World Congress on Medical Law - 22 Agustus 2014

22ags

Opening ceremony 20th WCML 2014 Nusa Dua Bali Indonesia dibuka oleh Thomas Noguchi, President of The WAML Executive Committe dan dilanjutkan sambutan oleh Vice President Forum 20th WCML yaitu Nasser Muhammad. Kegiatan WCML ke-20 ini terbagi dalam 3 simposium. Simposium hari pertama sesi pukul 09.30-11.30 WIB memuat topik antara lain:

  • Simposium 1: Medical Negligence and Doctors Autonomy (Room Nusa Dua I)
  • Simposium 2: Right to Die Right to Life (Room Nusa Dua II)
  • Simposium 3: Medikocal Ethics Research (Room Uluwatu I)

Symposium I


menghadirkan beberapa pembicara, antara lain:

Poin penting paparan Jery:
Jery mengangkat topik presentasi bertolak dari kasus dr. Ayu dkk, dimana ada peninjauan kembali dan novum untuk membebaskan dr. Ayu. Novum dibutuhkan sebagai bentuk adanya penolakan dari putusan yang sudah ada. Di Indonesi,a institusi yang berwenang dalam membuat Peninjauan Kembali (PK) terletak pada kewenangan Supreme Court (MA). Selama ini, perbuatan kelalaian yang dilakukan olh praktisi kesehatan selalu didasarkan pada KUHP, terutama dengan melihat dasarnya pada Pasal 359 KUHP. Perbuatan malpraktik medis selalu digolongkan ke dalam perbuatan melawan hukum yang memenuhi unsur kelalaian atau kesengajaan.

Peristilahan Task shifting berbeda dengan delegasi. Berdasarkan Netherlands regulation, delegasi hanya dapat dilakukan oleh dokter kepada perawat. Sedangkan task shifting hanya dapat dilakukan oleh dokter kepada practionare nurse untuk melakukan medical task sejauh kewenangan yang diberikan. Tiga poin kunci yang disampaikan pembicara ialah physician are moderately positive about task, physicians seem to be more conservative than nurse practionarers dan 1/3 of phycisian think the legal framework is not adequate.

Pembicara kedua yaitu Andres, University of Sam Ratulangi, Indonesia dengan judul presentasi "The Autonomy versus Autonomy: What Medical Doctor Standpoint".

Presentasi selanjutnya berjudul Medical Negligence is Tort or Crime oleh Prof. Norchaya, Ph.D, Taylor's University. Prof Norchaya melihat bahwa tort (kesalahan-Red) dan crime adalah dua hal yang berbeda. Tort dapat didefinisikan sebagai:

  1. Residual category of wrongful conduct outside of contract and crime.
  2. Kategori tort adalah tetap dan tidak ada standar jelas.

Sedangkan crime merupakan public wrongfull that has regulated in regulation. Jadi crime merupakan suatu perbuatan yang sudah jelas unsur-unsur dan kategori suatu perbuatan tersebut apakah crime atau bukan. Tetapi tort belum dapat dikatakan sebagai tort juga belum ditelaah lebih lanjut. Untuk melihat suatu kelalaian medik tergolong tort atau crime kita kembali kepada filosofi dari etika kedokteran. Seorang dokter ataupun tenaga kesehatan akan lebih memahami dan menjalankan tugasnya dalam melakukan pelayanan kesehatan berdasarkan etika kedokteran. Filosofi dari etika kesehatan itu berbeda dengan hukum kesehatan. Hukum merupakan suatu pengaturan yang sifatnya memaksa atau enforce setiap orang untuk mematuhinya. Hal ini berbeda dengan etika.

