BPJS Kesehatan Usul Revisi Perpres Tata Kelola JKN

Untuk memperjelas tugas dan fungsi antar lembaga dalam menjalankan program JKN. Terpenting, semua kebijakan JKN yang diterbitkan harus mengacu konstitusi dan UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang berjalan sejak 1 Januari 2014 telah banyak dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar masyarakat. Program ini memberi kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan. Namun, pelaksanaan JKN selama 6 tahun ini seringkali menghadapi masalah dan tantangan, salah satunya tentang tata kelola.

Banyak pihak yang terlibat dalam program JKN ini antara lain BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara, kementerian/lembaga sebagai regulator, fasilitas kesehatan (rumah sakit) sebagai penyedia layanan, dan asosiasi profesi. Peran lembaga dan tata kelola penyelenggaraan JKN telah diatur beberapa regulasi seperti Perpres No.85 Tahun 2013 tentang Tata Cara Hubungan Antar Lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Perpres No.25 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Direktur Perencanaan Pengembangan dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan, Mundiharno, mengatakan banyak pihak yang terlibat dalam ekosistem pelaksanaan program JKN yang diatur dalam Perpres itu, Namun, berbagai regulasi itu dirasa belum cukup untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan JKN.

Karena itu, untuk menciptakan ekosistem program JKN agar lebih baik, harus ada kejelasan tugas dan fungsi masing-masing lembaga pemangku kepentingan. “Ada puluhan institusi dalam penyelenggaraan JKN, ini perlu dituangkan dalam peraturan (terkait tugas dan fungsi masing-masing lembaga dalam program JKN, red),” kata Mundiharno dalam diskusi secara daring, Rabu (8/7/2020). (Baca Juga: Pemerintah Diminta Terus Benahi Tata Kelola Program JKN)

Menurut Mundiharno, penjelasan secara detail mengenai tugas dan fungsi masing-masing pemangku kepentingan itu dapat dituangkan melalui revisi Perpres No.85 Tahun 2013 tersebut. Harapannya, kata dia, tata kelola JKN bisa diperkuat dengan ekosistem yang lebih sinergis antar stakeholder baik pusat dan daerah, peserta, pemberi layanan Kesehatan, dan lainnya.

Pakar Jaminan Sosial, Hasbullah Thabrany, menilai salah satu persoalan yang dihadapi dalam penyelenggaraan JKN yakni koordinasi dan fragmentasi kebijakan JKN. Desentralisasi juga menjadi persoalan terkait akuntabilitas dan pemantauan lembaga di tingkat pusat. Terpenting, semua kebijakan JKN yang diterbitkan harus mengacu konstitusi dan UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Hasbullah mengingatkan Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945 menyebut setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dia melanjutkan UU No.40 Tahun 2004 menegaskan kebutuhan dasar kesehatan yang layak sesuai kebutuhan medis. Karena itu, orientasi kebijakan JKN sebaiknya untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan, bukan menekan biaya JKN agar semakin kecil.

Dia mengatakan untuk mewujudkan layanan kesehatan dasar perlu ada manajemen yang baik. Misalnya, pemda dan swasta berperan dalam penyediaan layanan kesehatan. “Bayaran layak, dan ketersediaan fasilitas kesehatan dalam jarak memadai,” kata Hasbullah.

Menurut Hasbullah, defisit yang dialami dana jaminan sosial (DJS) BPJS Kesehatan memicu pandangan yang orientasinya tidak sesuai mandat konstitusi untuk menyelenggarakan layanan kesehatan dasar yang layak. Defisit ini terjadi karena pengeluaran program lebih besar daripada pendapatan.

Secara umum kemampuan fiskal pemerintah cukup untuk mengatasi persoalan itu, tapi sampai saat ini belum ada kemauan politik untuk mendukung penguatan JKN berbasis fakta. “Defisit JKN ini tidak perlu ditakutkan, karena ini sejak awal pemerintah tidak menetapkan iuran sesuai kebutuhan yang sudah diperhitungkan,” katanya.

Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan FKM UI, Budi Hidayat berpendapat masalah JKN salah satunya terkait pendanaan. Besaran iuran sudah dihitung sesuai aktuaria, tapi ketika dituangkan dalam regulasi besarannya berbeda. Hal ini yang menjadi masalah dalam penyelenggaraan JKN karena iuran yang ada tidak sesuai dengan manfaat yang diberikan program JKN kepada peserta.

