Setiap Orang Berhak Peroleh Layanan Kesehatan

BANDUNG, (PRLM).- Semangat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang diusulkan Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Barat (Jabar) secara eksplisit sudah ada dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 H ayat 1. Di dalamnya dinyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

"Tidak hanya itu, dalam UU No 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial juga dinyatakan hak warga Indonesia yaitu, hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial, hak atas standar kehidupan yang memadai, hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai," kata Anggota Komisi E DPRD Jabar, Syarif Bastaman, terkait pengajuan Raperda JPKM.

Raperda JPKM ini terdiri dari 10 bab dan 23 pasal dengan ruang lingkup kepesertaan, hak dan kewajiban peserta, hak dan kewajiban pemberi layanan kesehatan, iuran biaya dan biaya pertanggungan, badan penyelenggara JPKM, pembinaan dan pengawasan, ketentuan penyidikan, ketentuan pidana, dan ketentuan penutup.

Dalam rancangannya, Komisi E menulis, kepesertaan JPKM adalah wajib bagi seluruh warga Jabar. Setiap peserta nantinya memiliki kartu peserta dan memberikan iuran setiap bulan sesuai ketentuan. Iuran masyarakat miskin akan ditanggung oleh pemerintah provinsi, pemerintah kab/kota serta sumber lain sesuai aturan. Sedangkan iuran kelompok informal tidak mampu akan ditanggung pemerintah daerah dan peserta.

Dengan begitu, setiap peserta akan berhak mendapat pelayanan kesehatan komprehensif sesuai paket manfaat yang ditetapkan dan mendapat pelayanan yang baik sesuai standar yang ditentukan UU dan peraturan. Pemberi pelayanan kesehatan (PPK) dalam raperda ini wajib mematuhi mekanisme rujukan berjenjang, memberi pelayanan kesehatan kelas tiga bagi peserta JPKM, dll.

(sumber: www.pikiran-rakyat.com)

Mendesak, Reformasi Sistem Kesehatan

JAKARTA - Masih adanya kasus kelalaian medik membuat penataan sistem kesehatan yang mengutamakan keselamatan pasien perlu segera dilakukan. Dugaan kelalaian medik bisa dipicu kurangnya komunikasi, rendahnya kompetensi tenaga kesehatan, buruknya manajemen fasilitas layanan kesehatan, hingga lemahnya pengawasan.

Desakan itu muncul dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat dengan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan, juga RDP Umum dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), keluarga korban, dan pengelola rumah sakit (RS) tempat dugaan kelalaian medik terjadi, Selasa (15/1).

Dugaan kelalaian medik yang dibahas dalam RDP dan RDP Umum adalah kasus RAP (10) di RS Medika Permata Hijau, Jakarta. Setelah menjalani operasi usus buntu yang dilakukan secara mendadak tanpa pendapat kedua (second opinion) dari dokter lain, 22 September 2012, pasien kini tak bisa melihat, bicara, mendengar, ataupun merespons. Pengelola RS mengatakan, pasien mengalami alergi obat sehingga denyut jantung sempat terhenti.

Kasus lain menimpa EMD (10 bulan) di RS Ibu dan Anak Dedari, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Setelah operasi kasus invaginasi usus (masuknya bagian pangkal usus ke ujung usus), korban mendapat transfusi darah langsung ke vena. Setelah itu, fungsi napas pasien turun dan akhirnya meninggal akibat perdarahan di seluruh organ tubuh.

Kasus lain terjadi pada MS (52) di RS Santa Elisabeth, Medan, Sumatera Utara. Setelah dikuret karena pendarahan di luar menstruasi dan dugaan adanya kista, kandung kemih pasien tersayat hingga kencing tak bisa dikontrol. Setelah dirawat di RS lain, kini pasien harus kencing melalui kateter yang dipasang permanen di ginjal. MKDKI memutuskan ada kelalaian medik dan KKI sudah mencabut surat tanda registrasi (STR) dokter yang pertama melakukan operasi selama dua bulan.

