskin secara terintegrasi dan lintas sektor. "Dan sekarang, dengan adanya persiapan menuju BPJS di tahun 2014, proses integrasi data seperti itu berlangsung," imbuhnya.

Kata dia, terkait pembagian Kartu Jamkesmas tahun 2013 di Propinsi Jawa Timur, warga yang sudah memiliki kartu baru sudah bisa mulai menggunakannya sejak awal Januari 2013. Sementara itu, warga yang belum mendapatkan kartu baru, bisa menggunakan kartu yang lama sampai akhir Februari ini. Ghufron menambahkan, saat ini masih ada sekitar 2 juta warga yang belum mendapatkan Kartu Jamkesmas tahun 2013 di Jawa Timur. "Tapi saat ini, pengiriman kartu baru sedang berlangsung, sudah dikirim ke Dinas Kesehatan setempat. Kami menargetkan bahwa sebelum 28 Februari 2013, semua kartu itu sudah didistribusikan," kata dia.

Kemudian, ia menjelaskan akan ada proses verifikasi ulang bahwa untuk 480 ribuan warga Jawa Timur yang belum terdaftar sebagai penerima Kartu Jamkesmas di tahun 2013. Untuk itu, Kementerian Kesehatan RI bekerja sama dengan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2KI) untuk sinkronisasi data. "Kalau hasilnya menunjukkan bahwa di antara mereka tidak berhak mendapatkan Kartu Jamkesmas tahun 2013, ya tidak akan diberi. Bisa saja mereka sudah mendapatkan Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah)," kata dia.

Pasien Penderita Diabetes Minati Apotek Online Medicastore

2apr13-1Tjetjeng Herjadi, Manajer Operasi Medicastore.com saat memaparkan tren penjualan obat melalui internet (2/4/2013)Jakarta, PKMK - Pasien penyakit berulang seperti diabetes dan gangguan jantung meminati layanan apotek online salah satunya ialah situs Medicastore.com. Mereka membeli obat secara teratur, biasanya dua atau tiga hari sebelum obat habis, mereka membeli melalui internet kepada produsen. hal ini disampaikan Tjetjeng Herjadi, Manajer Operasi Medicastore.com di Jakarta (2/4/2013). Nilai obat yang dibeli pasien tersebut di kisaran dua ratus ribuan. "Kalo persediaan obat yang diminta ada, kami kirim via kurir dan kalau tidak ada, dicari terlebih dulu ke distributor obat itu," tambah Tjejeng.

Pasien tersebut biasanya membayar menggunakan internet banking atau melakukan transfer pembayaran melalui ATM. Dua cara pembayaran itu digunakan seluruh konsumen apotek online Medicastore.com. Pasien pembeli obat resep umumnya meng-scan resep yang diberikan dokter. Kemudian, resep tersebut dikirim ke Medicastore.com melalui internet. "Ada pula yang mengirim resep melalui mesin faksimil, dan yang datang langsung ke kantor kami membawa resep pun ada," ungkap Tjejeng. Berapa banyak konsumen obat resep di Medicastore.com? Ia menjawab, dalam sebulan ada kira-kira ratusan konsumen. Ada tren kenaikan walau tidak signifikan. Produk yang lebih banyak dicari di Medicastore.com yakni obat herbal dan obat suplemen. Jumlah konsumen kelompok ini dua kali lipat konsumen obat resep. Harga per jenis obat suplemen itu bervariasi. Berkisar Rp 100.000 sampai Rp 400.000. "Kami memasang harga minimal pembelian sebesar Rp 100.000 ke seluruh konsumen," ucap Tjetjeng.

Sementara, Deputi Manajer Operasi Medicastore.com Nasandi mengatakan, pihaknya kini bisa menarik sekitar 300.000 pengunjung situs tiap bulan. Jumlah pengunjung yang mengakses via PC desk top dengan mobile device seperti BlackBerry, tidak jauh berbeda. "Dengan mobile device, pengunjung merasa lebih praktis dalam mengakses Medicastore.com, aksesnya lebih cepat," kata Nasandi.

E-Commerce Kesehatan Dinilai Lebih Kuat di B2B

2apr13-2stan produsen obatJakarta, PKMK - Electronic commerce (e-commerce) kesehatan di Indonesia cenderung lebih berkembang di lingkup business to business (B2B) daripada business to consumer (B2C). Sebab, karakter produk industri kesehatan seperti obat over the counter (OTC) tidak menguntungkan untuk dipasarkan melalui internet. Pengamat e-commerce dari Bloomberg Business Week, Purjono Agus Suhendro, menyampaikan hal tersebut di Jakarta (1/4/2013) melalui electronic mail.

Mayoritas obat OTC harganya murah, sehingga, tidak menguntungkan bila dijual melalui internet kepada perorangan. "Skala ekonomisnya tidak menguntungkan bila dijual eceran lewat internet. Bisa-bisa, ongkos kirimnya jauh lebih mahal dan merepotkan," ungkap Purjono. Di samping itu, dia menambahkan, konsumen lebih suka membeli obat OTC melalui warung, apotek, ataupun pasar swalayan mini. Hal ini terjadi karena lebih cepat dan praktis.

Penjualan obat OTC ataupun produk kesehatan yang lain melalui internet sudah tentu harus menguntungkan dengan mencapai skala ekonomis tertentu. Karena itu, jika hendak dipasarkan melalui internet, obat OTC harus dijual dalam jumlah banyak kepada distributor, bukan kepada konsumen. Jika dijual kepada distributor melalui internet, yang berlangsung adalah transaksi e-commerce B2B, bukan B2C. Selanjutnya, Purjono menambahkan bahwa jika hendak dipasarkan ke perorangan, biasanya pihak penjual memasang syarat batasan harga tertentu. Dalam hal ini, harga obat itu terbilang mahal."Dengan demikian, pihak penjual tidak rugi karena biaya pengiriman yang lebih mahal."

Melihat fakta tersebut, saat ini penyedia e-commerce B2C di Indonesia pada umumnya bukan pihak independen. Namun, merupakan pihak yang dipayungi oleh perusahaan farmasi besar. Di sini, e-commerce B2C sekadar menjadi sarana promosi. Hal yang lebih dipentingkan produsen tersebut adalah distribusi obat OTC dengan jalur konvensional, bukan melalui internet.

 

Tuberkulosis Kebal Obat Jadi Fokus Perhatian

Jakarta - Tuberkulosis kebal obat-obatan menjadi prioritas dalam penanganan tuberkulosis di Indonesia. Panduan penanganan pengobatan tuberkulosis terus disosialisasikan agar kepedulian masyarakat meningkat.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama mengatakan hal itu seusai membuka Simposium Peringatan Hari Tuberkulosis (TB) Sedunia, Sabtu (30/3), di Jakarta. Tuberkulosis kebal obat-obatan (multidrug resistant tuberculosis/MDR TB) disebabkan kuman Mycobacterium tuberculosis yang kebal terhadap minimal dua obat anti-TB isoniazid (INH) dan rifampicin (RMP).

Selain MDR TB, pemerintah memberi prioritas pada TB-HIV. Berdasarkan data WHO Global Report 2012, Indonesia berada di peringkat ke-9 dari 27 negara dengan beban MDR TB terbanyak di dunia. Diperkirakan pasien MDR TB di Indonesia mencapai 6.620 orang. Rinciannya, MDR TB di antara TB kasus baru 5.700 kasus dan MDR TB di antara kasus TB yang pernah mendapat pengobatan 920 kasus.

Kepala Perwakilan WHO Indonesia Khancit Limpakarnjanarat mengatakan, saat ini perhatian terhadap penanganan tuberkulosis di dunia fokus pada MDR TB. Hal yang menggembirakan, sudah ada laboratorium untuk pemeriksaan kultur sekaligus melaksanakan uji kepekaan obat anti-TB lini pertama dan kedua.

"Di Indonesia sudah ada di beberapa provinsi. Harapannya penanganan MDR TB ke depan semakin baik," katanya. Laboratorium tersebut adalah Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya, Laboratorium Mikrobiologi FKUI, Laboratorium Mikrobiologi RS Persahabatan Jakarta, Balai Pengembangan Laboratorium Kesehatan Jawa Barat, dan Laboratorium NHCR-Universitas Hasanuddin, Makassar.

Direktur Utama RS Persahabatan Syahril Mansyur mengatakan, MDR TB sulit dideteksi karena harus melalui uji sensitivitas. Kesulitan kedua terletak pada pengobatan. "Kalau pengobatan TB perlu waktu selama enam bulan, MDR TB perlu waktu 18-24 bulan," kata Syahril.

Selain RS Persahabatan, ada delapan RS yang menjadi rujukan MDR TB, yaitu RSU dr Soetomo, RSUD dr Saiful Anwar, RSUD dr Moewardi, RS Labuang Baji, RS Hasan Sadikin, RSUP Adam Malik, RS Sanglah, dan RSUP dr Sardjito.

Hingga tahun 2012, tercatat terjaring 4.297 suspek MDR TB dengan 1.005 pasien MDR TB. Sebanyak 825 pasien sudah menjalani pengobatan. Angka keberhasilan pengobatan pada pasien MDR TB 71 persen.

Sosialisasi panduan

Tjandra mengatakan, panduan penanganan pengobatan TB sudah ada. Pihaknya berupaya agar panduan itu disosialisasikan. "Melalui acara yang mengundang petugas kesehatan sebanyak 1.200 orang ini diharapkan panduan diketahui dengan baik dan benar. Harapannya, mereka yang sebagian datang dari daerah menyebarkan di daerah masing-masing," kata Tjandra.

Dia menegaskan, hal yang sangat penting dalam penanganan TB MDR adalah bagaimana pasien TB sejak awal minum obat yang diberikan dengan benar. "Pasien TB harus minum obat sampai penyakitnya sembuh dan tidak menulari orang lain sehingga tidak terjadi MDR TB dengan segala masalahnya," kata Tjandra.