Masalah lain soal politik anggaran. Budi melihat bidang kesehatan masuk dalam komponen belanja, bukan investasi. Padahal, banyak bukti yang menunjukan jika investasi di bidang kesehatan minim, maka pertumbuhan ekonomi juga rendah. “Pandemi Covid-19 ini membuka mata pentingnya sektor kesehatan,” ujarnya.

Kemudian soal pembayaran fasilitas kesehatan, Budi melihat ada yang tidak sesuai dengan regulasi karena seharusnya ada negosiasi tarif. Pasal 24 UU No.40 Tahun 2004 mengamanatkan besarnya pembayaran kepada faskes untuk setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara BPJS dan asosiasi faskes di wilayah tersebut.

sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f086088cf0d4/bpjs-kesehatan-usul-revisi-perpres-tata-kelola-jkn

 

Kebijakan Kesehatan Desa Tanggap Covid-19 Mampu Membangun Kesadaran Warga

Dalam menanggulangi wabah Covid-19 yang melanda dunia dan termasuk juga Indonesia, berbagai kebijakan ditetapkan agar penanganan Covid-19 mempunyai payung hukum legal. Kebijakan yang dikeluarkan berbeda satu negara yang satu dengan yang lain.

Meski demikian, semua kebijakan yang dikeluarkan tersebut merupakan cara peemerintah untuk menanggulanan penyebaran Virus Corona dari satu orang kepada yang lain. Bahkan di Indonesia, setiap daerah mulai dari tingkat provinsi sampai ke tingkat desa, pun RT/RW memiliki aturan terkait usaha mengatasai penularan virus ini.

Salah satu kebijakan yang penulis temukan merupakan kebijakan yang sangat berguna adalah Surat Edaran Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Nomor 8 Tahun 2020 tentang Desa Tanggap Covid-19 dan Penegasan Padat Karya Tunai Desa.

Tulisan ini akan mengelaborasi pendekatan analisis segitiga kebijakan dari Bose, yang melihat kebijakan berjalan berdasarkan konteks yang perlu dimonitoring dan dievaluasi terus-menerus sehingga upaya penanggulanan Covid-19 di desa-desa tercapai.

Pengelaborasian pendekatan analisis segitiga kebijakan kesehatan dilakukan berdasarkan faktor aktor, konteks, proses dan content/isi di mana segitiga kebijakan kesehatan merupakan suatu pendekatan yang sudah sangat disederhanakan untuk suatu tatanan hubungan yang kompleks. Segitiga kebijakan tidak hanya membantu dalam berpikir sistematis tentang pelaku pelaku yang berbeda yang mungkin mempengaruhi kebijakan, tetapi juga berfungsi seperti peta.

Isi kebijakan

Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang menjadi pandemi global telah berdampak serius terhadap sendi-sendi ekonomi dan kesehatan masyarakat desa, Kementerian Desa telah melakukan sejumlah langkah untuk memutus mata rantai penyebaran Virus Corona ini dan mencegahnya masuk ke desa.

Salah satunya diterbitkan Surat Edaran Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi Nomor 8 Tahun 2020 tentang Desa Tanggap Covid-19 dan Penegasan Padat Karya Tunai Desa di mana di dalam kebijakan tersebut berisi tentang pembentukan tim relawan desa untuk menanggulangi penyebaran Covid-19.

Tim relawan desa inilah yang akan begerak di seluruh wilayah desa selain untuk sosialisasi tentang protokol kesehatan dalam melawan Covid-19 ini. Selain itu, mereka menfokuskan diri agar desa terhindar dari dampak yang lebih jauh dari keberadaan Covid-19 ini.

Pelaksanaan tugas harian mereka pun disokong oleh dana desa karena semua desa di Indonesia mendapatkan dana yang jumlahnya cukup untuk usaha penanggulangan ini. Kerja pemerintah desa (pemdes) pun tetap terpadu dan efektif serta efisien. Pemdes menjadikan tim relawan Covid-19 desa ini sebagai acuan dalam penggunaan dana desa untuk pencegahan dan penanganan masyarakat yang terdampak Covid-19.