Tempat mengadu

Wakil Ketua Komisi IX DPR yang memimpin sidang, Nova Riyanti Yusuf (Partai Demokrat/ DKI Jakarta II), mengatakan, kasus kelalaian medik yang terungkap umumnya melibatkan pasien dari kelompok ekonomi menengah atas. Pasien miskin lebih banyak pasrah.

Jika ada dugaan kelalaian medik, kata Ketua Divisi Pembinaan Konsil Kedokteran KKI M Toyibi, masyarakat dapat mengadu ke MKDKI-KKI atau ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)-IDI. Pelanggaran yang ditangani MKDKI menyangkut disiplin. Sanksi berupa peringatan tertulis hingga pencabutan STR sementara yang membuat dokter tak bisa praktik.

Pelanggaran yang ditangani MKEK terkait etika. Selain ke MKDKI dan MKEK, korban juga dapat mengadu ke polisi/pengadilan secara pidana atau perdata. Ketiga proses dapat berjalan simultan di ketiga lembaga.

Ketua MKDKI-KKI Ali Baziad mengatakan, pada 2006-2012 ada 183 pengaduan dugaan kelalaian medik. Namun, hanya 88 pengaduan yang dapat diproses dan melibatkan 121 dokter. "Kurangnya komunikasi dokter dan pasien memunculkan banyak ketidakpuasan layanan," katanya.

Dari 121 dokter itu, hanya 57 orang yang terbukti melanggar disiplin. Dari jumlah itu, hanya 26 dokter yang dicabut sementara STR-nya. Jika tak kompeten, dokter sebaiknya merujuk.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia NTT Marthen L Mullik mengatakan, kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan dipicu buruknya manajemen RS. Karena itu, RS tempat terjadinya pelanggaran juga perlu mendapat sanksi dan pembinaan.

Anggota Komisi IX DPR Endang Agustini Syarwan Hamid (Partai Golongan Karya/Jawa Timur V) menambahkan perlunya dokter dan RS mengedepankan empati pada pasien korban dugaan kelalaian medik. Pasien datang untuk mencari kesembuhan dan dokter adalah manusia biasa yang bisa salah.

Menyikapi terus adanya kasus kelalaian medik, Ketua Umum IDI Zaenal Abidin mengatakan pentingnya pembinaan tenaga kesehatan oleh setiap organisasi profesi dan pemerintah, baik dalam persoalan etika, disiplin, maupun kompetensi. "Dokter juga dilindungi hukum saat bekerja sesuai standar profesi," katanya.(MZW)

(sumber: health.kompas.com)

Komisi IX: Tak ada Data Komprehensif Terkait Malpraktik

Metrotvnews.com, Jakarta: Komisi IX sebagai komisi yang membidangi masalah kesehatan, sering kali mendapat surat pengaduan dari masyarakat terkait masalah kasus medis. Pada hari ini, Selasa (15/1), Komisi IX mengadakan rapat dengar pendapat (RDP) dengan mengundang Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan (BUK), Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, Ketua Konsil Kedokteran Indonesia, dan beberapa korban kasus dugaan malpraktik yaitu kasus SS di Rumah Sakit Es Medan, kasus MR di RS MPH Jakarta, dan kasus ED di RS Ddr Kupang.

Nova Riyanto Yusuf, Wakil Ketua Komisi IX dari Fraksi Partai Demokrat, pimpinan RDP, menyadari bahwa tidak ada data komprehensif mengenai kasus dugaan kelalaian medik di Indonesia. Kalaupun ada data tersebut, menurutnya seperti fenomena gunung es. Hal tersebut masih sebatas kasus yang terdokumentasikan, masih banyak kasus lain yang tidak terdokumentasikan, baik karena keluarga korban tidak mau melaporkan kasus yang dialami kepada pihak yang berwenang maupun keluarga korban tidak tahu harus melapor kemana.

