Belanja Kesehatan Indonesia Bakal Mencapai US$ 60,6 Miliar

Frost & Sullivan memprediksi belanja kesehatan di Indonesia dapat mencapai US$ 60,6 miliar pada tahun 2018. Belanja tersebut ditaksir tumbuh 14.9% CAGR (compound annual growth rate) selama periode 2012-2018.

Sementara itu, Frost & Sullivan juga memprediksi belanja kesehatan di Asia Pasifik akan meningkat dua kali lipat dalam enam tahun ke depan, dengan China, Jepang, dan India sebagai penyumbang terbesar. "Belanja kesehatan akan terus tumbuh seiring dengan meningkatnya permintaan pasien untuk mendapatkan layanan kesehatan yang lebih baik. Hal ini akan berujung pada terjadinya reformasi sektor kesehatan di Asia Pasifik," jelas Hannah Nawi, Associate Director, Healthcare Practice, Asia Pacific, Frost & Sullivan.

Ada beberapa hal yang akan mendorong peningkatan belanja kesehatan di Indonesia. Dari sisi demografi, rata-rata usia populasi yang berumur 28 tahun dan kelompok usia di atas 35 tahun diproyeksikan akan tumbuh lebih cepat selama periode 2010-2014. Hal ini menandai lambatnya perubahan demografis, dan pada akhirnya dapat menjadi beban institusi-institusi penyedia layanan kesehatan. Hannah pun menambahkan, "Urbanisasi dan populasi yang berangsur menua akan mendorong permintaan terhadap layanan kesehatan di Indonesia."

Selain itu, untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan, berbagai skema asuransi kesehatan telah ditetapkan oleh pemerintah. Skema-skema asuransi yang disediakan oleh pemerintah, seperti Jamkesmas, Jamsostek, dan Askes, dapat digunakan baik di rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta, meskipun pelayanan yang diberikan di rumah sakit swasta masih terbatas pada perawatan dasar. "Hal ini dilakukan untuk meringankan beban institusi kesehatan pemerintah yang mengalami keterbatasan sumber daya akibat jumlah pasien yang meningkat," kata Hannah.

Sektor asuransi kesehatan juga diprediksi tumbuh seiring dengan makin kokohnya industri rumah sakit swasta di Indonesia. Meski demikian, proporsi cakupan asuransi kesehatan swasta masih tergolong rendah, yaitu kurang dari 5% dari total jumlah populasi.

Kebutuhan akan layanan kesehatan yang semakin besar di Tanah Air tidak dilewatkan oleh sektor swasta. Di Indonesia, hampir 67% saham kepemilikan rumah sakit swasta dimiliki oleh investor asing. Kini, sektor swasta semakin memperkokoh keberadaannya, terutama di kota-kota besar. Sebagian besar pembangunan dan transaksi properti rumah sakit swasta terjadi di Jakarta, diikuti oleh kota-kota besar seperti Bandung, Surabaya, Manado, Makassar, Tangerang, dan Bali, yang mengindikasikan adanya peningkatan kegiatan investasi dalam pasar penyedia jasa layanan kesehatan di provinsi-provinsi utama di Indonesia. Di tahun 2012 terdapat sekitar 544 rumah sakit swasta di Indonesia. Dan jumlah tersebut diperkirakan akan bertambah menjadi 731 di tahun 2018.

Nitin Dixit, Senior Industry Analyst, Healthcare, Frost & Sullivan, mengatakan bahwa langkah selanjutnya yang harus diambil adalah mewujudkan visi pemanfaatan teknologi guna mendorong peningkatan layanan kesehatan, di mana target implementasi dari sistem informasi kesehatan di tingkat provinsi mencapai 100% dan 60% untuk daerah pedesaan atau perkotaan di tahun 2014.

Pemanfaatan teknologi juga akan mendukung proses pemerataan layanan kesehatan di seluruh penjuru nusantara, karena saat ini sebagian besar spesialis layanan kesehatan hanya tersedia di kota-kota besar, dan jarak yang harus ditempuh untuk menjangkau layanan tersebut cukup jauh.

"Sebagai gambaran, meningkatnya penggunaan sistem telemedika untuk konsultasi melalui video dan diagnosa jarak jauh, serta penggunaan internet sebagai sarana konsultasi kesehatan dengan dokter lokal tanpa harus datang langsung ke klinik merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan," kata Nitin.