Aktor: Semua Elemen

Hampir semua elemen di dalam desa ikut serta sebagai aktor/pelaku di dalam mengaplikasikan kebijakan ini di desa. Tentu, peran pemerintah dalam hal ini Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi sebagai penginisiasi kebijakan mengeluarkan aturan sangat tepat. Setelah melihat keadaan desa-desa di Indonesia yang juga terdampak Covid-19, Kemendes PDTT harus mampu merumuskan secara tepat apa yang dibutuhkan semua desa. Dari pusat pun dikeluarkan kebijakan untuk penanggulangan pandemi ini.

Pemdes dan perangkatnya melalui tim relawan desa kemudian mengeksekusi kebijakan pada tataran warga. Selain itu Anggota BPD, Kepala dusun, Ketua RW, Ketua RT, Pendamping Lokal Desa, Pendamping Program Keluarga Harapan (PKH), Pendamping Desa Sehat, Pendamping lainnya yang berdomisili di desa, bidan dan perawat desa, karang taruna, PKK, Kader Penggerak Masyarakat desa (KPMD), pendamping desa ikut terlibat aktif sesuai dengan tugas pokok masing-masing.

Selain itu, tentu kehadiran tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat sangat dibutuhkan dalam rangka memberikan dorongan kepada masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan sebagaimana yang dianjurkan pemerintah.

Dalam rangka menghadapi gangguan keamanan yang mungkin terjadi, elemen Babinkamtibmas dan Babinsa yang ada di desa juga diaktifkan sehingga segala cara penanggulangan dapat terlaksana dalam suasana yang kondusif.

Konteks Kebijakan

Corona Virus Disease 2019 telah dinyatakan oleh WHO sebagai pandemik dan Pemerintah Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 telah menyatakan Covid-19 sebagai kedaruratan kesehatan masyarakat yang wajib dilakukan upaya penanggulangan.

Dengan keadaan demikian Masyarakat desa sangat merasakan dampak keadaan tersebut, maka pemerintah desa sebagai suatu lembaga yang sangat dekat dengan masyarakat desa membutuhkan suatu regulasi yang tepat, guna menolong warganya yang terdampak Covid-19. Dengan demikian, kebijakan Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi No. 8 tahun 2020 tentang desa tanggap covid-19 dan penegasan padat karya tunai desa merupakan suatu angin segar bagi para pemerintah desa dalam mengelola dana desa untuk pencegahan dan penanganan Covid-19 di tingkat desa dengan harapan dapat bermanfaat bagi keselamatan dan kesejahteraan warga desa.

Proses Kebijakan

Pencegahan dan pengendalian penyebaran wabah Covid-19 yang telah menjadi pandemi global dan telah menjangkau desa. Dampak serius COVID-19 terhadap semua sendi-sendi perekonomian dan kesehatan masyarakat yang berada di desa. Adanya kebutuhan peningkatan belanja di desa untuk mitigasi risiko kesehatan, melindungi masyarakat dan menjaga aktivitas usaha masyarakat desa, membuat dipandang perlu ada suatu kebijakan yang pro masyarakat desa agar mengurangi kepanikan masyarakat desa karena adanya berbagai informasi yang tidak jelas dan tidak dapat di pertanggungjawab tentang covid-19.

Kalau tak ada antisipasi komprehensif dan masif, penyebaran Virus Corona ke pedesaan, bisa banyak terjadi. Dengan keadaan demikian Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) memandang perlu adanya suatu kebijakan yang dapat membantu masyarakat desa agar tidak terus berada dalam ketidakberdayaan. Oleh karena itu, melalui Surat Edaran No. 8 tahun 2020 tentang desa tanggap covid-19 dan penegasan padat karya tunai desa bertujuan sebagai acuan bagi pemerintah desa dalam menggunanakan dana desa untuk menolong masyaratnya melawan pandemi covid-19.

Harapannya instruksi yang terkandung dalam kebijakan tersebut dapat dioptimalisasi dalam melakukan pencegahan dan penanganan pandemi covid-19 di desa serta menghindari terciptanya konflik baru dalam menjalankan kebijakan yang ada. Oleh karenanya, sangat diharapkan peran serta masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan kebijakan ini, pelaksanan instruksi dari kebijakan tersebut pemerintah desa tidak bisa berjalan sendiri.

Dengan demikian, pemerintah daerah melalui bidang terkait untuk turut serta dalam melakukan pengawasan terhadap penerapan kebijakan tersebut di tingkat desa agar meminimalisir kesalahan interpretasi dari instruksi yang termuat dalam surat edaran.

