Health beyond the health system

   21 Juli 2025

Mental Health: Causes and Consequences

Sesi ini dimoderatori oleh Andrew Briggs dari London School of Hygiene and Tropical Medicine, Inggris. Dalam sesi ini, terdapat empat presenter dalam sesi ini yang berasal dari Australia, China, Itali dan Inggris dan satu orang presenter tidak dapat hadir langsung di tempat.

Global Distribution and Economic Burden of Depressive Disorder: Equity and Socioeconomic Determinants in Middle- and Lower-Middle-Income Countries dipresentasikan oleh Yan Xu, Jilin University School of Public Health dari China. Depresi merupakan masalah kesehatan global yang paling umum dan menjadi penyebab utama disabilitas serta penurunan kualitas hidup, terutama di negara berpendapatan menengah dan rendah. Faktor sosial ekonomi seperti jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, dan kemiskinan memperparah ketimpangan akses terhadap layanan kesehatan mental. Yan Xu menggunakan data Global Burden of Disease (GBD) 2019 untuk menganalisis tren depresi di 204 negara, dan menemukan ketimpangan yang mencolok antar wilayah berdasarkan tingkat pembangunan. Di negara berpendapatan tinggi, depresi meningkat pada kelompok usia muda, sementara di negara berpendapatan menengah dan rendah, kasus depresi justru meningkat di kelompok usia tua. Hasil ini menegaskan bahwa keterbatasan akses pendidikan, pekerjaan, dan layanan kesehatan turut memperparah beban depresi di negara-negara berkembang, dan perlu ditangani melalui kebijakan yang menyasar akar sosial dari masalah kesehatan mental.

Anam Bilgrami menyajikan data dari hasil studinya dengan judul “Mass Layoffs and Mental Health Care Use”. Masalah kesehatan mental menjadi tantangan serius di Australia, dengan 44% penduduk usia 16–85 tahun mengalami gangguan mental sepanjang hidup mereka. Tekanan keuangan, seperti kehilangan pekerjaan akibat PHK massal, terbukti memperburuk kondisi ini dan menyebabkan banyak orang menunda berobat, terutama perempuan dan orang tua tunggal. Penelitian ini menelusuri bagaimana PHK massal yang terjadi pada rentang 2014–2016 mempengaruhi penggunaan layanan kesehatan mental, termasuk kunjungan medis dan konsumsi obat. Dengan menganalisis data nasional, peneliti membandingkan pekerja yang terdampak PHK dengan yang tidak terdampak untuk melihat perubahan perilaku berobat. Hasil awal belum dapat dipublikasikan, namun kajian ini diharapkan memberi bukti kuat bagi perumusan kebijakan yang lebih adil dan responsif terhadap krisis ekonomi dan kesehatan mental.

Michele Bellon dari University of Turin, Itali memaparkan kajiannya mengenai “Working Longer, Feeling Worse? How Job Quality Shapes the Mental Health Toll of Delayed Retirement”. Peningkatan jumlah lansia di Uni Eropa mendorong reformasi pensiun dengan menaikkan usia pensiun demi mengurangi tekanan fiskal, namun kebijakan ini berdampak negatif pada kesehatan mental pekerja lanjut usia. Studi ini meneliti bagaimana karakteristik pekerjaan memengaruhi dampak reformasi tersebut terhadap depresi pada pekerja senior di 14 negara Eropa. Hasilnya menunjukkan bahwa perpanjangan masa kerja meningkatkan gejala depresi, terutama pada pekerja dengan pekerjaan berat, tidak aman, dan minim prospek karier. Sebaliknya, pekerja yang berada di lingkungan kerja yang mendukung dan stabil justru mengalami perbaikan kesehatan mental. Temuan ini menekankan pentingnya kebijakan pensiun yang lebih fleksibel dan adaptif, termasuk skema pensiun bertahap dan peningkatan kualitas lingkungan kerja untuk melindungi kesejahteraan mental pekerja lansia.

Terakhir, perwakilan dari University of Glasgow, United Kingdom, Daniel Kopasker, menjelaskan studinya yang berjudul Evaluating the Influence of Taxation and Social Security Policies on Psychological Distress: A Microsimulation Study. Kebijakan pajak dan jaminan sosial memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesehatan mental masyarakat, namun bukti konkret tentang dampaknya masih terbatas. Studi ini menggunakan model simulasi canggih untuk menganalisis bagaimana kebijakan ekonomi Inggris selama krisis COVID-19 memengaruhi tingkat stres psikologis dan gangguan mental umum (CMD). Hasilnya menunjukkan bahwa intervensi kebijakan berhasil mencegah lonjakan pengangguran besar-besaran dan menghindarkan sekitar 1,2 juta kasus gangguan mental tambahan pada 2020. Selain itu, kebijakan tersebut memperlihatkan efek jangka panjang dalam menurunkan tingkat kemiskinan hingga tahun 2025. Temuan ini membuktikan bahwa perlindungan ekonomi selama krisis bukan hanya menyelamatkan pekerjaan, tetapi juga melindungi kesehatan mental masyarakat secara luas.

Reporter:
Relmbuss Fanda (PKMK UGM)


 

   23 Juli 2025

Can We Define a Reference Case of Methods to cover both Environmental and Health Economic Evaluation?

Sesi ini membahas bagaimana interaksi antara dampak iklim, kesehatan dan penghitungan biaya-manfaat atau evaluasi ekonomi lain dapat digabungkan dan digunakan untuk menghasilkan bukti-bukti yang kuat dalam menyusun dan merancang intervensi serta kebijakan mitigasi.

Methodological Pathway for Valuing Health in Climate Action: Integrating Health Developmental Impact Into Applied Economic Evaluation

Prof. Bernard Moscoso (CIEC-ESPOL)

Perubahan iklim menghadirkan ancaman  bagi kesehatan global, memengaruhi segala hal mulai dari paparan penyakit hingga ketahanan pangan dan hasil pembangunan. Meskipun demikian, kesehatan seringkali tidak dimasukkan secara memadai ke dalam evaluasi ekonomi kebijakan iklim. Sebagian besar analisis biaya-manfaat menekankan biaya mitigasi dan target emisi namun mengabaikan efek kesehatan jangka panjang dari paparan terkait iklim. Literatur terbaru menunjukkan bahwa mengintegrasikan dampak kesehatan, khususnya penilaian kesehatan dalam pendekatan ekonomi pembangunan ke dalam evaluasi ekonomi terapan berpotensi memberikan dasar yang lebih akurat untuk pembuatan kebijakan.

Prof Bernard mensintesis pendekatan metodologis terbaru dari ekonomi kesehatan, kebijakan iklim, dan ekonomi pembangunan untuk mengelaborasi jalur untuk mengintegrasikan dampak kesehatan ke dalam evaluasi ekonomi terkait iklim. Sumber literatur yang digunakan termasuk artikel peer-review, dokumen WHO, dan model interdisipliner yang diterbitkan antara 2010 dan 2024.

Berdasarkan sintesis ini, Bernard mengidentifikasi dua jalur metodologi:

  1. Health Co-Benefit Frameworks: Studi seperti Markandya et al. (2018) dan Van Dyck et al. (2018) menunjukkan bahwa memonetisasi keuntungan kesehatan—misalnya, menghindari kematian dini akibat pengurangan polusi udara—dapat menyeimbangkan biaya yang signifikan dari mitigasi. Instrumen seperti HEAT WHO dan instrumen CIRCLE OECD dapat digunakan untuk mengukur manfaat ini.
  2. Developmental Health Impact Modelling: Menggabungkan efek paparan awal kehidupan ke dalam evaluasi ekonomi, seperti yang ditunjukkan oleh Fishman et al. (2019), dan Maccini and Yang (2009), untuk mengungkapkan produktivitas jangka panjang dan kehilangan kesempatan pendidikan akibat dengan paparan variasi cuaca, bahkan pada tahap awal kehidupan. Model-model ini memungkinkan pembuat kebijakan untuk mengevaluasi keuntungan ekonomi dari langkah-langkah preventif di wilayah yang rentan terhadap iklim.
Prof Mocoso bersama reporter

Prof Bernard berargumen bahwa penilaian kesehatan dalam aksi iklim tidak hanya layak secara teknis tetapi juga diperlukan secara etis. Mengintegrasikan pendekatan tersebut memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang biaya dan manfaat kebijakan iklim. Hal ini juga akan membantu menyelaraskan pengambilan keputusan ekonomi dengan kesehatan masyarakat, kesetaraan antargenerasi, dan pembangunan berkelanjutan. Selain itu, metode interdisipliner yang menjembatani ilmu iklim, kesehatan dan ekonomi pembangunan, harus dilembagakan untuk menginformasikan kebijakan iklim yang kuat dan sensitif terhadap kesehatan dalam jangka pendek dan jangka panjang.

 

 

 

Adapting Health Economic Evaluation Methods to include Climate Impacts

Prof. Wolf Rogowski (University of Bremen)

Untuk membuat keputusan yang berkelanjutan secara lingkungan, metode evaluasi ekonomi kesehatan (HEE) yang ada perlu disesuaikan untuk memperhitungkan dampak lingkungan dari rekomendasi kebijakan. Salah satu masalah lingkungan yang penting adalah bagaimana memperhitungkan dampak perubahan iklim. Meskipun metode penilaian siklus hidup (LCA) untuk memperkirakan dampak teknologi baru terhadap pemanasan global sudah terlihat mapan, namun masih ada kesenjangan dalam hal bagaimana memperkirakan dan menggabungkan dampak tersebut dengan evaluasi ekonomi kesehatan.

Model LCA itu sendiri adalah metode sistematis untuk mengevaluasi dampak lingkungan dari suatu produk, proses, atau layanan sepanjang siklus hidup produk/proses/layanan tersebut. Misalnya, LCA diterapkan untuk membangun sebuah fasilitas Kesehatan dengan menilai dampak lingkungan dari material bangunan yang digunakan sehingga membantu untuk memilih material yang berkelanjutan, bangunan fasilitas Kesehatan tersebut didesain untuk memiliki efisiensi energi yang lebih tinggi, proses konstruksi yang minim dampak, penggunaan bangunan, dan akhir masa pakai bangunan yang lebih panjang.

Prof. Wolf Rogowski menyatakan bahwa dampak iklim dapat dipertanggungjawabkan baik pada sisi biaya maupun efek dengan HEE. Namun hal ini membutuhkan estimasi jejak iklim menggunakan metode berbasis proses, atau biaya berdasarkan sumber daya atau biaya yang diperkirakan dalam HEE. Untuk memasukkan jejak iklim di sisi efek, dampak kesehatan dapat diperkirakan menggunakan model LCA seperti ReCiPe.

Ada dua cara utama untuk menurunkan faktor karakterisasi, yaitu pada tingkat titik tengah (midpoint) dan pada tingkat titik akhir (endpoint). ReCiPe menghitung:

  • 17 indikator titik tengah
  • 3 indikator titik akhir

Indikator titik tengah berfokus pada masalah lingkungan tunggal, misalnya perubahan iklim atau pengasaman. Indikator titik akhir menunjukkan dampak lingkungan pada tiga tingkat agregasi yang lebih tinggi, yaitu

  1. efek pada kesehatan manusia,
  2. efek pada keanekaragaman hayati,
  3. efek pada kelangkaan sumber daya.

Jalur yang menghubungkan antara midpoint dengan endpoint, disebut sebagai ‘damage pathway’.

 Model dampak LCA biasanya melaporkan dampak kesehatan dalam DALY. Oleh karena itu, opsi untuk mengintegrasikan HEE dengan LCA ini mungkin dilakukan, terutama untuk analisis yang menggunakan DALY sebagai hasil kesehatan. Damage pathway yang biasanya dipakai untuk memperkirakan endpoint dampak Kesehatan adalah:

  • Peningkatan risiko penyakit pernapasan
  • Peningkatan risiko penyakit kanker
  • Peningkatan risiko penyakit lain
  • Peningkatan risiko malnutrisi

Untuk memasukkan dampak iklim di sisi biaya, standar nasional untuk biaya emisi gas rumah kaca sering tersedia yang mungkin perlu disesuaikan untuk mengecualikan harga karbon yang sudah termasuk di dalam biaya karena skema perdagangan karbon atau pajak. Ukuran  yang tersedia untuk menggabungkan dampak iklim, misalnya rasio efektivitas biaya inkremental yang disesuaikan dengan efek iklim atau biaya iklim, manfaat moneter bersih (net monetary gain) atau kesehatan bersih (net health).

Reporter:
Shita Dewi (PKMK FK-KMK UGM)

Evaluation of policy, programs and health system performance

   22 Juli 2025

Innovative Health Financing for Marginalised Populations

Econometric Analysis of Synergistic Demand-Side Health Financing Programs: Harnessing the Power of Integration

Taufik menyampaikan, di Indonesia, skema pembiayaan kesehatan lebih mengarah pada sisi permintaan, seperti pada konteks Penerima Bantuan Iuran (PBI) untuk jaminan kesehatan dan Program Keluarga Harapan (PKH) sebagai bantuan tunai bersyarat. Dua model ini merupakan pilar utama dalam strategi perlindungan sosial bagi masyarakat rentan. Dampak kedua intervensi ini dapat diukur namun memang ada tantangan tersendiri. Variasi intervensi yang diterima oleh rumah tangga berisiko melanggar asumsi fundamental dalam evaluasi dampak dalam konsep Stable Unit Treatment Value Assumption (SUTVA). Penelitian ini mencoba mengungkap secara spesifik dalam mengatasi gap tersebut dan mengimplementasikan pendekatan perlakuan multivalue. Ini merupakan kerangka kerja untuk melakukan analisis dengan memperhitungkan variasi perlakuan beberapa nilai sampai melakukan estimasi dampak agar lebih valid dan dapat diandalkan.

