Pemerintah Wujudkan Universal Health Coverage Walau Terkendala Geografis

Ungkit penduduk miskin dan hampir miskin dengan pembentukan basis data terpadu

Jakarta - Penyediaan Universal Health Coverage (UHC) kepada seluruh rakyat Indonesia memerlukan proses dan waktu, terutama mengingat besarnya jumlah penduduk Indonesia serta kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari lebih dari 17 ribu pulau. Namun demikian, berbagai tantangan tersebut tidak akan menyurutkan kebijakan Pemerintah dalam meneruskan langkah-langkah menuju tercapainya UHC.

Demikian pernyataan Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti saat menjadi salah satu panelis utama pada salah satu Roundtable Discussion pada kegiatan Ministerial-level Meeting on Universal Health Coverage yang bertema "Country Experiences with Health Financing Reforms for Universal Health Coverage". Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh World Health Organization (WHO) bekerjasama dengan World Bank, bertempat di Markas Besar WHO, Jenewa, Swiss (18/2).

"Pemerintah RI terus mengambil berbagai kebijakan yang diperlukan dalam rangka memberikan "Universal Health Coverage" kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia", ujar Ali Ghufron.

Ali Ghufron menerangkan, cakupan jaminan kesehatan di Indonesia pada saat ini telah mencapai 86,4 juta penduduk miskin dan hampir miskin. Kedepannya, 5 buah skema asuransi kesehatan yang ada diharapkan akan dapat digabungkan (merged) pada tahun 2014 untuk mempermudah seluruh lapisan masyarakat mendapatkan manfaat dari penerapan UHC di Indonesia.

Menurut Ali Ghufron, salah satu inisiatif yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah RI dalam meningkatkan daya ungkit penduduk miskin dan hampir miskin adalah pembentukan basis data terpadu, yang dilakukan di bawah koordinasi kantor Wakil Presiden RI, yaitu Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).

"Dengan adanya unifikasi data tersebut penyaluran bantuan terkait program kemiskinan, termasuk penyediaan UHC, akan memiliki dampak yang lebih maksimal", kata Ali Ghufron.

Ali Ghufron berpandangan bahwa penerapan UHC memerlukan political will yang kuat dari seluruh komponen di Pemerintahan, khususnya Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan.

Kegiatan yang dihadiri oleh para pejabat tinggi Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan dari sekitar 30 negara ini merupakan forum tukar pengalaman serta pemikiran di antara Negara-negara anggota WHO dalam mengimplementasikan jaminan kesehatan di negaranya masing-masing. Diharapkan para delegasi juga dapat mengidentifikasi langkah-langkah yang dapat dilakukan bersama oleh masyarakat internasional dalam memajukan UHC di seluruh Negara. Kegiatan ini berlangsung hingga 19 Februari 2013.

(sumber: jaringnews.com)

Warga Indonesia Paling Banyak Berobat ke Singapura

Singapura - Medical tourism (wisata berobat) kini seperti menjadi gaya hidup tersendiri bagi kalangan menengah ke atas. Tak heran jumlah kunjungan wisatawan medis asing ke Singapura selalu melonjak setiap tahunnya, termasuk Indonesia yang berkontribusi besar terhadap peningkatan tersebut.

Menurut laporan dari The Straits Times, jumlah pasien asing yang mencari perawatan medis terus mengalami kenaikan signifikan pasca krisis ekonomi global pada 2008.

Saat ini lima negara Asia tercatat sebagai penyumbang wisatawan medis teratas yang menyambangi Singapura, bahkan mengalahkan Amerika dan Inggris. Hal ini menunjukkan bila negeri Singa itu masih menjadi salah satu tujuan favorit medical tourism dunia.

Berdasarkan data statistik dari Departemen Kesehatan Singapura dan Singapore Tourism Board seperti dilansir dari TTG Asia, Selasa (19/2/2013), total wisatawan medis ke Singapura menembus 35.959 pengunjung pada 2011.

Anggaran yang dihabiskan untuk melakukan medical tourism hampir satu miliar dolar Singapura atau setara dengan US$ 806,90 miliar atau naik dibanding dua tahun sebelumnya.

Dari jumlah wisatawan itu, Indonesia menyumbang 47,2%, disusul Malaysia 11,5%, Bangladesh sebesar 5%. Kemudian Vietnam 4,1% serta 2,7% merupakan warga Myanmar.

