BIBIR SUMBING: Kemenkes Tambah Jatah Operasi 86,4 Juta Pasien

KUTA: Kementerian Kesehatan menambah alokasi jaminan kesehatan masyarakat bagi pasien bibir sumbing dan langit-langit dari 76,4 juta orang menjadi 86,4 juta orang pada 2013.

Wakil Menteri Kesehatan RI Prof Ali Ghufron Mukti menuturkan kebijakan tersebut diiringi pula dengan penambahan ahli bedah dari Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Gajah Mada dan Universitas Airlangga.

"Saat ini baru 285 ahli bedah yang terlibat, padahal butuh 1.000 ahli bedah untuk menangani pasien di seluruh Indonesia," katanya, Sabtu (18/11/2012).

Menurut dia perlu penambahan sekitar 615 ahli lagi untuk mencapai kuota tenaga ahli bedah yang dibutuhkan setiap tahun, dan pada 2014 minimal dapat mencetak tenaga bedah sebanyak 3.400 ahli bedah.

Kemenkes juga memotivasi para calon dokter bedah untuk mengikuti pendidikan beasiswa yang dilaksanakan di Amerika Serikat, Afrika Selatan dan Indonesia. Tiap tahun dialokasikan 5 beasiswa dengan dana Rp2 miliar per orang untuk 5 tahun masa belajar.

Terkait pelaksanaan Asian Congress of Oral and Maxillofacial Surgeons (ACOMS) ke-10, 15-18 November 2012 di Kuta, Bali, Sekretaris ACOMS 2012 Asri Arumsari mengatakan

masyarakat internasional berencana menjadikan Indonesia sebagai pusat kajian pendidikan bedah bibir sumbing dan langit-langit. Saat ini di Indonesia terdapat 7.500 kasus bibir sumbing.

Asri menjelaskan banyaknya kasus tersebut tidak lepas dari jumlah populasi penduduk yang tertinggi keempat di dunia jumlah kelahiran dengan komposisi mereka yang berpotensi untuk cacat fisik karena faktor genetik, diperkirakan dalam rentan waktu kelahiran dijumpai 1 anak dari kelahiran 700 anak.

President the International Association of Oral and Maxillifacial Surgeons (IAOMS) Kishore Nayak mengemukakan salah satu pertimbangan Indonesia direncanakan sebagai pusat kajian bedah bibir sumbing dan langit-langit ini juga yaitu karena berkembangnya kasus baru seperti adanya kanker mulut.

(sumber : bisnis.com)

Hari Kesehatan Nasional Fokus Pelayanan Kesehatan Ibu

Kompas.com - Peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-48 tahun 2012 yang diperingati setiap tanggal 12 November akan memfokuskan pada pelayanan kesehatan ibu sebagai salah satu target MDGs yang belum tercapai.

"Tema HKN adalah Indonesia Cinta Sehat dengan subtema Ibu Selamat Anak Sehat yang dipilih karena merupakan sasaran prioritas pembangunan kesehatan," papar Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi yang menjadi inspektur upacara peringatan HKN 2012 di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Senin (12/11/12).

Menurut Menkes, dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak, cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan telah meningkat secara bermakna dari 61,4 persen pada 2007 menjadi 87,4 persen pada 2011.

"Berkat upaya masyarakat, ibu-ibu kader bersama petugas kesehatan di Puskesmas, saat ini laporan menunjukkan bahwa 71 persen balita mengunjungi Posyandu setiap bulan. Ini berarti sekitar 14 juta balita memanfaatkan posyandu," kata Menkes.

Pencapaian derajat kesehatan masyarakat ditandai antara lain dengan menurunnya angka kematian bayi (AKB), menurunnya angka kematian ibu (AKI), menurunnya prevalensi gizi kurang dan gizi buruk serta meningkatnya umur harapan hidup (UHH).

Di Indonesia data SDKI menyatakan AKB telah menurun dari 35 per 1.000 kelahiran hidup (2004) menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup (2007). Sementara AKI menurun dari 307 per 100.000 kelahiran hidup (2004) menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup (2007).

Meski telah mengalami penurunan yang cukup banyak, indikator AKB dan AKI dalam MDG masih jauh dari target yang ditentukan dan harus dicapai pada 2015.

