Hasil Penelitian Penilaian Beban Kerja Tenaga Kesehatan dan Lingkungan Kerja yang Mendukung Selama Pandemi COVID-19

artikel24marPandemi COVID-19 telah menjadi tantangan pada sistem kesehatan dan dalam banyak kasus, melebihi kapasitas rumah sakit dan unit perawatan intensif (ICU). Para profesional kesehatan di fasilitas rujukan COVID-19 bekerja berjam - jam dengan mengenakan alat pelindung diri (APD) yang merepotkan dan tidak nyaman. Petugas kesehatan terus memberikan perawatan untuk pasien meskipun kelelahan, berisiko infeksi pribadi, ketakutan menularkan ke anggota keluarga, kecemasan terhadap penyakit atau kematian teman dan kolega, dan kehilangan banyak pasien.

Ditambah lagi ketika gelombang pertama dan kedua pandemi COVID-19 terjadi, tenaga kesehatan semakin berisiko cukup tinggi untuk terkena virus ini. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kebijakan dan Manajemen (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK - KMK) UGM bekerja sama dengan WHO Indonesia dan Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga, Kementerian Kesehatan, Republik Indonesia melakukan kajian terhadap situasi terkait petugas kesehatan, termasuk beban kerja dan lingkungan kerjanya di rumah sakit rujukan COVID-19.

 

Pertanyaan penelitian pada studi ini ada dua yaitu, pertama, apakah fasilitas menyediakan lingkungan yang aman dengan kontrol teknik dan administratif yang memadai untuk mempromosikan perawatan pasien yang aman terkait COVID-19 dan melindungi kesehatan dan kesejahteraan staf? Kedua, seberapa besar tekanan beban kerja pada petugas kesehatan selama pandemi COVID-19 dan berapa banyak petugas kesehatan yang dibutuhkan untuk mengatasi beban kerja fasilitas kesehatan tersebut?.

Lokasi penelitian dipilih melalui pendekatan purposive sampling. Mengingat penyebaran dan jumlah kasus COVID-19 di beberapa pulau di Indonesia, dipilihlah 4 provinsi yang dapat mewakili situasi Indonesia saat ini dalam menangani 19 pasien COVID-19, yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara. Penilaian dilakukan di 4 rumah sakit dan 2 puskesmas. Terdapat total 24 fasilitas Kesehatan yang dilakukan penilaian. Pengambilan data dilakukan pada September - Oktober 2021.

Dari 14 RS yang dilakukan penilaian menggunakan instrumen safe environment dari WHO dengan 13 kategori penilaian yaitu prinsip dasar, skrining, ruang tunggu, triase, UGD, sampling, pintu masuk staf, ruang ganti, kantor, bangsal kasus ringan dan sedang, bangsal kasus parah dan kritis, kamar mayat, dan doffing. Secara umum, kategori yang paling banyak dipenuhi oleh RS adalah skrining, ruang ganti, dan kantor sedangkan yang paling sedikit dipenuhi oleh RS adalah kamar jenazah dan doffing. Setiap kategori penilaian terdiri dari beberapa macam variabel. Misalnya untuk kategori skrining terdiri dari variabel lokasi, akses, jarak/pembatas, praktik PPI dan sebagainya.

Puskesmas yang dilakukan penilaian menggunakan instrumen safe environment berjumlah 8 puskesmas. Dari 13 kategori penilaian, ada beberapa kategori yang tidak tersedia (not applicable) di puskesmas seperti prinsip dasar, triase, bangsal kasus ringan dan sedang, bangsal kasus parah, dan kamar mayat. Secara umum, beberapa variabel yang dinilai telah memiliki kesiapan dan kapasitas yang paling banyak dicapai antara lain pelaksanaan praktik PPI, penyediaan infrastruktur dan suplai PPI, serta pembersihan dan disinfeksi permukaan.

Dari temuan kualitatif, didapatkan bahwa seluruh faskes mengubah tata kelola pelayanan pasien sejak dimulainya pandemi COVID-19. Perubahan ini termasuk di dalamnya adalah mengubah alur masuk pasien, dengan memperketat bagian skrining pasien maupun kepada pengunjung. Di beberapa puskesmas, untuk memungkinkan ventilasi dan pertukaran udara yang baik, maka mengganti ruang pemeriksaan pasien. Rumah sakit juga kemudian berupaya dengan memodifikasi salah satu ruangan di rumah sakit mereka untuk menjadi ruangan perawatan pasien COVID-19.

