Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III 

 

Forum Internasional mengenai Quality and Safety di Paris
Rabu sampai dengan Jumat, 17 – 20 April 2012.

Hari kedua dimulai dengan paparan keynote speaker. Dalam keynote ini isu yang masih relatif baru mengenai pathways dibahas dalam konteks pengalaman di Perancis. Hal ini menarik karena ternyata di negara majupun Pathways masih menjadi isu baru yang harus terus dimonitor pelaksanaannya
Pembicaranya adalah Jean-Luc Harausseau Chariman, French National Authority for Health, dengan judul: Apakah pathways perlu dalam masa sulit ini?

hari2Jean Luc mengawali presentasinya dengan menggunakan integrated care sebagai dasar pathways, prinsip-prinsip tentang kesinambungan pelayanan dan integrated care. Disebutkan bahwa banyak teori tentang Pathways namun jarang yang membahas bagaimana cara melakukan pathways ini.

Problem yang ditemui dalam pelaksanaan di sebuah daerah di Perancis adalah bahwa pathways ini ternyata sulit dipergunakan di daerah karena ada yang tidak cocok dengan local needs. Hal ini penting karena merupakan temuan penting dalam evaluasi pelaksanaan pathways yang disusun oleh para pakar.

Di Perancis pathways terutama dilakukan untuk proses penanganan masalah-masalah kronis. Pathways diberikan sampai ke dokter umum. Kegiatan evaluasi bertujuan menilai pelaksanaan dan diseminasi pathways di seluruh Perancis. Dalam evaluasi ini dinilai pula dampak klinik. Indikator yang dinilai antara lain keberhasilan mengurangi penundaan penanganan medik, rujukan ke unit neurovaskuler, penurunan tekanan darah, dan sebagainya.

Pelajaran yang didapat dari pengalaman sebuah daerah di Perancis menerapkan pathways adalah: harus ada dasar jelas, mempunyai visi yang tegas mengenai apa yang akan diperoleh, diperlukan adaptasi regional. Dan perlu ada indikator klinik. Sebagai catatan akhir adalah bahwa suksesnya pelaksanaan di sebuah daerah belum tentu seluruhnya baik di tingkat nasional.

Mengapa: Masih ada dokter yang enggan untuk berubah, cara pembayaran tidak jelas, bulti penghematan anggaran juga tidak jelas, belum adanya electronic medical record, masih kurang adaptasi lokal dan pathways belum dikelola sebagai ilmu yang dinamis. Kedepannya perlu banyak tool, advokasi di level nasional, dan perlunya keterlibatan spesialis dan kepemimpinannya.

Refleksi ke Indonesia adalah apakah perjalanan pathways yang ada saat ini sudah pernah dievaluasi oleh pihak yang independen. Apabila di Perancis sebagai negara maju masih banyak masalah, logikanya di Indonesia masalah penyusunan sampai pelaksanaan pathways lebih besar lagi. Atau mungkin logika ini tidak berlaku; dI Indonesia lebih baik. Namun diharapkan model evaluasi ini diPerancis dapat diterapkan di Indonesia sehingga dapat diketahui apakah pelaksanaannya berjalan baik atau tidak.

Setelah keynote speaker, saya memilih sesi dengan jalur Workforce and Culture serta Leadership. Pertemuan ini menarik dan sangat luas karena mempunyai 9 jalur yang dapat dipilih sesuai dengan keinginan. Pemilihan jalur ini dilakukan dengan cara mengirimkan email sebelumnya. Dengan demikian semua peserta sudah mempunyai semacam rencana pribadi. Sembilan jalur yang ada adalah:

  1. Safe and reliable care
  2. Better value and Lower Cost
  3. Clinical Improvement
  4. Transformational Change
  5. Workforce and Culture
  6. Patient engagement
  7. Leadership
  8. Primary Care
  9. Technology for Improvement.

Judul topik terpilih adalah Peningkatan Kapasitas Kelembagaan yang terkait dengan Regulasi sistem kesehatan dan Budaya Organisasi dalam hubungannya dengan mutu klinik.
Sesi ini membahas bagaimana sistem mutu dilakukan di Perancis dan di Swedia yang disampaikan oleh Phillipe Michel, Goran Henriks, dan Nicole Klein.

Di Perancis sebuah UU baru diterapkan di tahun 2009 yang mengatur adanya sebuah otoritas daerah yang mengawasi mengawasi mutu pelayanan kesehatan. UU ini diterapkan karena

Self-regulasi oleh asosiasi profesi saat itu dipandang tidak cukup. Hal ini memang merupakan masalah klasik di mana-mana dimana para doter tidak begitu suka diawasi pihak lain. UU baru di tahun 2009 ini mewajibkan bagaimana melakukan perubahan sistem jaga mutu di regional. Contoh adalah sistem laporan adverse event dan pengembangan edukasi untuk pasien

Ada 3 skenario berjalannya UU Ini : (1) Ada agensi untuk regulasi regional dengan model bekerja pengawasan oleh sendiri; (2) Mengembangkan berbagai lembaga pengembangan yang independen namun bekerjasama erat dengan otoritas daerah yang mencakup jaminan mutu, safety, infeksi rs, produk kesehatan, dan sistem informasi; (3) mengembangkan lembaga independen dengan semua kegiatan di atas menjadi satu pengelolaan.