Komisi IX menurut Nova Riyanto Yusuf sepakat diperlukannya suatu reformasi di bidang pelayanan kesehatan. "Saya sangat memahami harapan tinggi masyarakat terhadap dokter. Bagi sebagian masyarakat, seorang dokter bahkan dianggap seperti setengah dewa yang akan menyembuhkan penyakit," ujar Nova yang juga berprofesi sebagai seorang dokter.

Namun, di sisi lain, saat ini masyarakat sudah semakin pintar dan kritis. Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah kedokteran dapat dengan mudah diunduh dari internet. Untuk itu Nova mengajak para teman sejawat untuk terus berusaha meningkatkan kualitas pelayanan, juga tidak lupa mempelajari regulasi yang berlaku agar tidak terjeblos dalam potensi kelalaian medik.

Komisi IX berharap tidak ada lagi martir sebelum berbenah untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia.

Setelah mendengarkan keterangan dari berbagai narasumber, termasuk orang tua korban MS dan ED, Komisi IX mendorong pihak Kementerian Kesehatan RI dan Konsil Kedokteran Indonesia, melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, untuk segera memutuskan berbagai kasus dugaan kelalaian medik yang terjadi dengan seobyektif mungkin dan menjatuhkan sanksi kepada rumah sakit dan tenaga kesehatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, Komisi IX DPR RI juga mendesak Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan pengawasan terhadap rumah sakit, sesuai dengan amanat UU Praktik Kedokteran, UU Kesehatan, dan UU Rumah Sakit, sehingga kasus dugaan kelalaian medik di kemudian hari dapat diminimalisir. Komisi IX DPR RI juga meminta laporan tertulis dari Kementerian Kesehatan RI terhadap proses penyelesaian kasus MS di RS Es Medan paling lambat 22 Januari 2013 dan kasus ED di RSIA Ddr Kupang paling lambat 22 Mei 2013.

Lebih lanjut, Komisi IX DPR RI juga mendesak Kemenkes melakukan sosialisasi terhadap prosedur apabila ada masyarakat yang ingin mengadukan kasus dugaan malpraktik yang dialaminya, termasuk juga memberikan fasilitas yang mempermudah proses tersebut, seperti nomor telepon yang mudah dihubungi atau alamat yang jelas.

Nova sangat menyayangkan karena ketika mencoba nomor telepon Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang diklaim sebagai nomor untuk pengaduan kasus malpraktik di nomor 021-31923199, ternyata tidak ada yang mengangkat.

Terakhir, Komisi IX meminta Kementerian Kesehatan RI, IDI, dan KKI untuk merumuskan strategi agar kualitas tenaga kesehatan, infrastruktur, dan manajemen fasilitas pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan dalam rangka reformasi pelayanan kesehatan.

Terkait kasus MR dan MS, Komisi IX menyampaikan simpati yang sangat mendalam dan senantiasa berdoa agar mereka berdua segera diberikan kesembuhan oleh Tuhan YME. Khusus orang tua dari bayi ED, Komisi IX menyampaikan rasa duka yang sedalam-dalamnya.

(source: www.metrotvnews.com)

Komitmen Pemerintah Terhadap Kesehatan Dinilai Masih Lemah

[JAKARTA] Sejumlah kalangan menilai komitmen pemerintah terhadap masalah kesehatan di Indonesia masih sangat lemah. Hal ini terlihat baik dari sisi politik anggaran maupun regulasi yang belum pro terhadap kesehatan masyarakat.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo,pakar kesehatan dari Universitas Hassanudin Prof Razak Thaha dan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zainal Abidin dan pendiri Maarif Institute Ahmad Safii Maarif menilai pergantian pimpinan/penguasa terus terjadi,namun masalah kesehatan tetap berjalan di tempat.

Pertanyannya,setahun menjelang pemilu 2014,masihkah kesehatan rakyat mendapatkan perhatian. Mereka mengimbau maraknya politik nasional menjelang pemilu 2014 tidak boleh mempengaruhi berbagai program pembangunan kesehatan yang telah dicanangkan.