Menurut Untung Suseno, Ketua Country Coordinating Mechanism (tim yang mengelola dana bantuan global), dana yang dialokasikan untuk penanganan TB di Indonesia saat ini 90 juta dollar AS. Tahun 2014-2016 jumlahnya 75 juta dollar AS. "Bantuan yang diberikan makin lama makin kecil disesuaikan kemampuan Indonesia dengan ekonomi yang makin baik sehingga peran pemerintah pun semakin besar," kata Untung. (DOE)

(sumber: health.kompas.com)

Dokter Spesialis untuk Jemaah Haji Perlu Ditingkatkan Jumlahnya

1apr13-2Nazuli Juwaini, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI di sela-sela wawancara di Jakarta (1/4/2013)Jakarta, PKMK - Jumlah dokter spesialis untuk penanganan kesehatan jemaah haji Indonesia perlu ditambah. Selama ini, yang diberangkatkan ke Tanah Suci Mekah, Arab Saudi, lebih banyak dokter umum. "Padahal, penyakit jemaah haji yang rata-rata berusia lanjut bervariasi," kata Nazuli Juwaini, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, di Jakarta (1/4/2013). Nazuli mengungkapkan, saat ini dokter spesialis yang menangani jemaah haji masih langka. Maka, sesuai jenis penyakit jemaah, di sana perlu banyak dokter spesialis jantung, paru-paru, internis, dan lain-lain.

Ia pun mengatakan, Komisi VIII DPR RI meminta agar Kementerian Kesehatan RI dan Kementerian Agama RI meningkatkan koordinasi dalam pelayanan kesehataan jemaah haji. Saat ini, koordinasi tersebut sudah bagus, dan harus lebih ditingkatkan lagi. "Untuk penanganan kesehatan jemaah haji, itu kan dana murni dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Itu menandakan bahwa Pemerintah Indonesia menaruh perhatian tinggi terhadap pelayanan kesehatan haji," Nazuli menambahkan. Meningkatkan koordinasi antara dua lembaga memang bukan hal yamg mudah. "Koordinasi dalam satu kementerian pun sudah sulit. Tapi Kementerian Kesehatan dan Kementerian Agama harus menaikkan koordinasi, komunikasi, dan pelayanan," ucapnya.

Dengan pelayanan kesehatan yang lebih baik, angka jemaah haji yang wafat bisa terus diturunkan. Dalam hal pelayanan itu, banyak hal yang harus diperhatikan. Soal gizi makanan, perlu tiga kali lipat lebih baik mengingat kondisi iklim di Tanah Suci yang berbeda dengan di Indonesia. "Tahun ini, insya Allah angka jemaah yang wafat bisa lebih kecil lagi," tutup Nazuli.

Jumlah Dokter Umum Naik 6 Ribu Orang per Tahun

1apr13dr.Ahmad Budi Arto, MM. Ketua Harian Presidium Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) (31/3/2013)Jakarta, PKMK - Jumlah dokter umum di Indonesia bertambah sekitar 6.000 sampai 5.000 orang per tahun. Adapun jumlah total dokter umum di Indonesia kini sekitar 80.000 orang. "Angka penambahan dokter umum di Indonesia terbilang ideal," ungkap dr.Ahmad Budi Arto, MM., Ketua Harian Presidium Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI), di Jakarta (31/3/2013). Budi Arto menambahkan, hal yang perlu diperhatikan saat ini adalah distribusi dokter umum yang tidak merata. Mayoritas dokter umum di DKI Jakarta ataupun propinsi lain terkonsentrasi di kota besar. "Dari 18.000 dokter, 13.000 di antara mereka dokter umum di Jakarta," kata dia.

Selain distribusi, kualitas dokter umum perlu diperhatikan ataupun ditingkatkan. Sekitar 72 fakultas Kedokteran di Indonesia tidak menghasilkan dokter umum dengan standar sama. "Peraturan Pemerintah mensyaratkan semua Fakultas Kedokteran memiliki rumah sakit pendidikan. Tapi, sekarang ini tidak semuanya punya, 'kan?" tambahnya.

Lebih lanjut, PDUI saat ini sedang membuat pemetaan dengan tujuan memperoleh data lebih akurat tentang dokter umum. Dengan demikian, upaya memeratakan distribusi dan meningkatkan kualitas dokter umum bisa lebih baik. "Kami sedang konsolidasi organisasi. Saat ini, dari 33 propinsi di Indonesia, PDUI sudah ada di 24 propinsi. Kini jumlah anggota PDUI sekitar 40.000 sampai 50.000 dokter umum," tambahnya. Kini, dari sekitar 90.000 sampai 100.000 dokter di Indonesia, 80 persen adalah dokter umum. Dokter umum tersebut tersebar di perusahaan asuransi, praktek di klinik ataupun pribadi, dan di industri.