Reportase UHC DAY - Leave No One’s Health Behind: Invest in health systems for all

Tidak Mengabaikan Kesehatan Siapa Pun: Berinvestasi Dalam Sistem Kesehatan Untuk Semua Kelompok Masyarakat

PKMK FK-KMK UGM – (13/12/2021) Memperingati UHC Day yang jatuh pada 12 Desember 2021 menyelenggarakan diskusi dengan topik “Tidak Mengabaikan Kesehatan Siapa Pun: Berinvestasi Dalam Sistem Kesehatan Untuk Semua Kelompok Masyarakat (Leave No One’s Health Behind: Invest in health systems for all)”. Hari Cakupan Kesehatan Universal (Universal Health Coverage (UHC) Day) adalah titik kumpul tahunan bagi para akademisi, peneliti dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengangkat suara mereka dan berbagi cerita tentang jutaan orang yang masih menunggu kesehatan, menyerukan para pemimpin untuk melakukan investasi yang lebih cerdas di bidang kesehatan dan mengingatkan dunia tentang pentingnya cakupan kesehatan universal (UHC). Dengan itu, diskusi ini dilakukan dengan tujuan untuk mendukung pemerintah memperkuat strategi untuk mencapai UHC dan mewujudkan pelayanan kesehatan yang berkeadilan di Indonesia.

Melalui dukungan Knowledge Sector Initiative (KSI), PKMK FK-KMK UGM mengundang beberapa pembicara yaitu Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD (Staf Khusus Menteri bidang Ketahanan (Resiliency) Industri Obat dan Alat Kesehatan dan Ketua Board PKMK FK-KMK UGM), Dr Yodi Mahendradhata,MSc,PhD, FRSPH (Wakil Dekan Bidang Kerjasama, Alumni dan Pengabdian Masyarakat FKKMK UGM), dr. Tiara Marthias, MPH, PhD - Dosen Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKMK UGM, dan Dr. Diah Ayu Puspandari, Apt. M.Kes (Ketua Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan, FK-KMK UGM). Selain itu, diskusi ini juga mengundang beberapa pembahas yaitu Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Direktur Pelayanan, BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, dr. Herfina Nababan (Perwakilan WHO di Indonesia) dan Dr. Eko Setyo Pambudi, S.Sos, MKM (Perwakilan World Bank di Indonesia). Selama diskusi berlangsung difasilitasi oleh M. Faozi Kurniawan SE, Akt, MPH selaku peneliti kebijakan JKN di PKMK FK-KMK UGM.

LTSesi pertama dari diskusi ini adalah pembuakaan yang disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD melalui paparan yang berujudul “Memastikan Semua Masyarakat Memiliki Akses untuk Pelayanan Kesehatan”. Dari paparan tersebut, Prof. Laksono menjelaskan tentang beberapa poin penting yaitu: 1) Klaim rasio BPJS Kesehatan dan pengaruh COVID-19 yang dijelaskan bahwasannya pandemi COVID 19 telah memberikan dampak kepada penurunan pasien dari BPJS Kesehatan dan terdapat perubahan menjadi pasien COVID-19 dengan dibiayai pemerintha; 2) Klaim rasio per segmen sebelum COVID-19 ditemuka terdapat peserta dari JKN yang masih memiliki status left behind. Peserta yang masih menyandang status left behind ini adalah peserta yang belum memanfaatkan JKN karena tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan; 3) Klaim rasio setiap provinsi dan kabupaten, dengan menggunakan data anekdot DIY dan NTT terlihat bahwa klaim di DIY lebih besar daripada NTT.

Hal ini tidak sejalan dengan jumlah kepesertaan dan iurannya kepesertaan dari DIY yang lebih kecil dari pada NTT; 4) Masalah akses, seperti kasus DIY yang kalimnya lebih besar dari NTT ini karena ketersediaan RS yang tidak merata antara provinsi dan kabupaten/kota. Di NTT yang masuk dalam kategori regional 5 dari 2012 – Juni 2020 pertumbuhan RS masih kecil dan cenderung stagnan jika dibandingkan dengan Regional 1 -3; 5) Prinsip keadilian sistem kesehatan di masa mendatang perlu memperhatikan transformasi sistem kesehatan nasional 2021-2024. Prof Laksono mengakhiri paparan pembukaanya dengan melemparkan pertanyaan untuk memantik diskusi “Apakah sebagian dana BPJS yang tersisa akibat Covid19 dapat dipakai untuk menjalankan Kompensasi agar memperbaiki akses?”

YMSetelah pembukaan, moderator memberikan kesempatan kepada narasumber pertama yaitu Dr Yodi Mahendradhata,MSc,PhD, FRSPH untuk memaparkan materi mengenai “Strengthening health systems for universal health coverage and health security”. Dr Yodi menjelaskan bahwa UHC telah ditinggalakn ketika kondisi pandemi COVID-19. Saat ini, ditengah pandemi sangat banyak hasil studi yang merkomendasikan tentang pandemic preparedness dan pandemic prevention tetapi sangat terbatas yang membahas tentang UHC. Sehingga UHC lebih banyak disampingkan, tetapi diberbagai rekomendasi dan hasil temuannya masih mempertahankan equity.