Sudaryatmo,mengatakan, dari sisi politik anggaran kesehatan dan pendidikan,komitmen pemerintah Indonesia dibanding negara lain masih ketinggalan. Ini terlihat dari alokasi untuk pendidikan dan kesehatan dari total Produk Domestik Bruto (GDP),Indonesia paling rendah dari negara lain yaitu 2%. Sedangkan Kamboja 4%,Laos mendekati 5%,Malaysia 10%,Philipina 15% dan Thailand hampir 7%.

"Jadi dari sisi politik anggaran pemerintah memang belum berpihak pada isu kesehatan dan pendidikan. Minimnya anggaran kesehatan menimbulkan banyak persoalan seperti kematian ibu dan balita karena kurang mendapatkan dukungan memadai," kata Sudaryatmo pada acara refleksi setahun menjelang Pilpres 2014 yang digalar IDI di Jakarta, Senin (14/1). Hadir pula Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti.

Menurut Sudaryatmo,dibanding kesehatan,pemerintah lebih komitmen dan disiplin untuk membayar hutang. Untuk pendidikan dan kesehatan hanya 2% dari GDP, tetapi untuk bayar hutang mencapai 10%. Lebih tinggi dari negara lain, seperti Kamboja kurang dari 1%,Laos 3%,Malaysia 8%. Walaupun Philipina juga cukup tinggi yakni 12% dan Taiwan 15%, namun rasio antara anggaran kesehatan dengan membayar hutang seimbang, sedangkan di Indonesia sangat jomplang.

Ketidakberpihakan pemerintah terhadap isu kesehatan dan pendidikan juga terlihat dari struktur APBN 2013. Mengutip data Kementerian Keuangan,menurut Sudaryatmo,dari total APBN sebesar Rp 1,683 triliun,dialokasikan dominan ke sejumlah sektor. Di antaranya infrastruktur Rp 201,3 triliun (11,96),pertahanan negara Rp118,3 triliun (7,02%),subsidi Rp317,2 triliun (18,84%),transfer ke daerah Rp 526,6 triliun (31,4%).

Struktur anggaran ini menunjukkan sebagian besar untuk subsidi,bahkan lebih besar dari pembangunan infrastruktur. Padahal, kata dia,sebagian besar subsidi tidak jelas sasaran dan implikasinya terhadap perbaikan masalah di masyarakat.

Subsidi BBM misalnya mencapai Rp 193,8 triliun (61,2%) dari total anggaran subsidi. Dibanding subsidi listrik yang sebesar Rp 80,9

triliun (25,51%), subsidi BBM bermasalah karena pemerintah tidak memiliki data dan pertanggungjawaban soal penerima maupun besarannya. Menurutnya, misteri subsidi BBM akan menjadi catatan hitam sejarah ekonomi kontemporer Indonesia.

"Padahal untuk mengatasi masalah kesehatan,menurut para pakar tidak sampai membutuhkan anggaran sebesar subsidi BBM," katanya.

Razak Thaha mengatakan,meskipun Indonesia selalu bangga memiliki pendapatan perkapita atau pertumbuhan ekonomi lebih dari negara tetangga,tetapi dalam masalah kesehatan tidak lebih baik.

Masalah gizi di Indonesia misalnya belum mengalami penurunan signifikan. Di antaranya Indonesia merupakan negara kelima dengan

jumlah orang pendek (stunting) paling banyak di dunia, selain Tiongkok,India,Pakistan,Nigeria dan bahkan di atas Vietnam. WHO

mencatat 90% anak pendek ada di 36 negara berkembang,termasuk Indonesia.

Menurutnya, orang pendek merupakan representasi dari kemiskinan di setiap provinsi. Di mana ada lumbung kemiskinan di situ orang pendek lebih banyak, seperti di NTT,Papua Barat dan NTB. Mereka terlahir dari ibu-ibu yang juga miskin dan kekurangan gizi.

Di satu sisi jumlah anak gemuk juga semakin bertambah. Anak gemuk adalah calon-calon penderita penyakit tidak menular di kemudian hari,seperti hipertensi,stroke,jantung dan diabetes.

