Gizi buruk jadi alat politis

JAKARTA – Tidak dapat dipungkiri angka gizi buruk terus membengkak walaupun pemeritah mengklaim bahwa angka gizi buruk terus menurun. Berbagai indicator tingginya angka gizi buruk karena himpitan ekonomi, tidak meningkatnya kualitas hidup.

Seringkali angka gizi buruk dimanipulasi oleh pemangku kebijakan sehingga sering faktaa yang disajikan berbeda dengan realiasnya.

Target jumlah balita penderita gizi kurang yang ditentukan dalam Millenium Development Goals (MDGs) 2015 yaitu 15 persen dari jumlah balita, dan sampai 2012 angka prevalensi gizi kurang pada balita di Indonesia itu masih pada kisaran 17,9 persen.

Lembaga sosial The Adventist Development and Relief Agency International (ADRA) meminta data penderita gizi buruk disajikan pemerintah daerah, harus bebas dari intervensi politik.

"Data gizi buruk biasanya akan menjatuhkan seorang kepala daerah atau pihak lain, terutama saat pilkada. Pada sisi ini lah data akhirnya tidak disajikan sesuai fakta," kata Project Manager ADRA di Gorontalo, Yosephine Sherly Bidi, kemarin.

Padahal kata dia, gizi buruk merupakan masalah kesehatan yang berdampak luas bagi masa depan anak, serta kualitas generasi penerus bangsa.

Anggota Komisi IX DPR RI Zuber Safawi mengatakan, intervensi politik dengan memanipulasi angka gizi buruk dapat menjadi "bom waktu" akibat keterlambatan penanganan.

"Dengan memanipulasi data akan berakibat pada persoalan gizi tidak tertangani secara tepat dan hal tersebut akan menjadi 'bom waktu' di masa mendatang karena keterlambatan penanganan gizi buruk," ujar Zuber di Jakarta, hari ini.

Dia menegaskan intervensi politik pada data gizi buruk jelas akan berdampak negatif bagi peningkatan kesehatan masyarakat di daerah, sebab dengan data acuan tingkat gizi buruk yang salah maka akan berakibat pada penanganan yang salah pula.

Menurut dia, apabila benar ada pemda yang melakukan intervensi terhadap data gizi buruk demi kepentingan karir politiknya, maka hal itu merupakan tindakan pengecut yang mengorbankan rakyat. "Kalau benar ada intervensi pemda dengan memanipulasi data , ini merupakan tindakan pengecut," kata dia.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi dalam seminar Gizi di Jakarta khawatir, Target jumlah balita penderita gizi kurang yang ditentukan dalam Millenium Development Goals (MDGs) 2015 yaitu 15 persen dari jumlah balita.

"Tanpa kerja keras semua pemangku kepentingan, saya khawatir target MDGs itu tidak tercapai," katanya.

Kekhawatiran itu beralasan karena angka prevalensi anak kurang gizi tahun 2007 tercatat 18,4 persen sehingga terjadi penurunan hanya 0,5 persen selama lima tahun atau hanya 0,1 persen per tahun. Dengan upaya yang sama maka target MDG's selesai 29 tahun lagi, ini tidak boleh terjadi dan semua daerah wajib menggalang kekuatan untuk menuntaskan kasus gizi buruk lebih cepat.

"Saya minta agar masyarakat dan swasta bersama-sama mengatasi masalah gizi di Indonesia ini khusunya ibu hamil dan anak," katanya.

Dia mencontohkan kasus kematian bayi Dera di Jakarta terjadi karena sang ibu tidak mendapatkan nustrisi yang cukup selama mengandung. "Kita juga harus memperhatikan hulunya yaitu mengenai gizi buruk dari ibu hamil," ucap Nafsiah.

Menkes secara tegas meminta seluruh pemangku kepentingan di jajaran kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, posyandu maupun puskesmas pembantu lebih intensif melakukan monitoring terdahap ibu hamil dan balita dengan kondisi gizi yang pas-pasan.

"Aktifkan kembali monitoring melalui kader-kader Posyandu sehingga mereka sadar perlunya gizi yang baik bagi ibu hamil dan balita,"katanya.

