Reportase Webinar Seri 3 Memperkuat Ideologi Pancasila Untuk Keadilan Sosial Kebijakan Kesehatan Pada Masa Pandemi

23 Juni 2021

23jun

PKMK FK-KMK UGM – Rabu, 23 Juni 2021 2021 Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan mengadakan diskusi seri 3 Forum Kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional Pendanaan Kesehatan Mendatang: Apakah Prinsip Keadilan Sosial Semakin Diperlukan? Diskusi seri 3 ini mengusung topik. Memperkuat Ideologi Pancasila Untuk Keadilan Sosial Kebijakan Kesehatan Pada Masa Pandemi. Narasumber dalam diskusi ini adalah Ketua Pusat Studi Pancasila UGM yaitu Drs. Agus Wahyudi, M.Si., MA., PhD dengan dipandu oleh Peneliti Kebijakan Pembiayaan Kesehatan dan JKN di PKMK yaitu M. Faozi Kurniawan, SE., Akt., MPH. Kegiatan ini terbagi atas tiga sesi, yaitu sesi pengantar, pemaparan materi narasumber, sesi pemabahasan dan diskusi.

Mengawali sesi diskusi seri 3, Ketua Board PKMK FK - KMK UGM sekaligus Staf Ahli Kementerian Kesehatan, Prof. Laksono Trisnantoro menyampaikan pemaparan pengantar dengan judul “Memperkuat Ideologi Pancasila dalam Kebijakan Pendanaan Kesehatan Pada Masa Pandemi dan setelahnya”. Dalam sesi pengantar, dijelaskan bahwa pembiayaan kesehatan yang berupa BPJS Kesehatan belum terlaksana sesuai dengan sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dana yang tersedia dalam BPJS Kesehatan baru mencapai prinsip equality belum mencapai prinsip equity. Equality dana diperuntukan bagi masyarakat sama rata, sementara equity dana diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap kelompok masyarakat.

Setelah itu, Prof Laksono juga melakukan review dari diskusi seri 1 dan seri 2 yang telah membahas kondisi ekonomi, APBN, pembiayaan kesehatan, kebutuhan sumber dana baru dalam pembiayaan kesehatan, dan pelaksanaan cost-sharing yang perlu dilakukan untuk pelayanan penyakit katastropik. Di akhir sesi pengantar, Prof Laksono mengusulkan untuk mewujudkan keadilan tersebut, pengambil keputusan perlu melakukan revisi UU SJSN dan UU BPJS yang dimana dari hasil evaluasi kebijakan JKN didapatkan bahwa terdapat narasi dari pasal - pasal tersbeut yang belum mencerminkan keadilan.

Setelah pengantar, dilanjutkan dengan pemaparan narasumber yaitu Agus Wahyudi. Pemaparannya diawali dengan menjelaskan bagaiamana sejarah Pancasila yang awal mulanya dibentuk untuk menangani tantangan dalam mempersatukan bangsa, mengembangkan sistem Kerjasama diantara orang orang yang berbeda. Agus Wahyudi menyatakan Pancasila memiliki nilai utama yaitu adalah Republik yang mengutamakan keadilan. Sementara itu, kesehatan dalam kaitannya dengan Pancasila ini merupakan suatu common goods yang membutuhkan kesadaran masyarakat untuk kebaikan bersama.

Pancasila sendiri memiliki beberapa ranah dalam implementasinya yaitu organisasi terkecil, masyarakat sipil dan negara atau hubungan antar bangsa. “Ranah implementasi Pancasila sendiri dapat dimulai dari keluarga atau hubungan terdekat dalam bentuk etika kepedulian, kemudian berkembang dalam masyarakat sipil, hingga masuk menjadi ranah negara maupun hubungan internasional berupa etika keadilan atau Pancasila sebagai dasar negara” ujar Agus Wahyudi.

Agus Wahyudi menekankan bahwa dalam ranah negara, Pancasila perlu menjadi landasan dasar untuk membentuk suatu nilai, prinsip, kebiajkan dan aturan. Dijelaskan juga bahwa terdapat perbedaan antara prinsip dan kebijakan dimana: prinsip adalah standar yang harus dipatuhi, bukan karena standar ini akan menyebabkan perbaikan situasi sosial, politik atau ekonomi yang diinginkan tetapi karena merupakan kebutuhan rasa keadilan atau kepatutan (fairness) atau karena dimensi moral yang lain; kebijakan. Sejenis standar yang menentukan suatu tujuan yang yang akan dicapai, umumnya sebagai peningkatan keadaan sosial, ekonomi dan politik sebuah masyarakat (meskipun sejumlah tujuan berorientasi negatif misalnya kebijakan untuk melindungi diri dari perubahan yang tidak diinginkan.