"Padahal anggaran untuk gizi melalui pagu kesehatan terus meningkat, bahkan saat puncak resesi ekonomi. Tahun 2000 anggarannya baru sekitar Rp 21 miliar,tetapi naik tujuh kali lipat atau Rp 700 miliar di tahun 2007. Tetapi status gizi malah tambah jelek,lalu kemana anggaran itu," katanya.

Ali Ghufron Mukti,mengatakan, pemerintah sudah cukup memberikan perhatian serius pada masalah kesehatan. Buktinya, hampir tidak ada negara di dunia ini yang menjamin 86,4 juta warganya untuk berobat gratis seperti yang dilaksanakan oleh Indonesia. Selain itu, progam Jampersal menjamin persalinan gratis untuk semua ibu hamil.

"Dari sisi anggaran memang dari persentase masih di bawah 2,1% dari total APBN, tetapi nominal-nya terus meningkat setiap tahun. Tahun ini sebesar Rp 32 triliun, dan 2014 diperkirakan mencapai sekitar Rp 40 triliun," katanya.

Zainal Abidin,mengatakan,anggaran kesehatan setiap tahun hanya berkisar di 2% dari total APBN. Karena itu IDI mengimbau pemerintah untuk menaikannya sesuai dengan UU Kesehatan 36/2009,yakni minimal 5% di luar gaji pegawai. Secara politis,kata dia,pemerintah memiliki tanggung jawab konstitusi untuk menjalankan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dengan baik. [D-13]

(source: www.suarapembaruan.com)

Pengesahan PP Tembakau Bukan Prioritas UU Kesehatan

Jakarta, GATRAnews - Anggota Komsis IX DPR RI, Poempida Hidayatulloh Djatiutomo di Jakarta, Kamis, (10/1) menilai, disahkannya peraturan pemerintah (PP) No 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif Dalam Bentuk Produk Tembakau Untuk Kesehatan PP Pengamanan Zat Adiktif berupa Produk Tembakau untuk kesehatan, tidak bisa dijadikan prioritas sebagai amanat Undang-Undang Kesehatan. "UU Kesehatan No 36 tahun 2009 itu, mengamanatkan untuk pembentukan PP untuk semua zat adiktif. Bukan hanya produk tembakau. Mengapa jadi produk tembakau saja yang dimunculkan?" kata Poempida.

Menurutnya, selain itu juga ada beberapa PP lainnya yang juga menjadi amanat UU Kesehatan, salah satu di antaranya, adalah PP tentang Kesehatan Jiwa, sehingga pengesahan PP Tembakau itu disinyalir kuat merupakan agenda khusus. "Pengesahan PP tentang Tembakau ini, jelas mempunyai agenda khusus dan sarat dengan berbagai kepentingan kelompol tertentu. Kemudian, akan merugikan pihak-pihak yang lemah yang hidup dari kegiatan industri tembakau, terutama petani tembakau," ungkapnya.

Karena pengesahan PP tersebut dinilai akan merugikan sejumlah pihak, ujar Poempida, Komisi IX dan dirinya menerima surat dari Asosiasi DPRD yang menolak regulasi tembakau yang merupakan kebijakan pemerintah pusat. Seperti diketahui, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya mendatangani peraturan pemerintah mengenai tembakau yang tertuang dalam PP No 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Tembakau Bagi Kesehatan.

Laman Sekretariat Negara, Rabu, (9/1), melansir, PP tersebut telah ditetapkan Presiden SBY sejak 24 Desember 2012 lalu. PP tersebut memuat 65 pasal dan delapan bab. Dalam PP tersebut di antaranya diatur mengenai produksi yang meliputi uji kandungan kadar nikotin dan tar, penggunaan bahan tambahan, kemasan dan label, serta peringatan kesehatan.(IS)

(sumber: www.gatra.com)

15 Negara Laporkan Kasus Flu Burung Baru ke WHO

Pada kurun waktu Februari-September 2012, virus itu dideteksi di unggas liar (wild birds) di Hong Kong, India and Nepal, dan pada peternakan di Bangladesh, Bhutan, China, India, Nepal and Vietnam.

