SDM KESEHATAN: Dibutuhkan Ribuan Ahli Epidemiologi Lapangan
Setiap daerah seharusnya memiliki sedikitnya 10 ahli epidemiologi lapangan untuk membantu perencanaan pembangunan kesehatan berbasis bukti. Mengingat, tantangan kesehatan Indonesia di masa depan makin berat dengan adanya tiga beban penyakit.
Demikian dikemukakan HM Subuh, Sesdirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan dalam temu media, di Jakarta, Jumat (26/9), terkait akan digelarnya Pertemuan Ilmiah Epidemiologi Nasional pada 1-2 Oktober mendatang, di Bandung.
Dijelaskan, ahli epidemiologi sangat diperlukan karena Indonesia di masa depan akan menghadapi 3 beban kesehatan. Selain masalah penyakit menular dan penyakit degeneratif yang jumlahnya terus meningkat, tantangan kesehatan lain berhubungan dengan globalisasi seperti kasus flu burung, mers atau ebola.
"Kondisi ini harus diantisipasi dengan baik oleh ahli epidemiologi, agar tidak menjadi beban pembangunan," ujar HM Subuh yang dalam kesempatan itu didampingi Direktur Surveilans, Imunisasi, Karantina dan Kesehatan Matra, Desak Made Wismarini dan Direktur Field Epidemiologi Training Program, I Nyoman Kandun.
Ia menyebutkan, kebutuhan ideal ahli epidemiologi minimal 579 tenaga ahli epidemiologi lapangan dan 1.022 tenaga asisten ahli epidemiologi kesehatan lapangan. Perinciannya, 2 tenaga ahli epidemiologi lapangan untuk tingkat provinsi, 1 tenaga ahli dan 2 asisten untuk setiap kabupaten.
"Puskesmas pun membutuhkan minimal 1 asisten ahli epidemiologi lapangan untuk mengumpulkan informasi dan memasukkan data epidemiologi yang ada di daerahnya. Lewat data itu, akan tergambar dengan jelas, fakta seputar penyakit yang ada di lapangan," ucap HM Subuh menegaskan.
Hal itu juga selaras dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 38 Tahun 2007 yang mengharuskan seorang kepala dinas kesehatan atau manajer kesehatan memiliki kompetensi teknis dalam bidang epidemiologi. Sehingga mereka mampu memanfaatkan tenaga epidemiologi lapangan yang ada baik di tingkat provinsi atau kabupaten.
Guna mengisi kebutuhan akan tenaga ahli epidemiologi lapangan, HM Subuh mengatakan, Kemenkes bekerjasama dengan 2 perguruan tinggi yaitu Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) sejak tahun 1982 telah membuat program pendidikan ahli epidemiologi non gelar selama 2 tahun.
"Tetapi belakangan peminatnya menurun, sehingga Kemenkes bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai 2008 lalu menjadikan program bergelar magister. Peminatnya kembali meningkat," ujarnya.
Guna meningkatkan jumlah kepesertaan, lanjut HM Subuh, Program Magister Epidemiologi Lapangan juga dibuka di Universitas Udayana, Bali, Universitas Airlangga Surabaya dan Universitas Hasanuddin, Makassar dan sejumlah perguruan tinggi negeri lainnya dalam proses pengajuan izin. (TW)
{jcomments on}