"Mayoritas dari wisatawan medis memilih perawatan kesehatan di rumah sakit swasta karena prosedur lebih mudah dan murah sebagai warga asing yang memang tidak mendapat subsidi dari pemerintah Singapura," kata The Strait News. Selain itu, sebagian besar wisatawan datang untuk melakukan bedah umum.

Sementara seorang ahli kesehatan setempat mengatakan, warga Amerika Serikat dan Inggris justru lebih memilih Singapura untuk mendapatkan pelayanan medis dengan harga terjangkau. Dan kini, Thailand, Malaysia serta India berlomba ikut memasang tarif kompetitif demi menjaring wisatawan medis. (Fik/Ndw)

(sumber: bisnis.liputan6.com)

Pemerintah Tidak Serius Implementasikan UU Rumah Sakit

Sekali lagi publik terenyuh menyaksikan berita bayi bernama Dera yang memerlukan perawatan namun ditolak Rumah Sakit karena tidak dapat punya biaya. Padahal berbagai program, seperti Jamkemas dan Jakarta Sehat, dapat dimanfaatkan untuk keperluan tersebut.

Menurut anggota Komisi IX Poempida Hidayatullah, jika memang masih terjadi praktek penolakan seperti ini, berarti Pemerintah tidak serius dalam mengimplementasikan UU Rumah Sakit.

"Masalah serupa ini pun kian ramai seiring persiapan implementasi BPJS di awal tahun 2014 mendatang," sambung Poempida yang politisi Golkar ini kepada LICOM, pagi ini, Senin (18/2/2013).

Masalah kesehatan adalah masalah yang absolut. Tidak boleh dilaksanakan berdasarkan situasi yang mengambang. Hal ini karena berhubungan dengan jiwa dan raga manusia yang harus diperlakukan dengan perhatian penuh dan menggunakan segala kehati-hatian.

"Empati kemanusiaan pun harus menjadi pondasi dari basis sosial program kesehatan ini. Jika permasalahan ini terus berlanjut, berarti memang tidak ada keseriusan dari pihak pemerintah dalam mengimplementasikan UU Rumah Sakit ini," tambahnya.

Oleh karena itu, interpelasi DPR adalah langkah yang diperlukan untuk memberikan peringatan kepada Pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, akan pentingnya implementasi UU Rumah Sakit yang tidak diindahkan secara serius oleh Pemerintah.

"Tanpa implementasi UU Rumah Sakit ini, saya sangat sulit melihat kesuksesan dalam penerapan BPJS di tahun 2014 mendatang," demikian Poempida. @ari

(sumber: www.lensaindonesia.com)

Sekitar 70 Persen Masyarakat Sakit Gigi dan Mulut

Wonosobo - Sebanyak 70 persen lebih masyarakat Indonesia menderita penyakit gigi dan mulut. Sayangnya, penyakit gigi dan mulut belum menjadi prioritas masalah di Indonesia.

Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Rina Soesetyowati, Minggu (17/2/2013) mengatakan, angka itu diperoleh berdasarkan penelitian riset kesehatan dasar dan kenyataan di lapangan. "Uniknya, penyakit ini bukan hanya membicarakan angka kesakitan semata, namun juga berbicara estetika penampilan wajah," katanya.

Rina mengatakan, saat ini estetika penampilan wajah menjadi tuntutan masyarakat dan dunia kerja. Artinya, persoalan penyakit gigi dan mulut menjadi awal berkurangnya daya saing tenaga kerja.

Selain itu, kebutuhan masyarakat akan pentingnya penampilan ini dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Di antaranya , bermunculan oknum yang tidak berijazah dokter gigi namun mengaku bisa memasang kawat gigi. Hal ini merupakan bentuk praktik yang bisa membahayakan masyarakat.

"Diharapkan bila masyarakat mendapat pelayanan kesehatan gigi dan mulut dengan benar, maka tidak hanya terhindar dari penyakit gigi dan mulut, namun juga mampu menjaga penampilan wajahnya sehingga tidak rendah diri dan mudah mencari kerja," katanya.

(sumber: regional.kompas.com)

Harga Obat Berpotensi Naik

Semarang - Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar mulai memukul industri farmasi yang 90% bahan bakunya diimpor dari luar negeri. Hal itu menyebabkan, sejumlah produsen obat-obatan dipastikan akan menaikkan harga jual produknya pada tahun ini.