Sebanyak 15 negara telah melaporkan kepada Badan PBB untuk Kesehatan Dunia (WHO) soal kasus flu burung "clade" baru. Ke-15 negara tersebut yakni Iran, Nepal, India, Bangladesh, Bhutan, China termasuk Hong Kong, Vietnam, Mongolia, Republik Korea, Jepang, Romania, Bulgaria, Laos, Indonesia dan Rusia.

"Sejauh ini tidak ada kasus flu burung (clade) baru pada manusia di Indonesia. Kasus terakhir adalah masih anak IT (4) dari Parung Panjang, Bogor, meninggal tanggal 6 Desember 2012 yang virusnya masih clade lama 2.1," ujar Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama dalam keterangannya di Jakarta, Senin (7/1).

Berdasarkan laporan WHO, pada kurun waktu Februari-September 2012, virus itu dideteksi di unggas liar (wild birds) di Hong Kong, India and Nepal, dan pada peternakan di Bangladesh, Bhutan, China, India, Nepal and Vietnam.

"Kasus pada manusia tetap hanya ada di Bangladesh yaitu ada tiga kasus dan China termasuk Hong Kong lima kasus. Kasus Bangladesh semuanya ringan. Kasus di China (termasuk Hongkong) meninggal tiga dari lima kasus mereka," kata Tjandra.

Sedangkan di Indonesia, Kementerian Kesehatan kembali melakukan persiapan terhadap penanggulangan flu burung termasuk penularan virus clade baru tersebut antara lain dengan menerbitkan surat edaran bagi Dinas Kesehatan daerah.

"Sesudah Rakor Kesra tanggal 27 Desember 2012, maka kami sudah membuat surat edaran kedua pada tanggal 28 Desember yang isinya menegaskan ulang edaran pertama tanggal 11 Desember 2012 dan menambahkan hasil Rakor," kata Tjandra.

Beberapa hal yang ditambahkan dalam surat edaran itu dijelaskan Tjandra adalah mengenai keberadaan posko kesehatan dan penanganan kegiatan di pelabuhan.

"Staf P2PL secara aktif juga mengecek ke berbagai propinsi dan KKP tentang kesiapan mereka, dan sudah ada berbagai umpan balik seperti edaran lanjutan ke Kab/Kota, ketersediaan obat dan lain-lain," kata Tjandra.

Sementara itu, Kementerian Kesehatan juga terus melakukan koordinasi dengan Kementerian Pertanian untuk melakukan pembaruan (up date) data pada unggas dan kegiatan langsung di lapangan.

(sumber: www.beritasatu.com)

Keguguran karena Dokter Absen, DPR: Atur Hari Libur Dokter

JAKARTA, KOMPAS.com - Jumrida (27), warga Desa Congko, Kecamatan Barebbo, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan hanya bisa pasrah menahan sakit sejak enam hari lalu di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tenriawaru. Sejak enam hari lalu itu, Jumrida dirawat di rumah sakit karena bayi yang dikandungnya telah meninggal. Namun, malang bagi Jumrida, sejak dirawat hingga saat ini, ia belum bisa dioperasi lantaran sejumlah dokter bedah masih libur tahun baru.

Peristiwa mengenaskan ini pun mengundang simpati politisi Senayan. Wakil Ketua Komisi IX DPR Nova Riyanti Yusuf meminta agar ada solusi tercepat yang diambil oleh pihak rumah sakit. Ia pun mendesak agar dokter bedah yang tengah berlibur untuk kembali bekerja lantaran dalam keadaan mendesak. "Kalau sekarang ya, balik saja dari liburan. Berikutnya, harus ada contingency plan, jika dokter libur, rujukan ke mana?" ujar Nova, Kamis (3/1/2013), saat dihubungi wartawan.