Di tengah pesimisme akan target MDS yang sulit tercapai, sejumlah daerah justru berhasil menekan angka balita gizi buruk. Mereka tak henti-hentinya memberikan dukungan pada kegiatan Puskesmas dan Posyandu untuk memantau kesehatan ibu hamil dan balita serta menyediakan unit khusus utnuk menangani gizi buruk.

(sumber: www.waspada.co.id)

Sistem Pelayanan Kesehatan di RI Masih Belum Dijamin

JAKARTA - Ketua Panitia Dies Natalis Universitas Indonesia (UI) Ratna Dwi Retuti mengatakan saat ini sistem pelayanan kesehatan di Indonesia masih belum dijamin sepenuhnya oleh penjamin dana kesehatan.

"Menurut rencana pada 2014, Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) akan diberlakukan untuk menjamin dana kesehatan," ujar Ratna, saat orasi ilmiah, di Aula FKUI Salemba, Jakarta, Rabu (27/2/2013).

Ratna menambahkan, perubahan era penjaminan kesehatan tersebut tentu memerlukan kesiapan seluruh komponen pelaku kesehatan. Baik pada pasien, dokter dan tenaga kesehatan lain, serta Fakultas Kedokteran sebagai institusi yang menyiapkan tenaga dokter.

"Orasi ilmiah kali ini akan mengupas hal-hal yang berkaitan dengan sistem jaminan kesehatan khususnya dari perspektif Fakultas Kedokteran dan dokter," tambahnya.

"Harapannya semoga kegiatan ini bermanfaat untuk meningkatkan sistem pelayanan kesehatan baik dari segi kuantitas, jangkauan pelayanan maupun kualitas pelayanan," tuturnya.

Sekadar informasi, lulusan dokter Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) melakukan orasi ilmiah yang merupakan salah satu kegiatan yang diadakan secara tiap rutin setiap tahun dalam rangka Dies Natalis Universitas Indonesia (UI) di Tingkat Fakultas Kedokteran yang ke-63.

(sumber: economy.okezone.com)

Millenium Development Goals 'sulit tercapai' di Indonesia

Tenggat pencapaian komitmen pembangunan millenium atau Millenium Development Goals (MDGs) tinggal 2 tahun lagi, dan masih banyak target yang dianggap sulit tercapai.

Walaupun mengatakan akan terus menggenjot kemampuan mencapai target, Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Millenium Develompment Goals (MDGs) mengàkui ada tiga target MDGs yang sulit dicapai pada tahun 2015, yaitu target penurunan angka kematian ibu melahirkan, target penurunan angka penyebaran virus HIV/AIDS, serta akses air bersih dan sanitasi dasar.

Asisten Utusan Khusus Presiden Indonesia untuk pembangunan millennium (MDGs) Diah Saminarsih mengatakan ada sejumlah faktor yang membuat ketiga target itu sulit tercapai, di antaranya pembangunan yang belum merata, buruknya infrastruktur, dan kualitas pelayanan kesehatan yang tidak sama antar provinsi.

Contohnya, daerah-daerah yang hanya memiliki satu sarana Puskesmas dengan jarak yang jauh dan kondisi jalan yang buruk menyebabkan angka kematian ibu melahirkan tetap tinggi setiap tahunnya. Selain itu kondisi ini juga diperburuk dengan kurangnya tenaga kesehatan di daerah, terutama di daerah terpencil di Indonesia.

Kondisi ini menurut Diah akan sedikit lebih baik, jika saja program keluarga berencana atau KB tetap berjalan.

"Population control itu menjadi salah satu penyebab utama kenapa angka kematian ibu terus bertambah. Karena, dengan tidak adanya KB ini sekarang, itu menyebabkan akses terhadap kontrasepsi juga menurun. Itu membuat faktor resiko ibu kematian ibu saat melahirkan meningkat. Makin sering dia hamil dan melahirkan, faktor resiko dia bertambah terus."