"Hal tersebut menunjukkan bahwa proses untuk mewujudkan sektor kesehatan yang berdasar pada informasi (information-based) niscaya akan segera tercapai dan pada akhirnya akan mendorong proses modernisasi sektor kesehatan di Indonesia, " tutur dia.

(sumber: swa.co.id)

12 RSUD Raih Penghargaan Kemenpan

28-mar13penerimaan penghargaan dari Kemenpan di Jakarta (Kamis, 28/3/2013)Jakarta, PKMK - 12 RSUD memperoleh penghargaan Citra Pelayanan Prima Tahun 2012 dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan). Lokasi RSUD itu tersebar di sejumlah propinsi. Penghargaan tersebut diserahkan oleh Azwar Abubakar, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI, dalam acara Penyerahan Penghargaan Akuntabilitas Kinerja dan Pelayanan Publik. Penghargaan tersebut berlangsung di Balai Kartini, Jakarta, hari ini (Kamis, 28/3).

Berdasarkan pantauan wartawan situs internet ini, tujuh RSUD memperoleh Piala Citra Pelayanan Prima 2012 Kategori RSUD dengan Predikat A. RSUD yang dimaksud diantaranya RSUD Ulin (Banjarmasin), RSUD Tarakan (Jakarta), RSUD Tugurejo (Semarang), RSJ Grhasia Sleman (Yogyakarta), RSUD Arifin Achmad (Pekan Baru), RSUD dr. Saiful Anwar (Malang), dan RSUD dr. Abdoel Moeloek (Bandar Lampung). Adapun lima RSUD lainnya memperoleh Piala Citra Pelayanan Prima Tahun 2012 Kategori RSUD dengan Predikat B. RS tersebut meliputi RSUD Al Ihsan (Bandung), RSUD Khusus Mata Masyarakat Palembang, RSUD dr. Zainoel Abidin (Banda Aceh), dan RSUD Kota Tanjung Pinang (Kepulauan Riau).

Selain 12 RSUD tersebut, dua lembaga kesehatan Pemerintah Indonesia yang lain juga memperoleh penghargaan. Dua lembaga tersebut ialah pertama, Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Balai Laboratorium Kesehatan Daerah Dinas Kesehatan Lampung, mendapat Piala Citra Pelayanan Prima Tahun 2012 Kategori Unit Pelaksana Proyek (UPP) Pilihan dengan Predikat A. Kedua, Puskesmas Kecamatan Jagakarsa (Jakarta) mendapatkan Piala Citra Pelayanan Prima Tahun 2012 Kategori UPP Pilihan dengan Predikat B.

Dalam acara tersebut, Kemenpan pun menyerahkan sejumlah penghargaan lain. Antara lain, Piala Citra Bhakti Abdi Negara 2012 Tingkat Propinsi dengan Predikat B, diserahkan ke Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menteri Azwar Abubakar mengungkapkan, setiap lembaga milik Pemerintah Indonesia harus mengetahui kemajuan dari setiap program yang dijalankan. "Itu demi mencapai tujuan dari sasaran," tambahnya. Dia pun menambahkan, dalam konsep akuntabilitas kinerja, masyarakat punya hak untuk mengetahui dan menilai kinerja penyelenggaraan negara. Hal ini juga merupakan kewajiban tiap lembaga negara untuk melaporkan kinerja.

 

Pendidikan Dokter Subspesialis akan Lebih Diperhatikan

JAKARTA, PKMK -- Pendidikan dokter subspesialis di Indonesia akan lebih diperhatikan. Dalam pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pendidikan Tinggi Kedokteran, salah satu masukan yang dibahas adalah pentingnya memfokuskan perhatian kepada pendidikan dokter subspesialis. Ketua Komisi X DPR RI, Agus Hermanto, mengatakan hal itu di Jakarta hari ini (Rabu, 27 Maret).

Kata Agus, selama ini pendidikan dokter subspesialis memang belum tertangani secara fokus. "Ada masukan agar dalam RUU Pendidikan Tinggi Kedokteran, pendidikan dokter subspesialis bisa benar-benar dimasukkan ke dalam pendidikan tinggi. Barangkali itu nanti dimasukkan dalam prodi (program studi) sebuah universitas," demikian Agus berkata.