Pemerintah masih harus bekerja keras untuk mencapai target MDG sesuai kesepakatan yaitu AKB 24 per 1.000 kelahiran hidup dan AKI 102 per 100.000 kelahiran hidup pada 2015.

"Peringatan HKN ke-48 ini akan dioptimalkan sebagai momentum untuk meningkatkan semangat, kepedulian, serta memantapkan kerja sama seluruh pihak untuk berjuang dalam mempercepat target MDG 2015," kata Menkes.

Peringatan HKN 2012 di Kementerian Kesehatan diawali dengan pelaksanaan upacara, peresmian pameran foto "Ibu Selamat Anak Sehat", pembukaan seminar skrining hipotiroid kongenital cegah keterbelakangan mental dam anemi defisiensi besi pada anak dan penandatanganan MoU antara Kemenkes dengan empat lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan delapan pimpinan dunia usaha.

(sumber: health.kompas.com)

PPNI: UU Keperawatan Perlu Segera Disahkan

Yogyakarta - Undang-undang Keperawatan perlu segera disahkan memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat yang akan memanfaatkan pelayanan keperawatan. Hal ini disampaikan Sekretaris Jenderal Persatuan Perawat Nasional Indonesia, Harif Fadilah.

"Undang-undang (UU) tersebut juga akan memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi perawat dalam melakukan pelayanan kesehatan," katanya pada konferensi Health Professional Education Quality (HPEQ) 2012, di Yogyakarta, Rabu (7/11).

Menurut dia dengan adanya UU tersebut diharapkan dapat meningkatkan aksesibilitas, keterjangkauan, mutu pelayanan keperawatan, dan mempercepat keberhasilan dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

"Saat ini sekitar 40 persen puskesmas di Indonesia tidak memiliki dokter sehingga seluruh pelayanan kesehatan dilakukan oleh perawat. Kondisi itu menyulitkan perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan," katanya.

Contohnya, kasus perawat Misran di Kutai, diseret ke pengadilan karena memberikan pengobatan pada masyarakat akibat daerah tersebut tidak ada dokter dan apoteker.

"Hal itu terjadi karena tidak ada perlindungan hukum bagi perawat di puskesmas. Dalam hal ini tidak ada kejelasan pengaturan kewenangan dan metode pelimpahan wewenang," katanya.

Ia mengatakan kejelasan kewenangan dan batasan tanggung jawab dalam pelayanan kesehatan penting untuk totalitas melayani masyarakat.

"Oleh karena itu perlu adanya pengaturan mekanisme pendelegasian wewenang dan sistem rujukan yang diatur dalam UU untuk meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan," katanya.

Ketua II Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Rita Sekarsari, mengatakan dalam pelayanan profesi keperawatan harus berbasis pada kompetensi dan dapat dipertanggungjawabkan pada masyarakat.

Oleh karena itu, menurut dia, "credentialing" atau bukti yang memperlihatkan kompetensi yang dipersyaratkan penting untuk menunjukkan kesiapan perawat sebagai profesi yang memberikan pelayanan secara profesional kepada masyarakat.

"Credentialing terdiri atas proses pemberian bukti formal atau sertifikasi, registrasi, dan lisensi. Credentialing untuk melindungi masyarakat dengan memastikan tingkat kompetensi profesional untuk menjamin kepedulian terhadap hak-hak pasien," katanya.

(sumber: www.metrotvnews.com)

Mutu Pendidikan Tinggi Kesehatan Indonesia Dibahas

JAKARTA - Tujuh asosiasi profesi dan institusi pendidikan tinggi kesehatan, termasuk mahasiswa, akan menggelar konferensi tahunan ke-3 High Professional Education Quality (HPEQ) Pendidikan Tinggi (Dikti) 2012, pada 7-8 November.

Tujuh organisasi yang dimaksud adalah Kedokteran, Kedokteran Gigi, Keperawatan, Kebidanan, Kefarmasian, Gizi, dan Kesehatan masyarakat.

Ketua Panitia HPEQ-Dikti 2012, Iwang Yusuf Hanafi, dalam siaran persnya, Selasa (6/11/2012), menjelaskan, konferensi HPEQ digelar secara video telewicara, dengan modalitas jaringan Indonesian Higher Education Network (Inherent) Dikti, Kemdikbud.

