Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional 2012-2019 Diluncurkan

Jakarta - Pemerintah hari ini, Kamis (29/11/2012) meluncurkan peta jalan menuju Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2012-2016. Peluncuran peta jalan ini untuk dijadikan pedoman bagi Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota dalam menyususn Rencana Pembangunan di Bidang Kesehatan.

Peta jalan ini merupakan bentuk pesan yang ingin disampaikan pemerintah ke masyarakat tentang pelaksanaan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Menurut Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono, Ada tiga dimensi penting untuk mencapai JKN. "Pertama perluasan kepesertaan, kedua perluasan manfaat yang diberikan, dan ketiga besar iuran pembiayaan pelayanan," kata Agung dalam konferensi pers di Balai Sudirman, Jakarta.

Lebih lanjut Agung menjelaskan, pada saat ini lebih dari setengah penduduk Indonesia telah memiliki kesehatan. Untuk itu kita perlu memperluas kepesertaan ini sehinggan sesuai dengan UU SJSN. "Seluruh penduduk Indonesia haruslah terlindungi dengan jaminan kesehatan," ujarnya.

Praktik yang ada saat ini adalah ketidaksamaan dalam manfaat jaminan yang dilayani karena perbedaan skema yang dilaksanakan oleh beberapa badan penyelenggara. Dengan beroperasinya satu penyelenggara (BPJS kesehatan) maka prinsip ekuitas dapat diterapkan dapat diterapkan dimana semua peserta memperoleh pelayanan sesuai dengan kebuthan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran.

SJSN bukan tabungan, sebab menerapkan mekanisme asuransi sosial, yang sarat dengan sifat kegotongroyongan. Kalau tabungan, kegotongroyongannya kurang sebab haknya sesuai dengan besar kecilnya tabungan. Dalam mekanisme asuransi sosial, meskipun iurannya kecil seseorang bisa tetap memperoleh manfaat yang besar sesuai dengan kebutuhannya. Semakin besar jumlah peserta, semakin ringan beban iuran yang harus dibayarkannya.

"SJSN tidak semata-mata pooling of funds (pengumpulan dana) tetapi juga pooling of risk (pengumpulan risiko)," ujar Agung

(sumber: www.tribunnews.com)

Kemenkes Siap Aksesi Konvensi Pengendalian Tembakau

Kemenkes menyepakati semua poin yang diatur dalam Konvensi Kerangka kerja pengendalian tembakau seperti menaikkan cukai, larangan iklan rokok dan peringatan bahaya merokok.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan kesiapan mengaksesi prinsip-prinsip Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sebagai langkah untuk mengendalikan epidemi merokok di Indonesia.

"Untuk FCTC kita sudah mulai proses untuk aksesi, Kementerian Luar Negeri juga sudah push, saat ini sedang diproses," ujar Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi, Rabu (28/11)

Menurutnya, dengan aksesi ini berarti Indonesia menyepakati semua poin yang diatur dalam FCTC termasuk menaikkan cukai, menyertakan peringatan bergambar pada kemasan rokok, dan pelarangan iklan serta sponsorship perusahaan rokok.

Nafsiah tidak memberi detil kapan aksesi FCTC akan mulai diimplementasikan di Indonesia.

"Kalau masalah kapan, susah untuk dijawab. Kalau saya inginnya secepatnya, kalau bisa akhir tahun ini juga, tetapi susah karena harus memperhitungkan stakeholders lain," tambahnya.

Nafsiah menyambut baik rencana penaikan cukai rokok sebesar 8,5 persen oleh Menteri Keuangan.

"Penaikan cukai? Alhamdulillah menurut saya, jangan dilihat cuma 8,5 persen, lebih baik bertahap daripada sekaligus tetapi ada resistensi," tuturnya.

Nafsiah menyadari pasti akan ada pihak-pihak yang akan berkeberatan dengan rencana pemerintah mengadaptasi prinsip-prinsip FCTC.

"Industri rokok pasti berkeberatan dan berusaha mengahalangi karena takut rugi, itu bisa dimengerti, tetapi melindungi kesehatan masyarakat Indonesia adalah prioritas yang jauh lebih penting," tambahnya.