Untuk mencapai tujuan MDG mengenai kesehatan ibu, Indonesia harus menurunkan angka kematian ibu saat melahirkan menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada 2015 dari angka saat ini yang setinggi 228 per 100.000 kelahiran.

Sementara itu, pencapaian target MDG terkait HIV/AIDS sulit tercapai karena, fakta menunjukan, dalam lima tahun terakhir jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia terus bertambah.

Saat ini, menurut data Kementerian Kesehatan Indonesia, sedikitnya ada 6.300 kasus AIDS dan 20.000 kasus HIV sejak 1987. Meskipun sulit, namun ,menurut Diah Saminarsih, pemerintah terus berupaya dan bekerjasama dengan sejumlah kementerian agar penurunan bisa dicapai meski melebihi tahun 2015.

"Kalau dari kantor kita saja, kita memilih intervensi kesehatan primer jadi kita memperkuat level Puskesmas baik dari sisi sumber daya maupun alat kesehatan dasar yang harus ada di Puskesmas, kita berusaha untuk itu. Jadi kita merekrut dan mengirim tim profesional kesehatan dari dokter, bidan, perawat dengan pemerhati kesehatan untuk memperkuat sistem kesehatan primer."

Sementara itu upaya pemerintah memenuhi target MDG di tengah keterbatasan dana pembangunan ini diapresiasi Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartika Sari. Terkait upaya menekan tingginya angka kematian ibu melahirkan, Dian mengusulkan agar pemerintah melakukan langkah terobosan. Salah satunya memberikan beasiswa sekolah bidan untuk perempuan di desa.

"Biasanya bidan yang ditempatkan di daerah itu ada banyak masalah, mereka harus menyesuaikan diri, mereka tidak kerasan lalu pulang tetapi kalau anak-anak di daerah itu setelah tamat SMA kemudian mereka mendapatkan beasiswa untuk menjadi bidan sehingga setiap desa ada bidan. Saya kira juga itu akan menolong mengurangi angka kematian ibu melahirkan."

(sumber: www.radioaustralia.net.au)

Pemerintah Melupakan Fungsi Apoteker

Jakarta - Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menilai, pemerintah telah melupakan peran penting apoteker, terutama dalam menyusun kerangka infrastruktur ke arah pelayanan kesehatan semesta seperti diamanatkan di dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Dalam Rakernas yang digelar di Jakarta pada tanggal 15-16 Februari dan diikuti oleh apoteker dari seluruh Indonesia, IAI memberikan beberapa catatan kritis atas kinerja apoteker dalam dunia kesehatan belakangan ini. Dan salah satu kesimpulan penting dari Rakernas ini adalah perlunya dilakukan dialog dengan pemerintah untuk memastikan peranan apoteker di dalam perangkat penunjang keberhasilan pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Semesta mendapatkan porsi yang layak.

"Saat ini, apoteker masih dilihat hanya sebagai penjual obat, atau bahkan pembantu penjual obat. Padahal, apoteker merupakan profesi kesehatan yang penting dalam mendukung pemerintah melaksanakan amanat UU SJSN, maka dari itu peranan dan fungsinya dalam tatanan SJSN pun harus dipertimbangkan. Bukan sekedar dilihat hanya sebagai penjual obat," ungkap Dani melalui siaran persnya di Jakarta, Senin (25/2/2013).

"Saat ini, kami apoteker belum dilihat sebagai salah satu mitra profesi kesehatan di dalam SJSN," tambah Dani.

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, Dani menjelaskan, yang dihitung dalam proporsi reimbursement yang dilakukan oleh BPJS terhadap klaim dari pelayanan kesehatan hanyalah porsi harga obat, penggunaan alat medis dan jasa dokter saja.

"Jasa apoteker tidak diperhitungkan di dalamnya," ujarnya.

Padahal, berdasarkan pasal 108 UU No.36/2009 tentang Kesehatan, segala pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan obat harus dilakukan oleh seorang apoteker. Dani juga menjelaskan bahwa secara profesi, apoteker dapat menunjang hasil diagnosa dari dokter dengan memberikan pendapat dari segi efektifitas pengobatan dan kinerja dari obat itu sendiri.

