Reportase Hari I: Plenary Session 3

JKKI-Banda Aceh. Pemateri pertama, Prof. Dr. Zaleha Abdullah Mahdy menyatakan bahwa Small for Gestational Age (SGA) adalah istilah umum untuk mengambarkan janin kecil (EFW <10th centile). SGA dapat bersifat fisiologis sebagai hasil dari etnik atau mudah dikenal seperti orangtua yang berbadan pendek. Deteksi sebelum melahirkan dengan FGR dapat mengurangi risiko dalam mendorong penyelidikan lebih lanjut, pengawasan janin dan pengiriman tepat waktu. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan grafik pertumbuhan antenatal yang disesuaikan dengan centile seperti: tinggi ibu, berat ibu, asal suku ibu, paritas ibu dan jenis kelamin janin. Untuk menghindari banyaknya bayi yang lahir mati oleh FGR dapat dihindari dengan meningkatkan pengenalan antenatal pada ibu.

Pemateri kedua, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG (K), PhD mengatakan bahwa banyak contoh peran universitas dalam meningkatkan pelayanan kesehatan. Faktanya setiap universitas melakukan tri darma, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat sedangkan sistem layanan kesehatan melakukan pelayanan kesehatan indvidu, tingkat kesehatan populasi, menurunkan biaya kesehatan per kapita. Jika melihat fakta dilapangan pada transformasi layanan kesehatan, dapat diliat pada aspek: kecepatan dan efektivitas transformasi pelayanan kesehatan tergantung pada keterlibatan profesi kesehatan di komunitas dan perubahan perilaku dokter, pendidikan selama ini tidak dianggap dapat berkontribusi banyak selain menyiapkan tenaga kesehatan, dan domain yang terpisah.

“Apa peran universitas dalam pelayanan kesehatan?”, dapat berupa: analisis situasi, program inovatif, monitoring dan evaluasi penelitian, participatory learning berupa magang, koordinasi wilayah antar berbagai wilayah fasilitas kesehatan, dan penyiapan SDM sesuai kebutuhan. Keuntungan yang didapatkan oleh universitas berupa materi pendidikan dan kompetensi tercapai, sedangkan layanan kesehatan berupa memperoleh konsultasi program, keterlibatan ahli, tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan. Ke depannya diharapkan pada intitusi pendidikan dapat dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evalusi perbaikan layanan kesehatan berbasis bukti terbaik sedangkan pada tingkat pusat, perencanan bersama (kesehatan dan pendidikan) dapat dilakukan dalam transformasi bersama.

Pemateri ketiga dr. Muhammad Ilhami, SpOG (K) menyatakan bahwa mekanisme pelaporan kematian maternal masih membutuhkan waktu yang lama untuk dilaporkan, sehingga perlu dibuat sistem pelaporan berbasis eletronik digital untuk mempercepat pelaporan dan terstruktur dengan memanfaatkan teknologi informatika terkini. Diupayakan laporan tersebut dalam 3 hari sudah tersampaikan ke pengampu kebijakan sejak kematian maternal tersebut, namun terdapat tantangan yang harus dihadapi berupa perlu adanya investasi alat, SDM yang terampil, dan SDM yang loyal dan jujur. Terdapat 80% kematian maternal terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.
Maternal death notification (MDN) ialah aplikasi yang dapat digunakan untuk pelaporan cepat dan terstruktur oleh pengampu kebijakan bersumber pada data baik di tingkat pusat, provinsi maupun daerah. Sistem laporan yang dapat dibuat dengan minimal di setiap RS terdapat 1 dokter SpOG dan setiap Kabupaten/Kota minimal terdapat 1 dokter SpOG atau 1 orang yang dapat memanfaatkan peranan dalam mengaplikasikan MDN. Diharapkan peran organisasi profesi bidang kesehatan dapat menggerakkan serta mempercepat pelaporan ke pengampu kebijakan.

Pemateri keempat Prof. Dr. dr. Mohd. Andalas, Sp.OG menyatakan bahwa ketergantungan masyarakat terlalu tinggi dan ketergantungan RS pada BPJS juga tinggi, sehingga perlu dilakukan relay. Jarak kehamilan yang terlalu dekat akan memicu kasus kematian ibu dan bayi sehingga perlu ada solusi untuk kasus tersebut. Pada usia 20 - 25 tahun, usia tersebut produktif diberi sentuhan berupa edukasi agar mereka mendapatkan sentuhan terhadap primary health care dan berdampak juga pada BPJS. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi kematian ibu dengan penggunaan alat kontrasepsi, namun perlu dukungan dari semua pemangku kepentingan, termasuk diantaranya alim ulama dan tokoh masyarakat.

Pemateri kelima Prof. dr. Fasli Jalal, Ph.D, Sp.GK (K) menyatakan bahwa pengalaman penelitian mahasiswa S3 bimbingan beliau, sejak 5 - 6 tahun lalu sudah memikirkan cara mengatasi stunting dengan 4 pendekatan yakni pemberian makanan tambahan, stimulasi, PMT dengan sitmulasi, dan grup kontrol. Hasil yang didapatkan yaitu pemberian pengasuhan pada orangtua memberikan dampak yang baik dalam mengatasi stunting bukan pada pemberian makanan tambahan, namun kombinasi keduanya tetap diberikan untuk mengatasi stunting. Penelitian kedua, pola konsumsi “dadih” makanan lokal yang berasal dari Padang, mengandung gizi dan probiotik tinggi. Diharapkan pada setiap ibu dan anak, untuk mencoba makanan lokal yang prebiotiknya agar terhindar dari infeksi.

Di akhir topic, terdapat pertanyaan dari peserta, “Pendidikan kedokteran sangat sulit dan complicated, dokterpun tdak mencari sampai akar masalah. Sejauh mana tingkat kolaborasi pendidikan dan kesehatan karena mayoritas mahasiswa S1 hanya menjadi observator, dampaknya 20 - 30% kurikulum di luar teknis? Bagaimana cara mengendalikan faktor lain akan hal tersebut?. Prof Ova Emilia menjawab, “Salah satu tugas pendidikan sebanyak mungkin terjun ke konteksnya. Sebagai contoh pada pendidikan spesialis bila masuk ke layanan tersier, kita bisa kerjasama dengan tugas belajar (tubel) yang mendapatkan beasiswa dari daerah. Dokter bedah saraf kami dari UGM, kami mengirimkan dokter residen ke RS yang belum ada pelayanan sarafnya bersama dengan dosen dan stafnya, ketika anak didik ini selesai maka anak didik ini akan kembali ke daerahnya. Untuk mahasiswa tingkat profesi atau S1, mahasiswa diberi tugas dan kepercayaan dengan sistem one student, one client. Penyediaan telehealth dan tele konsultasi perlu diberikan untuk mendukung wahana pendidikan.”

Reporter: Agus Salim, MPH (PKMK UGM)

© Copyright 2019 Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia

Search