Nafsiah mengatakan, pengendalian epidemi merokok menjadi perhatian penting terutama menjelang pemberlakuan Sistem Jaminan Sosial Nasional 1 Januari 2014 mendatang.

Menurutnya dengan beroperasinya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), sudah diprediksikan sebagian besar dana yang terkumpul akan habis tersedot untuk penyakit-penyakit terkait rokok seperto stroke, jantung, kanker dan kelainan paru.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan Kemenkes, Tjandra Yoga Aditama, mengatakan, saat ini pihaknya tengah menyusun naskah akademik aksesi FCTC dan tengah

terlibat pembicaraan dengan Kemlu untuk persiapan aksesi.

"Ditunggu saja, saat ini semuanya masih berproses," ujarnya.

Penelitian Lembaga Demografi Universitas Indonesia tahun 2009 menemukan, bahwa 57 persen Rumah Tangga Indonesia mengeluarkan dana untuk membeli rokok.

Rokok merupakan pengeluaran terbesar kedua setelah beras pada kelompok Rumah Tangga termiskin, bahkan mengalahkan 23 jenis pengeluaran lain.

LDUI memperkirakan, seseorang yang merokok minimal satu bungkus per hari akan kehilangan Rp 36,5 juta dalam 10 tahun dimana dana tersebut bisa dialihkan untuk biaya kesehatan atau pendidikan.

(sumber: www.beritasatu.com)

BKKBN: Seks Bebas Kini Masalah Utama Remaja Indonesia

Jakarta: Selain narkoba dan HIV/AIDS, seks bebas kini menjadi masalah utama remaja di Indonesia. Ini merupakan masalah serius karena jumlah remaja tergolong besar: 26,7 persen dari total penduduk. Hal itu dikatakan Pelaksana Tugas Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Subagyo di Jakarta, Rabu (28/11).

Penelitian Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia pada 2007 menemukan, perilaku seks bebas bukan sesuatu yang aneh dalam kehidupan remaja Indonesia.

Kementerian Kesehatan pada 2009 pernah merilis perilaku seks bebas remaja dari hasil penelitian di empat kota: Jakarta Pusat, Medan, Bandung, dan Surabaya. Hasilnya, sebanyak 35,9 persen remaja punya teman yang sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Bahkan, 6,9 persen responden telah melakukan hubungan seksual pranikah.

BKKBN, kata Subagyo, sebagai institusi mempunyai fungsi sosialisasi pentingnya kesehatan reproduksi bagi remaja. Ini untuk mempersiapkan kehidupan berkeluarga terus meningkatkan berbagai program. Program GenRe (Generasi Berencana) adalah salah satu wadah edukasi itu.

(sumber: www.metrotvnews.com)

Gaji Dokter Disebut Kalah Jauh Dibanding Guru

JAKARTA--Anggota DPR mendukung sikap para dokter PNS yang mendesak pemerintah meninjau kembali gaji bulanannya. Alasannya, gaji dokter jauh lebih kecil dibanding profesi lain seperti guru, TNI/Polri maupun buruh.

"Wajar saja kalau para dokter PNS mengeluhkan gajinya. Mereka sekolahnya enam tahun dan mengeluarkan dana besar, tapi gajinya sangat kecil," kata Verna Ingkiriwang, anggota Komisi IX DPR RI, dalam rapat kerja dengan Menteri Kesehatan, Senin (26/11).

Dia mencontohkan gaji guru sekitar Rp3,8 juta, TNI/Polri Rp4,2 juta, buruh Rp2,2 juta. Sedangkan dokter hanya sekitar Rp2,1 juta. Rendahnya gaji dokter PNS, lanjut politisi Demokrat ini, membuat para tenaga kesehatan mengancam mogok kerja. Lantaran gaji yang diberikan tidak sebanding dengan tanggung jawabnya.

"Apalagi di daerah terpencil, mereka hanya dibayar dengan ayam, ubi atau jagung. Kalau gaji dokternya sangat kecil, bagaimana mereka bisa membiayai keluarganya," tambah Caroline.

Politisi PDIP ini menilai ada kesalahan sistim kesehatan maupun penggajian sehingga timbul ketidakadilan. "Menkes harus memperhatikan masalah ini. Apalagi dengan akan adanya BPJS, dokter yang menjadi stakeholder utama untuk layanan jaminan kesehatan," tandasnya.