Selain itu, melalui kerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi memanfaatkan Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan (MPLIK), konferensi juga akan diikuti oleh pemangku kepentingan pendidikan tinggi kesehatan di pelosok negeri, hingga kecamatan.

Konferensi dirancang untuk mentradisikan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), dalam menjembatani komunikasi antarpemangku kepentingan kesehatan.

Konferensi juga memperkenalkan pentingnya Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDPT) kesehatan, yang saat ini sedang dibenahi, dan segera diluncurkan sebagai basis penjaminan mutu pendidikan tinggi kesehatan.

Selain itu, konferensi juga menjadi ajang konsultasi publik kebijakan penataan pendidikan tinggi kesehatan melalui pendirian Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM PTKes), dan Lembaga Pengembangan Uji Kompetensi (LPUK) sebelum diluncurkan.

(sumber: nasional.kompas.com)

AS Dukung Pendidikan dan Kesehatan di Papua

JAYAPURA — Pemerintah Amerika Serikat mendukung penuh pelaksanaan otonomi khusus di Papua yang sudah berlangsung selama 11 tahun, ujar Duta Besar AS untuk Indonesia, Scot Marciel, usai bertemu dengan anggota DPR Papua, Senin (5/11) di Gedung DPRP, Jalan Samratulangi Jayapura. "AS selalu mendukung otonomi khusus Papua dan mengakui Papua bagian dari NKRI," ujar Scot Marciel.

Marciel menjelaskan, kunjungan ke Papua kali ini adalah untuk mengetahui apa saja yang menjadi perhatian utama dalam pembangunan di wilayah itu. "Kita upayakan bagaimana terus bisa bekerja sama searah membangun diwilayah itu," katanya.

Sementara itu Wakil Ketua DPR Papua Yunus Wonda menyatakan, dalam pertemuan dengan jajaran Kedutaan Besar AS itu, Dubes AS juga ingin mengetahui sejauh mana pelaksanaan otonomi khusus di Papua. Terutama terkait dengan penanganan pendidikan dan kesehatan. "Serta apa saja yang mereka bisa bantu untuk memajukannya," tambahnya.

Yunus melanjutkan, Dubes Marciel menyatakan terkait pendidikan bagi anak Papua, Pemerintah AS siap membantu anak-anak Papua yang ingin bersekolah di negeri Barack Obama tersebut.

(sumber: www.harianterbit.com)

Program Internship Perbaiki Kualitas Kompetensi Dokter

JAKARTA — Program Internship Dokter Indonesia (PIDI) menjadi harapan untuk perbaikan sistem kesehatan di Indonesia. Disamping bertujuan untuk menjaga kualitas kompetensi dokter, program dokter intership juga diproyeksikan untuk meratakan distribusi tenaga dokter hingga kedaerah-daerah terpencil dan daerah bermasalah kesehatan.

Dokter Intership merupakan suatu program "Pre-registration trainning sebelum mendapat Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) bagi dokter yang baru menyelesaikan masa pendidikan profesi berbasis kompetensi.

Tujuannya untuk menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan, secara terintegrasi, komprehensif, mandiri serta menggunakan pendekatan kedokteran keluarga dalam rangka pemahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan.

Ketua Komite Intership Dokter Indonesia (KIDI) Prof Dr Mulyohadi Ali, dr., SpFK dihubungi Harian Terbit, belum lama ini mengatakan, mereka yang disebut sebagai peserta program Internsip, adalah dokter yang telah lulus program studi pendidikan dokter dan telah lulus uji kompetensi, namun belum mempunyai kewenangan untuk praktik mandiri.

"Jika peserta tidak mencapai kinerja selama menjalankan program internship ini, sesuai dengan Pasal 6 Peraturan KKI No.1/2010, maka dokter tersebut tidak boleh berpraktik dalam profesi dokter. Mereka harus menambah waktu internsip sampai target kinerja dicapai," kata Prof Dr Mulyohadi Ali.

TRANSPARAN DAN DIUNDI

Sejak program ini diluncurkan bulan Maret tahun 2010, hingga awal November 2012 sebanyak 5.830 dokter baru telah mengikuti program internsip dan ditempatkan di 25 propinsi didaerah-daerah yang membutuhkan, yang memiliki sarana pelayanan kesehatan primer minimal type C dan D.

