Menata Jaminan Kesehatan

Kesehatan menjadi salah satu indikator pembangunan manusia, selain pendidikan dan ekonomi. Oleh karena itu, banyak negara yang menyelenggarakan jaminan kesehatan untuk warga negara.

Faktanya negara-negara menerapkan kebijakan dan skema berbeda-beda dalam menjamin dan memelihara kesehatan warga negara yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi negara tersebut. Indonesia memilih skema asuransi sosial untuk menjamin kesehatan warga negara.

Sesuai dengan UU Nomor 24/2011, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan menjadi pengelola asuransi sosial itu. Ada mekanisme subsidi silang di dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan berbasis asuransi sosial. Yang kaya menyubsidi yang miskin dan yang sehat menyubsidi yang sakit.

Sesuai dengan undang-undang, seluruh warga negara wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan dan wajib membayar iuran agar mekanisme subsidi silang itu bisa berlangsung baik. Iuran warga miskin ditanggung pemerintah.

Faktanya belum semua orang menjadi anggota BPJS. Celakanya pula, lebih dari 4 juta peserta BPJS Kesehatan mandiri tidak membayar iuran. Mereka membayar iuran hanya ketika sakit dan enggan membayar ketika sembuh. Itu tentu saja menyebabkan subsidi silang tidak berlangsung sukses. Itulah salah satu penyebab BPJS Kesehatan defisit.

Penyebab defisit lainnya ialah perilaku berobat masyarakat yang berubah. Dulu sebelum ada BPJS Kesehatan, masyarakat ketika sakit menahan diri untuk berobat jalan atau mendapat perawatan di rumah sakit. Kini, ketika ada BPJS Kesehatan, mereka berbondong-bondong datang ke rumah sakit untuk mendapat perawatan dan pengobatan.

Semakin banyak orang sakit yang berobat, tentu semakin besar biaya yang harus dikeluarkan BPJS Kesehatan. Itulah yang juga menyebabkan defisit. Semakin banyak orang berobat atau ingin mendapat perawatan di rumah sakit, semakin besar pula kebutuhan fasilitas untuk pasien.

Celakanya, kecepatan pengadaan fasilitas dan pelayanan di rumah sakit tidak mampu mengejar kecepatan pertambahan pasien. Itu kemudian memunculkan keluhan atas pelayanan rumah sakit terhadap pasien BPJS Kesehatan.

Penyebab defisit lainnya ialah pergeseran jenis penyakit yang diderita masyarakat. Dahulu, penyakit yang diderita masyarakat ialah penyakit menular yang biaya pengobatannya relatif tidak besar. Sekarang, penyakit yang diderita masyarakat ialah penyakit degeneratif seperti diabetes, jantung, atau kanker yang biaya pengobatannya tentu mahal.

Defisit BPJS Kesehatan terbilang fantastis, Rp3,3 triliun pada 2014 dan diperkirakan Rp6 triliun pada 2016. Untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan dari defisit, pemerintah melalui Perpres Nomor 19/2016 menaikkan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri mulai 1 April.

Dengan melihat berbagai penyebab defisit anggaran kesehatan, masuk akal belaka bila pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Tinggal lagi bagaimana rumah-rumah sakit meningkatkan pelayanan kepada pasien BPJS Kesehatan. Mereka tak boleh lagi memperlakukan pasien BPJS sebagai warga negara kelas dua.

Bagaimanapun juga, keberadaan BPJS Kesehatan harus kita pandang sebagai kemajuan di bidang pelayanan kesehatan buat warga negara. Di masa depan, BPJS Kesehatan harus mengutamakan pelayanan peningkatan kesehatan (promotif) serta pencegahan (preventif), bukan melulu pengobatan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif).

Kita juga titip pesan agar pemerintah bekerja keras meningkatkan ekonomi dan pengelolaan anggaran sehingga mimpi kita bahwa negara menanggung seluruh biaya pelayanan kesehatan warga negara bakal terwujud dalam waktu tidak terlalu lama. (DFS)

sumber: http://news.metrotvnews.com/