Lebih lanjut Agus mengatakan bahwa pendidikan dokter subspesialis itu sejajar dengan strata-tiga. Oleh karena itu, wajar bila mendapatkan perhatian yang lebih tingggi. "Dengan perhatian yang lebih fokus dan tinggi, Indonesia nantinya tidak kekurangan dokter subspesialis ataupun spesialis saat menghadapi AFTA," kata legislator dari Partai Demokrat tersebut.

Apa hal penting lain yang dibahas dalam RUU Pendidikan Tinggi Kedokteran? Agus menjawab antara lain pembicaraan tentang keberadaan sekolah tinggi kedokteran. Persisnya, ada pembahasan tentang pihak yang berhak menyelenggarakan pendidikan kedokteran. Yaitu hanya universitas yang punya fakultas kedokteran, atau juga satu sekolah tinggi kedokteran.

Agus menyampaikan bahwa Komisi X DPR RI ingin agar RUU Pendidikan Tinggi Kedokteran selesai dibahas di tahun 2013 ini untuk kemudian disetujui pada Sidang Paripurna DPR RI dan ditandatangani oleh Presiden RI di tahun yang sama. "Setelah reses di April 2013, kami akan intensif melanjutkan pembahasan RUU itu," ungkapnya.

Teleradiologi di Indonesia Belum Berkembang

Jakarta - Perkembangan teleradiologi di Indonesia saat ini bisa dikatakan belum banyak. Sebab sejumlah faktor menghambat perkembangan tersebut. Kepala Pusat Studi Informatika Kedokteran Universitas Gunadarma, Profesor Johan Harlan, mengatakan hal itu di Jakarta hari ini (Rabu, 27 Maret).

Johan mengatakan, salah satu bentuk hambatan itu adalah persoalan biaya yang terlalu mahal. Di Indonesia ataupun luar negeri, saat ini cara konvensional masih lebih murah daripada teleradiologi. Dalam arti, masih lebih murah bila dokter spesialis radiologi datang ke rumah sakit ataupun klinik untuk membaca hasil pencitraan radiologi. Itu karena jumlah pengguna yang belum banyak. "Padahal, teleradiologi ataupun telemedicine yang lain baru bisa murah kalau digunakan dalam jumlah banyak sehingga mencapai skala ekonomis," kata Johan.

Hambatan berikutnya, Johan menambahkan, adalah pada kejelasan regulasi. Saat ini, izin praktek dokter di Indonesia berdasarkan wilayah. "Padahal, kalau seorang dokter spesialis radiologi di Jakarta membaca hasil pencitraan dari satu rumah sakit di Kalimantan, ia sudah berpraktek lintas-wilayah, bukan?" kata dia.

Sebenarnya, kata Johan lagi, teleradiologi bisa berperan penting mengingat jumlah dokter spesialis radiologi di Indonesia masih sedikit dibandingkan kebutuhan.

Saat ini, beberapa rumah sakit di Jakarta telah menjalankan teleradiologi untuk internal. Sebuah rumah sakit di Jakarta Utara menggunakan teleradiologi sehingga dokter spesialis radiologi bisa membaca gambar pencitraan dari jarak jauh. Kemudian, sebuah rumah sakit besar milik Pemerintah Indonesia menggunakan teleradiologi dalam intranet. "Rumah sakit besar itu juga menggunakan teleradiologi dalam pendidikan kepada mahasiswa sebuah fakultas kedokteran di Kalimantan," kata Johan.

Diaspora Indonesia usulkan pengembangan kota "livable"

Delft, Belanda - Komunitas Diaspora Indonesia yakni warga negara Indonesia yang berada dan menetap di luar negeri, mengusulkan program pengembangan "livable city" atau kota dengan konsep nyaman dihuni, kata salah satu anggota unit kerja "livable city" Diaspora Indonesia.

"Kota-kota di Indonesia saat ini menghadapi tantangan yang cukup serius seperti kurangnya ruang hijau, transportasi publik yang jumlah dan kualitasnya belum memenuhi kebutuhan masyarakat dan belum adanya langkah-langkah perlindungan sumberdaya alam," kata Gemawang Swaribathoro di Delft, Selasa (26/3).

Dia menjelaskan program pengembangan kota nyaman huni tersebut melibatkan sejumlah ahli Indonesia di bidang perlindungan dan pemeliharaan warisan sejarah, perencanaan sumberdaya air and bentang alam serta ahli permukiman dan pembaruan wilayah kota.