(sumber: www.jpnn.com)

ASEAN Waspada Kanker

Jakarta, Kompas - Ancaman kanker bukan hanya di sektor kesehatan, melainkan juga ekonomi. Di ASEAN, pada 2008 ada 700.000 kasus baru kanker dan 500.000 orang mati akibat kanker. Hal itu membuat negara-negara ASEAN kehilangan 7,5 juta tahun hidup produktif penduduknya.

Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, di tingkat dunia, kanker merenggut 7,4 juta jiwa pada 2010.

Masalah kanker dibahas dalam Diskusi Kebijakan Penanggulangan Penyakit Kanker se- ASEAN di Jakarta, Jumat (23/11). Diskusi diikuti delegasi kementerian kesehatan 10 negara, yakni Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Laos, Brunei, Kamboja, Myanmar, Singapura, dan Filipina.

Laporan hasil studi ASEAN Cost in Oncology dari George Institute tahun 2008 menyatakan, kanker menyebabkan kemerosotan ekonomi. ASEAN kehilangan 7,5 juta DALYs (disability adjusted life years) tahun 2008. DALYs ialah ukuran hilangnya tahun hidup karena ketidakmampuan beraktivitas hing- ga kematian dini karena sakit.

Menurut Mark Woodward, Guru Besar Biostatistik di The George Institute for Global Health, hilangnya potensi terbanyak di Laos (1.941 tahun), terendah di Filipina (1.411 tahun). Indonesia di urutan keempat (1.841 tahun).

Di Indonesia, kanker banyak menyerang penduduk usia 20-64 tahun, di Laos di bawah 20 tahun. "Pada usia itu seharusnya warga masuk usia produktif, tetapi mereka tak bisa bekerja karena kena kanker atau meninggal akibat kanker. Itu mengakibatkan kerugian besar," kata Woodward.

Makarim Wibisono, Direktur Eksekutif ASEAN Foundation, mengatakan, negara akan mengalami penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi jika penderita kanker terus bertambah. Untuk pengobatan kanker, keluarga di ASEAN rata-rata menghabiskan 30 persen penghasilan per tahun. Penderita dan keluarga bisa jatuh miskin. Bahkan, saat penderita meninggal, keluarga menanggung utang.

Woodward memprediksi, tahun 2030 akan ada 22 juta kasus kanker baru, dan 13,2 juta orang meninggal karena kanker. Jumlah itu bisa memengaruhi pertumbuhan ASEAN.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan, Indonesia gencar mengampanyekan pola hidup sehat agar masyarakat tak terkena kanker.

Untuk menekan kasus kanker, delegasi negara-negara ASEAN membuat kesepakatan tentang kebijakan penanggulangan kanker. Menurut Makarim, kesepakatan akan jadi seruan agar pemerintah negara-negara ASEAN memperbaiki pencegahan dan penanganan kanker serta memprioritaskan sebagai bagian dari investasi ekonomi negara.

(sumber: health.kompas.com)

Majelis Pekerja Buruh Indonesia Dukung UU BPJS dan UU SJSN

JAKARTA - Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) menyatakan dukungan terhadap UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). MPBI menilai, sikap serikat buruh yang sebelumnya menentang BPJS dan SJSN, adalah keliru.

"Masa mau dikasih jaminan tidak mau? Memang ada iuran, tapi tetap dibayarkan pengusaha," ujar Said Iqbal, Presiden KSPI, saat berorasi di depan Istana Negara, Kamis (22/11/2012).

"MPBI menerima UU BPJS. Segera laksanakan jaminan kesehatan rakyat tanpa kecuali. Orang miskin yang tidak mampu, tetap dibayar negara melalui Penerima Bantuan Iuran (PBI)," imbuh Said.

MPBI mengingatkan pemerintah agar melaksanakan jaminan kesehatan mulai 1 Januari 2014, dan menerbitkan Perpres Jaminan Kesehatan. PBI juga wajib dikeluarkan, paling lambat akhir November tahun ini.

Pada Rabu (21/11/2012) kemarin, gabungan serikat buruh Front Nasional berunjuk rasa di depan Istana Negara, menuntut pemerintah mencabut UU BPJS dan SJSN.

