Reportase Diseminasi Evaluasi Peta Jalan JKN 2014 – 2018 dengan Pendekatan Realist Evaluation Sesi Tata Kelola

Jakarta, 31 Januari 2019

31jan 2 

PKMK – Jakarta. M. Faozi Kurniawan selaku peneliti dalam monev JKN berbasis realist evaluation menyatakan tata kelola menjadi bagian penting dalam upaya terciptanya pengelolaan organisasi termasuk pengelolaan JKN oleh BPJS Kesehatan. Peneliti PKMK FK - KMK UGM mengemukakan bahwa pada topik tata kelola, evaluasi JKN difokuskan pada sasaran 1, 5 dan 8. Pada sasaran 1 terdapat gotong royong terbalik dimana PBI mendanai kelompok PBPU yang dikarenakan kelompok PBI lebih banyak tidak menggunakan akses pelayanan kesehatan karena terbatasnya akses.

PBPU mengalami defisit yang lebih banyak karena terjadi tunggakan iuran dan keaktifan kepesertaan. Pada sasaran 5, koordinasi dan harmonisasi regulasi yang kurang selaras antara BPJS Kesehatan dan kementerian / lembaga. Regulasi yang berganti sangat cepat mengurangi posisi tawar provider untuk memperbaiki pelayanan. Pada sasaran 8, akses data yang sanagt terbatas dari BPJS Kesehatan, dimana data yang diperoleh hanya berupa presentasi buka data yang dapat digunakan untuk berbagai penentuan kebijakan. Keterbatasan akses data menyebabkan Pemda belum bisa ikut berperan dalam pelaksanaan kebijakan JKN termasuk membantu mengatasi defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan. Sifat sentralistik BPJS Kesehatan tidak memberikan kewenangan BPJS Kesehatan cabang untuk berbagi data dengan pemerintah daerah.

Suminto, S.Sos., M.Sc., PhD sebagai Staf Ahli Kementerian Keuangan mengemukakan bahwa isu ini sangat provokatif. Data terkait segmentasi pernah juga dibahas dalam beberapa pertemuan yang menunjukkan bahwa defisit terbesar pada peserta PBPU dan segmen bukan pekerja. Kemudian dari sisi regional bahwa terjadi ketidakadilan antara daerah satu dengan yang lainnya serta tidak seimbangnya benefit antar wilayah. Pemerintah telah melakukan intervensi dalam pelaksanaan JKN yaitu:

  1. Membayar 3% atas iuran PPU untuk PNS, ABRI/ POLRI
  2. Membayar 5% dari pension sebesar 5 T
  3. Membayar PBI 92,4 juta jiwa sebesar 25,5 T
  4. Menutup defisit melalui bantuan APBN sebesar 10,5 T

Dr. Widyastuti, MKM sebagai Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI
Sebelum JKN diberlakukan, 44 puskesmas di DKI Jakarta sudah BLUD, sehingga pengelolaan keuangan lebih baik dan sudah lebih mandiri. Dengan adanya kebijakan Gubernur, semua penduduk KTP DKI yang akan dirawat di kelas 3 dibiayai oleh Pemda. Pemprov DKI bersama Dukcapil melakukan harmonisasi terkait data tersebut. Cakupan kepesertaan jaminan kesehatan sudah hampir 99 %. Sumber dana setiap tahun 1,5 T untuk yang ber - KTP DKI dan kelas 3.

Pemda membayar untuk PBI sebesar 1,5T dari APBD provinsi ke BPJS Kesehatan, sekitar 3 T perkiraan dana non PBI ke BPJS Kesehatan, sehingga totalnya 4,5 T ke BPJS Kesehatan. Sedangkan dana yang kita terima dari BPJS Kesehatan yaitu dana kapitasi puskesmas 470 M, klaim CBGs 5,5 T, sehingga total 6,5 T. jadi selisih lebih juga dialami DKI Jakarta seperti D. I Yogyakarta. Namun perlu dilihat kembali terkait portabilitas, fasilitas kesehatan di DKI merupakan faskes rujukan nasional.

dr. Stefanus Bria Seran, MPH sebagai Bupati Kabupaten Malaka.
Kebijakan pemerintah pusat maupun kementerian/ lembaga di tingkat pusat akan dilakukan di tingkat daerah, sehingga perlu dilihat kembali bagaimana pelaksanaan kebijakan tersebut di daerah. Adanya acuan kebijakan atau perundangan yaitu UU No. 23 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menjadi dasar pelaksanaan kebijakan JKN di daerah. Pada UU No. 23 Tahun 2014 Pasal 12 menyatakan bahwa kesehatan menjadi urusan wajib, sehingga pemerintah daerah harus memberikan prioritas pada kesehatan. Lalu mengapa pemerintah daerah perlu dilibatkan, berikut beberapa alasannya:

  1. Pemda mempunyai peserta atau rakyat
  2. Pemda mempunyai faskes FKTP dan FKTL
  3. Pemda mempunyai APBD
  4. Pemda mempunyai OPD/ Dinas-dinas
  5. Pemda mempunyai kewenangan untuk menetapkan Perda, Perbup dan Perwal

Dari perhitungan Kabupaten Malaka dana PBI APBN dan PBI APBD serta beban yang dikeluarkan untuk Kabupaten Malaka seperti kapitasi dan klaim INA CBGs menunjukkan lebih dari 50 milyar terjadi selisih dan itu tidak dikembalikan ke daerah. Apabila dikaitkan dengan pengelolaan dana jaminan kesehatan secara mandiri yaitu layanan kesehatan dari jumlah e-KTP yang dibiayai APBD Kabupaten Malaka yaitu 68.410 x 23.000 x 12 = 18 Milyar dengan metode fee for service. Beban 2016 ialah 700 juta, pada 2017 sebesar 5,8 M, dan 2018 totalnya 9,7 M. Selisih pembiayaan anatara pengelolaan dengan BPJS Kesehatan dengan mengelola sendiri yaitu 40 M selama 3 tahun. Dana ini dapat dikembalikan ke daerah untuk pembangunan di daerah.

Beberapa rekomendasi yang diusulkan oleh Bupati Malaka antara lain:

  1. Pemda memberikan pelayanan di faskes FKTP dan FKTL (RSUD kelas B, C, dan D)
  2. BPJS Kesehatan 
    1. BPJS Kesehatan mengelola rujukan Tk 2 dan Tk 3 
    2. BPJS Kesehatan mengelola lintas wilayah 
    3. BPJS Kesehatan mengelola peserta pilihan. Tarif harusnya ditentukan oleh Pemda. Sementara Kemenkes menentukan kualitas layanan
  3. Kemenkes mengurus: 
    1. Pengembangan Faskes
    2. Kendali mutu Yankes
    3. Regulasi Yankes
  4. Kemenkeu
    1. Budget 

Sesi Diskusi

Peserta pertemuan menanyakan terkait penggunaan dana BPJS Kesehatan untuk biaya non pelayanan seperti transportasi sumber dananya darimana? Pembahas mengemukakan bahwa biaya tersebut dapat diambil dari BPJS Kesehatan yang dapat diklaimkan. Untuk dana transportasi yang lain bisa diklaimkan ke pemerintah daerah. Peserta lain juga menekankan perlunya me - review kembali data – data terkait dengan pengumpulan iuran dan beban yang dikeluarkan oleh suatu daerah. Misal di Kabupaten Malaka, beban yang dikeluarkan oleh rumah sakit sekitar 11 M selama 3 tahun.

Bagi Kementerian Keuangan perlu dilihat kembali mengapa iuran tidak dinaikkan, apakah karena terkait politik. Iuran tidak dapat dinaikkan tanpa melihat tingkat daya beli masyarakat, apakah memberatkan masyarakat atau tidak. Untuk menutup deficit, langkah yang harusnya dilakukan adalah upaya BPJS Kesehatan mengejar kepesertaan PBPU dan mengejar ketidakaktifan peserta. Bagi DKI Jakarta perhitungan iuran dan beban menjadi bahan diskusi dengan BPJS Kesehatan untuk akses data yang lebih detail. Evaluasi menyeluruh penyelnggaraan JKN di DKI Jakarta menjadi langkah selanjutnya untuk melihat pelaksanaan JKN di DKI Jakarta. Seperti,

  1. Segmen PBPU defisit – diceklagi atau di cek PBI untuk daftar nama peserta yang sehat dan PBPU yang sakit. Atau mencakup seluruh warga negara Indonesia.
  2. Mengapa uran tidak dinaikkan apakah ada unsur politik.
  3. Selisih pendapatan dan beban – perlu dick

Stefanus menyatakan bahwa transportasi ditanggung BPJS Kesehatan, untuk trnsportasi antar RS Pemda yang menanggung. Data di RSUD yaitu 11 M selama 3 tahun terkait dana ini.

Kemenkeu menegaskan penyebab defisit yaitu PBPU, pensiun dan PBI daerah. PBPU yang aktif hanya 54 % dan 46% tidak aktif membayar. PBPU sifatnya mandiri maka terjadi fenomena adverse selection, orang yang membutuhkan layanan mendaftar, setelah mendapat pelayanan dia akan berhenti membayar iur. Sehingga tugas BPJS Kesehatan mengejar peserta JKN. Lalu prtanyaan lain ialah mengapa sulit menaikkan iuran, Kemenkeu mempertimbangkan banyak hal seperti daya beli masyarakat, akan memberatkan masyarakat atau tidak dan seterusnya.

Perwakilan dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyatakan memang perlu dicekkembali terkait perhitungan pendapatan dan beban JKN. Perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terkait JKN, dan DKI Jakarta menegaskan siap kolaborasi terkait JKN di DKI. Peneliti menutup sesi dengan menyatakan akan melakukan perbaikan pada penelitiannya.

Reporter M Faozi Kurniawan

 

Add comment

Security code
Refresh