"Unit kerja program ini ada 18 orang dan 39 kolaborator dari berbagai bidang," kata Gemawang yang bekerja di bidang arsitektur di Rotterdam, Belanda.

Mewujudkan kota nyaman huni dapat dilakukan dengan menerapkan pembangunan yang memihak pada penjagaan sumberdaya sehingga tidak mengganggu keseimbangan alam. Selain itu perlindungan dan pemeliharaan warisan sejarah berupa bangunan bersejarah maupun kearifan lokal juga dinilai menjadi langkah menciptakan wilayah kota yang nyaman untuk didiami.

"Unit kerja 'livable city' juga mengembangkan gagasan perkotaan kreatif untuk masyarakat tidak mampu," kata Gemawang.

Program ini diharapkan dapat mewujudkan kota-kota Indonesia yang berkembang pesat dengan tetap memperhatikan pemeliharaan kondisi alam, memiliki ruang hijau, mempunyai transportasi publik yang nyaman dan aman serta kota yang bebas dan siap menghadapi banjir, jelasnya.

Gemawang mengatakan pihak Diaspora Indonesia membuka kesempatan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk memberikan saran dan gagasan untuk menyukseskan program pengembangan kota nyaman huni ini.

Selain "livable city" Diaspora Indonesia juga tengah mengusulkan pengembangan pelayanan kesehatan medis yang terdiri dari tiga program yakni pelayanan dan penyembuhan kanker di Indonesia, pelayanan bagi lanjut usia serta pusat informasi kesehatan.

Berkaitan dengan program-program pelayanan kesehatan tersebut, Diaspora Indonesia di Belanda atau disebut dengan IDN-NL telah melakukan pendataan lembaga-lembaga swadaya masyarakt di bidang pelayanan kesehatan medis yang siap bekerja sama di masa mendatang.

(sumber: www.analisadaily.com)

Nilai PBI BPJS Masih Menjadi Polemik

JK-26mar13Jusuf Kalla (kiri) dan Bambang Wispriyono (kanan) saat diskusi Polemik Nilai PBI BPJS (Jakarta, 26/3/2013)Depok, PKMK-Polemik tentang nilai Penerima Bantuan Iuran Badan Pengelola Jaminan Sosial (PBI BPJS) Kesehatan sebaiknya jangan terlalu lama. Sebab, masyarakat Indonesia harus cepat memperoleh kepastian tentang nilai yang menjadi haknya itu. Hal tersebut disampaikan oleh Dr. Bambang Wispriyono, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia di Depok (26/3/2013).

Pihak-pihak yang berpolemik seperti Kementerian Keuangan RI, Kementerian Kesehatan RI, Komisi IX DPR RI, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional, harus sering duduk bersama, tambah Bambang. "Standar menjadi polemik, saya kira itu hal yang wajar. Seperti halnya standar minimal luas lantai rumah sederhana yang belum lama ini jadi polemik, 'kan," ucap Bambang. Pihak-pihak tersebut harus mencari perbedaan yang terjadi. Jika perbedaan itu sudah diperoleh, semua pihak harus saling memahami. "Jika ternyata didapati bahwa nilai Rp 15.483 per orang per bulan yang diusulkan Kementerian Keuangan RI tidak memadai, ya bisa dinaikkan," katanya.

Sebaliknya, jika standar maksimal yang dipasang pihak lain terlalu tinggi, ya nilainya bisa diturunkan. "Jadi, standar minimal yang layak disepakati bersama tanpa merugikan stakeholder seperti RS dan Puskesmas," katanya. Bagaimana bila pada akhirnya nilai yang dipakai Rp 15.483 per orang per bulan yang diasumsikan terlalu rendah? Hal itu sebenarnya tidaklah menjadi persoalan. Sebab, jika dalam pelaksanaan ternyata nilai itu terlalu rendah, revisi bisa dilakukan. "Undang-undang pun bisa diubah, terlebih lagi aturan tentang nilai PBI itu," ungkapnya. Hal yang pasti semua kalkulasi harus berdasarkan rasionalitas dan kajian-kajian yang tepat. Universitas Indonesia sendiri selama ini sudah banyak memberi masukan tentang BPJS Kesehatan.