Ruangan tersebut didesain agar bisa memenuhi kriteria ruang perawatan infeksi. Selain itu, manajemen rumah sakit juga secara sigap melakukan perubahan kebijakan seperti membuat SK struktur tanggap COVID-19, kemudian membuat zonasi area lewat SK direktur, pengadaan infrastruktur PPI di setiap bagian RS, dan membuat protokol pelayanan pasien.

Terkait beban kerja tenaga kesehatan selama masa pandemi, adanya tenaga kesehatan yang terkontaminasi virus COVID-19 sehingga harus dilakukan karantina selama maksimal 14 hari sesuai protokol karantina. menyebabkan kekurangan tenaga pemberi layanan di rumah sakit. Akibatnya, tenaga kesehatan yang tersedia dibebankan pekerjaan tambahan untuk menggantikan posisi tenaga yang terkonfirmasi COVID-19. Pandemi COVID-19 telah memberikan tantangan yang signifikan pada tenaga kesehatan. Mulai dari terinfeksi virus SARS-Cov-2 hingga mengalami kelelahan fisik maupun mental. Tenaga kesehatan dihadapkan dengan masalah mental akibat ketakutan akan penularan COVID-19 baik karena kontak dekat dengan pasien hingga tertular dari rekan mereka. Selain itu, tenaga kesehatan merasakan kekhawatiran akan menjadi pembawa virus COVID-19 bagi keluarganya.

Hal ini menempatkan beban mental pada tenaga kesehatan. Pada penelitian ini dilakukan perhitungan beban kerja memakai metode Workload Indicator Staff Need (WISN) untuk lima kategori tenaga kesehatan yaitu: perawat, bidan, tenaga laborat, dokter umum, dan dokter spesialis paru. Secara keseluruhan, seluruh semua kategori tenaga Kesehatan mengalami kekurangan di fasilitas kesehatan penyedia layanan COVID-19.

Adapun rekomendasi dari studi ini dibagi menjadi dua. Untuk tema lingkungan kerja yang aman, rekomendasinya adalah, pertama, perlu dilakukan perbaikan infrastruktur rumah sakit untuk mendukung menciptakan lingkungan kerja yang aman. Kedua, dibutuhkan pedoman dan regulasi terkait kesehatan dan keselamatan kerja, serta fasilitas yang mendukung yang bisa diaplikasikan di tingkat rumah sakit dan puskesmas. Selanjutnya, perlu melakukan kolaborasi yang terstruktur dan terencana untuk pencegahan dan pengendalian penularan infeksi di fasyankes.

Poin lainnya adalah perlu adanya pengawasan dari penegak hukum atau regulator terkait pelaksanaan protokol safe environment di rumah sakit maupun puskesmas. Bisa juga dilakukan integrasi instrumen Ensuring a safe environment for patients and staff in COVID-19 health care facilities dari WHO yang digunakan pada penelitian ini ke dalam sistem pelaporan rutin faskes sebagai bahan monitoring, evaluasi, dan pertimbangan untuk melakukan perencanaan dan pengambilan keputusan terkait penyediaan lingkungan yang aman untuk staf dan pasien.

Selain itu, rekomendasi untuk penilaian beban kerja adalah, perlunya penambahan tenaga dokter umum, perawat, tenaga laboratorium, dan dokter spesialis paru di fasilitas kesehatan yang menjadi rujukan COVID-19 untuk merespon kebutuhan pandemi. Selain itu, mekanisme pengalihan petugas dari unit lain dan rekrutmen tenaga kerja sementara dapat digunakan untuk menambah jumlah tenaga kesehatan yang dibutuhkan dalam situasi pandemi. Konsep WISN memiliki peluang untuk mendukung pendekatan perhitungan rencana kebutuhan SDMK yang telah diaplikasikan oleh Kementerian Kesehatan di puskesmas dan rumah sakit pemerintah saat ini.

Karena : (1) melalui WISN, pengguna mendapatkan kegiatan faktual dari tenaga kesehatan melalui Expert Working Group (EWG); (2) Menghitung seluruh tenaga kesehatan yang tersedia, bukan hanya mereka yang terdaftar sebagai pegawai negeri; (3) Mampu menyesuaikan waktu kebutuhan kegiatan berdasarkan kondisi wilayah; dan (4) Jenis beban kerja terbagi menjadi kegiatan utama, penunjang, dan tambahan. Sehingga memudahkan pemetaan aktivitas dari tenaga kesehatan tersebut.
Ringkasan temuan penelitian dapat diakses di sini.

Penulis ringkasan: Sandra Frans
Tim peneliti: Andreasta Meliala, Sandra Frans, Widy Hidayah , Faisal Mansur, dan Candra