Salah satu hasil pengamatan penulis tentang kesadaran masyarakat dalam pencegahan Covid-19 dengan penggunaan alat pelindung diri (APD) seperti masker pada saat aktivitas di luar rumah hal, menemukan bahwa sebagian besar warga desa sudah sadar untuk penggunaan APD ini.

Ini bukan tidak mungkin berkat kerja keras dari tim relawan desa lawan covid-19 melalui edukasi/memberikan informasi tentang penyakit Covid-19 seperti gejalanya, cara penularannya dan pencegahannya. Kesadaran demikian juga menunjukkan salah satu bukti keberhasilan dari tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (Puskesmas) yang terus memberikan edukasi melalui upaya promotif dan preventif untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat walaupun kita tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa masih ada masyarakat yang mengabaikan protokol kesehatan lainnya terutama di era New Normal sekarang ini dan itu adalah tugas kita bersama (Aku, Kamu dan Kita semua) ke depannya agar kita bisa menang melawan Covid-19. #Keluarga Sehat, Masyarakat Sehat, Indonesia Menang#

REFENSI: Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); WHO. 2020. What You Need To Know About Handling Covid-19; Dumilah Ayuningtyas. 2019. Analisa Kebijakan Kesehatan Prinsip dan Aplikasi

sumber: http://kastra.co/2020/07/10/kebijakan-kesehatan-desa-tanggap-covid-19-mampu-membangun-kesadaran-warga/

 

Soal Kelas Standar BPJS Kesehatan, Konsultan JKN: Pemerintah Bisa Terapkan Model PBI atau Non-PBI

Pembahasan terkait sistem pelayanan dan fasilitas BPJS hingga saat ini belum sampai pada tahap keputusan akhir.

Konsultan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Hasbullah Thabran mengatakan keputusan sistem pelayanan dan fasilitas BPJS Kesehatan ini perlu dilakukan penyederhanaan secara bertahap.

Pemerintah dan DPR RI, kata Hasbullah dapat menerapkan model pembagian dua kelas, yakni Penerima Bantuan Iuran (PBI) atau non Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI).

"Itu sesuai dengan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), tentang pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar sudah tertuang di dalam Pasal 23 ayat (4). Artinya, tidak ada lagi pengkelasan layanan seperti saat ini yang terdiri dari kelas I, kelas II, dan kelas III," jelasnya.

Ia menegaskan, bisa jadi nanti dibentuk satu kelas bernama kelas campuran yang menghimpun kelas tingkat I dan tingkat II. Ia pun menyebut, yang berbeda nantinya hanya pada ruang perawatannya saja.

“Masih dalam pembahasan. Bisa jadi nanti akan namanya kelas campuran. Jadi ada standar kita tidak lagi kenal kelas I kelas II, nanti ada stadar. Karena ini hanya untuk ruang perawatan saja. Di luar ruang perawatan sama tidak ada bedanya. Jadi nanti satu ruangan sekian meter persegi untuk satu pasien,” ungkapnya.

Nantinya, lanjut Hasbullah, rumah sakit harus menyesuaikan dengan aturan yang berlaku. Seperti pengadaan ruangan yang lebih banyak bagi para pasien.

“Jadi kelas yang dibikin baru, Jadi setiap rumah sakit harus menyesuaikan dengan standar yang baru itu,” kata dia.

Namun, Hasbullah memaparkan model tersebut masih belum ditetapkan sebagai peraturan perundang-undangan.

“Saat rapat dengan tim sudah disepakati model itu, tapi belum keluar sebagai peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dengan peraturan kementerian,” tutur Hasbullah. 

sumber: https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01566482/soal-kelas-standar-bpjs-kesehatan-konsultan-jkn-pemerintah-bisa-terapkan-model-pbi-atau-non-pbi?

 

 

Menko PMK Sebut 3 Keluhan Terbanyak Peserta JKN, Apa Saja?

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, hingga saat ini masih banyak permasalahan yang sering dirasakan oleh masyakarat sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional ( JKN). Ia menyebut ada tiga hal keluhan yang paling tampak dan dirasakan oleh peserta JKN.

"Pertama yaitu masalah dalam mengakses pelayanan, kedua adalah keseteraan layanan dan ketiga adalah kualitas pelayanan. Tiga hal ini sering sekali menjadi keluhan yang dirasakan oleh masyarakat kita," ujarnya dalam peluncurkan buku Statistik JKN, Kamis (18/6/2020).