DPR: Program Menkes Tidak Tepat Sasaran

Sasaran-sasaran strategis dinilai semu.

Jakarta - Anggota Komisi IX DPR RI Poempida Hidayatulloh mengatakan, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi harusnya memprioritaskan sasaran strategis program kesehatan sebagaimana dalam Rencana Keegiatan Program Kementerian. Misalnya, tambah Poempida, persiapan menyambut BPJS yang tidak boleh diremehkan oleh Menkes.

"Sasaran strategis yang mestinya mengakomodasi arah kebijakan justru tidak ada," ujar Poempida dalam rilis yang diterima Jaringnews.com hari ini.

Poempida mencontohkan sasaran strategis untuk peningkatan ketersediaan, pemerataan, keterjangkauan, jaminan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu obat, alat kesehatan, dan makanan serta daya saing produk dalam negeri adalah meningkatnya ketersediaan dan pengawasan obat dan makanan.

"Kesannya arah kebijakan kok bisa lebih detail dari sasaran? Sasaran sangat tidak mengakomodasi arah kebijakan," ujar dia.

Poempida juga mempertanyakan sasaran-sasaran strategis lain yang dinilai semu. "Mana sasaran dari arah kebijakan penanggulangan bencana dan krisis kesehatan? Mana sasaran untuk peningkatan upaya kesehatan yang menjamin terintegrasinya pelayanan kesehatan primer, sekunder dan tersier? Mana sasaran untuk peningkatan kualitas manajemen pembangunan kesehatan, sistem Informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi Kesehatan?" tanya Poempida.

"Menkes semestinya benar-benar serius memperhatikan kebutuhan kesehatan rakyat," kritik politikus Golkar ini.

(sumber: jaringnews.com)

Askes akan Hentikan Penjaminan DSA Stroke

25mar-kkiRapat Penjaminan DSA ke Stroke (Senin, 23/3/2013)Jakarta-PKMK. PT Asuransi Kesehatan (Askes) merencanakan menghentikan sementara penjaminan terhadap pengobatan stroke dengan cara Digital Substraction Angiography (DSA). Sebab, berdasarkan sejumlah rekomendasi dari pakar ataupun tim dokter menteri, DSA bukanlah tindakan terapi, tetapi tindakan diagnostik. "Akan tetapi, jika dalam kelanjutannya ada rekomendasi bahwa DSA adalah tindakan terapi, tentu Askes akan menjamin klaim terhadap hal itu," kata Dr. dr. Fahmi Idris, Direktur Utama PT Askes, dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta (Senin, 25/3/2013).

Fahmi mengatakan, pihaknya berharap bahwa Komisi IX DPR RI segera mendorong penyelesaian debat tentang posisi DSA tersebut. Askes sebelumnya telah meminta masukan dari banyak pihak terkait posisi DSA. "9 Januari 2013, Profesor Yusuf Misbah menyatakan bahwa DSA tidak pernah dilakukan di Indonesia. Tidak ada literatur tentang DSA." Kemudian, 17 Januari 2013, ada pendapat perorangan yang menyatakan bahwa DSA itu tindakan terapi. "Selanjutnya, 28 Januari, ada kesimpulan para ahli yang menyatakan bahwa DSA adalah tindakan diagnostik," ujar dia.

Bila nantinya Konsil Kedokteran Indonesia dan Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa DSA adalah tindakan terapi, tentu Askes akan menjamin biaya untuk itu. "Kalau DSA terbukti mampu mencegah stroke, ya mengapa pula tidak dijamin," kata Fahmi. Sementara, dalam rapat yang sama, dr. Terawan Agus Putranto, Sp. Rad., mengatakan bahwa kini yang perlu dilakukan adalah deteksi dini terhadap penyakit stroke. Itu sering tidak dirasakan oleh penderita sehingga ia tiba-tiba sakit. "Hal Yyang sangat menakutkan adalah stroke yang silent," kata dokter yang menjalankan pengobatan DSA bersama timnya di RSPAD Gatot Subroto. Dalam mendeteksi stroke, pihaknya menggelar langkah komprehensif bersama sejumlah dokter ahli mata, neurologi, penyakit dalam, dan lain-lain. "Melalui alat imaging, kami bisa mengetahui bahwa seseorang berpotensi kena stroke ataupun pernah terkena penyakit itu," kata Terawan.