"Saat rupiah kian melemah, biaya impor pun bertambah. Hal ini berpotensi akan terjadi kenaikan harga obat di tahun ini," ungkap Djakfarudin Junus, Direktur Utama PT Indofarma Tbk, Kamis (14/2).

Ia menuturkan, komponen harga obat antara lain bahan baku, biaya pengolahan, biaya kemasan, biaya distribusi, biaya pemasaran serta biaya administrasi. Sementara biaya bahan baku menyumbang sekitar 25%-30% dari beban keseluruhan. Selama ini industri farmasi memperoleh 90% bahan baku impor. Pasokan bahan baku impor terbanyak dari China hingga 75%. Disusul India 20% dan sisanya negara Eropa.

"Namun kami masih belum bisa memproyeksikan berapa besar kenaikan harga obat pada tahun ini. Sebab tergantung strategi bisnis setiap perusahaan. Biasanya, sebelum menaikkan harga jual perusahaan masih mempunyai pilihan lain. Apalagi jika daya beli konsumen rendah," paparnya.

Sementara itu, Direktur Keuangan PT Kalbe Farma Tbk Vidjongtius menilai, pelemahan rupiah tak serta merta mengerek naik harga obat. Meski 90% bahan baku farmasi impor, sejauh ini pelemahan rupiah belum membuat harga bahan baku naik tajam.

Apalagi, impor bahan baku memakai management stock. Tapi ia tak menyangkal perusahaan farmasinya punya opsi menaikkan harga obat jika rupiah terus melemah lebih dari empat bulan. "Jika harga obat tidak naik, perusahaan lebih memilih efisiensi bahan baku dan SDM sampai mengurangi margin keuntungan," ujarnya.

Ketua Umum GP Farmasi Jateng, Dr Koesbintoro Singgih mengatakan, pengusaha farmasi banyak mendapatkan tantangan. Utamanya menghadapi praktik Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) 2014 dan Asean Charter 2015. Pemerintah telah mengeluarkan UU Nomor 40/2004 tentang SJSN.

Berdasarkan UU itu telah dibentuk pula UU Nomor 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). SJSN di bidang kesehatan itu akan diberlakukan secara nasional mulai 1Januari 2014. Transformasi tersebut dinilai sebagai peluang sekaligus tantangan bagi perkembangan industri farmasi.

"Praktik SJSN nantinya ikut pula mengerek besarnya anggaran pengeluaran kesehatan dari 2% menjadi 5% dari Gross Domestic Product (GDP). Maka, anggaran untuk kesehatan dan obat akan meningkat drastis," katanya.

(sumber: www.suaramerdeka.com)

Masih Ada 88 Juta Orang Indonesia yang Belum Terlindungi BPJS

Baru 63 persen dari total penduduk Indonesia yang terlindungi BPJS.

Jakarta - Dewan Sistem Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyatakan, saat ini jumlah peserta yang akan mengikuti program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah 151 juta jiwa atau 63% dari total jumlah penduduk Indonesia yang pada tahun 2012 tercatat sebesar 239 juta jiwa.

Anggota DJSN Timoer Sutanto mengatakan, masih ada 88 juta jiwa yang masih belum terlindungi program BPJS Kesehatan meski program ini mulai berlaku pada 1 Januari 2014.

Dipaparkan Timoer, dari data yang diterima DJSN, peserta BPJS Kesehatan yang sudah terdaftar adalah Askes Pegawai Negeri Sipil (PNS)/Pensiunan TNI/POLRI sebanyak 17,3 juta, Asabri 2,2 juta, Jamkesmas 76,4 juta, Jamsostek 5,6 juta, Jamkesda 31,8 juta, Asuransi Komersial 2,9 juta, dan Self Insured 15,4 juta.

"Banyak hal yang masih menjadi hambatan terkait data kepesertaan ini, terutama pekerja sektor informal yang masih belum terdeteksi, kami memperkirakan sisa pekerja informal yang masih belum ter-cover sekitar 31 juta jiwa," ujar dia saat ditemui dalam acara Diskusi Kadin tentang Penerapan Sistem Jaminan Sosial di Menara Kadin, Jakarta, Rabu (13/2).

Timoer mengatakan, permasalahan yang terjadi adalah pekerja informal itu jumlahnya tersebar ke seluruh daerah, serta tempat mereka bekerja masih belum terdaftar di beberapa kelembagaan sehingga menyulitkan untuk diperoleh datanya.

