Kementerian Kesehatan Bahas Kembali Standardisasi Jasa Medis

Kementerian Kesehatan RI akan membahas kembali standardisasi jasa medis untuk dokter. Hal ini untuk menyikapi persoalan jasa medis di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

"Jasa medis ini semacam delegasi kepada pihak pelayanan kesehatan. Artinya kepada provider atau rumah sakit untuk mengaturnya," kata Sekretaris Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI HM Subuh di Medan, Selasa (10/6).

Jadi, jelasnya, pemerintah menyediakan uang untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) dengan jumlahnya 86,4 juta sasaran dan uangnya ada di Kemenkes RI. Ada juga yang dikelola oleh BPJS Kesehatan sendiri dari eks Askes dan mandiri.

Setelah melakukan suatu pelayanan maka klaim dibayarkan oleh BPJS dalam bentuk satu paket INA CBG's (Indonesian Case Based Groups). Inilah yang dikelola penuh oleh pelayanan kesehatan yakni rumah sakit, poliklinik atau yang lain-lain.

"Masalahnya saat ini mungkin ada kegamangan, di mana dokter bertanya-tanya aturannya seperti apa. Berapa persen sebenarnya jasa medis tersebut," sebutnya.

Sebenarnya, lanjut Subuh, secara normal di negara-negara yang telah melaksanakan sistem asuransi kesehatan seperti di Indonesia memang efisiensi dan efektifitas dari pemakaian dana tersebut benar-benar diatur dari pelayanan.

"Tetapi di Indonesia memang katanya masih memerlukan peraturan. Karena belum bisa mereka menetapkan besarannya dan tanda kutipnya dari sisi keadilan. INA CBG's ini kan sudah digabung dengan tindakan untuk obat-obatan dan juga untuk faktor jasanya. Saya rasa begini, kemenkes sudah berusaha membuat semacam peraturan menteri mengenai masalah itu dan belum dikeluarkan," ungkapnya.

Tetapi saat ini masih melakukan pembuatan peraturan yang dapat menguntungkan semua pihak. Dengan memberi minimal atau maksimalnya itu berapa dari paket yang ada.

"Kalau peraturan yang dulu itu kan 40:60 artinya 40 persen jasa pelayanan 60 persen untuk operasional. Jasa itu bukan untuk jasa medis, ingat ya tapi jasa pelayanan. Kalau jasa medis itu hanya untuk dokter tapi ini jasa pelayanan terdapat, jasa perawat, jasa dokter, jasa farmasi, jasa gizi, dan jasa orang kantor itu digabung. Karena semua bekerja sama, gak mungkin seorang dokter bekerja sendiri," terangnya.

Mengenai peraturan menteri itu, sambungnya, dalam waktu dekat harus sudah ada. Karena beberapa kali ia mengikuti rapat dengan menteri dan biro hukum sudah dibahas aturan tersebut. Nantinya, aturan tersebut merupakan pedoman dalam pembagian jasa pelayanan.

"Sekali lagi bukan jasa medis tapi jasa pelayanan yang mulai dari sekuriti dan karyawan dapur mendapatkan jasa pelayanan ini," tegasnya.

Seperti berita sebelumnya, beberapa dokter di Medan mengeluh karena tidak mengetahui berapa jumlah jasa medis yang diterimanya untuk setiap tindakan medis karena tidak ada transparansi jasa untuk tindakan medis yang mereka lakukan.(YN)

sumber: harianandalas.com