"Seringkali dokter kurang memahami mengenai reaksi obat yang satu dengan yang lainnya. Hal ini merupakan materi yang dikuasai oleh seorang apoteker. Dengan adanya dialog interaktif antara dokter dengan apoteker, tentunya masyarakatlah yang akan lebih diuntungkan. Rumah sakit juga bisa lebih efektif dalam menyusun budget pembelian obatnya," jelas Dani lagi.

Perlu sinergi

Dani juga mengemukakan pentingnya sinergi antara apoteker dan dokter. Menurutnya, profesi apoteker menguasai berbagai hal yang terkait dengan reaksi obat, molekul dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan penatalaksanaan obat. Sedangkan bidang kedokteran mempelajari anatomi tubuh manusia beserta penyakitnya. Komunikasi yang efektif antara kedua profesi ini dapat memberikan masyarakat kepastian akan pelayanan kesehatan yang menyeluruh, tidak hanya dalam diagnosanya saja tetapi juga molekul obat yang cocok untuk dirinya.

"Bila saja ada sinergi antara dokter yang melakukan diagnosa atas penyakit dan apotekernya mengenai obat yang kiranya cocok untuk kesehatan pasien, tentunya akan sangat membantu masyarakat," jelas Dani.

Selain itu, tingkat rasionalitas penggunaan obat pun akan meningkat. Masyarakat tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membeli berbagai obat yang sebenarnya tidak diperlukan. Kemudian akan ada mekanisme check and balance antara dokter dan apoteker untuk mencari obat yang cocok.

"Jadi bukan sekedar mengakomodasi pesan sponsor dari perusahaan farmasi, seperti yang sudah sering disinyalir," tutur Dani.

Dani menjelaskan, jika profesi apoteker diberi peranan yang memadai dalam kerangka SJSN, apoteker dapat membantu penghematan pengeluaran rumah sakit dalam hal pembelian dan pengadaan obat. "Apoteker adalah profesi yang mempelajari mengenai obat-obatan. Kelebihan dan kekurangan suatu molekul obat merupakan bidang yang dikuasai oleh apoteker. Karena itu, jika apoteker diberi peran konsultatif dalam penatalaksanaan penyakit, kami akan dapat melakukan penyortiran dari molekul-molekul obat yang lebih dibutuhkan oleh RS dengan mempelajari demografi pasien yang berkunjung ke rumah sakit tersebut dan jenis penyakit yang sering ditangani oleh RS tersebut," papar Dani.

(sumber: health.kompas.com)

Wamenkes : Nilai Iuran PBI Belum Ditetapkan

Wamenkes RI dan Anggota Komisi IX DPR saat melakukan pembahasan Nilai Penerima Bantuan Iuran (PBI), Jakarta (25/2/2013)Jakarta-PKMK. Nilai Penerima Bantuan Iuran (PBI) untuk warga miskin peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) belum ditetapkan sampai saat ini. Nilai tersebut akan ditetapkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) ataupun Keputusan Presiden (Keppres) ke depannya. "Jadi, tidak mungkin cuma berbentuk Surat Edaran Menteri Keuangan seperti yang dikatakan di sebagian kalangan," ungkap Prof. Ali Ghufron Mukti, Wakil Menteri Kesehatan RI, dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta, Senin (25/2/2013).

Kementerian Kesehatan terus berkoordinasi dengan lembaga pemerintah yang lain seperti Kementerian Keuangan untuk penentuan nilai PBI itu. Pihaknya bisa memastikan bahwa nilai tersebut belum ditetapkan secara resmi hingga saat ini. "Surat dari Menteri Keuangan yang menyebutkan bahwa nilai PBI sebesar Rp 15.500-an per orang per bulan, merupakan jawaban dari Menteri Keuangan terhadap pertanyaan dari Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). "Bukan keputusan resmi dari Pemerintah Indonesia," ucap mantan wakil dekan FK UGM tersebut. Ghufron menambahkan, Kementerian Kesehatan mengusulkan nilai BPI sebesar Rp 22.201 per orang per bulan. Jadi harapannya besaran biayanya bukan Rp 15.500 per orang per bulan.