Muhadjir juga mengatakan saat ini banyak peserta yang seharusnya terdaftar tapi tidak memakai layanan ini. Bukan karena tidak membutuhkan layanan JKN, tetapi karena banyak masyarakat yang masih tidak mengerti cara penggunaanya.

Oleh sebab itu, kata dia, sosialisasi dan edukasi mengenai layanan ini sangatlah penting dilakukan agar masyarakat bisa lebih memanfaatkan layanan ini lagi. Sementara itu, mengenai permasalahan akses, ia menyebutkan masih banyak fasilitas infrastuktur di suatu daerah yang sangat minim.

Layanan kesehatan di berbagai lokasi yang jauh dari kota atau yang berada di pedalaman sangat kurang. "Sebenarnya masalah pemerataan dari fasilitas infrastruktur dan suprastruktur masih belum merata di Indonesia, apalagi fasilitas kesehatan," jelas dia.

Ia juga menyarankan, sangat perlu dilakukan pendekatan-pendekatan yang sifatnya lebih ke multidisipliner yang berkaitan dengan masalah jaminan kesehatan nasional. "Artinya apa, artinya kita masih punya pekerjaan yang sangat besar dan berat untuk kita tangani secara cepat dan tanpa banyak kompromi," ungkapnya.

Ia juga meminta kepada para stakeholder terkait baik yang berada di lapangan atau pun di tingkat atas untuk sama-sama bekerja sama dalam merealisasikan tugas dan layanan ini. "Saya kira ini menjadi tanggung jawab kita bersama, kalau kita ingin memberikan pelayanan yang adil, setara dan bisa terealisasikan maka perlu untuk kita saling bekerja sama agar jaminan sosial ini bisa terlaksana dengan baik," ungkap dia.

sumber: https://money.kompas.com/read/2020/06/19/085300426/menko-pmk-sebut-3-keluhan-terbanyak-peserta-jkn-apa-saja-

 

Ini 9 Daerah yang Tetapkan Status PSBB Setelah Disetujui Menkes

Pemerintah telah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar ( PSBB) untuk mencegah semakin meluasnya penularan Covid-19. Penerapan PSBB telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Selasa (31/3/2020). Sementara itu, detail teknis dan syarat-syarat mengenai PSBB dituangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang ditandatangani oleh Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto.

Melansir dari peraturan tersebut, PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi corona virus disease 2019 (Covid-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebarannya.

Agar bisa menetapkan PSBB, setiap wilayah harus memenuhi kriteria: Jumlah kasus dan atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah. Terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain. Apabila PSBB dilaksanakan di suatu wilayah maka pelaksanaan PSBB meliputi beberapa hal, yakni peliburan tempat sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di fasilitas umum.

Namun, peliburan dan pembatasan tersebut dikecualikan untuk pelayanan tertentu seperti pelayanan kebutuhan bahan pangan, pelayanan kesehatan dan keuangan. Pembatasan juga dikecualikan untuk pelayanan kesehatan, pasar, toko, supermarket dan fasilitas kesehatan. Lantas di daerah mana sajakah PSBB saat ini diterapkan? Berikut rangkumannya sebagaimana dikutip dari pemberitaan Kompas.com, Senin (13/4/2020).

DKI Jakarta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyampaikan bahwa penerapan PSBB di Jakarta akan mulai berlaku Jumat (10/4/2020) sampai Kamis 23 April 2020. PSBB tersebut akan berlaku selama 14 hari ke depan dan bisa diperpajang sesuai kebutuhan. “Terkait dengan masa berlakunya. Ini berlaku mulai besok tanggal 10 April sampai dengan 23 April 2020,” ujar Anies dalam konferensi pers di Balai Kota, Kamis (9/4/2020).

Untuk melaksanaan PSBB itu, Pemprov DKI Jakarta sudah menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Pergub tersebut memiliki 28 pasal yang mengatur seluruh kegiatan di Ibu Kota, baik kegiatan perekonomian, kegiatan sosial, kegiatan budaya, kegiatan keagamaan, maupun pendidikan Dia menegaskan bahwa selama masa pemberlakuan PSBB, seluruh masyarakat di Jakarta diwajibkan untuk mematuhi semua ketentuan.