Penempatannya sendiri, dilakukan secara transparan dengan cara diundi. "Sebelum ditempatkan, ke 25 provinsi tersebut dilakukan mapping terlebih dahulu untuk dilihat skala prioritasnya mana yang lebih membutuhkan dan kekurangan tenaga kesehatan. Namun, tentunya dilihat daerah mana yang memiliki sarana pelayanan kesehatan type C dan D," jelasnya.

Proses pengundiannya, untuk wilayah DKI Jakarta dilakukan oleh KIDI pusat, namun untuk daerah dilakukan oleh KIDI provinsi melalui supervisi dari KIDI Pusat. Sedangkan, pada tahun 2013, pemilihan tempat direncanakan melalui sistem online, sehingga bisa dilakukan lebih transparan dan terintegrasi.

"Dengan sistem online, peserta program dokter internship juga dimungkinkan untuk memilih sendiri daerah yang diminatinya. Tapi tetap mengacu pada daftar daerah yang telah ditetapkan,' ujarnya.

Dalam praktiknya, para dokter yang baru tamat ini akan didampingi oleh seorang dokter pendamping atau supervisor. Dimana satu dokter pendamping untuk5 dokter internsip yang ditempatkan. Pembiayaannya, sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Mulai dari akomodasi, fasilitas tempat tinggal, hingga biaya hidup setiap bulannya sebesar Rp 1,2 juta.

DIBERI INSENTIF

Tak jarang, pemerintah daerah juga memberikan intensif kepada para dokter internship tersebut. Bahkan di Provinsi Kalimantan Timur, dokter internship yang berpraktik ditawarkan untuk menjadi pegawai negeri sipil. "Begitupun didaerah lain, ada juga pemerintah daerah yang memberikan fasilitas tambahan dan intensif bagi dokter-dokter yang berpraktik diwilayahnya," tutur dia.

Jangka waktu praktik bagi dokter intership adalah satu tahun, yaitu 8 bulan berpraktik di RS type C atau D, dan 4 bulan di Puskesmas Kabupaten/Kota. "Dokter adalah pelayanan masyarakat, bukan elite tertentu yang hanya diam dikota. Hal ini harus disadari mulai sejak mereka menekuni dunia kedokteran," tandasnya.

www.harianterbit.com)

Warga Miskin Akan Diberi Asuransi Kesehatan

{phocadocumentation view=navigation|type=mpcn|top=some-id}

BANDUNG - Setiap Rumah Tangga Miskin (RTM) yang tidak dijamin oleh Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) di Kota Bandung akan diberi asuransi kesehatan mulai tahun 2013.

"Anggaran asuransi akan dialokasikan di APBD Murni 2013 sebesar Rp 50 miliar," ujar Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung Achyani Raksanagara di Balai Kota, Rabu (31/10/2012).

Achyani mengatakan, model pembayaran premi asuransi dipilih untuk menghindari klaim Bawaku Sehat yang selalu membludak setiap tahunnya.

Menurut Achyani dengan asuransi, data RTM yang menjadi sasaran lebih jelas sehingga menghindari penerimaan dobel dengan Jamkesmas dari pemerintah pusat. Pembayaran premi asuransi diharapkan bisa memperbaiki mekanisme pembayaran klaim biaya berobat bagi RTM di Kota Bandung.

Achyani mengatakan dana untuk asuransi kesehatan sebesar Rp 50 miliar untuk pembayaran 323.070 jiwa. Menurut Achyani, dana untuk pembayaran asuransi lebih efisien dibandingkan dengan Bawaku Sehat yang klaimnya mencapai hampir Rp 90 miliar.

Namun sampai saat ini dia belum memastikan lembaga atau badan asuransi mana yang akan ditunjuk.

Menurut Achyani, penunjukannya bisa langsung sesuai dengan UU BPJS atau melalui lelang.

(sumber: www.tribunnews.com)

BPJS Kesehatan Harus Didukung Sistem TI

JAKARTA (Suara Karya): PT Askes (Persero) diingatkan untuk memperhatikan masalah data kepesertaan sebelum bertransformasi menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 1 Januari 2014, terutama terkait penerapan sistem data kepesertaan dan pelayanan yang berbasis teknologi informasi (TI).

Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Chazali H Situmorang mengatakan, sistem berbasis TI harus sudah diterapkan sebelum Askes bertransformasi menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hal ini bertujuan agar program jaminan kesehatan untuk masyarakat luas bisa dilaksanakan dengan baik. Jika tidak didukung sistem berbasis TI, maka BPJS Kesehatan berpotensi mengalami kebangkrutan.

"Kami kerap mengingatkan kepada Askes agar TI diperhatikan, karena bisa terjadi peserta ganda, yang berarti pembayaran berlapis. Lama-lama masalah ini bisa membuat bangkrut BPJS Kesehatan," kata Chazali di Jakarta, Senin (29/10) di sela workshop Harmonisasi Sistem Informasi Program Jaminan Kesehatan Nasional. Dalam diskusi dibahas terkait kebutuhan Indonesia dan pengalaman internasional dalam pengelolaan data untuk pelaksanaan jaminan sosial.

Menurut Chazali, saat ini DJSN tengah mengharmonisasikan sistem informasi jaminan kesehatan nasional. Selama ini, data pelaksanaan program jaminan kesehatan di Indonesia belum terintegrasi. Data peserta di seluruh penyelenggara jaminan kesehatan belum terhimpun dengan baik.

Padahal bagian terpenting dalam manajemen dan penyelenggaraan jaminan kesehatan yang efektif terkait sistem informasi yang terintegrasi. Sistem ini dapat mengharmonisasikan data peserta program jaminan kesehatan dengan data dari Kementerian Dalam Negeri yang berdasarkan nomor induk kependudukan (NIK).

"Namun, NIK juga belum disinkronisasi sebagai identifikasi peserta untuk para peserta program jaminan kesehatan. Padahal sistem informasi jaminan kesehatan ini harus menjadi lokomotif pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) secara keseluruhan," katanya.

Sementara itu, Wakil Menteri Kesehatan Ali Gufron memastikan, BPJS Kesehatan tetap akan beroperasi pada 1 Januari 2014 meski belum ada harmonisasi data dan sistem TI yang baku. Apalagi penerapan sistem TI tidak mudah, karena banyak model yang harus disesuaikan dengan kebutuhan. Apalagi sistem TI mencatat data dan transaski yang ada.

Dia lantas membantah bahwa akibat belum diharmonisasikannya sistem informasi pada saat BPJS Kesehatan, maka pelaksanaan program jaminan kesehatan bersifat uji coba (trial and error). Apalagi dalam masa transisi pasti membutuhkan penyesuaian, seperti dalam pelaksanaan e-KTP.

"E-KTP itu kan untuk dewasa, lalu bagaimana dengan anak-anak? Makanya akan dibuat ID tunggal dari data yang sama yang ada di Askes. Nantinya tinggal disinkronisasikan saja. Kita tengah membahas harmonisasi ini," ujarnya saat membuka acara workshop tersebut.

Menurut Ali Gufron, sistem TI merupakan tulang punggung dalam pelaksanaan BPJS Kesehatan. Karena itu harus menjadi prioritas. Apabila sistem ini sudah bisa dibangun, maka akan memudahkan pengintegrasian dengan program-program jaminan sosial lainnya, misalnya terkait masyarakat yang tergolong penerima besaran iuran (PBI) yang bisa berubah-ubah karena perubahan status sosial seseorang.

"Yang semula miskin, bisa saja suatu saat masuk dalam kelompok mampu. Atau, yang tadinya tidak miskin, karena sesuatu hal masuk dalam jurang kemiskinan. Jadi, dengan kata lain, PBI bisa siapa saja. Karenanya, harus ditopang dengan sistem IT agar PBI benar-benar sesuai sasaran," ucapnya.

Dia menyebutkan, PBI 2014 sendiri tercatat sebanyak 86,4 juta orang miskin dan berpendapatan rendah. Artinya ada 40 persen masyarakat dengan penghasilan terendah hasil identifikasi Badan Pusat Statistik (BPS) dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang masuk dalam catatan PBI. Data ini akan diperbarui tiga tahun sekali.

Sementara itu, Direktur Perencanaan, Pengembangan, dan Informasi PT Jamsostek (Persero) Agus Supriyadi mengatakan, jika BPJS Kesehatan beroperasi 1 Januari 2014, maka tidak akan ada perbedaan apakah pesertanya berasal dari Askes, Jamsostek, atau Jamkesmas. "Semua akan dilayani," katanya.

(sumber: www.suarakarya-online.com)