Kemudian, ia menjelaskan bahwa pengusulan nilai Rp 22.201 per orang per bulan itu didasari sejumlah hal. Misalnya agar terjadi penguatan pelayanan kesehatan berbagai tingkatan dan sistem rujukan. Pun, dengan nilai tersebut, diharapkan bahwa kesinambungan program BPJS terjadi. "Kenaikan jumlah pasien pasti terjadi akibat terselenggaranya BPJS," ucapnya.Kebutuhan anggaran untuk PBI di tahun 2014 sebesar Rp 25,68 triliun. Hal ini berarti 1,57 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia.

Indonesia Akan Buat Pusat Hati Pertama

Jakarta - Banyaknya kasus penyakit hati yang ada di Indonesia dan belum ada penanganan terpadunya, tercetus ide untuk membuat Pusat Hati pertama.

"Rencananya di bulan April, kami sudah buka center of liver," ujar Direktur Operasional Rumah Sakit Petramedika Sentul City, Kamelia Faisal yang ditemui di Hotel Indonesia, Sabtu (23/2). Tapi operasional pusat layanan hati baru aktif total mulai September 2013.

Ide memiliki pusat layanan hati, Kamelia menjelaskan, adalah dengan melihat jumlah populasi penderita hati di Indonesia. Ia tidak bisa mengingat angka tepatnya, tapi berdasar data dari Kementerian Kesehatan penyaki ini menempati diderita 15 persen penduduk Indonesia. "Tiga persennya, hepatitis (B & C), tumor dan Sirosis (pengerasan) hati." Dari pengalaman Kamelia sendiri pun, di keluarganya ada dua orang yang menderita gangguan hati.

Kamalia menuturkan, penderita hati sering mendapatkan salah deteksi dari awal. Jadi mereka digiring ke dokter penyakit dalam (internis). Ketika ternyata dirawat tidak sembuh, baru ketahuan ada gangguan hati yang tentunya stadiumnya sudah bertambah buruk. Akibatnya perawatannya pun jadi lebih mahal dan berat.

Dengan adanya pusat layanan hati ini, diharapkan bisa deteksi dini sehingga bisa diselamatkan dari awal. Saat ini, di RS Pertamedika sudah tersedia 10 dokter yang khusus menangani di pusat layanan hati, para dokter itu pun secara bertahap akan mendapat pelatihan dengan pusat Hati dari Kobe Jepang.

(sumber: www.suaramerdeka.com)

Langkah Pemerintah Makin Mantap dalam Memerangi HIV-AIDS

Yogyakarta, Pemerintah memiliki target agar Indonesia terbebas dari kasus baru HIV-AIDS di tahun 2015. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah berupaya meningkatkan berbagai sarana informasi dan fasilitas kesehatan yang mencakup seluruh wilayah di Indonesia.

HIV merupakan kependekan dari Human Immunodeficiency Virus, sedangkan AIDS adalah kependekan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome, dimana keduanya merupakan penyakit yang terjadi karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus.

Jika tidak segera ditangani, pasien dengan HIV akan mengembangkan AIDS dan akhirnya meninggal dunia karena daya tahan tubuhnya semakin menurun. Semakin dini diagnosa terhadap HIV, maka pengobatan akan lebih cepat diberikan sebelum HIV berkembang menjadi AIDS.

Sayangnya, masih banyak orang yang berisiko tinggi terhadap HIV-AIDS dan belum memeriksakan dirinya ke dokter untuk memastikan apakah positif terinfeksi atau tidak. Alasannya, mungkin disebabkan karena kurangnya informasi tentang bagaimana seseorang dikatakan berisiko atau rasa takut jika benar-benar dinyatakan positif mengidap HIV-AIDS.

HIV-AIDS dapat ditularkan melalui hubungan seks, penggunaan jarum suntik yang terkontaminasi HIV oleh pemakai narkoba atau perawatan kesehatan, transfusi darah, kehamilan (ibu kepada bayinya), dan terjadinya luka akibat pemakaian benda yang telah digunakan oleh pasien AIDS.