Di Swedia juga dikembangkan tata kelola untuk Quality-safety di kesehatan. Ada berbagai kegiatan menarik yang dilakukan, antara lain: Ada perbandingan terbuka antar rumahsakit dengan menggunakan model benchmarking. Kegiatan ini bekerjasama dengan perguruan tinggi. Penggunaan Evidece Based Medicine sampai National-E Health. Tantangan model tata kelola di Swedia adalah bagaimana berbagai lembaga independent dapat bekerja bersama.

Refleksi untuk Indonesia. Menarik bahwa fungsi pengawasan rumahsakit berusaha di daerahkan. Kegiatan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat. Masalah yang dihadapi di Indonesia adalah bagaimana kemampuan Dinas Kesehatan propinsi dan kabupaten untuk melakukan pengawasan mutu dan bagaimana lembaga-lembaga independen dapat dikembangkan di daerah. Tantangan ini tidak mudah dan membutuhkan kebijakan pusat dan daerah yang didukung oleh komitmen tinggi termasuk pendanaan. Jika tidak dilakukan maka dapat dikatakan bahwa di Indonesia balum ada sistem jaga mutu. Artinya adalah menjadi pasien di rumahsakit merupakan pilihan yang mempunyai risiko.

Setelah sesi pengawasan sistem dalam tingkat regional, pembicara beralih ke aspek manajemen RS yang terpengaruh oleh iklim dan budaya organisasi.

Pembicara di sesi ini adalah Matthieu SIBE
Dari Research Group of Economics and Management in Public Health ISPED-Bordeaux University. Pokok-pokok pembicaraan mengenai perilaku bekerja, Organization Culture. Dalam sesi ini dibahas hasil penelitian mengenai hubungan antara middle management dengan Quality of Care movement dengan berbagai faktor yang mempengaruhi antara lain: Individual,Patient, and Contextual factor.

Penelitian ini mempunyai dasar pemikiran bahwa situasi rumahsakit yang dipengaruhi oleh manajemen (Managerial Organizational Context , MOC) akan mempengaruhi Quality of Care. Penelitian ini melibatkan pemahaman arti

Budaya organisasi dari Schein yang mencakup Beliefs and value sebuah organisasi, serta Climate (the mood of organization). MOC diukur dari berbagai segi antara lain: Organizational Support, Decision making process, Autonomy, Nursing doctor relationship, Nursing-nursing relationship, Conflict mangamenet, Intention to leave, Job satisfation, Implication, sampai adanya Burnt out karyawan.

Situasi MOC ini dihubungkan dengan faktor individu dan kepatuhan pada guideline melalui penggambaran situasi klinik di beberapa sektor seperti manajemen cardiac failure, diabetes, dan nyeri. Sebagai kesimpulan disebutkan bahwa ada berbagai faktor penting yang mempengaruhi quality of care antara lain: faktor informatika, faktor manusida dan individu, dan kemampuan manajemen. DI dalam kemampuan manajemen ini mencakup support dari hirarki manajer dan adanya team-work yang baik.

Refleksi untuk Indonesia. Sesi ini menunjukkan eratnya hubungan antara pelayanan klinik dan ilmu-ilmu manajemen. Dalam hal ini mutu pelayanan merupakan pertemuan antara domain ilmu klinik dan ilmu kesehatan masyarakat khususnya kebijakan dan manajemen. Hal ini penting ditekankan karena banyak perguruan tinggi kedokteran-kesehatan di Indonesia yang tidak mempunyai kerjasama erat antara dosen/peneliti kedokteran klinis dengan kesehatan masyarakat. Diharapkan di masa mendatang semakin banyak kerjasama antara kesehatan masyarakat dengan klinik.

Sesi siang sampai sore diisi dengan workshhop kebijakan tentang Strategi Pengembangan Nasional dalam meningkatkan mutu pelayanan. Workshop ini dipimpin oleh M Rashad Massoud, Project Director, USAID Health Care Improvement Project. Workshop ini membahas mengenai pentingnya pengembangan mutu pelayanan dilakukan sejak di level nasional. Dalam workshop ditekankan mengenai kepemimpinan nasional untuk pengembanan mutu dimana Kementerian Kesehatan diharapkan ada unit yang menanggung-jawabi. Hal ini terlihat di Inggris dimana pengembangan mutu sangat kuat dikembangkan oleh NHS, Hal ini terjadi di Scotland, sementara di Amerika Serikat tidak terlalu terlihat. Dalam konteks refleksi untuk Indonesia, memang saat ini belum jelas unit mana di Kementerian Kesehatan yang mempunyai tugas untuk mengembangkan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia. Hal ini perlu dikembangkan di Indonesia.

Refleksi keseluruhan hari ini:

Berbagai inovasi dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan tidak dapat dipisahkan dari kebijakan yang mendukung, manajemen yang baik, dan komitmen para pelaku. Dalam konteks komitmen pelaku, pengembangan mutu pelayanan kesehatan di Indonesia perlu untuk lebih memperhatikan cara pandang, budaya organisasi dan berbagai komponen yang sering terlupakan saat melakukan perubahan. Ada baiknya dilakukan studi sosiologis dan antropologis mengenai komitmen pelaku pelayanan kesehatan dan pengambilan kebijakan mengenai peningkatan mutu pelayanan kesehatan.