Dari kasus itu, Nova melihat secara salah satu masalah besar kesehatan di Indonesia saat ini adalah keterbatasan jumlah dokter spesialis. Selain jumlah terbatas, wilayah Indonesia pun dianggap terlalu luas. Hal ini diperparah dengan ledakan penduduk. Jumlah dokter spesialis tidak bisa tercukupi dan terjadi disparitas kehadiran dokter spesialis di tiap daerahnya.

"Secara mikro, kasuistik di Bone, di dalam Pasal 40 Undang-undabg Praktik Kedokteran ada ketentuan, kalau dokter berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran, dia harus membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter pengganti," ucap Nova.

Hal lain yang perlu disoroti adalah regulasi lokal dari pemerintah daerah Bone tentang praktik dokter. Ketiadaan dokter bedah yang tengah berlibur di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tenriawaru sebenarnya bisa diakali dengan sistem rujukan/referral. "Namun, karena menyangkut otonomi daerah, apakah ketersediaan dokter spesialis terdekat. Adakah? Jauhkah? Memungkinkankah?" imbuh Nova.

Jika ternyata pemda tidak mampu mencari rujukan, Nova menilai pemerintah pusat bisa melakukan campur tangan.

"Ini tantangan bagi PPSDM Kementerian Kesehatan untuk melihat kasus-kasus dalam problem makro. Jangan learned helplessness itu atau terbiasa tidak berdaya pada kendala. Kalau SDM terbatas, gunakanlah resources lain demi kepentingan pasien," tutur politisi Partai Demokrat ini.

(sumber: nasional.kompas.com)

Jaminan Kesehatan di Bantul Tak Merata

BANTUL— Masalah pembagian kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) menjadi salah satu pekerjaan rumah (PR) yang harus menjadi prioritas Pemkab Bantul memasuki tahun baru 2013.

Sejak dibagikan pada Selasa (18/12/2012) lalu, masih banyak warga miskin yang belum menerima kartu Jamkesmas. Sementara, sebagian warga yang dinilai mampu secara finansial justru memperoleh kartu program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan yang sumber dananya dari APBN itu.

Tak ayal, kekecewaan di kalangan masyarakat masih bermunculan. "Dapat Jamkesmas tidak? Ayo ambil. Kamu kan orang kaya. Punya motor, mobil, rumah bagus. Pasti dapat," tulis salah satu warga Kecamatan Srandakan melalui pesan singkat yang diterima Harian Jogja, Selasa (1/1/2013).

Kekecewaan senada juga diutarakan warga di wilayah lain, di antaranya Kecamatan Bambanglipuro dan Banguntapan. "Banyak warga yang protes karena pembagian kartu jamkesmas tidak sesuai fakta di lapangan," ujar Kepala Dukuh Plumbon, Banguntapan, Aris Purnomo.

Pembagian kartu Jamkesmas yang belum tepat sasaran juga menjadi salah satu topik yang cukup hangat dibahas dalam rapat paripurna penyampaian laporan panitia khusus DPRD Bantul, Kamis (27/12/2012) lalu.

Dikonfirmasi Harian Jogja,, Ketua Komisi D DPRD Bantul Sarinto membenarkan jika selama ini masih ada sebagian warga yang sejatinya tidak berhak namun tetap memperoleh Jamkesmas. "Informasi yang saya dapat, ada juga pensiunan yang dapat Jamkesmas," ungkap dia.

Dalam waktu dekat ini, Sarinto berniat melakukan inspeksi mendadak di sejumlah wilayah yang soal tidak meratanya pembagian kartu Jamkesmas cukup mengemuka. Dari hasil sidak itu, warga yang semestinya berhak menerima kartu Jamkesmas akan segera direkomendasikan ke pemerintah pusat.

Sarinto menambahkan, warga miskin yang belum mendapat kartu Jamkesmas akan ditanggung Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) yang dananya bersumber dari APBD. "Ada sekitar 150.000 jiwa yang akan ditanggung Jamkesda dengan plafon Rp10 juta untuk satu jiwa selama satu tahun," kata dia.

(sumber: www.solopos.com)