 

Symposium III


  • Legal and Ethical Issues of Clinical Research in Japan

Presenter:
Prof Mitsuyasu Kurosu, Tokyo Medical University

Di Jepang, uji klinis diatur dalam the Pharmaceutical Affairs Act dan Good Clinical Practice. Jenis penelitian lain diatur berdasarkan Deklarasi Helsinki. Misalnya pedoman etis untuk penelitian epidemiologi klinis, lalu human genome and gene research, dan penelitian klinis untuk stem cell manusia. Penelitian-penelitian tersebut dikelola oleh dokter, kecuali penelitian yang merupakan project pemerintah, dan dibiayai oleh perusahaan farmasi. Beberapa faktor utama yang menyebabkan permasalahan antara lain, pertama bahwa banyak penelitian yang sangat tergantung pada pendanaan perusahaan farmasi. Kedua, kekurangan jumlah ahli statistic. Ketiga, jika terjadi conflict of interest, manajemennya tidak baik. Keempat, cross check tidak dilakukan oleh peneliti mitra lainnya. Kelima, kesibukan peneliti itu sendiri.

Oleh karena itu hukum tentang penelitian klinis harus segera diberlakukan untuk melindungi subject penelitian manusia. Harus ada staf khusus yang mengelola penelitian klinis di bawah pengawasan langsung dari kepala institute. Meskipun begitu, memperbaiki sistem pendidikan tentang hukum dan etika dalam melakukan uji klinis lebih penting daripada membuat hukum tentang uji klinis karena banyak peneliti yang lebih hanya mengikuti aturan tanpa memikirkan mengapa mereka mengikuti aturan tersebut.

  • Law and Regulation for The Protection of Human Subject in Health Research in Indonesia

Dr. Suriadi Gunawan DPH
National Health Research Ethics Commission

Pengembangan etika penelitian kesehatan dimulai tahun 1975 dengan dikeluarkannya pernyataan IDI bahwa dokter harus mengikuti Deklarasi Helsinki. Kemudian, UU No 23 Tahun 1992 Pasal 69 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa penelitian kesehatan harus menghormati etika, budaya dan norma agama dan nilai nilai dalam masyarakat. UU ini digantikan dengan UU No 36 Tahun 2009 Pasal 44 yang menyatakan bahwa eksperimen atau penelitian yang melibatkan manusia harus seijin yang menjadi eksperimen dan tidak merugikan baik pada manusia maupun hewan.

Manusia yang terlibat dalam penelitian harus memberikan informed consent, harus dijaga kesehatan dan keselamatannya. Penelitian juga harus berdasarkan pada prinsip prinsip etika.
Penelitian kesehatan diatur lagi dalam PP No 39 tahun 1995 yang mengatur tentang standar profesional peneliti, informed consent, pelibatan anak anak, orang dengan gangguan jiwa, dan orang-orang dengan keterbatasan/kelemahan lainnya, transfer spesimen biologis dan kolaborasi penelitian antara pemerintah, institusi pendidikan dan swasta.

Komisi Etik Nasional untuk Penelitian Kesehatan dibentuk dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1334/2002 dan diperbarui dengan Kepmenkes nomor 562/2007. Komisi ini terdiri dari 25 ahli yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan. Tugasnya antara lain: mempromosikan etika penelitian, menyiapkan pedoman nasional etika penelitian, meningkatkan kapasitas review etika penelitian, mengembangkan jejaring antar ahli/komite etika penelitian, mengorganisasi proses konsultasi terkait masalah etika kesehatan dan melaporkan kegiatan secara rutin setahun sekali ke Kemenkes.

Selain itu juga telah ada aturan tentang pelaksanaan Good Clinical Practice. Dalam aturan ini disebutkan bahwa Clinical Trials (CT) terdaftar dan mendapatkan persetujuan dari komite etik dan BPPOM. Obat untuk penelitian harus mendapatkan persetujuan dari BPPOM. Adverse event harus dilaporkan dalam jangka waktu 15 hari kepada BPPOM dan BPPOM bisa menghentikan CT jika dirasa ada masalah keamanan. Sementara CT untuk kepentingan pendidikan tidak perlu mendapatkan persetujuan dari BPPOM. Sistem akreditasi untuk komite etik direncanakan akan dimulai pada tahun 2015.

Reporter: Trisasi Lestari

 

 

Add comment

Security code
Refresh