Front Nasional keberatan jika harus memberikan iuran, dan konsekuensi jika telat membayar iuran maka tidak bisa mengurus administrasi publik seperti pengurusan KTP dan akta nikah.

(sumber: www.tribunnews.com)

4 Negara Bahas HIV

Metrotvnews.com, Jakarta: Para pejabat dari Indonesia, India, China, dan Thailand menghadiri pertemuan di Jakarta, Rabu, untuk membahas pentingnya kesadaran HIV dan perlindungan terhadap penderitanya, sehingga tidak ada diskriminasi.

Lebih dari 70 pejabat kesehatan akan menghadiri acara tersebut yang berlangsung selama dua hari terhitung Rabu (21/11) sampai Kamis (22/11). Pertemuan ini didukung oleh International Labour Organization (ILO) dan United Nations Development Progamme (UNDP), demikian siaran pers UNDP, Rabu (21/11).

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi membuka pertemuan tersebut. Pertemuan itu dinamakan "Advancing HIV-Sensitive Social Protection in Indonesia".

Indonesia, India, China, dan Thailand adalah negara terbesar se-Asia Tenggara dengan jumlah penduduk yang mengidap HIV. Disebutkan bahwa 2001-2009 pengidap HIV di Indonesia meningkat tiga kali lipat, dan tercatat juga penderita HIV meningkat dari 11 provinsi pada tahun 2004 menjadi 33 provinsi di tahun 2009.

Sebuah penelitian ILO/UNDP pada tahun 2011 mengungkapkan, keluarga-keluarga di Indonesia yang terkena HIV /AIDS menghadapi tantangan yang lebih besar di bidang ekonomi dan sosial yang lebih besar dan membandingkan dengan keluarga yang tidak terinfeksi HIV/AIDS.

Pertemuan ini bertujuan untuk meningkatkan kepedulian terhadap penderita HIV dan meningkatkan kesadaran terhadap masyarakat yang rentan terkena penyakit tersebut, seperti pekerja seks komersial, pria berhubungan badan dengan sesama jenis, transgender, dan sesorang pengguna obat terlarang dengan menggunakan suntik.

Di samping itu, pertemuan tersebut akan mengkaji 'Social Protection Floor' (SPF) yang meningkatkan hak-hak dasar keamanan sosial dan jaminan universal di Indonesia, serta biaya dari penyertaan pengobatan HIV dan perawatan. Kegiatan ini dapat dijadikan sebagai pertukaran pembelajaran dan pengalaman dan berdiskusi mengenai mekanisme yang telah didesain terhadap stigma buruk bagi penderita HIV dan menghentikan stigma tersebut, sehingga tidak ada lagi diskriminasi terhadap mereka. Praktik terbaik dimulai dari tingkat nasional dan provinsi dan didukung oleh Jamsostek, Jamkesda, dan lembaga swadaya masyarakat yang terkait.

"Kita perlu lebih ramah dengan memberikan jaminan kesehatan untuk melindungi penderita HIV di Indonesia. Dan diprediksi tahun 2014 penderita HIV di Indonesia akan meningkat sebanyak 680.000. ILO percaya bahwa menyediakan perawatan kesehatan yang tepat adalah penting untuk mencegah penyebaran HIV. Kita harus bekerja sama untuk menangani hal tersebut," kata Kepala Perwakilan ILO untuk Indonesia Peter Van Rooij.

Sementara itu, Kepala Perwakilan UNDP untuk Indonesia Beate Trankman juga menambahkan diperlukan komitmen yang kuat dan ketegasan kepemimpinan dari pemerintah Indonesia menanggapi respon terhadap HIV.

"UNDP percaya para pengidap HIV di Indonesia seharusnya bisa diperlakukan sama terutama dalam hal pelayanan dan perlindungan kesehatan. Kami mendukung kegiatan ini karena dapat mengatasi kebutuhan sosial populasi terpinggirkan secara umum dan orang yang hidup dengan HIV khususnya," katanya.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pun akan mendiskusikan kebijakan mengenai hal tersebut dengan sebaik-baiknya untuk melindungi penderita HIV di Indonesia.

