Strategi Pandemi dan Mitigasi COVID-19: Implikasi Terhadap Kesehatan dan Gizi Pada Ibu dan Anak

kia

Dampak Coronavirus 2019 (COVID-19) mempengaruhi tatanan dalam masyarakat, salah satunya sektor kesehatan. Pemanfaatan dan penyediaan layanan kesehatan khususnya layanan ibu dan anak terhambat dan akhirnya akan mengakibatkan peningkatan angka kematian ibu dan anak serta masalah kesehatan ibu dan anak lainnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Temesgen (2021) menunjukkan bahwa rendahnya pemanfaatan layanan ibu dikarenakan adanya kecemasan dan kekhawatiran mengunjungi layanan kesehatan sehingga mereka mengubah rencana dan merasa nyaman persalinan di rumah agar keluarga mereka tidak terpapar infeksi COVID-19. Di sisi lain, COVID-19 juga berdampak pada sektor lain seperti ekonomi, pangan, perlindungan sosial termasuk layanan dan akses air bersih dan sanitasi (Akseer, 2020).

 

Jika melihat kondisi wanita usia produktif, anak - anak, remaja dan orangtua pada 2019, terdapat diantara 690 juta orang mengalami kekurangan gizi, 2 milliar rawan pangan dan 3 milliar tidak mampu membeli makanan sehat. Selain itu, pada kondisi anak dan balita, terdapat 144 juta tumbuh terhambat, 47 juta kurus, 38 juta kelebihan berat badan dan sedikitnya 340 juta menderita kekurangan zat gizi mikro. Adanya situasi COVID-19 semakin meningkatnya kondisi tersebut, diproyeksikan pada 2022 kurang lebih 9,3 juta anak terbuang, 2,6 juta anak terhambat dan 168.000 kematian anak di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Bank Dunia juga memperkirakan adanya COVID-19 bertambahnya 83 hingga 132 juta orang dewasa kekurangan gizi, dan 88 hingga 115 juta orang mengalami pengeluaran penduduk di bawah Rp. 27.235.07 per kapita per hari (Carducci, 2021).

Upaya yang dapat dilakukan selama pandemi COVID-19 dengan 1) intervensi kerawanan pangan berupa bantuan pangan darurat untuk mengurangi stunting; 2) program perlindungan sosial bagi masyarakat rentan untuk mencegah kesehatan yang buruk dan kekurangan gizi kronis pada anak; 3) akses pelayanan kesehatan bagi daerah terpencil dan sulit diakses, termasuk menyediakan petugas kesehatan yang dapat memberikan layanan vaksin, layanan antenatal dan rujukan; 4) mengedukasi masyarakat dengan melibatkan kader dan kelompok pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK); dan 5) lingkungan masyarakat yang bersih dan sehat guna mendorong masyarakat berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

Penulis: Agus Salim - Peneliti Divisi Kebijakan Kesehatan Masyarakat PKMK FK-KMK UGM

Selengkapnya: