UU Kesehatan Jiwa Bisa Uji Koruptor yang Pura-pura Gila

Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Jiwa dinilai akan mempersulit koruptor yang berpura-pura mengalami gangguan jiwa saat menjadi tersangka atau terdakwa kasus korupsi. Undang-undang (RUU) ini akan dipakai untuk menentukan apakah seseorang itu memang mengalami gangguan jiwa atau tidak. DPR yakin melalui proses uji kesehatan ini, koruptor akan sulit berpura-pura gila.

Karena itu kata Wakil Ketua Komisi IX DPR Nova Riyanti Yusuf di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (19/11/2013), membahas RUU ini sangat penting, karena RUU Kesehatan Jiwa ini akan dipakai untuk menentukan apakah seseorang itu memang mengalami gangguan jiwa atau tidak.

RUU ini akan membuat seorang koruptor yang disebut mengalami gangguan jiwa untuk diuji apakah benar atau tidak, melalui sekitar 500 pertanyaan kepada orang yang berpura-pura mengalami gangguan jiwa. "Dari situ akan diketahui apakah benar mengalami gangguan jiwa atau tidak? Proses ini tak bisa dimanipulasi bila ada tersangka

korupsi yang berpura-pura gila," ujarnya.

Dikatakan, selama ini, tidak adanya keberpihakan pelayanan kesehatan yang menitikberatkan pada kesehatan jiwa mengakibatkan banyak pihak kesulitan mengobati anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa. Data yang dihimpun Rumah Sakit Jiwa se-Indonesia menunjukkan fakta memprihatinkan, 30.000 penderita akhirnya dipasung oleh keluarganya. Langkah ini jelas melanggar HAM.

Kondisi inilah yang melatarbelakangi disusunnya Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan Jiwa seperti dikemukakan Ketua Panja RUU Kesehatan Jiwa. Hasil temuan Komisi IX DPR RI saat kunjungan spesifik membebaskan kasus pasung di NTB, ternyata masalahnya tidak berhenti pada pelanggaran HAM itu sendiri. Pelanggaran itu terjadi karena ketidaksiapan sistem pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia.

Menurut Nova, ini menjadi tanggungjawab DPR dan pemerintah. Bagaimana membangun kesehatan yang berpihak kepada pembangunan kesehatan jiwa di Indonesia. Ketika ditanya berapa jumlah sebenarnya masyarakat Indonesia yang mengalami gangguan jiwa, Nova menjelaskan pada saat terjadi bencana alam saja, kurang lebih 10 persen orang di penampungan bisa mengalami gangguan jiwa. "Itu baru bencana, belum lagi yang kita lihat," ujar politisi Demokrat ini.

Hanya saja menurut Nova, besarnya jumlah orang dengan gangguan jiwa tidak ditopang dengan jumlah psikiater. Jumlah psikiater di Indonesia hanya 600 untuk 240 juta penduduk Indonesia.

"Untuk Indonesia sudah tidak bisa pakai rasio berapa idealnya satu orang psikiater menangani orang gangguan jiwa seperti yang diterapkan dunia Internasional. Karena tidak akan pernah tercapai. Sedikit sekali orang yang menjadi Dokter Jiwa di Indonesia, karena masalah stigma," pungkasnya. (A-109/A_88)***

sumber: www.pikiran-rakyat.com