"DJSN akan terus bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk memperoleh data akurat terkait pekerja informal ini dan sebelum tahun 2014," ungkap dia

Ditambahkan Timoer, selain akan terus meningkatkan jumlah kepesertaan BPJS kesehatan, DJSN bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan juga akan bertekad untuk memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan. Dia mengatakan saat ini dari data yang diperoleh dari Kementerian Kesehatan, jumlah tempat tidur yang tersedia di rumah sakit berjumlah 120 ribu, pada tahun 2014 jumlah tempat tidur akan ditambah menjadi 240 ribu, jumlah dokter akan ditingkatkan dari 60 ribu tahun ini, menjadi 200 ribu pada tahun 2014. Menurut dia, program penambahan dokter ini Kemenkes telah bekerja sama dengan 62 fakultas kedokteran di seluruh Indonesia untuk menciptakan dokter dokter berkualitas.

"Kami harap para tenaga medis mau ditempatkan di luar Jawa maupun di daerah pelosok, kalau mereka tidak mau, kita akan pikirkan bagaimana caranya yang jelas gajinya dinaikan pasti mereka berminat," tambah Timoer.

(sumber: www.beritasatu.com)

 

Jumlah Perokok Indonesia Semakin Besar

Bandung - Kepala Seksi Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Jawa Barat drg. Yus Ruseno M.Sc. Ph.d mengatakan jumlah perokok di Indonesia terus bertambah dengan umur perokok pemula yang semakin muda.

Diharapkan apa yang dilakukan Universitas Kristen Maranatha (UKM) dapat menjadi contoh yang lainnya untuk mengimplementasikan PP 109/2012.

"Dalam pasal 50 pasal 1 dikatakan tempat proses belajar mengajar harus menetapkan KTR. Pada ayat 4 dikatakan pimpinan harus menetapkan KTR," katanya dalam Sosialisasi UKM adalah Kawasan Tanpa Rokok di Ruang Theater GAP, Kampus UKM, Jln. Surya Sumantri, Kota Bandung, Selasa (12/2/13).

Sementara itu, Koordinator Quit Tabacco Indonesia Dra. Ray.Yayi Suryo Prabandari. M.Si. Ph.D mengatakan kebijakan kampus bebas rokok dinilai cukup efektif untuk mengurangi jumlah perokok di kampus, meskipun penurunannya tidak begitu signifikan. Hal ini seperti yang dilakukan di Universitas Gadjah Mada (UGM).

"Kawasan tanpa rokok di FK UGM sejak 2004 dan di UGM sejak 2008 ada penurunan walaupun tidak terlalu bermakna. Ini perlu pengawasan lagi, setelah agak lama kita suka kecolongan," katanya. (A-208/A-88)

(sumber: www.pikiran-rakyat.com)

Kemenkes Optimistis Laporan Keuangan Tahun 2012 'Bersih'

Jakarta - - Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti optimistis kalau laporan keuangan kementeriannya di 2012 bebas dari korupsi. Ghufron yakin pada 2012 anggarannya akan mendapat status wajar tanpa pengecualian (WTP). Berbeda dengan tahun lalu.

"Ada kasus sedikit yang anda tahu itu, flu burung itu, kalau tidak ada kasus itu mungkin sudah WTP kita," ujar Ali ketika ditemui di Gedung Kementerian Keuangan, Jalan Wahidin Raya, Jakarta, Senin (11/2/2013).

Sebelumnya, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) menilai ada kasus dugaan korupsi yang lebih dahsyat dari kasus korupsi proyek Hambalang. Kasus itu ialah kasus pengadaan vaksin flu burung. Dari kasus tersebut, tercatat kerugian negara mencapai Rp 600 miliar.

Sementara itu, untuk anggaran tahun 2013, Ali yakin tidak ada lagi anggaran yang ditahan Kementerian Keuangan karena tidak lengkapnya dokumen dan Term of Reference (ToR). Pasalnya, waktu yang disediakan untuk mengurusi kelengkapan dokumen tersebut cukup panjang sehingga tidak ada anggaran yang tertahan seperti pada tahun 2012, yaitu anggaran untuk Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BJPS) sebesar Rp 1 triliun.

"Yang tahun 2012 itu tahunya sudah akhir tapi diluncurkan kembali di 2013, ditambah jadi Rp 3 triliun tapi tidak semua untuk BPJS. Itu untuk macam-macam, ada perbaikan perbaikan Puskesmas, infrastruktur, SDM, dukungan untuk BPJS yang lain," pungkasnya.

(sumber: news.detik.com)