Data panel tiga gelombang digunakan yang bersumber dari survei PKH. Studi ini membandingkan empat kelompok rumah tangga yang berbeda yaitu penerima PBI saja, PKH saja, kombinasi keduanya, dan kelompok kontrol. Keseimbangan karakteristik antar-kelompok dicapai melalui penggunaan generalized propensity scores (GPS). GPS merupakan sebuah teknik statistik lanjutan dengan serangkaian uji diagnostik. Penelitian ini membandingkan sembilan model ekonometrik yang berbeda, mencakup inverse probability treatment weighting (IPTW), matching, generalized estimating equations (GEE), hingga model Difference-in-Differences (DiD). Perbandingan ini dilakukan dengan tujuan untuk menemukan model yang paling sesuai berdasarkan kriteria seleksi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Hasil penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa kelompok rumah tangga yang menerima kombinasi intervensi PBI dan PKH mengalami perbaikan paling signifikan dalam perilaku pencarian pelayanan kesehatan ibu dan perlindungan finansial. Hasil ini menegaskan bahwa terdapat efek sinergis yang saling menguatkan antara kedua program tersebut yatu PKH dan PBI JKN. Analisis ini juga menggarisbawahi pemilihan metode evaluasi yang tepat karena menggunakan model yang berbeda-beda akan menghasilkan magnitudo dampak yang bervariasi. Studi ini juga menekankan bahwa dalam konteks penelitian dan upaya untuk mengontrol faktor pengganggu, baik yang teramati maupun tidak teramati, peneliti memegang peranan sentral. Studi ini memberikan bukti kuat bahwa penggabungan program perlindungan sosial merupakan strategi yang efektif untuk meningkatkan output kesehatan ibu.

Economic Evaluation of Multiple Demand-side Health Financing Subsidies in Indonesia

Susan Grifin menyatakan bahwa telah dilakukan evaluasi terhadap kebijakan sosial berskala besar di Indonesia, seperti Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI) dan Program Keluarga Harapan (PKH).  Evaluasi ini secara umum berhasil dan menunjukkan dampaknya terhadap akses kesehatan. Namun demikian, analisis tersebut sering kali berhenti pada kesimpulan apakah sebuah program berhasil atau tidak, tanpa melangkah lebih jauh untuk menjawab pertanyaan yang lebih krusial bagi pengambil kebijakan. Pertanyaan yang sering dimunculkan adalah apakah program tersebut efisien dalam konteks penyerapan anggaran negara?. Kesenjangan terjadi karena minimnya pengetahuan tentang perbandingan nilai ekonomis dan intervensi sosial yang dilakukan seperti halnya PKH dan iuran PBI. Hal ini bisa saja menghambat alokasi sumber daya yang optimal.

Untuk menjembatani kesenjangan ini, studi ini mendemonstrasikan bagaimana evaluasi konvensional secara luas berdampak dan menjadi sebuah kerangka evaluasi ekonomi yang komprehensif. Peneliti mengusulkan pendekatan yang tidak hanya melihat efektivitas program, tetapi juga secara eksplisit mengintegrasikan suatu analisis biaya-efektivitas, dampak multi-sektoral, dan pertimbangan ekuitas. Peneliti menggunakan metodologi untuk menunjukkan cara mentransformasi output proksimal yang umum diukur dalam evaluasi dampak. Gambaran contoh seperti jumlah kunjungan antenatal atau cakupan imunisasi. Contoh tersebut menjadi indikator luaran akhir yang lebih bernilai. Indikator yang dimaksud adalah output Disability-Adjusted Life Year (DALYs) dan angka partisipasi sekolah.

Kontribusi utama dari studi ini yaitu penyediaan sebuah model analitis yang lebih holistik. Hasil studi tidak hanya menginformasikan tentang efektivitas program, namun juga menawarkan bukti mengenai siapa yang paling diuntungkan dan berapa nilai investasi publik yang sesungguhnya. Pemangku kepentingan dapat memperoleh gambaran dalam konteks percepatan pencapian UHC di Indonesia dalam alokasi sumber daya yang lebih efisien dan adil terutama untuk kelompok rentan.

Reporter:
M. Faozi (PKMK UGM)


 

Evaluation of Mental Health Program / Outcomes

Multisectoral Suicide Prevention Program

Abiona (Macquarie University)

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjadikan pencegahan bunuh diri sebagai komitmen global sejak tahun 2014, dan merekomendasikan strategi pencegahan bunuh diri berpendekatan multisektoral yang komprehensif. Beberapa pemerintah Eropa telah menerapkan jenis strategi ini, meskipun evaluasi efektivitasnya terhambat oleh ukuran sampel yang kecil, factor pengaruh yang membingungkan, dan kualitas data yang rendah.

Studi ini, sebaliknya, memperkirakan dampak intervensi pencegahan bunuh diri multisektoral berbasis komunitas dengan basis sampel data yang besar di Australia, sehingga dapat menunjukkan dampaknya terhadap penggunaan sumber daya dan biaya perawatan kesehatan di Australia.

Pengumpulan data dilakukan antara 2017 dan 2020 dan menggunakan kumpulan data administrasi pemerintah negara bagian terkait dengan jutaan pengamatan di unit gawat darurat, perawatan rumah sakit rawat inap, perawatan primer, dan pasokan obat-obatan.

Metode yang digunakan adalah difference-in-difference (DiD) multi kelompok, serta analisis efek kausal Intention to Treat (ITT) dari intervensi pada penggunaan sumber daya dan biaya perawatan kesehatan. Efeknya dipisahkan bergantung pada waktu dan pada setiap jaringan kesehatan lokal, termasuk unit gawat darurat, perawatan rumah sakit rawat inap, perawatan kesehatan yang diberikan di luar rumah sakit dan pasokan farmasi.

Menyajikan bukti dan wawasan berharga tentang dampak potensial dari intervensi pencegahan bunuh diri multisektoral berbasis komunitas dengan populasi besar pada sistem perawatan kesehatan, untuk lebih memahami mekanisme dampak yang terkait dengan jenis strategi ini. Ini dapat membantu negara-negara lain merancang, menerapkan, dan meningkatkan strategi pencegahan bunuh diri multisektoral yang komprehensif dengan lebih baik.

Talking Through our Mental Health Problem: The Impact of Talk Therapy on Healthcare Utilization

 Roger Prudon  (Lancaster)

Menurut OECD, setengah dari semua orang akan menderita masalah kesehatan mental di beberapa titik dalam hidup mereka. Masalah kesehatan mental ini seringkali memiliki dampak negatif yang besar pada kehidupan individu. Meskipun pengobatan bisa efektif dalam mengurangi dampak negatif ini, tingkat pengobatan dan kepatuhan terbatas, sehingga mengakibatkan banyak orang dengan masalah kesehatan mental tidak menerima perawatan yang memadai. Untuk meningkatkan penyerapan pengobatan, pemerintah di seluruh dunia telah memperkenalkan program berskala besar yang bertujuan untuk menyediakan bentuk perawatan kesehatan mental yang mudah diakses. Contoh program ini adalah Program Terapi Berbicara (Talk Therapy) yang dilakukan oleh NHS di Inggris, Better Access Initiative di Australia dan Project Teach di New York. Namun, bukti yang ada mengenai dampaknya belum banyak dibahas.

Pembicara kali ini, Roger Prudon, mengevaluasi program serupa yang menyediakan bentuk terapi wicara di Belanda. Terapi bicara ini, yang disediakan oleh asisten praktik kesehatan mental (MH-PA) di praktek dokter umum (GP), diperkenalkan pada 2012 untuk mengurangi tekanan dari sistem perawatan kesehatan spesialis mental, dan meningkatkan tingkat pengobatan. Dampak yang dibahas yaitu dampak langsung terhadap seberapa besar program tersebut berhasil mengurangi beban perawatan Kesehatan spesialis mental.

Hasilnya menunjukkan bahwa program terapi bicara di kantor dokter umum secara signifikan meningkatkan penyerapan/adopsi pengobatan. Bagi kebanyakan individu, terapi bicara melengkapi pilihan pengobatan yang sudah ada, karena sebelumnya orang-orang ini tidak akan menerima perawatan sebelum dirawat oleh tenaga perawat jiwa (nurse practitioner mental health/NPMH). Artinya pemanfaatan asisten praktek Kesehatan mental (MH-PA) cukup potensial untuk mendorong pasien untuk memulai pengobatan.

Namun bentuk pengobatan baru sebagian besar digunakan oleh subpopulasi dengan pemanfaatan perawatan kesehatan mental pra-pengenalan yang relatif tinggi, yang berpotensi meningkatkan kesenjangan yang ada dalam pemanfaatan pelayanan Kesehatan.

Treatment Preference and Their Determinants among Adults with Depression of Anxiety in Outpatient Mental Healthcare (a systematic review)

Lara Leinz (University of Medical Center, Hamburg Eppendorf)

Meningkatnya prevalensi gangguan depresi dan kecemasan diasumsikan akan meningkatnya permintaan akan perawatan kesehatan mental. Namun, kesenjangan pengobatan, waktu tunggu yang lama untuk psikoterapi dan tingginya tingkat putus pengobatan menunjukkan bahwa sistem pelayanan tersebut ternyata kewalahan dan alokasi sumber daya yang lebih baik diperlukan untuk mengamankan perawatan kesehatan mental yang tepat waktu dan efektif. Penelitian ini dilakukan untuk meninjau secara sistematis apa preferensi pengobatan  untuk perawatan kesehatan mental (khusus rawat jalan) dan apa faktor penentunya di kelompok usia dewasa dengan gangguan depresi atau kecemasan.

Studi ini terdaftar di PROSPERO dan mengikuti pedoman PRISMA. Studi diambil secara sistematis dari empat database (Web of Science, PubMed, CINAHL, PsycInfo) sejak Januari hingga Mei 2024. Data yang diekstraksi tentang preferensi dan determinan dirangkum, dan  preferensi dikategorikan ke dalam: (1) pendekatan yang digunakan (pengobatan atau psikoterapi), (2) pilihan layanan psikoterapi (disediakan dengan cara apa), dan (3) parameter psikoterapi. Faktor determinan dikelompokkan ke dalam faktor sosio demografis dan terkait kesehatan. Kualitas penelitian dinilai dengan Mixed-Methods Appraisal Tool (MMAT).

Tiga temuan utama diidentifikasi: 1) psikoterapi lebih disukai daripada pengobatan, 2) perawatan tatap muka lebih disukai daripada pengobatan digital, dan 3) terapi individu lebih disukai daripada terapi kelompok.  Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan, pedoman dan para penyedia layanan harus menyadari bahwa preferensi pasien dapat beragam, sehingga penting untuk memastikan adanya fleksibilitas pilihan. Selain itu, kita perlu menghormati dan mengintegrasi preferensi pengobatan ke dalam perencanaan perawatan untuk dapat memberikan perawatan kesehatan mental yang berorientasi pada individual (person-centered) dan meningkatkan potensi penerimaan pasien atas terapi dan kontinuitasnya.

Reporter:
Shita Dewi (PKMK FK-KMK UGM)


 

Global Perspectives on Innovative Models for Health Care Delivery, Payment, and Cost-Sharing

Episode-Based Cost-Sharing for Childbirth in the Privately Insured Population in the United States: Quantifying the Out-of-Pocket Cost Redistribution

Michal Horný menjelaskan, Amerika Serikat memiliki ketidakpastian dalam biaya pelayanan kesehatan karena pelayanan lanjutan yang dilakukan, seperti contoh persalinan. Hal ini menyebabkan potensi biaya yang tinggi bagi pasien. Sebagai solusi, sebuah model pembagian biaya berbasis episode diusulkan. Model ini akan menampilkan data statistik untuk menggambarkan jumlah yang dibayarkan oleh pasien. Tujuan khusus studi ini yaitu untuk menyelidiki dan mengukur bagaimana mendistribusikan beban biaya antara pasien yang memiliki asuransi swasta dan episode medis yang berkelanjutan.

Studi ini membandingkan biaya riil yang merupakan tanggung jawab pasien dengan estimasi biaya.Studi ini menganalisis data klaim dari 98.635 kasus persalinan pada 2021. Pasien membayarkan rata-rata biaya sebesar $2.783. Hasil simulasi ini menunjukkan bahwa model berbasis episode akan memberikan penalti pada sebagian kecil pasien (22,4% atau 22.136 kasus) yang mengalami komplikasi tak terduga, dengan peningkatan biaya rata-rata sekitar $793. Dan sebaliknya, mayoritas pasien (64,6%, atau 63.683 kasus) mengikuti skema pembiayaan normal dan membayar harga lebih tinggi, dengan kenaikan rata-rata sekitar $754.

Dari segi desain, model ini berfungsi seperti pedang bermata dua, satu sisi memberikan bantuan keuangan kepada pasien yang belum siap, namun juga menyediakan bantuan keuangan kepada sebagian besar pasien dengan prosedur klinis normal. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan model tersebut menciptakan mekanisme untuk mendistribusikan sumber daya baru dalam kelompok.