Bogor, Depok, dan Bekasi Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyatakan, pemberlakukan PSBB di lima daerah yakni Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi (Bodebek) akan dimulai pada 15 April mendatang. Ia menyampaikan hal itu setelah video konferensi bersama lima kepala daerah di Bodebek beserta jajaran keamanan, Minggu (12/4/2020).

"Pak Menkes sudah mengirimkan surat persetujuan kemarin sore, yang menyatakan bahwa lima wilayah di Provinsi Jabar disetujui melaksanakan PSBB. Kami koordinasikan dan menetapkan bahwa PSBB di lima wilyah akan dimulai di hari Rabu dini hari tanggal 15, bulan April selama 14 hari," ucap dia. Menurut Emil, PSBB tak jauh beda dengan imbauan social distancing dari pemerintah. Hanya saja, aparat hukum diberikan kewenangan untuk memberi sanksi.

Kebijakan lainnya pun akan diatur oleh bupati dan wali kota. "Perbedaan PSBB dengan sebelumnya, sekarang aparat hukum diberikan kewenangan sanksi dari wali kota dan bupati, termasuk ojol diserahkan kebijakannya apakah dibolehkan atau tidak diserahkan ke wali kota bupati. Pabrik yang masih buka, saya sudah instruksikan mana yang boleh dan tidak boleh buka," ujar dia. Menurut dia, PSBB di tingkat kabupaten akan berbeda dengan di kota.

Emil mengatakan, akan ada skema berbeda mengingat wilayah kabupaten memiliki banyak pedesaan. "Yang menarik dari PSBB di lima wilayah, ada sifatnya kabupaten. Kabupaten ini berbeda mereka memiliki desa sehingga tidak bisa dilakukan PSBB seperti DKI Jakarta. Kabupaten Bogor dan Bekasi memutuskan PSBB dibagi dua.

Kecamatan tertentu di zona merah akan (PSBB) maksimal, sementara di zona lainnya akan menyesuaikan," ujar dia. Tangerang Raya Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan keputusan untuk menetapkan PSBB di wilayah Tangerang Raya. Wilayah Tangerang Raya meliputi Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan.

Surat Keputusan Menteri Kesehatan dengan nomor HK.01.07/ MENKES/249/2020 tentang penetapan PSBB dibenarkan oleh Kepala Bagian Humas Pemkot Tangerang Buceu Gartina. "Surat sudah diterima," kata dia saat dikonfirmasi Kompas.com melalui pesan singkat, Minggu (12/4/2020).

Dalam surat yang ditandatangani Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada Minggu 12 April 2020, dimuat kewajiban wilayah Tangerang Raya untuk melaksanakan PSBB sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. PSBB dilaksanakan selama masa inkubasi terpanjang virus Covid-19 atau selama 14 hari dan dapat diperpanjang jika masih terdapat bukti penyebaran.

"Keputusan Menteri ini mulai diberlakukan pada tanggal ditetapkan," demikian bunyi surat tersebut. Sementara itu, Wali Kota Tangerang Arief Wismansyah mengatakan, penerapan status PSBB di wilayah Tangerang Raya akan dibahas Senin (13/4/2020) pukul 13.00 WIB. "Rencananya besok jam 1 siang akan dilakukan rapat," ujar dia saat dikonfirmasi, Minggu.

Arief mengatakan, pembahasan akan melibatkan Gubernur Banten dan tiga pimpinan daerah Tangerang Raya, yakni Bupati Tangerang, Wali Kota Tangerang Selatan, dan Wali Kota Tangerang. "Rapat oleh pak gubernur dengan (pimpinan) 3 wilayah (Tangerang Raya) memutuskan kapan PSBB (diterapkan)," ucap Arief.

Arief mengatakan, saat ini Pemkot Tangerang sedang melakukan finalisasi draf Peraturan Wali Kota untuk penerapan PSBB. Dia juga memastikan permintaan penerapan status PSBB sudah disetujui oleh Menteri Kesehatan. Pihaknya sudah menerima surat keputusan menteri tersebut.