Menurut data dari Kementrian Kesehatan, jumlah kasus HIV di Indonesia mencapai 15372 kasus dan AIDS sebanyak 3541 kasus. Jumlah ini bersifat kumulatif sejak tahun 1987 hingga tahun 2012, karena orang yang telah terinfeksi virus ini tidak dapat disembuhkan dan kasusnya akan terus tercatat dan terakumulasi.

"Sehingga adanya peningkatan jumlah kasus HIV-AIDS dapat dijadikan indikator keberhasilan pihak pemerintah dalam mensosialisasikan informasi tentang HIV-AIDS dan menyadarkan orang yang berisiko tinggi untuk melakukan uji HIV-AIDS," kata Drs. A. Riswanto, M.Si, sekretaris KPA provinsi Yogyakarta, dalam acara temu media di Yogyakarta, Kamis (21/2/2013).

Pemerintah Indonesia sangat serius dalam menanggulangi HIV-AIDS dengan meningkatkan informasi untuk mencegah perilaku berisiko HIV-AIDS. Selain itu, pemerintah juga berharap bahwa tidak akan muncul lagi kasus-kasus HIV-AIDS yang baru ke depannya.

Riswanto menyatakan bahwa pemerintah telah meningkatkan potensi dan fasilitas beberapa rumah sakit di kabupaten atau kota agar mampu merawat dan mengobati kasus AIDS. Di kota Yogyakarta sendiri contohnya, telah ada 7 rumah sakit yang mampu menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan terhadap HIV-AIDS, seperti RSUP Dr. Sardjito, RSU Panti rapih, RSU Bethesda, dan lain sebagainya.

Selain itu, dinas kesehatan juga memberikan pelatihan terhadap tenaga medis di rumah sakit lain, puskesmas, dan bahkan klinik kesehatan agar mampu mengidentifikasi HIV-AIDS dan merujuk pasien ke rumah sakit pusat untuk mendapatkan diagnosa yang lebih akurat.

Adanya kerja sama yang baik dari berbagai instansi kesehatan ini dapat mempermudah langkah pemerintah dalam mengentaskan kasus HIV-AIDS dan mewujudkan misi untuk membebaskan Indonesia dari kasus baru HIV-AIDS.

(sumber: health.detik.com)

Sistem Gawat Darurat Jakarta Perlu Diupayakan Online

Jakarta-PKMK. Sistem Gawat Darurat Terpadu untuk rujukan RS ke Jakarta akan diupayakan bisa diakses online. Dengan demikian, proses rujukan pasien bisa lebih cepat dan efektif, ungkap Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan RI di Jakarta (21/2/2013). Ia menambahkan, Kementerian Kesehatan menerima saran dari Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, untuk menambah jumlah fasilitas NICU (neonatal intensive care unit) di RS. Kini, di Jakarta ada 146 rumah sakit dengan fasilitas MICU. "Sementara, total jumlah tempat tidur NICU kini ada 143 unit," katanya.

Dengan demikian, jumlah tersebut memang perlu ditingkatkan. "Idealnya, di Jakarta ada 150 sampai 300 buah tempat tidur NICU." Katanya, saat ini Kementerian Kesehatan tengah meneliti penyebab jumlah fasilitas NICU itu tidak cukup. "Yang jadi perhatian kami adalah mengurangi jumlah pasien yang perlu dirawat dengan fasilitas NICU," jelas Nafsiah. Di samping penambahan fasilitas NICU, ia berkata, kondisi sumber daya medis yang mengoperasikan juga perlu diperhatikan.

Nafsiah menegaskan, pihaknya tidak menyetujui usulan dari Komisi IX DPR RI untuk mengadakan tempat tidur NICU di Puskesmas di Jakarta. Sebab, Puskesmas pada prinsipnya bukan tempat untuk upaya kuratif penanganan kesehatan. "Kementerian Kesehatan kini sedang fokus agar Puskesmas menjadi tempat upaya promotif dan preventif kesehatan masyarakat," tutup Nafsiah.