Reduced Mortality and Admissions Through Integrated Care: Evidence from Taiwan’s Family Doctor Program

Li-Lin Liang menjelaskan bahwa terdapat fragmentasi dalam sistem kesehatan dan menjadi tantangan global. Kondisi ini akan diatasi melalui pendekatan perawatan yang terintegrasi (integrated care). Tujuannya adalah meningkatkan luaran kesehatan, menekan biaya, dan memperkaya pengalaman pasien. Meskipun efektivitas model ini telah memberikan bukti pada manajemen penyakit tunggal, terdapat dampak terhadap pasien dengan multimorbiditas. Pada fasilitas kesehatan primer kondisi ini terjadi karena sistem layanan primer tidak terintegrasi kuat. Di Amerika Utara dan Eropa banyak terjadi kesenjangan antara pelayanan primer dan lanjutan. Untuk itu di Taiwan, kami mencoba melakukan studi dengan melakukan evaluasi kuantitatif terhadap Family Doctor Program (FDP). Studi ini merupakan sebuah inisiatif berskala nasional yang dirancang untuk memperkuat koordinasi perawatan bagi pasien kronis komplikasi/ multi morbid yang berbiaya tinggi.

Studi ini menggunakan data dari Taiwan National Health Insurance Research Database dari tahun 2013 hingga 2020. Kami melakukan analisis survivabilitas untuk mengukur efek program terhadap angka rawat inap yang dapat dicegah dan mortalitas karena berbagai penyebab penyakit. Kami menerapkan metode matching one by one untuk membuat kelompok FDP dan non-FDP sebagai pembanding dengan berdasarkan demografi, status kesehatan, dan pola pemanfaatan layanan. Dengan total sampel akhir mencapai 484.644 individu yang dipergunakan untuk analisis rawat inap dan 826.996 untuk analisis mortalitas. Kami menggunakan model Cox proportional hazards yang telah dimodifikasi untuk menghasilkan estimasi risiko yang akurat dengan melakukan penyesuaian multivariabel.

Hasil analisis menunjukkan terdapat manfaat signifikan dari intervensi FDP. Partisipan program menunjukkan adanya risiko rawat inap 3% yang lebih rendah dan risiko kematian sebesar 13% lebih rendah dibandingkan non-partisipan. Penurunan risiko ini teramati konsisten di hampir seluruh subkelompok pasien. Temuan ini menyoroti bahwa dengan pendekatan multifaset FD yang mencakup manajemen kasus, alur perawatan klinik-rumah sakit, dan insentif finansial unik telah mendorong kolaborasi dan berhasil meningkatkan output kesehatan. Dengan studi ini Taiwan mencoba berbagi pengalaman dalam mengimplementasikan perawatan terintegrasi dalam layanan primer.

The Performance Paradox: Longitudinal Payment Disparities for Safety-Net Providers in a U.S. Value-Based Payment Model

Meng-Yun Lin Perubahan dalam sistem pembayaran untuk Medicare di Amerika Serikat dari berbasis volume menjadi berbasis nilai, yang dimulai oleh Medicare Access and CHIP Reauthorization Act (MACRA) pada tahun 2015. Kondisi ini menciptakan sistem insentivisasi yang rumit yang disebut MIPS. Sistem ini dirancang untuk memberikan penghargaan finansial kepada klinisi yang mencapai tingkat kinerja yang tinggi. Namun, ada kekhawatiran yang mendalam bahwa model tersebut mengabaikan determinan sosial kesehatan bagi pasien. Dan praktiknya merugikan penyedia jaring keselamatan (SNP) yang terbebani dengan adanya perawatan populasi rentan. Hal ini memungkinkan adanya sanksi finansial yang terjadi dan dikhawatirkan akan mengancam keberlanjutan layanan untuk komunitas yang paling membutuhkan.

Studi longitudinal dilakukan dengan menganalisis data dari 329.657 klinisi selama periode empat tahun dari tahun 2018 hingga 2021. Studi ini berusaha untuk mengatasi kekhawatiran terhadap pelayanan kelompok rentan. Studi ini membuat grup kelompok penyedia SNP dan non-SNP dengan menggunakan analisis regresi multivariat yang disesuaikan untuk karakteristik klinisi dan pasien untuk melacak perbedaan kinerja. Hasil dari studi ini menunjukkan sebuah temuan yang berkaitan dengan hipotesis awal telah mengungkapkan dirinya. Dengan konsisten, SNPs jauh dari rekan-rekan identik non-SNP mereka dalam hal mencapai skor kinerja yang hanya sedikit lebih baik dan memiliki probabilitas 14,5% lebih tinggi untuk menerima penyesuaian pembayaran positif berkelanjutan dibandingkan rekan-rekan tersebut.

Namun, studi ini juga memunculkan paradoks yang jauh lebih dalam. Meskipun mencapai kinerja metrik yang lebih baik, akumulasi penyesuaian finansial dalam dolar diterima oleh SNPs secara signifikan lebih rendah, dengan selisih bersih $0,39 per pasien yang dilayani. Kesenjangan ini menandakan adanya bias sistemik dalam mekanisme distribusi imbalan MIPS yang secara tidak sengaja mengenakan beban finansial pada entitas populasi rentan. Implikasi kebijakan dari analisis ini sangat jelas yaitu tanpa reformasi, sistem yang telah berjalan ternyata pelayanan yang diberikan tidak berkualitas untuk kelompok masyarakat paling rentan.

Reporter:
M. Faozi (PKMK UGM)


 

Establishing the Impact of Climate Change on Health Systems: Empirical Application Across High and Low Income Countries

Perubahan iklim adalah ancaman terbesar bagi kesehatan manusia. Namun, dampaknya terhadap fungsi sistem kesehatan seperti layanan, pembiayaan, dan tenaga kesehatan masih jarang diteliti. Sesi ini menyajikan penelitian baru dari berbagai negara, yang menganalisis hubungan antara variabilitas iklim atau kejadian iklim ekstrim dan dampaknya terhadap berbagai aspek dalam pelayanan dan tenaga kesehatan.

Emergency Hospitalizations and Related Economic Burden of Heat Exposure: A Nationwide Time-Series Study in Germany

Presenter: Hedi Katre Kriit, Heidelberg University, Germany;

Sesi pertama membahas dampak gelombang panas ekstrem terhadap sistem kesehatan di Eropa, dengan studi kasus di Jerman. Meski efek suhu tinggi terhadap kematian sudah banyak diteliti, pengaruhnya terhadap pelayanan kesehatan—khususnya rawat inap darurat (emergency hospitalization/EH)—dan beban ekonomi belum banyak dikaji.

Penelitian ini menggunakan data asuransi kesehatan dari 4,3 juta individu di Jerman yang dikaitkan dengan data suhu harian selama musim panas tahun 2017–2022. Hasilnya menunjukkan bahwa risiko rawat inap darurat meningkat seiring naiknya suhu, terutama pada anak-anak, lansia, dan penderita penyakit metabolik. Sekitar 8,4% dari seluruh rawat inap darurat diperkirakan terjadi akibat panas, dengan beban biaya mencapai €35 juta. Jika diekstrapolasi ke seluruh populasi, panas ekstrem diperkirakan menyumbang 5–6% dari total pengeluaran kesehatan tahunan. Penelitian ini menegaskan pentingnya kesiapan sistem kesehatan dalam menghadapi meningkatnya kejadian panas ekstrem, serta perlunya kebijakan adaptasi yang efektif untuk melindungi kesehatan dan menekan dampak ekonomi.

Health and Economic Assessment of Extreme Temperature and Late Preterm Births in Germany – A Space-Time-Stratified Case-crossover Study

Presenter: Hannah Lintener, University of Heidelberg, Germany,

Sesi kedua menyoroti dampak panas ekstrem terhadap risiko kelahiran prematur (preterm birth/PTB) di Jerman. Hannah menjelaskan bahwa perempuan hamil diketahui lebih rentan terhadap paparan suhu tinggi, dan penelitian sebelumnya telah menunjukkan adanya peningkatan risiko PTB bahkan di wilayah beriklim sedang.

Penelitian ini menggunakan data asuransi kesehatan nasional (SHI) yang mewakili populasi secara luas, dikombinasikan dengan data suhu harian dari ERA-5 (ECMWF) selama periode Maret hingga September tahun 2017–2022. Para peneliti menemukan bahwa risiko PTB meningkat seiring kenaikan suhu, membentuk pola kurva U. Sementara, secara ekonomi, studi ini memperkirakan bahwa terdapat 144 kasus PTB yang dapat dikaitkan dengan suhu tinggi dalam rentang 15°C–29°C, dengan total beban biaya rawat inap langsung sebesar €2,7 juta. Namun, angka ini kemungkinan masih di bawah estimasi sebenarnya karena belum mencakup biaya jangka panjang, biaya tidak langsung, atau beban sosial yang lebih luas.

Temuan ini menunjukkan bahwa panas ekstrem berpotensi meningkatkan risiko kelahiran prematur dan menimbulkan beban ekonomi yang signifikan. Peneliti merekomendasikan agar strategi adaptasi terhadap panas, khususnya yang menyasar perempuan hamil, menjadi bagian penting dari kebijakan kesehatan ke depan.

The Effect of Extreme Weather Events on The Utilisation of Routine Maternal and Child Health Services in Zambia

Presenter: Chris Mweemba, University of Zambia

Pada sesi ketiga, Chris membahas bagaimana banjir dan gelombang panas yang dipicu oleh perubahan iklim memengaruhi akses layanan kesehatan ibu dan anak (KIA) di Zambia. Dalam konteks negara berpenghasilan rendah, kejadian cuaca ekstrem seperti ini dapat mengganggu layanan rutin seperti pemeriksaan kehamilan, persalinan di fasilitas kesehatan, perawatan pasca persalinan, dan imunisasi anak yang berdampak langsung pada hasil kesehatan populasi.

Penelitian ini menganalisis data kunjungan bulanan layanan KIA dari 2014 hingga 2022, yang dikombinasikan dengan data paparan banjir dan gelombang panas berdasarkan citra satelit dan rekaman suhu dari lembaga internasional. Studi ini menelusuri pengaruh paparan suhu ekstrem dan intensitas banjir terhadap penurunan penggunaan layanan kesehatan, serta perbedaan dampaknya berdasarkan wilayah urban/rural, status sosial ekonomi, dan kepadatan fasilitas atau tenaga kesehatan.

Hasilnya menunjukkan bahwa banjir dan suhu ekstrem berdampak nyata terhadap penurunan layanan kesehatan rutin, terutama ketika intensitas paparan melewati ambang tertentu. Dampak ini bervariasi antar provinsi dan kelompok populasi. Kesimpulannya, untuk memastikan kemajuan menuju cakupan kesehatan semesta (UHC), penting bagi sistem kesehatan di negara rentan untuk memahami dan mengantisipasi dampak cuaca ekstrem terhadap layanan dasar. Sesi ini juga menekankan potensi penggunaan data rutin sebagai alat pemantauan dampak iklim terhadap layanan kesehatan ibu dan anak.

Reporter:
Ratri (PKMK UGM)

Supply and regulation of health services and products

   21 Juli 2025

Innovations in the Payment and Delivery of Primary Care

Effects of Integrating Primary Care and Specialist Physician Practices Handout(s) available

Laurence Baker menyatakan dalam pembukannya bahwa studi ini mengeksplorasi dampak integrasi vertikal antara praktik dokter umum (primary care) dan spesialis terhadap efisiensi sistem kesehatan di AS. Studi ini menggunakan data klaim dari data Medicare tahun 2006–2020 dari 181.075 peserta yang dilibatkan, penelitian ini memanfaatkan desain movers yaitu membandingkan perubahan pola penggunaan layanan dan biaya pada peserta yang berpindah wilayah residensi (Hospital Referral Region) sekaligus bertransisi antara praktik pelayanan dasar (primary care/PC) tunggal dan multidisiplin. Peneliti menggunakan metode Difference-in-Differences (DiD) dan event study untuk mengisolasi efek integrasi, dengan mengontrol karakteristik peserta (misal: usia, komorbiditas) dan tren temporal.

Hasil studi ini menunjukkan bahwa praktik multidisiplin (PC+spesialis) terkait dengan pengurangan biaya kesehatan tahunan sebesar 7,2% (±1,8%) dan penurunan pemanfaatan sumber daya secara signifikan dalam utilisasi layanan intensif. Peserta yang bertransisi ke praktik PC-tunggal menunjukkan peningkatan 11,3% pada rawat inap dan 9,6% penggunaan layanan pasca-akut (post-acute care). Namun sebaliknya, pada praktik multidisiplin menghasilkan 14,2% lebih sedikit kunjungan total dan peningkatan 6,5 poin persentase pada indikator pencegahan (Prevention Quality Indicators). Temuan ini konsisten dengan hipotesis yaitu integrasi mengurangi biaya transaksi dan perselisihan antar-spesialis karena adanya rujukan pasien.

Hasil ini juga bahwa menguatkan proposisi bahwa integrasi vertikal antara PC-spesialis berpotensi meningkatkan nilai (value) layanan kesehatan melalui efisiensi alokatif dan teknis. Namun, Baker menyatakan bahwa studi ini mengidentifikasi tantangan endogenisitas yaitu pemilihan praktik setelah perpindahan lokasi praktik, mungkin dipengaruhi faktor non-observabel (misal: preferensi peserta). Baker juga menyatakan bahwa akan ada implikasi kebijakan untuk mengadakan insentif dengan model praktik terintegrasi dalam sistem value-based care. Meskipun membutuhkan pendalaman lebih lanjut mengenai dampak pada pasar dan variasi efektivitas menurut ukuran praktik.

Private Equity Investments in Primary Care and Changes to Medicare Spending and Utilization

Yashaswini Singh menjelaskan bahwa efek akuisisi praktik layanan primer (PC) oleh private equity (PE) terhadap pola utilisasi dan belanja Medicare di AS.Data klaim Medicare Part B tahun 2016–2022 digunakan dan peneliti juga melakukan identifikasi kepemilikan PE melalui PitchBook serta sumber data sekunder lainnya. Penelitian ini menganalisis kurang lebih 2.304 praktik PC yang diakuisisi PE. Desain studi yang digunakan adalan Difference-in-Differences (DiD) diterapkan dengan membandingkan praktik yang diakuisisi PE terhadap kelompok kontrol yang dipadankan (propensity score matching) berdasarkan volume layanan, lokasi, dan karakteristik pasien pra-akuisisi. Model regresi dengan fixed effects dokter dan kuartal digunakan untuk mengisolasi dampak akuisisi.

Hasil studi ini menunjukkan bahwa akuisisi PE meningkatkan belanja Medicare per dokter sebesar 20% (±3,1%), didorong oleh peningkatan utilisasi layanan diagnostik (laboratorium: +24%) dan preventif (skrining: +18%). Setiap dokter menangani 17% lebih banyak pasien unik, namun diikuti fragmentasi perawatan—ditandai kenaikan 5% jumlah dokter umum berbeda dan 8% jumlah spesialis berbeda yang dikunjungi pasien. Meski utilisasi meningkat, tidak ada perbaikan outcome klinis: probabilitas kunjungan IGD (*ED visits*) dan rawat inap (*inpatient admissions*) tetap statis. Peningkatan beban biaya pasien (*out-of-pocket spending*) mencapai 15%.

Studi ini juga menjelaskan bahwa bahwa model bisnis PE yaitu yang berorientasi pada skalabilitas dan efisiensi operasional, berpotensi memicu supply-induced demand tanpa manfaat klinis jangka pendek. Pada akhirnya studi ini menujukkan bahwa terjadi fragmentasi perawatan yang merefleksikan bahwa risiko destabilisasi jejaring perawatan primer terjadi akibat pergantian dokter (physician turnover) dan insentif finansial yang tidak selaras atau tidak terintegrasi dengan baik.

Integrating Virtual Primary Care: Evidence and Learnings from Lower-Middle Income Countries

Divya Srivastava menjelaskan bahwa studi ini menganalisis integrasi layanan kesehatan primer virtual (VPC) di lima negara berpenghasilan menengah-bawah (termasuk Indonesia) selama pandemi COVID-19. Studi ini menggunakan Delphi consensus exerciset dengan pakar kebijakan kesehatan. Beberapa hal teridentifikasi bahwa pertumbuhan VPC yang dipicu pandemi terjadi secara spontan di sektor swasta tanpa kerangka regulasi memadai. Tantangan utama mencakup: (1) absennya standar akreditasi penyedia, (2) kerentanan privasi data pasien, dan (3) kesenjangan digital yang memperparah ketidaksetaraan akses—di Indonesia, 72% pengguna VPC berasal dari kuintil pendapatan tertinggi.

Penelitian ini mengembangkan Standardized Integration Framework berbasis enam pilar yaitu pembiayaan, regulasi, interoperabilitas data, tata kelola privasi, keterlibatan tenaga kesehatan, dan pemerataan akses. Hasil penerapannya menunjukkan bahwa Fragmentasi Regulasi**: 80% negara sampel tidak memiliki payung hukum spesifik untuk kontrak VPC dalam sistem jaminan kesehatan nasional. Fasilitas kesehatan mengalami disparitas infrastruktur, 35% fasilitas kesehatan tingkat primer yang memiliki sistem informasi elektronik yang mendukung interoperabilitas VPC. Namun, risiko kesenjangan terjadi pada subsidi telemedisin terbatas yang mengakibatkan cakupan penduduk pedesaan hanya <15%.

Studi ini menggarisbawahi urgensi koordinasi sektor publik-swasta dalam pengembangan VPC. Rekomendasi kebijakan prioritas meliputi: (1) penyusunan pedoman akreditasi penyedia berbasis bukti, (2) integrasi VPC ke dalam paket manfaat jaminan kesehatan nasional dengan skema pembayaran berorientasi hasil (outcome-based), dan (3) investasi infrastruktur digital di daerah terpencil berbasis public-private partnership. Studi menekankan bahwa keberlanjutan VPC memerlukan pendekatan holistik yang mengatasi determinan sosial kesehatan—khususnya literasi digital dan keterjangkauan.

Unlocking Fiscal Autonomy: The Economic Impact of the BLUD Model on Strengthening Primary Health Care in Decentralized Indonesia

Rooswanti Soeharno menjelaskan studi evaluasi terhadap piloting program dari UNICEF. Studi ini menjelaskan bahwa ada dampak model Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) pada Puskesmas di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), sebagai respons terhadap tantangan desentralisasi kesehatan Indonesia. Studi ini menggunakan pendekatan mixed-methods, dengan menganalisis data kinerja 55 Puskesmas BLUD di Lombok Barat dan Lombok Timur tahun 2021–2023. Analisis datanya yaitu dengan membandingkan indikator pra-pasca intervensi UNICEF dan setelah terjadi intervensi. Intervensi mencakup yaitu (1) penguatan kapasitas tata kelola keuangan fiskal otonom, (2) pelatihan manajemen berbasis kinerja, dan (3) integrasi sistem informasi kesehatan (Satusehat). Kerangka evaluasi mengadopsi instrumen WHO-UNICEF PHCPI yang dimodifikasi.

Hasil implementasi BLUD meningkatkan kapasitas fiskal dan kinerja layanan primer secara signifikan yaitu pertama terkait aspek keuangan. Puskemas yang mendapatkan alokasi APBD kesehatan mengalami peningkatan 8,1% di Lombok Barat dan 138% di Lombok Timur. Puskesmas juga mendapatkan pendapatan BLUD rata-rata Rp3 miliar/tahun. Kedua, kapasitas layanan, menunjukkan skor tata kelola yang mengalami kenaikan sebesar 35,1% dari 2,39 menjadi 3,23 poin. Hal ini menunjukkan bahwa rekrutmen 42 tenaga dokter kontrak untuk memenuhi rasio BPJS (1:5.000 penduduk) dapat memberikan dampak pelayanan dan kenaikan pemanfaatan puskesmas. Ketiga, untuk outcome kesehatan menunjukkan kepuasan pengguna layanan yang melonjak 25,1%, cakupan pengobatan TB juga meningkat 48,7%, dan life expectancy juga mengalami kenaikan sebesar 4,5 tahun.

Sebagai penutup, penelitian ini mungkin efektif, namun studi mengidentifikasi kendala sistematis yaitu adanya fragmentasi dalam sistem informasi kesehatan, regulasi pendukung terbatas, dan disparitas kapasitas SDM antarwilayah seperti Papua hanya 25% Puskesmas memenuhi standar tenaga kesehatan. Untuk itu dalam skala nasional dengan model BLUD perlu mengembangkan dashboard kinerja daerah yang terintegrasi, dan perlunya pelatihan digital untuk pemerataan kapasitas manajerial.

Accounting for Morbidity in Capitation Payments: A Person-Based Model for Primary Medical Care in England

Laura Anselmi dalam studinya, peneliti mengembangkan model pembayaran kapitas berbasis morbiditas untuk layanan medis primer di Inggris. Hal ini bertujuan untuk menanggapi kelemahan formula Carr-Hill yang berlaku yang hanya mempertimbangkan usia, gender, dan deprivasi area. Data yang digunakan adalah data pseudonymised 12,6 juta pasien dari Clinical Practice Research Datalink Aurum (CPRD Aurum). Studi ini menganalisis beban kerja riil praktik umum melalui biaya konsultasi (dokter, perawat, asisten) dan frekuensi kunjungan tahun 2018–2019. Pendekatan dengan model regresi multivariat digunakan untuk menghitung workload weights dengan memasukkan tiga lapis variabel. Tiga lapis ini yaitu karakteristik demografis (usia, etnisitas, deprivasi indeks Index of Multiple Deprivation/IMD), dan diagnosa morbiditas (20 kondisi kronis Quality and Outcomes Framework/QOF, 152 kode ICD-10 rawat inap, 209 kondisi Caliber), serta practice fixed-effects untuk mengontrol variasi praktik.

Hasil studi ini menjelaskan bahwa morbiditas sebesar 50% merupakan disparitas beban kerja terkait usia dan deprivasi. Pasien lanjut usia (>65 tahun) pada area yang sangat termarjinalkan (kuintil IMD 1) membutuhkan biaya 40% lebih tinggi (£154 vs £110 rerata nasional).

Implementasi model ini mengoreksi ketimpangan sistemik yaitu alokasi kapitas baru yang meningkatkan pembiayaan ke praktik pada area deprivasi tinggi sebesar £607,5 juta/tahun (+10,24%) dengan menyetarakan biaya per pasien miskin (£90,94) dengan masyarakat mampu (£80,84). Pendekatan ini mengakui beban kompleks passien komorbid dan deprivasi struktural terutama relevan untuk populasi aging society. Keterbatasan mencakup potensi unmet needs yang belum terekam dalam data diagnosis.

Reporter
M Faozi Kurniawan (PKMK UGM)

Health, its valuation, distribution and economic consequences

   21 Juli 2025

Explore the Growing Financial Burden of NCD and How Health System Can Adapt

Sesi ini merupakan sesi yang menghadirkan beberapa penelitian terkait biaya yang terkait untuk penyakit-penyakit tidak menular. Tim peneliti dari CHEPS UI yang dipimpin oleh Prof Budi Hidayat mempresentasikan hasil analisis data JKN tahun 2016-2019. Biaya berasal dari data JKN 2019, disesuaikan dengan inflasi terhadap angka 2024, dan dikonversi ke USD untuk kejelasan.

Pertama, disajikan mengenai Direct Cost DMT2. Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2) adalah masalah kesehatan global dan merupakan beban perawatan kesehatan dan membebani biaya perawatan kesehatan yang signifikan. Di Indonesia, prevalensi DMT2 di kalangan orang dewasa adalah 19,5 juta (2021) dan diperkirakan akan meningkat sebesar 46% pada tahun 2045.

Dari 18,9 juta anggota JKN yang mengakses layanan kesehatan sekunder dan tersier, 812.204 (4%) didiagnosis dengan DMT2.  Di antara jumlah tersebut, 57% memiliki setidaknya satu komplikasi. Rata-rata biaya medis langsung tahunan per orang adalah US $ 708, dengan mereka yang mengalami komplikasi menimbulkan biaya yang jauh lebih tinggi (US $ 930) dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki komplikasi (US $ 421). Komplikasi yang paling umum adalah penyakit kardiovaskular (24%), neuropati (14%), dan nefropati (7%). Rawat inap rawat inap adalah pendorong biaya terbesar, terhitung 55% dari total biaya. Total biaya medis langsung untuk mengelola DMT2 dan komplikasinya pada tahun 2016 diperkirakan mencapai US $ 576 juta, dengan 74% dari biaya ini dikaitkan dengan individu dengan komplikasi. Penyakit kardiovaskular dan nefropati adalah komplikasi yang paling mahal, masing-masing mencapai US$236 juta dan US$129 juta.

Estimasi untuk Direct dan Indirect Cost dari penyakit tidak menular

penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana faktor demografis dan klinis mempengaruhi pengeluaran medis pasien PTM dalam program JKN. Akhirnya, penelitian ini berupaya mengukur biaya langsung dan tidak langsung yang terkait dengan PTM, memberikan wawasan berharga tentang beban keuangan keseluruhan penyakit ini pada sistem JKN.

Studi ini menggunakan analisis retrospektif data klaim JKN 2023 untuk individu berusia 18 tahun ke atas. Data tersebut mencakup informasi tentang diagnosis PTM (penyakit kardiovaskular, kanker, diabetes), komplikasi, komorbiditas, obat-obatan, biaya medis (rawat jalan dan rawat inap), lama rawat inap, dan biaya terkait kematian. Untuk memperkirakan biaya tidak langsung, termasuk kehilangan produktivitas karena ketidakhadiran, cacat tetap, dan kematian dini, pendekatan sumber daya manusia diterapkan, menggabungkan data hari kerja yang hilang, tingkat pendapatan, dan tingkat kematian.

Temuan awal studi ini menunjukkan bahwa komplikasi PTM secara signifikan meningkatkan biaya perawatan kesehatan, dengan PTM mewakili 22% dari total klaim di bawah sistem pembayaran INA-CBG, meskipun hanya terdiri dari 7,3% dari populasi pasien JKN. Selain itu, biaya tidak langsung PTM—karena kehilangan produktivitas dan kematian dini—menambah beban ekonomi substansial yang sering kurang dilaporkan dalam studi biaya penyakit konvensional. Temuan ini menunjukkan bahwa dampak ekonomi sebenarnya dari PTM jauh lebih besar daripada perkiraan tradisional, menekankan perlunya penilaian biaya yang lebih komprehensif. Temuan penelitian ini memiliki implikasi penting bagi kebijakan dan praktik. Meningkatnya beban keuangan PTM pada sistem JKN mengharuskan evaluasi ulang alokasi sumber daya dan strategi pendanaan. Dengan mengukur biaya langsung dan tidak langsung, penelitian ini memberikan bukti penting bagi pembuat kebijakan untuk meningkatkan pembiayaan kesehatan, mengoptimalkan penggunaan sumber daya, dan mengatasi beban PTM yang terus meningkat.

Terakhir, dibahas mengenai Budget Impact Analysis dari Terapi Insulin. Oleh karena itu, penelitian ini berupaya mengukur implikasi biaya dari transisi terapi insulin untuk pasien T2DM dari pendekatan berbasis rumah sakit ke pendekatan berbasis perawatan kesehatan primer (PHC) dan mengevaluasi potensinya untuk meningkatkan keberlanjutan keuangan sistem JKN dan kualitas perawatan bagi pasien T2DM di Indonesia.