Pancasila memiliki hubungan dengan masalah pendanaan kesehatan yang terbagi menjadi tiga level yaitu: level prinsip, mengenai “equity” lebih penting dan seharusnya lebih menentukan dalam pertimbangan kebijakan pendanaan kesehatan dari pada “equality”. Cost-Sharing (untuk PPU dan PBPU) and COB yang berkeadilan merupakan kebijakan yang sesuai dengan prinsip “equity” yang seharusnya melandasi aturan/hukum pendanaan kesehatan; level kebijakan adalah Bagaimana mengatasi defisit dalam pendanaan kesehatan? Dalam ekonomi dengan sistem perpajakan yang lemah, mungkinkah mendorong masyarakat mampu untuk mendanai pelayanan kesehatan dan bagaimana strateginya?. Sedangkan level aturan atau hukum merupakan keharusan untuk merevisi UU SJSN dan UU BPJS.

Setelah narasumber menjelaskan tentang nilai - nilai dalam Pancasila, masing - masing pemabahas mendapatakan kesempatan untuk memberikan respons. Pembahas pertama dari Deputi Bidang Hukum, Advokasi, dan Pengawasan Regulasi, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yaitu Kemas Akhmad Tajuddin, S.H., M.H. Pembahas pertama menyampaikan bahwa terdapat dua level kebijakan berdasarkan pengamatan. Empirik yang menunjukan tidak keselarasan Pancasila apakah karena regulasi yang membuka ruang atau sisi hilir yaitu pelaksanaannya yang membuat persoalan adanya ketidakselarasan dengan Pancasila, sehingga kita perlu benahi dalam pelaksanaannya.

Namun, jika masalahanya hadir dari sisi hulu yaitu karena kebijakan, maka kita membutuhkan evidence untuk menyatakan perlu adanya revisi. Pemaparan dari pengantar dan narasumber mendapatkan sambutan baik dari Kemas Akhmad Tajudin dengan menyampaikan bahwa persoalan ini dapat menjadi kajian untuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. “Sebagaimana wewenangnya, kami memiliki tugas dan fungsi untuk membantu presiden dalam membina ideologi yang salah satunya adalah mengawasi regulasi yang sudah lahir dan dilahirkan telah selaras dengan nilai - nilai Pancasila atau belum. Dari penyampaian Prof Laksono, maka kami akan melakukan kajian dan menyampaikan rekomendasi kepada presiden untuk mendapatkan tindakan revisi” kata Tajudin.

Pembahas kedua adalah drg. Agus Suprato dari Deputi Peningkatan Pelayanan Kesehatan, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan, Kemenko PMK. Agus menjelaskan bahwa kondisi PBI APBN memang pada dasarnya mengalami peningkatan setiap tahun dalam kondisi sebelum pandemi, saat pandemi, dan diprakirakan akan meningkat pula pasca pandemi. Persoalan revisi UU SJSN dan UU BPJS menurutnya perlu mempehatikan dimensi sosial, politik, geografis, karena terdapat dinamika yang berbeda - beda hingga dapat menimbulkan suatu konflik kepentingan.

Selain itu, kebijakan JKN dirasanya tidka cukup jika hanya mempertimbangan sila kelima, Agus mengatakan bahwa terdapat sila ke satu hingga empat yang perlu dipertimbangkan. Hal tersebut dikarenakan, mencapai sila kelima perlu lebih dahulu atau secara bersamaan mewujudkan sila sebelumnya. Revisi kebijakan seperti UU SJSN dan UU BPJS ini merupakan hal ikremental yang juga akan menimbulkan konflik kepentingan antara pemangku kepentingan. Selain itu, ia menjelaskan bahwa persoalan tidak tercapainya keadilan dalam JKN juga bisa hadir karena praktik atau implemetasi yang masih belum optimal. Untuk itu, Agus Suprato mengharapkan usulan revisi ini dapat diperkuat dengan evidence based.

Setelah mendengarkan respons dari berbagai pengambil keputusan, moderator memberikan kesempatan kepada kelompok non pemerintah yaitu Forum Kajian Kebijakan Kesehatan Gunungan, Slamet R Yuwono. JKN dan ideologi tidak boleh dilepaskan juga dengan akar rumput negara ini yaitu UUD 1945 (alinea keempat, pasal 28 ayat 1), dan UU 36/2009. Dengan seluruh dasar tersebut memang sudah seharusnya seluruh masyarakat memiliki jaminan kesehatan. Akan tetapi, jaminan kesehatan untuk orang miskin dan tidak mampu menjadi urusan wajib negara.

Sementara jaminan kesehatan orang mampu dan kaya diatur oleh negara melalui seperti cost-sharing. Slamet mengakhiri responsnya dengan menyampaikan pepatah jawa “Wong mlarat openono, wong sugih urusono”. Negara diharapkan dapat betul - betul hadir untuk orang miskin di daerah yang dengan fasilitas memadai maupun dengan fasilitas kesehatan yang terbatas.

Setelah sesi pembahas, kegiatan seri tiga dilanjutkan dengan sesi diskusi yang mendapatkan tiga peserta. Hasil diskusi dapat iikuti pula melalui link video dan materi berikut.

Reporter: Tri Muhartini

Link Terkait:

 

 

Tags: reportase,, 2021,