(sumber: www.metrotvnews.com)

Dalam Hal Jaminan Kesehatan, Indonesia Paling Belakang

JAKARTA (Pos Kota) – Banyak pihak menyayangkan negara sebesar Indonesia belum melaksanakan jaminan kesehatan semesta (universal health coverage) bagi rakyatnya.

Padahal negara termiskin di Afrika, Tanzania, Liberia dan Rwanda sudah melakukannya.

"Indonesia tergolong paling terbelakang dalam pelaksanaan program jaminan kesehatan rakyat semesta. Negara-negara yang tergolong kecil dan miskin saja sudah menyelenggarakan. Tapi, tak apalah, belum terlambat bagi Indonesia yang akan memulainya pada 1 Januari 2014," sebut Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Sugeng Bahagijo, dalam diskusi di Jakarta, Minggu.

Menurut Sugeng, Tanzania, Liberia dan Rwanda, negara kecil di Afrika itu sudah mengalokasikan anggaran untuk kesehatan rakyatnya sebesar 15 persen. "Sedangkan Indonesia mengalokasikan di bawah kisaran angka tersebut," ujarnya.

Dia menyitir data dari Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Trasparansi Anggaran (Seknas Fitra), periode 2005-2012, alokasi anggaran kesehatan dari belanja pemerintah rata-rata 2,2 persen.

"Problem kita menyelenggarakan jaminan kesehatan bukan pada ada atau tidaknya dana, tapi soal kemauan pemerintah. APBN kita sudah mencapai Rp1.650 triliun. Dari jumlah itu cuma diperlukan Rp30 triliun untuk menggelar Jaminan Kesehatan Universal," kata Sugeng.

Menurutnya, dibandingkan negara lainnya di wilayah Asia Tenggara, pemerintah Indonesia dinilai 'pelit' dalam mengalokasikan anggaran untuk kesehatan. Contohnya di tahun 2006, pendapatan per kapita Indonesia sebesar 1.420 dolar AS dan anggaran untuk kesehatan dari total belanja pemerintah hanya 5,3 persen.

Namun, Vietnam, dengan pendapatan per kapita hanya 700 dolar AS, persentase belanja kesehatan terhadap total belanja pemerintah mencapai 6,8 persen.

Menurut Sugeng, jika enggan mengalokasikan dana APBN untuk Jamkes Universal, pemerintah Indonesia memiliki sumber dana lainnya yang dapat dimanfaatkan. Seperti, mengalihkan sebagian dana subsidi BBM untuk penyelenggaraan Jamkes Universal.

Sugeng mengingatkan, subsidi BBM yang dialokasikan pemerintah di tahun 2012 sebesar Rp123 triliun. Kata dia, setengah dari jumlah dana subsidi itu sudah lebih dari cukup untuk untuk menyelenggarakan Jamkes Universal bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono memastikan regulasi pendukung operasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan rampung pada akhir November 2012. Regulasi tersebut merupakan amanat UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU BPJS.

Dia menuturkan dalam peraturan pelaksana UU No.40/2004 tentang SJSN mewajibkan membuat 7 peraturan pemerintah (PP) dan 3 peraturan presiden (Perpres).

"Untuk mendukung UU No.24/2011 tentang BPJS wajib dibuatkan 2 PP dan 3 Perpres," tukasnya.

Agung memaparkan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sesuai tugas dan fungsinya bersama dengan kementerian terkait menyelesaikan 5 draf regulasi implementasi SJSN.

Draf regulasi itu adalah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Jaminan Kecelakaan Kerja, RPP Jaminan Hari Tua, RPP Jaminan Pensiun, RPP Jaminan Kematian, dan Rancangan Perpres Manfaat Jaminan Pensiun.

Menko Kesra menilai diperlukan proses yang intensif untuk tercapainya kompromi dan konsensus dari pemangku kepentingan. Proses itu antara lain menyakut besaran iuran oleh peserta dari berbagai segmen dan kewajiban pemberi kerja (pemerintah dan sektor swasta).

Secara terpisah, Direktur Utama PT Askes (Persero) I Gede Subawa menjelaskan, pihaknya siap melaksanakan amanat UU sebagai BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014. Askes pun terus berkoordinasi dengan seluruh stakeholder terkait seperti Kemenko Kesra, Kemenkes, Kemdagri, PT Jamsostek (Persero), dll.

(sumber: poskotanews.com)