Upaya Pengendalian Tembakau di Indonesia Lemah

Upaya pengendalian tembakau di Indonesia masih lemah terlihat dari masih ada epidemi yang disebabkan oleh rokok sehingga pencegahan terhadap penyakit tidak menular sulit diwujudkan.

Hal itu dikemukakan oleh Soewarta Kason dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan dalam kegiatan Tobacco Control Leadership Programe" yang diselenggarakan oleh WHO Indonesia dan John Hopkis University di Yogyakarta, Senin (13/4).

Ia mengatakan sulitnya pencegahan penyakit tidak menular, beban makro ekonomi yang ditanggung oleh negara akibat epidemi tembakau jauh lebih besar daripada pajak yang diterima dari cukai tembakau.

Rokok menjadi faktor risiko utama penyebab kematian akibat penyakit tidak menular, ada sekitar 20 faktor risiko utama dan rokok berada di posisi kedua. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan berupaya untuk mengurangi tembakau.

Ada lima negara yang memproduksi tembakau tinggi, Indonesia berada di urutan tertinggi. Negara Lain sudah membatasinya dengan meratifikasi FCTC. Jadi, tembakau dari Indonesia tidak bisa masuk. Akhirnya dipasarkan ke Singapura dan rokok yang diproduksi dikirim kembali ke Indonesia.

"Industri rokok memproduksi 380 miliar rokok per tahun, jumlah penduduk kita (Indonesia) hanya sekitar 250 juta. Coba bayangkan berapa banyak rokok yang harus kita hisap," katanya.

Prevalensi rokok di Indonesia telah menjangkau usia muda kurang dari 15 tahun. Jumlah perokok terbanyak ada di desa yakni 38,9 persen, sedangkan perkotaan hanya 33,8 persen. Kebanyakan mereka yang merokok berpendidikan rendah dan berasal dari keluarga miskin.

"Bisa dibayangkan sudah tinggal di desa miskin dari kota tapi konsumsi rokok lebih tinggi," katanya.

Sementara itu, Regional Adviser, The Internasional Union, Tara Singh Bam menyampaikan, Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang belum meratifikasi konvensi pengendalian tembakau melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), ini peluang bagi industri rokok untuk menjadikannya pasar terbesar tembakau.

"Indonesia adalah pasar yang ramah tembakau. Lebih dari 248 juta populasinya adalah perokok dan merupakan pasar ketiga di dunia," katanya.

Menurut dia, tidak ikutnya Indonesia meratifikasi FCTC akan memberikan manfaat kepada industri rokok untuk mencari keuntung, karena tidak ada yang menghalangi mereka.

"Target FCTC adalah tidak ada lagi yang mati karena rokok," katanya.

Saat ini sudah ada 188 negara yang meretifikasi FCTC, dan hampir seluruh negara di Asia Tenggara telah menandatanganinya hanya Indonesia yang belum.

Farrukh Qureshi dari WHO Indonesia menambahkan, FCTC adalah perangkat sangat kuat dalam meyakinkan dukungan internasional untuk melindungi masyarakat dunia dari ancaman bahaya rokok.

"FCTC sangat ampuh dan berdampak sangat signifikan dalam menurunkan prevalensi merokok di negara-negara yang sudah mengaksesi FCTC," katanya.

Tobacco Control Leadership Programe diikuti oleh 92 orang peserta yang datang dari berbagai bidang keilmuan di antara Kementerian Kesehatan, Hukum dan HAM, Komnas HAM, dinas kesehatan dari sejumlah kota dan kabupaten yang menerapkan kawasan tanpa rokok di seluruh Indonesia, media, LSM perguruan tinggi serta praktisi.

Tujuan dari program ini untuk menumbuhkan pemikiran strategis dan pemimpin yang dapat mengendalikan peredaran tembakau yang membutuhkan keberanian untuk menyampaikan bahaya merokok bagi kesehatan.

sumber: http://www.beritasatu.com/