Namun, equity masih terbatas untuk akses dan fasilitas untuk vaksinansi atau masih bersifat sempeit. Sementara equity dalam kesehatan sesuatu yang luas untuk promosi, preventfi, dan pelayanan kesehatan lainnya. Dr Yodi juga menjelaskna bahwa sebetulnya telah ada temuan penelitian yang menjelaskn bahwa telah ada integrasi antara UHC, health security dan health system strengthening. Tidak hanya dari penelitian, suatu contoh hasil temuan empiris dari Haldane et al (2021) menemukan bahwa terdapat negara yang telah menghubungkan atau mengintegrasikan UHC dan health security.

TMNarasumber yang kedua adalah dr. Tiara Marthias, MPH, PhD
Tidak hanya mengenai berapa orang yang memiliki jaminan kesehatan tetapi juga berapa orang yang bisa mengakses layanan kesehatan. Selain itu dijelaskan pula kelompok rentan di Indonesia dari tahun ke tahun masih sama yaitu masyarakat miskin, pendidikan kebawah, dan masyarakat I daerah perdesaan dengan masih tingginya angka kematian ibu dan anak. Sementara dari beban penyakit yang terlihat paling banyak adalah yang berada dikelas menangah ke atas karena memiliki akses untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan. Sementara masyarakat yang kelas menenangah ke bawah masih belum teridentifikasi dengan optimal untuk mengtahui Riwayat penyakit tersebut karena keterbatasan akses memeriksakan diri. dr Tiara Mathias menjelaskn bahwa “left behind” dalam penyelenggaraan JKN adalah dari segmen yang tidak mampu dan miskin hal ini dibuktikan dari manfaat yang masih terbatas digunakan. Selain itu, dr Tiara juga mengusulkan untuk memonitor OOP dan dampak kemiskinanan akibat dari utilisasi pelayanan kesehatan.

DANarsumber terakhir adalah Dr. Diah Ayu Puspandari, Apt. M.Kes yang menjelaskan bahwa left behind tidak hanya terjadi pada peserta tetapi juga pada pelayanan kesehatan atau fasilitas kesehatan. Pemaparan pertama dari Dr. Diah menjelaskan tentang amanah UU SJSN, Perpres 64/2020 dan PP 47/2021 untuk menyelenggarakan JKN secara adil salah satunya adalah dengan penerapan kelas standar. Dari adanya kelas standar tersebut peserta yang menginginkan kelas lebih tinggi dari pada haknya (kelas standar), dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan. Untuk pelaksanaan kelas standar ini telah dilakukan assessment yang ditemukan baru 3% RS yang siap menyelenggarakan kelas standar sementara 79% masih perlu penyesuaian kecil dan 18% butuh penyesuaian sedang hingga besar.

Pembahas pertama dalam webinar ini adalah perwakilan dari WHO, Herfina, mengatakan bahwa WHO mengadakan survei cepat untuk mengetahui kondisi layanan kesehatan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Beberapa layanan kesehatan di Indonesia, seperti pelayanan HIV, TB, dan imunisasi masih belum bisa diberikan secara maksimal. Survei lanjutan yang dilakukan sudah ada perbaikan namun masih menimbulkan kekhawatiran. Ia menjelaskan bahwa penguatan pelayanan kesehatan primer menjadi sangat penting untuk mengatasi permasalahan kualitas pelayanan, termasuk tindakan promotif preventif. Layanan primer ini juga bisa menjadi platform penting untuk mengintegrasikan emergency preparedness dan response menggunakan one health approach.

Pembahas kedua adalah perwakilan dari World Bank, Eko Setio Pambudi, menjelaskan dalam beberapa tahun terakhir alokasi dana kesehatan ke daerah meningkat cukup signifikan. Menurutnya, dari sisi input, upaya pemerintah dalam mewujudkan equity sudah dilakukan dengan pemberian dana alokasi khusus dan program Nusantara Sehat. Sedangkan dari sisi output, ia melakukan survei untuk mengetahui penyebab rendahnya penggunaan pelayanan kesehatan. Hasilnya, hanya 2 persen saja responden yang mengklaim bahwa biaya menjadi permasalahan pelayanan kesehatan. Sekitar 60 persen responden melakukan self treatment. Oleh karena itu, literasi tentang pelayanan kesehatan perlu dilakukan terutama di daerah. Sekitar 30 persen responden merasa bahwa pelayanan kesehatan tersebut tidak diperlukan.

Pembahas ketiga adalah perwakilan dari BPJS Kesehatan, dr. Rahmat Asri Ritonga, menjelaskan bahwa JKN KIS berkontribusi dalam beberapa hal, yaitu mencegah kemiskinan, menurunkan koefisien GINI, meningkatkan akses pelayanan kesehatan, meningkatkan angka harapan hidup, menurunkan porsi out of pocket (OOP) dalam total belanja kesehatan, menggerakkan ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja. Saat ini, cakupan kepesertaan JKN mencapai 226,36 juta jiwa atau 83,4 persen penduduk Indonesia. Selain itu jumlah FKTP Kerjasama mencapai 23.219 unit dan FKRTL Kerjasama mencapai 2.584 unit. Ia juga menjelaskan upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan, yaitu peningkatan akses fasilitas kesehatan, digitalisasi layanan, intensifikasi promotif preventif terintegrasi, dan pengembangan sistem pembayaran.

Materi dan Video dapat diakses pada link berikut

klik disini