Analisis Dampak Anggaran (BIA) dilakukan melalui modelling berbasis prevalensi. Model ini menggabungkan data dari database klaim JKN, termasuk catatan pasien T2DM, protokol pengobatan, pola penggunaan insulin, dan pengeluaran perawatan kesehatan terkait. Model ini mengasumsikan bahwa inisiasi insulin di PHC hanya akan berlaku untuk pasien tanpa komplikasi dan insulin akan diresepkan berdasarkan HbA1c ≥7,5.

Temuan menunjukkan bahwa mengalihkan inisiasi insulin ke PHC dapat mengurangi total biaya medis untuk pasien T2DM secara signifikan. Selama periode 5 tahun (2024-2028), total biaya inisiasi insulin basal di rumah sakit diperkirakan mencapai US $ 3,674 miliar, sementara transisi inisiasi insulin ke PHC dapat menguranginya menjadi US $ 3,308 miliar, menghasilkan penghematan sebesar US $ 367 juta. Demikian pula untuk insulin premix, biayanya menurun dari US$3,901 miliar menjadi US$3,535 miliar dengan potensi penghematan US$367 juta. Analisis sensitivitas mengkonfirmasi bahwa pergeseran ke PHC tetap hemat biaya bahkan dengan variasi asumsi utama, seperti volume pasien dan tingkat komplikasi.

Prof Budi menyimpulkan bahwa transisi inisiasi insulin ke PHC adalah strategi yang sehat secara finansial dan menguntungkan secara klinis. Pergeseran tersebut akan mengurangi biaya terkait rumah sakit dan meningkatkan akses ke terapi insulin tepat waktu, berpotensi meningkatkan hasil klinis dengan mengurangi kadar HbA1c dan mencegah komplikasi. Temuan ini memiliki implikasi kebijakan yang penting, menunjukkan bahwa sistem perawatan kesehatan Indonesia dapat memperoleh manfaat dari mengalokasikan kembali sumber daya ke PHC, meningkatkan manajemen diabetes, dan menyelaraskan dengan agenda transformasi kesehatan negara. Pergeseran ini juga dapat mendukung upaya yang lebih luas untuk mengintegrasikan manajemen penyakit tidak menular (PTM) ke dalam perawatan primer dan mengurangi beban layanan rumah sakit. Gap belanja JKN antara pelayanan di RS dengan di Puskesmas berubah secara signifikan: 98% ke 63% di RS) sementara di PHC akan naik (2% menjadi 37%).

Studi sebelumnya oleh CHEPS UI (2020) telah mengindikasikan bahwa 2/3 orang dengan DMT2 baru terdiagnosis di RS, sehingga Prof Budi merekomendasikan bahwa menggeser perawatan DM di PHC akan membutuhkan:

  • Penguatan kemampuan deteksi dini DM di PHC
  • Penyesuaian tarif perawatan DM di PHC
  • Diperlukan case manager di tingkat PHC

Dalam pembahasannya, Direktur PTM, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid menyoroti bahwa ini merupakan bukti-bukti penting yang meyakinkan, beliau setuju bahwa bukti-bukti dari data Indonesia ini relevan untuk kepentingan kebijakan Indonesia. Namun untuk melakukan perubahan-perubahan tersebut dibutuhkan penghitungan pula untuk memilih intervensi mana yang bisa di’transfer’ ke PHC karena lebih efisien dan mana yg harus tetap di RS, tanpa mengorbankan kualitas layanan.

Sementara itu, Jack Langenbrunner juga mengingatkan bahwa coding dan DRG yang digunakan Indonesia akan berubah dalam waktu dekat, sehingga perlu dipertimbangkan apakah hasil bukti-bukti ini akan berubah secara signifikan atau tidak. Jack juga menanyakan bagaimana kita bisa mendorong perubahan yang dibutuhkan, khususnya mengenai case manager, mengingat Indonesia pernah melakukan uji coba BKS TB dan BKS KIA dengan model case manager namun ada keengganan untuk mengadopsi model tersebut walaun hasil uji coba cukup positif.

Reporter:
Shita Dewi (PKMK UGM)


 

   21 Juli 2025

Measuring Complexity: Multimorbidity, Loneliness, and Cross-Cultural Challenges in Health Outcomes Research

Sesi berjudul “Measuring Complexity: Multimorbidity, Loneliness, and Cross-Cultural Challenges in Health Outcomes Research” berlangsung pada Rabu, 23 Juli 2025, pukul 09:00-10:30 di Bali (1), Bali International Convention Centre, dengan moderator Rebecca Prah dari London School of Hygiene and Tropical Medicine. Berikut ringkasan presentasi dan diskusi yang berlangsung:

Ewan Tomeny (Liverpool School of Tropical Medicine) memaparkan tantangan penggunaan Disability-Adjusted Life Years (DALYs) dalam konteks multi morbiditas. Studi ini mengulas metode-metode penggabungan disability weights (DW) untuk multi morbiditas, yang meliputi pendekatan aditif, multiplikatif, hingga model non-linear yang lebih kompleks seperti diminishing returns dan quadratic penalties. Melalui tinjauan sistematis dan pemodelan hipotesis menggunakan DW dari Global Burden of Disease (GBD), ditemukan bahwa banyak metode kombinasi DW tidak sepenuhnya memenuhi prinsip logis konsistensi terutama ketika kondisi melibatkan tiga penyakit atau lebih. Validasi empiris menggunakan data dari uji coba MULTILINK di Malawi dan Tanzania menunjukkan bahwa model-model alternatif mungkin lebih dekat dengan hasil kualitas hidup yang dilaporkan pasien. Diskusi menegaskan bahwa prevalensi multimorbiditas terus meningkat, dan penggunaan DALYs sebagai ukuran outcome semakin banyak digunakan di negara-negara berkembang. Namun, pendekatan penggabungan DW yang banyak dipakai belum tentu yang paling tepat. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan lebih lanjut serta validasi empiris terhadap metode-metode baru ini, terutama untuk memperkuat relevansi DALYs dalam analisis cost-effectiveness di LMICs.

Tamrat Befekadu Abebe (Monash University) menggunakan metode Mendelian randomisation (MR) untuk mengevaluasi hubungan kausal antara tekanan darah sistolik (SBP) dengan kualitas hidup berbasis Quality-Adjusted Life Years (QALYs). Studi ini menggunakan data UK Biobank yang melibatkan 288.182 peserta. Temuan utama menunjukkan bahwa peningkatan 10 mmHg pada SBP dikaitkan dengan penurunan QALYs sebesar 1,17% per tahun. Meski demikian, heterogenitas data genetik cukup tinggi. Studi ini menekankan potensi besar MR sebagai alat yang dapat mengurangi bias dalam estimasi dampak suatu paparan terhadap QALYs, terutama saat uji coba klinis tidak memungkinkan. Diskusi sesi ini juga menyarankan untuk melakukan validasi lanjutan dengan merekrut peserta baru serta mengukur dampaknya dalam populasi yang lebih bervariasi.

Ishani  Majmudar (Deakin University) mengeksplorasi kesesuaian instrumen EQ-5D-5L dan EQ-HWB untuk mengukur dampak kesepian (loneliness) terhadap kualitas hidup terkait kesehatan (HRQoL). Menggunakan survei daring representatif nasional di Australia, studi ini menemukan bahwa EQ-HWB lebih sensitif dalam menangkap aspek sosial dan psikologis dari kesepian dibandingkan EQ-5D-5L. Hasilnya menunjukkan bahwa EQ-HWB-S secara khusus memiliki korelasi lebih kuat dengan tingkat kesepian, serta memiliki efek ukuran yang lebih besar, menunjukkan bahwa EQ-5D-5L mungkin meremehkan beban kesepian karena keterbatasannya pada aspek mental saja. Diskusi dalam sesi ini juga mengangkat isu perbedaan gender dan budaya dalam pengalaman kesepian, serta potensi stigma di negara-negara berkembang yang memperparah kondisi tersebut.

Diskusi Sesi dan Implikasi untuk Indonesia:

Diskusi umum dalam sesi ini menggarisbawahi pentingnya memilih dan mengembangkan metode pengukuran outcomes kesehatan yang sensitif terhadap kondisi spesifik seperti multimorbiditas dan kesepian. Implikasi bagi Indonesia termasuk perlunya pendekatan yang lebih akurat dalam pengukuran dampak multimorbiditas di tengah populasi yang semakin menua dan peningkatan prevalensi penyakit kronis. Indonesia juga dapat mengambil pelajaran mengenai pentingnya memahami kesepian tidak hanya sebagai isu individu, tetapi juga sebagai tantangan sosial yang memerlukan intervensi kebijakan publik berbasis bukti. Di masa depan, penelitian di Indonesia perlu mengintegrasikan pendekatan yang lebih canggih – di mana EQ-HWB-S terdapat bahasa Indonesia-  dalam mengukur kualitas hidup dan kesejahteraan sosial guna mendukung pengambilan keputusan yang lebih tepat dan efektif.

Reporter:
Hafidz Firdaus (UGM)

Economic evaluation of health and related care interventions

   21 Juli 2025

Advancing Economic Evaluation for Health Policy and Implementation

PKMK-Nusa Dua. Di sesi yang berjudul ‘Advancing Economic Evaluation for Health POlicy and Implementation’ ini dipaparkan berbagai studi mengenai bagaimana pendekatan economic evaluation dapat diperkuat untuk mendukung perumusan dan implementasi kebijakan kesehatan yang lebih efektif, kontekstual namun tetap terkini, dan berkeadilan.

Narasumber yang pertama, Charlie Nederpelt dari Radboud University, menyampaikan tentang pentingnya mempertimbangkan dampak lingkungan, khususnya dimensi planetary health dalam studi Health Technology Assessment (HTA). Pihaknya memaparkan pendekatan berbasis Lifecycle Impact Assessments (LCIA) untuk menghitung dampak lingkungan dari seluruh siklus layanan kesehatan mulai dari produksi, transportasi, penggunaan, hingga pembuangan limbah. Model ini mengestimasi jejak lingkungan berdasarkan input pelayanan kesehatan seperti konsultasi, rawat inap, obat, dan diagnostik, serta overhead fasilitas seperti pencahayaan, ventilasi, hingga penggunaan IT. Dampak diukur terhadap sejumlah planetary boundaries seperti perubahan iklim, gangguan siklus nitrogen dan fosfor, serta konsumsi air tawar.

Dilanjutkan oleh Peter Murphy dari University of York yang mempresentasikan kerangka evaluasi ekonomi untuk kebijakan task shifting. Studi ini menekankan perlunya menilai empat aspek utama: dampak terhadap kesehatan populasi dan kesetaraan, kapasitas sistem, beban kerja tenaga kesehatan, serta dampaknya terhadap pasien.

Dari empat aspek utama tersebut, Murphy membagi lagi parameter-parameter tersebut menjadi jangka pendek (misalnya perubahan beban kerja, kualitas layanan), menengah (seperti kepuasan kerja, angka komplikasi, waktu tunggu), hingga jangka panjang (akses layanan, produktivitas individu, dan hasil kesehatan pasien).

Marcia Weaver dari University of Washington melanjutkan dengan membahas pentingnya league table dalam membantu pengambil kebijakan menentukan prioritas intervensi. Tujuan utama dari cost effectiveness analysis adalah menyusun league table yang dapat menjadi rujukan pemilihan strategi, tetapi masih terbatas diimplementasikannya karena beragamnya studi yang dilakukan. Dengan pendekatan meta-regression, Incremental Cost-Effectiveness Ratio (ICER) dapat diurutkan untuk memberi gambaran strategi mana yang paling efisien secara biaya dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.

Dari Filipina, Lynn Daryl Feliciano Villamater dari Department of Health menyampaikan tentang perlunya meninjau ulang penggunaan cost-effectiveness threshold (CET) yang selama ini merujuk pada 1–3x GDP per kapita. Menurutnya, pendekatan tersebut cenderung tidak akurat dan bisa meremehkan peluang peningkatan kesehatan. Ia merekomendasikan penggunaan opportunity cost-based CET agar lebih kontekstual dan realistis, khususnya dalam evaluasi program vaksinasi. Dengan pendekatan ini, keputusan kebijakan akan lebih selaras dengan kondisi lokal dan prinsip keadilan.
Poin terakhir, Aleksandra Torbica, presiden European Health Economics Association menggarisbawahi pentingnya menjembatani antara evaluasi ekonomi dan implementation research (IR). Menurutnya, IR saat ini masih kurang memperhitungkan aspek biaya dan metodologi yang kokoh. Evaluasi ekonomi perlu lebih “membumi”, dengan menyesuaikan hasilnya terhadap konteks implementasi nyata di lapangan.

Reporter:
Likke Prawidya, PhD


 

Costs, Outcomes and Cost Effectiveness Methods

Origins, Development and Future of Health Economic Evaluation: Perspectives from Health Economics and Decision Science

Philip Clarke menyatakan bahwa evaluasi ekonomi kesehatan berakar dari analisis biaya-efektivitas (CEA) yang dikembangkan oleh Departemen Pertahanan AS pasca-Perang Dunia II. Tujuannya untuk pengadaan senjata. Alain Enthoven mengadaptasi metode ini ke dalam sektor kesehatan pada awal 1960-an di era Menteri Pertahanan Robert McNamara. Presiden Lyndon Johnson tahun 1966 mewajibkan seluruh lembaga pemerintah menerapkan Systems Analysis yang membuka jalan bagi adopsi CEA dalam kebijakan kesehatan. Herbert Klarman, ekonom kesehatan Polandia-Amerika merupakan salah satu pionir yang mengimplementasikan CEA untuk evaluasi terapi penyakit ginjal kronis tahun 1968. Hal ini merupakan salah satu langkah perubahan pendekatan dari pendekatan tradisional.  

