Ribuan korban tragedi 1965 tak punya akses layanan kesehatan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membahas kondisi pemenuhan hak atas kesehatan di Indonesia dengan Pelapor Khusus Hak atas Kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Dainius Puras, Jumat (24/3).
Isu dipaparkan dalam pertemuan yang turut dihadiri Ketua dan Komisioner Komnas Perempuan dan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait hak atas kesehatan terhadap kelompok rentan dan terpinggirkan.
Menurut Komisioner Komnas HAM, Sandrayati Moniaga, salah satu lubang dalam dalam pemenuhan hak itu berkenaan dengan belum terpenuhinya akses kesehatan terhadap korban tragedi 1965.
Dilansir CNNIndonesia.com, Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengidentifikasi setidaknya ada 1.623 korban pelanggaran HAM berat dalam tragedi 1965 dan Mei 1998 tidak mendapatkan akses kesehatan dengan baik.
"Kebanyakan dari mereka adalah lansia, memiliki kondisi kesehatan dan kualitas hidup yang buruk," demikian catatan resmi dua lembaga tersebut dikutip CNNIndonesia.com, Rabu (29/3).
Satu masalah mengganjal bagi para korban adalah trauma berkepanjangan. Akses pelayanan kesehatan dipandang penting bagi mereka demi menggerus guncangan tersebut.
Pasal 28 H Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan."
Kemudian, Undang-Undang No.36/2009 tentang Kesehatan pun dalam Pasal 138 ayat 1 dan 2 mengatur berharganya "pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia" dan kewajiban "pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis."
Namun, dalam berita lain yang ditulis CNNIndonesia.com, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan tahun 1965-1966 (YPKP 65) mengoreksi data Komnas HAM.
YPKP 65 menyatakan korban pelanggaran HAM pada 1965 yang belum menerima hak kesehatan sekitar 3.000 orang.
"Yang belum sekitar 3.000-an. Yang sudah mendapat perlindungan dan pelayanan kesehatan sekitar 1.600-an," ujar Bedjo Untung, Ketua YPKP 65, Rabu (29/3).
Korban terbanyak belum menerima pelayanan berada di Sumatera Barat, lalu menyusul Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
"Di Sumatera Barat itu seperti Pariaman dan Padang Panjang banyak sekali. Kalau di Jawa Tengah paling banyak di daerah Pekalongan, Pemalang, dan Pati," kata Bedjo.
Akan hal rentang usia, kisarannya 60-90 tahun.
Salah satu sosok dalam kategori demikian adalah Bronto
Di masa lalu, ia pernah menjadi anggota Brigade Infanteri VI Surakarta, Jawa Tengah. Bronto, seperti ditulis Rappler.com, diringkus karena mendukung Presiden Sukarno dan dituding simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketika Rappler.com menuliskan kisahnya pada 1 Oktober 2015, Bronto dilukiskan sudah terbaring sakit selama sebulan. Namun, di tengah kondisi tersebut, dia tak menerima bantuan layanan kesehatan.
Langkah berbeda pihak berwenang pernah diambil Rusdy Mastura, Wali Kota Palu dengan masa jabatan 2005 hingga 2015.
Laman Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) 1965 mewartakan bahwa pejabat daerah itu memungkinkan korban kasus pembunuhan massal Tragedi 1965 untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gratis bagi korban--selain menyerahkan beasiswa atau memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak dan para cucu korban.
Kebijakan demikian terlontar setelah ia lebih dulu meminta maaf kepada para korban pada Maret 2012.
"Saya minta maaf atas nama Pemerintah Kota Palu kepada seluruh korban peristiwa 1965 di Kota Palu dan di Sulawesi Tengah," ucapnya kala itu sembari mengakui bahwa dirinya besar dengan didikan bapaknya yang aktivis Masyumi --rival politik PKI, organisasi yang dilekatkan dengan peristiwa 1965.