Sementara itu, hingga Minggu (12/4/2020), jumlah pasien Covid-19 yang terkonfirmasi positif bertambah 399 orang. Dengan bertambahnya pasien tersebut, total kasus Covid-19 yang terkonfirmasi positif di Indonesia menjadi 4.241 kasus. Sebanyak 373 orang diantaranya meninggal dan 359 orang sembuh.

sumber: https://nasional.kompas.com/read/2020/04/13/09493201/ini-9-daerah-yang-tetapkan-status-psbb-setelah-disetujui-menkes

 

Pakar Kesehatan: Hanya Satu Rumah Sakit di Indonesia yang Siap Tangani Virus Corona

Sejumlah negara di berbagai belahan dunia, mulai meningkatkan statusnya menjadi siaga terkait penyebaran virus corona. Kendati demikian, rata-rata rumah sakit di Indonesia dinilai belum siap dalam menangani kasus virus mematikan tersebut.

Hal itu disampaikan langsung Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia dan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, Hermawan Saputra ketika menjadi pembicara dalam diskusi 'Mengukur Efek Corona: Siapkah Kita?' di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat, Sabtu (29/2/2020).

"Kami harus mengakui, rata-rata rumah sakit di sini (Indonesia). Mohon maaf saja, belum betul-betul siap untuk ruang isolasi untuk kasus yang mematikan seperti ini (virus corona)," katanya.

Sejauh ini, Hermawan menganggap, secara kelengkapan fasilitas hanya Rumah Sakit Pemerintah Pusat di bawah naungan Kemenkes saja yang siap menangani kasus virus corona.

"Kalau pun kita akui, baru di Rumah Sakit Pemerintah Pusat yang dimiliki langsung di bawah kemenkes ini yang sudah siap," ujarnya.

Bandingkan dengan China
Dirinya pun membandingkan kesiapan infrastruktur yang dilakukan pemerintah Republik Rakyat Tiongkok dengan Republik Indonesia.

"Bayangkan kalau ini terjadi di Bali. Pulau ini tidak hanya banyak perjalanan internasional, tapi juga nasional. Kalau kita mengakses ke wilayah Indonesia bagian timur, pasti kita melewati sana, baik laut maupun udara," jelasnya.

"Artinya, kesiapan infrastruktur ini, apakah kita bisa melakukan hal yang dilakukan China. Menyulap rumah sakit infeksi yang lengkap hanya dengan sepuluh hari?," tambahnya.

Dalam menghadapi isu-isu yang beredar seputar kasus corona, Hermawan berharap agar masyarakat tetap tenang namun waspada terhadap kesehatan diri sendiri.

"Ini tantangan kita, kita tidak perlu panik, tapi waspada itu sangat penting," tandasnya.

(Yosafat Diva Bayu Wisesa)

sumber: https://www.liputan6.com/news/read/4190675/pakar-kesehatan-hanya-satu-rumah-sakit-di-indonesia-yang-siap-tangani-virus-corona

 

Hadapi COVID-19, Menkes Terawan Dorong Produksi Obat Modern Asli Indonesia

Menghadapi virus corona atau COVID-19, Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto mendorong produksi Obat Modern Asli Indonesia (OMAI). Hal tersebut sebagai upaya mengatasi terhentinya produksi bahan baku farmasi di Tiongkok.

Akibat wabah COVID-19, perdagangan ekspor impor terhenti, termasuk bahan baku farmasi. Kondisi ini cukup meresahkan industri farmasi di Indonesia karena 60 persen bahan baku impor farmasi dalam negeri berasal dari Tiongkok.

Oleh karena itu, perlu ada pengganti (subsitusi) bahan baku obat kimia ke bahan baku OMAI, yang berasal dari tanaman dan hewan asli Indonesia.

"Kita sudah mampu mensubstitusi bahan baku obat (dari kimia menjadi bahan baku obat tanaman dan hewan asli Indonesia). Dan ini sudah mengalami kemajuan. Ketersediaan bahan baku obat di dalam negeri terus tercapai dan hasilnya baik," ungkap Terawan usai acara Kunjungan Kerja Menteri Kesehatan RI "Penggunaan Hasil Riset OMAI di Dexa Site Cikarang, Bekasi, Jawa Barat beberapa hari lalu.

"Di sela-sela kesibukan mengurus urusan lain, saya juga cek di lapangan, bagaimana ketersediaan bahan baku obatnya (OMAI). Apakah benar-benar sudah tersedia dan cukup."

Dikabarkan karena dampak COVID-19, stok bahan baku impor bahan baku obat dari Tiongkok diperkirakan tersedia hingga Juni 2020. OMAI pun tidak kalah dengan bahan baku obat kimia.