Perkembangan metodologi diekselerasi oleh Panel Biaya-Efektivitas dalam Kedokteran dan Kesehatan AS (1993–1996) yang diketuai Louise Russell dan Milton Weinstein. Rekomendasinya mencakup: (1) standarisasi komponen rasio biaya-efektivitas, (2) pengukuran penggunaan sumber daya, (3) valuasi konsekuensi kesehatan, (4) estimasi efektivitas intervensi, (5) preferensi waktu dan diskonto, serta (6) penanganan ketidakpastian. Michael Drummond melengkapi kerangka ini dengan panduan evaluasi ekonomi berbasis bukti di Inggris, menekankan konsistensi pengukuran quality-adjusted life years (QALYs).   

Tahun 2016, panel kedua mulai memperluas cakupan dengan merekomendasikan dua kasus sebagai referensi yaitu dalam perspektif sektor kesehatan dan perspektif sosial. Inovasi kuncinya adalah inventaris dampak (impact inventory) yang mengkuantifikasi konsekuensi non-klinis (seperti kehilangan produktivitas atau beban perawat/ pengasuh). Russell menyatakan bahwa evolusi merefleksikan pergeseran paradigma dari optimisasi anggaran kesehatan menujui kesejahteraan sosial holistik yang optimal dengan tantangan masa depan dalam integrasi determinan sosial dan inovasi pembiayaan yang berkelanjutan.

OpenMarkov, an Open-Source Software Tool for Cost-Effectiveness Analysis

Francisco Javier Díez memulai dengan pertanyaan kepada audiens yang pernah menganalisis CEA dengan berbagai tools seperti Excel, R, TreeAge, MATLAB, OpenMarkov dan lainnya. Diez memaparkan dalam presentasinya bahwa OpenMarkov merupakan alat open-source berbasis Java yang memanfaatkan model grafis probabilistik (PGM) untuk analisis keputusan untuk kesehatan, terutama untuk cost-effectiveness analysis (CEA). OpenMarkov menawarkan berbagai macam model inovatif seperti Bayesian networks, influence diagrams (ID), dan Markov influence diagrams (MID). Model tersebut berguna untuk mengatasi keterbatasan metode konvensional seperti pohon keputusan. Model inovasi ini mempunyai keunggulan pada efisiensi representasi masalah yang kompleks. Contoh masalah ini yaitu dinamika penyakit kronis. 

Proyek kolaboratif UNED-Spanyol menggunakan model ini untuk pelaksanaannya. OpenMarkov sendiri telah digunakan hampir 30 negara, termasuk Ghana dan India. Gambaran ini menunjukkan potensi pemanfaatan pada konteks sumber daya terbatas. Kelebihan utama OpenMarkov adalah kemudahan modifikasi dan transparansi algoritmik. Misalnya, ID dapat secara otomatis menghasilkan pohon keputusan ekuivalen dengan kompleksitas eksponensial, sesuatu yang tak terjangkau alat komersial seperti TreeAge. Fitur ini sangat relevan untuk evaluasi intervensi kesehatan di negara berpenghasilan rendah-menengah (LMIC), di mana fleksibilitas model esensial untuk mengakomodasi variasi epidemiologis dan kapasitas sistem kesehatan. Namun, sebagai prototipe, OpenMarkov masih memerlukan penyempurnaan debugging dan dokumentasi.

Metode OpenMarkov dapat memberdayakan peneliti di LMIC sehingga dapat menghilangkan hambatan finansial (lisensi software yang mahal) dan hambatan teknis (kode berbayar/ tertutup). Metode ini dapat mendukung representasi sebab-akibat (causal links) dan ketidakpastian. Alat ini da[at memfasilitasi keputusan sektor kesehatan yang berkeadilan dan berbasis bukti, khususnya untuk penyakit kronis seperti TB atau malaria di mana pertimbangan biaya-efektivitas krusial menekan untuk meninggalkan perhitungan yang rumit.

Selecting Reliable and Efficient Methods for Value of Information Estimation: Insights from a Simulation Study

Qian Xin melakukan studi evaluasi keandalan lima metode estimasi Expected Value of Partial Perfect Information (EVPPI) yaitu NMC, BART, MLMC, MARS, dan GP. Evaluasi melalui simulasi 12.000 model ekonomi kesehatan. Hasil menunjukkan bahwa BART (Bayesian Additive Regression Trees) paling akurat untuk model sederhana dengan parameter independen seperti biaya obat. Metode lain yaitu MLMC (Multilevel Monte Carlo) unggul pada pengukuran/ parameter terkorelasi seperti utilitas pasien kronis. Metode Gaussian Processes (GP) lebih konsisten pada underperform, terutama pada analisis data dengan kompleksitas tinggi. Analisis dengan efisiensi komputasi tertinggi diraih oleh BART dan MARS.

Hasil studi Xin menyoroti pada pentingnya kecocokan metode dengan konteks masalah. Sebagai contoh MLMC merekomendasikan untuk analisis kebijakan vaksinasi yang melibatkan beberap pengambil keputusan. Dinamika epidemiologis yang kompleks mendorong penggunaan metode yang lebih efektif. Penggunaan metode BART sebenarnya cukup untuk melakukan evaluasi skrining yang sederhana. Peneliti dapat menyediakan semua kode simulasi secara terbuka dengan mempromosikan transparansi dan reproduktibilitas dari hasil analisis metode yang dipilih. Sehingga pemilihan BART atau MARS menjadi poin penting apakah pilihan tersebut menghasilkan model yang lebih efektif.

Menurut Xin, pemilihan metode yang tepat dapat mencegah pemborosan sumber daya dan memastikan bahwa keputusan kesehatan seperti alokasi dana terbatas dapat optimal. Hal ini juga perlu berdasar pada ketidakpastian yangsudah terjadi. Kondisi ini juga relevan untuk sistem kesehatan di negara-negara LMIC, di mana kesalahan estimasi bisa mengorbankan akses layanan esensial kelompok rentan kesehatan.

Going Beyond Direct Health Gains. How to Incorporate a Societal Perspective in Asia-Pacific Decision-Making? A Consensus-Building Process

Mathias Hofer mengidentifikasi kesenjangan implementasi perspektif sosial dalam HTA di 10 negara Asia Pasifik. Hofer menyebutkan bahwa 65% lembaga HTA mengakui elemen nilai non-kesehatan (seperti productivity loss atau beban perawatan), hanya 20% yang dimanfaatkan untuk analisis utama (HTA). Hofer menyebutkan bahwa kerangka BRAVER (Broader Societal Value) mengkategorikan elemen terabaikan ini menjadi lima dimensi yaitu pasien, pengasuh/ perawat, sistem kesehatan, pemerintah, dan masyarakat. Survei yang dilakukan para ahli menunjukkan bahwa ekuitas dan produktivitas sebagai prioritas tertinggi, namun tingkat adopsinya masih rendah (skor 4/9).

Hambatan utama yang timbul yaitu kurangnya metode standar pengukuran dampak non-kesehatan, kapasitas teknis terbatas, dan risiko double-counting. Menurut Hofer, untuk mengatasinya perlu rekomendasi kebijakan yang menekankan pada pelibatan pasien/pengasuh dalam desain HTA, penguatan kerangka regulasi, dan proyek percontohan/ piloting secara bertahap.

Integrasi perspektif sosial menurut Hofer dapat menjamin bahwa kebijakan kesehatan tidak hanya memaksimalkan outcome klinis, tetapi juga keadilan distributif dan kesejahteraan yang holistik. Contohnya yaitu mempertimbangkan beban finansial keluarga miskin akibat biaya transportasi atau kehilangan pendapatan saat merawat anggota sakit. Konsep yang perlu kembali ditekankan adalah seberapa besar desain HTA mempengaruhi pembiayaan bagi masyarakat miskin.

Rapid Development of Cost-Effectiveness Analyses to Scale Global Health Interventions

Andrew Wang menyampaikan bahwa untuk menghadapi pengurangan dana kesehatan di tingkat global, Evidence Action mengembangkan kerangka rapid CEA. Kerangka ini berupa enam langkah upaya untuk memprioritaskan program berimpact tinggi. Kerangka ini menggabungkan penilaian bukti, estimasi dampak (DALY), biaya marjinal, dan ketidakpastian, dengan fleksibilitas untuk konteks lokal. Contoh suksesnya adalah adanya program skrining sifilis ibu di Liberia, yang berhasil meningkatkan cakupan tes dari 25% menjadi 80% tahun 2020-2024 dengan biaya US$1,50/ibu. 

Wang menyatakan bahwa pendekatan ini dapat mengakomodasi ketidakpastian data melalui analisis sensitivitas yang bertingkat. Sebagai contoh, program suplementasi zat besi di India dengan cakupan 70 juta anak, CEA digunakan untuk mengidentifikasi titik efisiensi biaya dengan biaya US$0,65/anak, meskipun variabilitas dampak kognitif sulit diukur. Hasil ini menggambarkan bahwa rapid CEA dibutuhkan untuk mengukur kepastian progam yang sedang berjalan, dan tidak diragukan untuk memastikan bahwa program dapt diidentifikasi biayanya.

akhirnya , model kerangka ini membutuhkan keberlanjutan pasca pendanaan dan transisi ke pemerintah lokal. Pemerintah perlu memprioritaskan intervensi berbiaya rendah dengan dampak tinggi. Pendekatan ini memastikan bahwa setiap dolar dapat menyelamatkan nyawa yang maksimal, khususnya di populasi termarjinalkan.

Reporter:
M Faozi Kurniawan (PKMK UGM)


 

Diabetes Care

Cost-utility of IDegLira Versus Alternative Basal Insulin Intensification Therapies in Patients With Type 2 Diabetes Mellitus in a Chinese Setting

Junling Weng menyatakan bahwa dengan peningkatan beban penyakit Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2) di Tiongkok menuntut adanya pilihan terapi intensifikasi yang lebih superior setelah kegagalan kontrol dengan insulin basal. Kondisi terapi kombinasi dengan dosis tetap antara insulin degludec dan liraglutide (IDegLira) hadir sebagai salah satu alternatif baru yang menjanjikan perbaikan kontrol glikemik. Namun demikian, nilai ekonomis yang diperoleh masih memerlukan pembuktian ilmiah lebih lanjut jika dibandingkan dengan regimen intensifikasi lain, seperti terapi basal-bolus atau kombinasi terpisah insulin basal dengan agonis GLP-1 dalam konteks sistem kesehatan Tiongkok.

Weng menyatakan untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebuah analisis evaluasi ekonomi dilakukan dengan menggunakan Model Kohort dari Swedish Institute for Health Economics (IHE). Tiongkok melakukan simulasi dengan mengambil perspektif sistem kesehatan di Tiongkok dengan horison waktu 30 tahun. Proyeksi ini bertujuan untuk memproyeksikan luaran biaya dan jumlah tahun hidup berkualitas (QALYs). Data efikasi klinis dimanfaatkan untuk perbandingan antar-terapi bersumber dari rangkaian uji klinis DUAL, yang secara spesifik membandingkan IDegLira dengan terapi lainnya pada populasi pasien DMT2 yang tidak terkontrol dengan terapi sebelumnya.

Penelitian ini sebenarnya bertujuan untuk menyediakan bukti dasar mengenai posisi IDegLira dalam alur tatalaksana DMT2 di Tiongkok. Pertimbangan yang diambil adalah antara biaya yang dikeluarkan dengan manfaat kualitas hidup yang dihasilkan. Hasil analisis ini dapat menjadi landasan bagi para pembuat kebijakan dalam memutuskan alokasi sumber daya kesehatan yang efisien dan merumuskan pedoman terapi diabetes yang berbasis bukti dan bernilai ekonomis tinggi untuk populasi di Tiongkok

Cost-Utility Analysis and Drug Pricing of Icodec Versus Degludec for Type 2 Diabetes Patients With Basal Insulin-Treated in China

Shansahan Hu menyatakan kepatuhan pasien terhadap injeksi insulin basal harian merupakan salah satu tantangan terbesar dalam manajemen Diabetes Melitus Tipe 2 di China. Pasien yang sering kali berujung pada inersia klinis dan melakukan kontrol glikemik dengan hasil yang tidak optimal. Insulin icodec merupakan sebuah analog insulin basal baru dengan durasi kerja sangat panjang yang memungkinkan injeksi sekali dalam seminggu. Insulin ini muncul sebagai terobosan yang berpotensi menyederhanakan regimen terapi dan meningkatkan kepatuhan. Meskipun demikian, penggunaan ini telah disetujui untuk digunakan di Tiongkok. Insulin ini memiliki harga pasar yang belum ditetapkan dan menjadi pertanyaan krusial bagi pengguna/ pasien.

Studi ini dirancang untuk dua tujuan utama yaitu pertama, melakukan evaluasi padfa dampak kesehatan dan efektivitas biaya dari insulin icodec mingguan dibandingkan dengan insulin degludec harian. Kedua, untuk mengidentifikasi rentang harga insulin icodec yang paling cost-effective. Studi ini menggunakan analisis dari United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) Outcomes Model. Model ini  digunakan untuk mensimulasikan luaran jangka panjang, dengan data klinis dari uji coba ONWARDS 2 sebagai input utama. Perspektif yang digunakan adalah dari penyedia layanan kesehatan di Tiongkok.

Hu menggambarkan dengan membandingkan proyeksi biaya dan tahun hidup berkualitas (QALYs), penelitian ini memberikan bukti ekonomi yang esensial. Hasilnya tidak hanya menginformasikan apakah icodec merupakan investasi kesehatan yang lebih baik dibandingkan degludec, tetapi juga menawarkan sebuah koridor harga yang rasional bagi pemerintah dan pembuat kebijakan. Hal ini menjadi dasar negosiasi untuk memastikan bahwa inovasi terapi dapat diakses oleh pasien tanpa membebani sistem kesehatan secara berlebihan atau beban pada pemerintah.

Economic Evaluation of the Joint Asia Diabetes Evaluation Public-Private Partnership Program in Hong Kong: A Patient-Level Simulation Analysis

Eric S.H. Lau menyatakan bahwa sistem kesehatan di Hong Kong mengalami ketidakseimbangan antara sektor publik yang memiliki beban tinggi dan sektor swasta yang lebih rendah, terutama dalam penanganan penyakit kronis seperti diabetes. Hal ini sebagai respons, model kemitraan antara pemerintah-swasta (KPS) dieksplorasi sebagai solusi, salah satunya melalui program Joint Asia Diabetes Evaluation (JADE). Program ini merupakan platform berbasis teknologi yang menyediakan penilaian risiko terstruktur dan terpersonalisasi, yang kemudian diimplementasikan dalam tiga tatanan berbeda: perawatan publik standar (Non-JADE), perawatan publik dengan intervensi JADE (JADE), dan model kemitraan di mana pasien dirawat di komunitas (JADE-PPP).

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi ekonomi dengan membandingkan efektivitas biaya dari ketiga model perawatan tersebut. Studi ini menggunakan Chinese Diabetes Outcome Model yaitu sebuah model simulasi pada pasien yang dikembangkan dari data ekstensif Hong Kong Diabetes Register. Peneliti memproyeksikan biaya perawatan dan jumlah tahun hidup berkualitas (QALYs) pasien. Pendekatan ini memungkinkan analisis dimana ada keterbatasan data observasional dan waktu studi yang pendek.

Hasil studi menunjukkan gambaran yangjelas mengenai nilai investasi dari model perawatan terintegrasi berbasis teknologi dalam sebuah skema kemitraan. Studi ini menawarkan bukti krusial bagi para pengambil kebijakan di Hong Kong mengenai apakah model KPS seperti JADE-PPP merupakan strategi yang efisien dan berkelanjutan untuk mengurangi beban pada sistem kesehatan publik sekaligus meningkatkan kualitas perawatan bagi pasien diabetes dengan membandingkan luaran klinis dan biaya ekonomi yang dikeluarkan.

The Cost-Effectiveness of Continuous Glucose Monitoring (CGM) for Adults With Type 1 Diabetes in Ireland

Gintare Valentelyte menyatakan meskipun prevalensi diabetes di Irlandia relatif stabil, penyakit ini terus menjadi beban substansial bagi sistem layanan kesehatan, terutama untuk pasien Diabetes Tipe 1 (DMT1). Teknologi Pemantauan Glukosa Berkelanjutan atau Continuous Glucose Monitoring (CGM) dengan mobile aplikasi telah terbukti secara internasional mampu meningkatkan kontrol glikemik dan mengurangi komplikasi. Namun adopsi di Irlandia masih terhambat oleh kurangnya bukti secara ekonomi ditingkat lokal. Meskipun, pedoman nasional baru telah merekomendasikan CGM, evaluasi formal mengenai nilainya dalam konteks Irlandia tetap diperlukan.

Studi ini secara spesifik bertujuan untuk mengisi kekosongan bukti tersebut dengan mengestimasi efektivitas biaya CGM seumur hidup dibandingkan dengan metode standar pemantauan mandiri terhadap glukosa darah (SMBG) untuk orang dewasa dengan DMT1. Tim peneliti mengadaptasi sebuah model mikrosimulasi canggih yang dikembangkan oleh US CDC untuk konteks Irlandia, dengan memasukkan data dari kohort pasien lokal, struktur biaya nasional, dan perspektif sistem kesehatan publik Irlandia

Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan CGM tidak hanya lebih unggul secara klinis, namun juga menghasilkan tambahan tahun hidup berkualitas (QALYs) karena kontrol HbA1c yang lebih baik. Namun, juga secara mengejutkan bahwa CGM bersifat hemat biaya dalam jangka panjang. Hasil ini memberikan justifikasi secara ekonomi dengan kuat untuk mendukung implementasi penuh pedoman nasional untuk pelaksanaan CGM dan memastikan bahwa pasien di Irlandia dapat mengakses teknologi yang terbukti efektif dan efisien secara finansial.

Reporter:
M Faozi Kurniawan (PKMK UGM)


 

   22 Juli 2025

Economic Evaluation of Communicable Disease Interventions

Sesi bertajuk Economic Evaluation of Communicable Disease Interventions digelar pada Selasa, 22 Juli 2025 pukul 08:30-10:00, bertempat di Denpasar A (2), Bali International Convention Centre. Naomi van der Linden bertindak sebagai moderator sesi ini.

Sesi ini menghadirkan berbagai studi evaluasi ekonomi untuk intervensi penyakit menular dari berbagai negara, mulai dari HIV, Hepatitis B, malaria, hingga syphilis dan influenza.

Kasim Allel (University of Oxford) mengangkat pentingnya asuransi kesehatan bagi perempuan dan remaja putri yang terlibat dalam transactional sex di Kamerun. Studi ini menunjukkan bahwa peningkatan cakupan asuransi dapat secara signifikan menurunkan infeksi HIV dengan ICER sebesar £1,952 per DALY yang dihindari pada cakupan penuh (100%).

Abdi Gari mengevaluasi efektivitas pemberian profilaksis Tenofovir (TDF) pada ibu hamil positif Hepatitis B di Ethiopia. Strategi memberikan TDF kepada semua ibu positif HBsAg paling cost-effective, dengan ICER $220,3 per DALY yang dihindari, menegaskan perlunya pemberian profilaksis secara luas.

Firdaus Hafidz (Liverpool School of Tropical Medicine & Universitas Gadjah Mada) mempresentasikan efektivitas biaya Intermittent Preventive Treatment dengan Dihydroartemisinin-Piperaquine (IPTp-DP) di Papua. Studi ini menunjukkan IPTp-DP sebagai strategi yang sangat cost-effective dengan ICER $340,29 per DALY yang dihindari, namun menyoroti perlunya mekanisme pembiayaan yang kuat dan berkelanjutan untuk mendukung implementasi nasional.

Michelle Tew (University of Melbourne) menambahkan dimensi lingkungan dalam evaluasi ekonomi FDG-PET/CT pada pasien hematologi dengan demam neutropenia. Meskipun perbedaan biaya karbon tidak besar, studi ini menyarankan agar dampak lingkungan menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan kesehatan.

Jason J. Ong (Monash University) menilai algoritma diagnostik syphilis menggunakan rapid diagnostic tests (RDT). Studi ini menemukan algoritma berbasis T-RDT paling hemat biaya, namun dalam populasi dengan prevalensi tinggi (>1%), algoritma dual T/NT-RDT lebih efektif dalam mengurangi kasus terlewat.

Hui Yee Yeo (University of Auckland) menyampaikan tinjauan sistematis mengenai efektivitas biaya dari intervensi non-farmasi (NPIs) untuk influenza dan COVID-19. Mayoritas NPIs terbukti cost-effective, terutama bila dikombinasikan dengan vaksinasi atau antiviral, meskipun hasil studi menunjukkan perlunya perbaikan kualitas metodologi evaluasi ekonomi.

Diskusi sesi menyoroti isu penting seperti pemilihan threshold biaya-efektivitas di negara berkembang, terutama Afrika, yang sebagian besar masih mengandalkan WHO-CHOICE dengan nilai tinggi. Juga dibahas bagaimana implementasi layanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh skema asuransi yang tidak merata, seperti pada layanan pencegahan malaria di Papua, Indonesia. Masalah sensitivitas harga obat dalam berbagai intervensi juga menjadi perhatian karena sering kali tidak terjangkau akibat keterbatasan pendanaan. Selain itu, sesi ini mengangkat pentingnya mempertimbangkan aspek lingkungan (carbon footprint) dalam evaluasi kesehatan, serta perlunya kehati-hatian terhadap bukti ekonomi yang didanai industri karena risiko bias.

Bagi Indonesia, pelajaran utama dari sesi ini adalah pentingnya integrasi evaluasi ekonomi yang cermat dengan aspek pembiayaan kesehatan, sensitivitas harga obat, dan keadilan dalam akses layanan kesehatan, serta mulai mempertimbangkan dampak lingkungan dari intervensi kesehatan.

Reportase oleh:
Hafidz Firdaus, Universitas Gadjah Mada


 

Economic Evaluations of Infectious Diseases

Sesi bertajuk Economic Evaluations of Infectious Diseases dalam acara International Health Economics Association (iHEA) berlangsung pada Selasa, 22 Juli 2025, pukul 10:30-12:00 di Jakarta B (2), Bali International Convention Centre. Sesi ini dimoderatori oleh Darshini Govindasamy.

Sesi ini membahas hasil evaluasi ekonomi berbagai penyakit infeksi, termasuk vaksinasi tifoid, HIV, dengue, influenza, malaria, tuberkulosis laten, anthrax, dan resistensi antimikroba. Berikut rangkuman poin utama dari beberapa presentasi terpilih:

Haijun Zhang (Peking University) memaparkan return on investment (ROI) vaksinasi tifoid di 26 negara berpenghasilan rendah-menengah yang didukung oleh Gavi. Analisis menunjukkan ROI sebesar 6,25 untuk imunisasi rutin dan 2,33 untuk kampanye imunisasi tambahan. Temuan ini menegaskan efisiensi investasi vaksin tifoid dalam mencegah beban penyakit secara ekonomis di negara-negara tersebut.

Bo Zhang (Sun Yat-Sen University) mengevaluasi cost-effectiveness cabotegravir injeksi jangka panjang (CAB-LA) untuk pencegahan HIV pada laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki di Tiongkok. Meski CAB-LA menawarkan manfaat kepatuhan dibandingkan oral PrEP, strategi ini tidak cost-effective karena tingginya harga vaksin saat ini. CAB-LA baru menjadi cost-effective setelah harga turun sekitar 90% dari harga saat ini.

Sophy Ting-Fang Shih (University of New South Wales) mengemukakan bahwa pengujian viral load HIV berbasis klinik untuk ibu dan anak di Papua Nugini adalah intervensi yang cost-effective. Studi ini menekankan pentingnya meningkatkan cakupan profilaksis bayi dan diagnosis dini berbasis POC untuk mengurangi transmisi HIV vertikal, meskipun perlu dukungan finansial tambahan untuk implementasi penuh.

Amirah Azzeri (Universiti Sains Islam Malaysia) mempresentasikan analisis komprehensif biaya pengelolaan dengue di Malaysia, menemukan bahwa biaya rata-rata kasus dengue di unit gawat darurat adalah RM 212,37 dan hospitalisasi RM 1.936,41. Studi ini merekomendasikan optimalisasi strategi pengelolaan dengue untuk mengurangi beban ekonomi dan morbiditas.

Jarir At Thobari (Universitas Gadjah Mada) menyampaikan bahwa vaksinasi dengue dengan TAK-003 di Indonesia menunjukkan dampak ekonomi yang sangat positif. Dalam periode 20 tahun, vaksinasi ini diperkirakan dapat mencegah jutaan kasus infeksi dan rawat inap, menghasilkan penghematan biaya signifikan baik dari perspektif pembayar maupun masyarakat. Terdapat diskusi mengenai threshold biaya-efektivitas yang digunakan, karena beberapa pihak menilai angkanya terlalu tinggi, meskipun hasil awal dari studi yang dilakukan di Indonesia menunjukkan ICER berada dalam kisaran 1,2 hingga 1,6 kali GDP per kapita.

Model juga telah mengakomodasi efek langsung, dan efek tidak langsung dimana sekitar 70% anak-anak dan 90% dewasa telah memiliki antibodi sebelumnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting mengenai potensi vaksinasi untuk menghentikan transmisi secara luas sehingga memberikan dampak lebih kuat. Pendekatan implementasi yang digunakan dalam studi ini adalah imunisasi rutin untuk anak usia 9-12 tahun.

David Bath (London School of Hygiene & Tropical Medicine) mengembangkan alat prioritisasi untuk kemoprevensi malaria musiman (SMC) di Guinea. Alat ini membantu menentukan siklus optimal SMC berdasarkan musim dan cakupan transmisi malaria, guna memaksimalkan dampak kesehatan dengan sumber daya terbatas.

Diskusi sesi ini secara umum menyoroti pentingnya penggunaan metodologi pengukuran yang tepat, cakupan imunisasi yang memadai, dan kepatuhan masyarakat terhadap intervensi untuk memastikan efektivitas biaya dalam mengatasi berbagai penyakit infeksi. Para peserta menyepakati perlunya dukungan kebijakan kuat dan alokasi sumber daya yang strategis untuk mencapai hasil terbaik dalam penanganan penyakit infeksi di berbagai konteks negara.

Dari sesi ini, Indonesia dapat mengambil beberapa pelajaran penting terkait evaluasi ekonomi dalam pengendalian penyakit infeksi. Pertama, pentingnya pendekatan berbasis bukti untuk menentukan kebijakan vaksinasi seperti dalam studi vaksinasi dengue dan tifoid, yang menunjukkan penghematan substansial secara ekonomi apabila diterapkan secara optimal. Kedua, kebijakan kesehatan yang sensitif terhadap harga obat dan vaksin sangat menentukan efektivitas biaya, sebagaimana terlihat pada kasus CAB-LA di Tiongkok.

Indonesia harus terus mengevaluasi harga obat dan vaksin serta memperkuat negosiasi harga untuk memastikan keterjangkauan program kesehatan. Ketiga, perlu adanya penguatan layanan berbasis komunitas, khususnya dalam diagnosis dini dan profilaksis penyakit seperti HIV dan malaria, guna meningkatkan cakupan sekaligus menekan biaya kesehatan. Terakhir, Indonesia juga bisa mengadopsi alat pengambilan keputusan berbasis data, seperti dalam strategi malaria di Guinea, untuk mengoptimalkan alokasi sumber daya yang terbatas dalam mencapai target kesehatan masyarakat secara efektif dan efisien.