"Saya sangat bangga yang dikembangkan bukan hanya obat fitofarmaka saja, tapi bahan substitusi bahan baku obat asli Indonesia yang paling penting. OMAI ini manfaatnya sangat besar dan baik. Efek sampingnya sangat kecil, bahkan dianggap tidak ada," lanjut Terawan.

Menilik pengembangan OMAI yang diproduksi Dexa Group, Terawan memandang produksi OMAI dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk memproduksi bahan baku obat dalam negeri. Geliat bahan baku obat produksi dalam negeri terus dibangun.

"Soal stok impor bahan baku obat dari Tiongkok itu saya melihat bukan sebagai kendala, hambatan atau tantangan. Justru karena virus corona ini jadi peluang buat kita," Terawan menambahkan.

"Tentunya, membuat kita berjuang memproduksi bahan baku obat dalam negeri sendiri. Karena bagaimanapun perdagangan tetap dibuka tapi kan mereka (Tiongkok) sendiri enggak produksi obat, yang membuat bagaimanapun perdagangan akan menurun."

Perdagangan yang menurun (impor bahan baku obat) menjadi kesempatan dalam negeri untuk memperkuat diri memenuhi kebutuhan bahan baku obat sendiri.

"Ini kesempatan luar biasa lho kita bisa memproduksi dan memanfaatkan bahan baku obat asli dalam negeri," ujar Terawan.

Executive Director of DLBS Raymond Tjandrawinata memberikan mencontohkan salah satu produk OMAI Dexa Group. Sebut saja Inlacin. Inlacin merupakan obat diabetes Fitofarmaka berbahan baku bungur dan kayu manis.

Bahan bakunya diperoleh dari petani di daerah Gunung Kerinci di Jambi.

"Produk ini telah teruji klinis dan memiliki efikasi yang sama dengan obat diabetes berbahan baku kimi, seperti Metformin. Produk ini juga telah diekspor ke Kamboja dan Filipina," kata Raymond.

sumber: https://www.liputan6.com/health/read/4186052/hadapi-covid-19-menkes-terawan-dorong-produksi-obat-modern-asli-indonesia

 

Minuman Ringan Kena Cukai Juga, Daya Beli Apa Kabar?

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman menilai pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis atau minuman ringan berpotensi menurunkan daya beli masyarakat. Pasalnya para pelaku usaha akan menaikkan harga pada produk minuman itu demi menyeimbangkan pendapatan mereka.
"Pengenaan cukai akan menaikkan harga dan akhirnya menurunkan daya beli masyarakat," kata Adhi kepada detikcom, Kamis (20/2/2020).

Rencana penerapan cukai terhadap minuman ringan itu disebut Adhi juga bakal memberatkan beban para pelaku usaha serta berujung pada penurunan penjualan perusahaan.

Meski demikian, Gapmmi belum menghitung potensi penurunan penjualan tersebut. Kini proses penghitungan kerugian tersebut tengah dikaji ulang oleh pihaknya tersebut.

"Belum dihitung ulang, tahun 2012 pernah dikaji lembaga independen, tapi kan sekarang kondisinya sudah berubah, jadi harus dikau ulang dulu," katanya.

Untuk diketahui, rencana pengenaan cukai pada minuman berpemanis ini disampaikan Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada Rabu (19/2/2020) kemarin. Dalam pertemuan tersebut, Sri Mulyani mengusulkan minuman berpemanis yang akan dikenakan cukai dibagi menjadi beberapa kelompok, seperti teh kemasan, minuman berkarbonasi, dan minuman berpemanis lainnya.

Adapun tarif cukai yang ditawarkan Sri Mulyani pada produk minuman berpemanis adalah Rp 1.500 per liter untuk teh kemasan. Produksi teh kemasan ini mencapai 2.191 juta liter per tahun, dari total produksi itu potensi penerimaannya mencapai Rp 2,7 triliun. Untuk produk karbonasi, Sri Mulyani mengusulkan tarif cukainya sebesar Rp 2.500 per liter.

Meski demikian, pemerintah juga memberikan pengecualian atau pembebasan cukai terhadap produk minuman berpemanis lainnya seperti yang dibuat dan dikemas non pabrikasi, madu dan jus sayur tanpa tambahan gula, dan barang yang diekspor.

sumber: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4906937/minuman-ringan-kena-cukai-juga-daya-beli-apa-kabar