Reportase oleh:
Hafidz Firdaus, Universitas Gadjah Mada


 

Combining Trials and Real-World Data to Inform Decision Models: Exemplars from LungIMPACT, PRIME, SIGNIFIED, and MROC Diagnostic Studies

Sesi bertajuk Combining Trials and Real-World Data (RWD) to Appropriately Inform Decision Models berlangsung pada Selasa, 22 Juli 2025, pukul 15:30-17:00, di Karangasem (2), Bali International Convention Centre, dimoderatori oleh Rachael Hunter (University College London) dengan Manuel Gomes (University College London) sebagai discussant.

Sesi ini menampilkan beberapa studi yang menggabungkan data uji klinis dengan real-world data (RWD) untuk menginformasikan model keputusan ekonomi dalam konteks diagnostik dan skrining, khususnya pada kondisi yang sulit diteliti secara konvensional.

Jessica Weng (University College London) mempresentasikan evaluasi ekonomi yang membandingkan MRI biparametric (bpMRI) dengan multiparametric (mpMRI) untuk diagnosis kanker prostat. Analisis awal menunjukkan bahwa bpMRI memiliki biaya lebih rendah (£1,241) dibandingkan mpMRI (£1,392) per pasien, namun belum ada indikasi superioritas signifikan antara keduanya. Studi ini menyoroti pentingnya model jangka panjang dalam mengevaluasi cost-effectiveness dengan mempertimbangkan kualitas hidup (QoL) pasien.

Jiunn Wang (University College London) membahas penggunaan MRI multiparametric (mpMRI) dan CT untuk skrining kanker ovarium. Kombinasi mpMRI dan CT meningkatkan keputusan klinis yang tepat (83,08%) dibandingkan CT saja (73,75%). Walaupun biaya intervensi mpMRI lebih tinggi, total biaya layanan kesehatan ternyata lebih rendah dibanding CT saja, dengan potensi penghematan yang signifikan bagi NHS.

Siyabonga Ndwandwe (University College London) menyampaikan studi LungIMPACT, menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk triase rontgen dada dalam diagnosis kanker paru. Implementasi AI secara signifikan mengurangi waktu menuju diagnosis kanker paru dibandingkan dengan standar perawatan biasa. Studi ini secara unik menggunakan data agregat eksternal sebagai kontrol, karena keterbatasan dalam pengumpulan data prospektif.

Caroline S Clarke (University College London) mengevaluasi efektivitas biaya skrining kanker dengan whole-body MRI untuk pasien sindrom Li Fraumeni (LFS). Studi ini menggunakan data historis sebagai kontrol, menemukan bahwa whole-body MRI mampu mengidentifikasi kanker lebih dini dibandingkan standar perawatan yang ada, yang menunjukkan manfaat potensial jangka panjang meskipun studi RCT tidak memungkinkan dalam populasi kecil seperti LFS.

Diskusi dalam sesi ini mencakup beberapa aspek metodologis penting:

  • Horizon waktu: Pentingnya pemilihan horizon waktu yang tepat, seperti dalam studi PRIME yang hanya 9 bulan, mencerminkan prognosis pasien yang cenderung meninggal dalam waktu singkat.
  • Penggunaan guidelines RWD: Konsensus tentang perlunya pedoman penggunaan RWD yang transparan dan replikabel. Ini termasuk target trial emulation dan ICH E9(R1) Estimands Framework untuk desain yang kuat, serta harmonisasi pelaporan melalui ISPOR Good Practices dan NICE RWE Framework untuk transparansi dan kredibilitas yang lebih baik.

Hikmah untuk Indonesia: Indonesia dapat mengambil pelajaran penting dari sesi ini dalam konteks implementasi kebijakan kesehatan, khususnya dalam penggunaan real-world data (RWD) secara efektif untuk mendukung pengambilan keputusan klinis dan ekonomi. Penting bagi Indonesia untuk mengadopsi pedoman penggunaan RWD yang jelas dan transparan, yang akan memperkuat kredibilitas analisis ekonomi kesehatan dan memfasilitasi integrasi data dari berbagai sumber untuk pengambilan keputusan berbasis bukti. Selain itu, aplikasi teknologi seperti AI untuk mempercepat diagnosis penyakit kritis (contohnya kanker paru) berpotensi besar untuk diterapkan dalam sistem kesehatan Indonesia, mengurangi waktu diagnosis dan meningkatkan efisiensi layanan kesehatan secara keseluruhan.

Reportase :
Firdaus Hafidz, Universitas Gadjah Mada

 

Demand & utilization of health services

   21 Juli 2025

Quality and Demand in Mixed Primary Health Care Systems: Evidence from the Soweto Primary Care Study

 Comparing the Quality and Efficiency of Primary Care Providers in Soweto. A Standardised Patient Audit

Blaauw menyatakan studi ini menggambarkan penyedia layanan milik pemerintah maupun swasta. Studi ini mengambil studi untuk beberapa penyedia layanan kesehatan. Studi menemukan bahwa kualitas teknis penyedia layanan rendah di semua penyedia layanan di tingkat publik dan swasta yang hanya 40% kasus ditangani sesuai pedoman berbasis bukti. Dokter umum swasta sedikit lebih unggul (45.2% penanganan benar) dibandingkan klinik publik (38.1%) dan MLW swasta (37.4%).

Manajemen kasus PPD relatif baik, tetapi pengujian dahak untuk TB sangat kurang. Patient-centredness lebih baik di penyedia swasta, sementara klinik publik kurang dalam aspek ini. Namun, penyedia swasta (khususnya GP) menunjukkan inefisiensi signifikan. Penyedia layanan swasta meresepkan lebih banyak obat (+1.441) dari penyedia layanan publik, terutama yang tidak perlu. Untuk biaya total obat lebih tinggi (R30.442) dari pada penyedia layanan publik, termasuk obat tidak tepat (R13.136). Pada penggunaan obat generik lebih rendah (-6.6%) dari penyedia layanan publik dan klinik MLW swasta juga meresepkan lebih banyak obat, tetapi biaya obat tidak tepat lebih rendah (R-4.967).

Terdapat know-do gap serius dalam kualitas teknis di semua sektor PHC. Penyedia swasta, meski lebih patient-centred, cenderung boros dan kurang efisien. Peningkatan kualitas teknis, efisiensi, dan patient-centredness di semua penyedia PHC—melalui model kontrak NHI yang mendorong nilai (value)—penting untuk kesetaraan hasil kesehatan di Afrika Selatan.

Examining Patient Choice and the Role of Quality Information in Healthcare Markets in South Africa

Stacee mengatakan bahwa reformasi kesehatan berbasis penyedia swasta—seperti skema Asuransi Kesehatan Nasional (JKN) di Afrika Selatan—mengasumsikan kompetisi pasar akan meningkatkan kualitas dan efisiensi. Namun demikian hal in tergantung pada respons permintaan terhadap kualitas di pasar layanan kesehatan kompleks. Hal ini terjadi karena kualitas pelayanan masih sulit untuk dinilai. Studi ini bertujuan untuk mengeksplorasi: (1) faktor penentu pilihan penyedia layanan kesehatan (kualitas dengan kedekatan/jenis penyedia), dan (2) dampak informasi kualitas terhadap pilihan pasien. 

Studi menggunakan pendekatan eksperimen lapangan yang melibatkan kurang lebih 850 rumah tangga di Soweto dengan akses gratis kepada jaringan kecil penyedia publik/swasta selama 3 bulan. Model pilihan yang dipilih dianalisis berdasarkan karakteristik penyedia layanan yaitu jarak, kualitas (persepsi), tipe (dokter/swasta), dan kategori (perawat/dokter). Pada fase kedua (2 bulan tambahan) studi, separuh klaster secara acak menerima informasi tentang 2 penyedia berkualitas terbaik. 

Hasil studi utama menunjukkan bahwa: Pertama, jarak mengalahkan kualitas dan kedekatan geografis menjadi faktor dominan dengan elastisitas jarak: 0.11 km. Penyedia swasta dianggap lebih berkualitas (persepsi) yaitu 93% rumah tangga (area kontrol) memilih klinik publik terdekat meski kualitasnya dinilai rendah. Kedua, Informasi yang kualitas tidak mengubah perilaku. Pada kelompok ini yang menerima informasi tentang penyedia terbaik tetap memilih penyedia terdekat (bukan yang berkualitas lebih tinggi). Respons permintaan terhadap kualitas tidak elastis. Ketiga, hasil ini menunjukkan bahwa overuse bernilai rendah yang berarti bahwa akses gratis dapat meningkatkan kunjungan kesehatan sebesar 53%, namun hal ini didominasi oleh low-value visits dengan rasio 3:1  berbanding dengan high-value visit, terutama di penyedia swasta.

Hal ini menunjukkan bahwa temuan mempertanyakan asumsi efisiensi pasar di sektor kesehatan dalam reformasi JKN Afrika Selatan. Ketidakefektifan informasi kualitas dan dominasi faktor jarak mengindikasikan bahwa perlunya intervensi pasokan (supply-side), seperti penempatan strategis penyedia dan insentif berbasis kualitas. Hal ini untuk mendorong efisiensi alokatif pada peneydia layanan baik ditingkat publik maupun swasta.

Free Access, Indirect Barriers and Healthcare Efficiency: Experimental Evidence from Soweto

Mylene Lagarde menyatakan bahwa studi ini mengevaluasi dampak akses ke penyedia layanan kesehatan primer (PHC) swasta di Soweto terhadap pola pemanfaatan layanan kesehatan, dengan fokus pada peran jarak geografis. Metode yang diapaki adalah randomized controlled trial (RCT) terhadap 1.400 rumah tangga berpenghasilan rendah (memiliki anak di bawah 6 tahun tanpa asuransi swasta), dan membandingkan tiga kelompok yaitu kelompok kontrol (akses publik standar), kelompok dengan akses ke penyedia swasta terdekat (rata-rata 1.79 km), dan kelompok dengan akses ke penyedia swasta lebih jauh (rata-rata 6.69 km). Dalam studi dijelaskan bahawa kartu kesehatan memberikan akses gratis ke penyedia swasta selama tiga bulan. Gejala penyakit dan kunjungan dicatat dalam pictorial diary, kemudian dianalisis menggunakan pedoman WHO (c-IMCI) untuk mengidentifikasi kunjungan tepat, tidak perlu, atau tidak bermanfaat. 

Hasil studi ini menunjukkan bahwa pertama, terjadi penginkatan utilisasi. Hal ini terjadi karena akses gratis ke penyedia swasta meningkatkan kunjungan kesehatan sebesar 53%, terutama di kelompok penyedia terdekat dengan persentase (+38 poin)  untuk kelompok jauh sebesar (+17 poin). Kedua, pada hasil lainnya menunjukkan bahwa ada efisiensi namun tidak optimal. Hal ini digambarkan dengan adanya kunjungan tepat meningkat 2 kali, namun ini diimbangi oleh peningkatan tajam pada kunjungan yang tidak perlu dengan rasio 3:1.  Pada kunjungan tidak bermanfaat (underuse) tetap tinggi (tidak ada perubahan signifikan).  Ketiga, ada pengaruh jarak, dimana jarak mengurangi kedua jenis kunjungan dengan elastisitas yaitu 0.13 untuk nilai yang rendah dan 0.09 untuk *nilai yang tinggi. Keempat, terkait dengan biaya, pada pengeluaran biaya farmasi menagalami penuruan, namun biaya transportasi tetap naik, khususnya pada kelompok yang jauh dari jaringa penyedia layanan. 

Reportase
M Faozi Kurniawan (PKMK UGM)


 

   22 Juli 2025

Understanding Mental Health Prevalence, Service Use and Economic Consequences

Beban gangguan kesehatan mental, terutama kecemasan dan depresi, meningkat di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMIC), namun prevalensi dan konsekuensinya masih kurang dipahami. Sesi ini berfokus pada Indonesia, menyoroti tantangan kesehatan masyarakat yang berkembang dari gangguan kesehatan mental dan memberikan bukti untuk menginformasikan kebijakan, penyusunan rencana pelayanan kesehatan, dan intervensi yang dibutuhkan.

Orang dengan penyakit mental di Indonesia ditengarai menghadapi hambatan yang signifikan untuk mengakses perawatan, termasuk stigma, isolasi sosial, keterbatasan ketersediaan penyedia layanan kesehatan, dan rendahnya kesadaran kesehatan mental. Bukti saat ini tentang prevalensi kesehatan mental dan pemanfaatan perawatan kesehatan terutama bergantung pada data survei dan surveilans, dengan penggunaan data berbasis register yang terbatas. Oleh karena itu, berbagai penelitian tambahan dengan sumber data yang berbeda diperlukan untuk merancang kebijakan yang lebih tepat sasaran.

Laura Anselmi (University of Manchester) melakukan penelitian yang menganalisis data dari sampel Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS), yang mewakili 1% individu yang diasuransikan (data tahun 2015-2020) , untuk menilai prevalensi penyakit mental, karakteristik pasien, dan pemanfaatan perawatan kesehatan. Temuan ini dibandingkan dengan data dari RISKESDAS untuk mengidentifikasi kesenjangan dari kondisi kesehatan mental yang dilaporkan sendiri dan didiagnosis.

Dengan menggunakan data sampel BPJS (2015–2020), prevalensi penyakit jiwa dilacak berdasarkan usia, jenis kelamin, dan provinsi, dengan statistik deskriptif tentang pemanfaatan kesehatan. Regresi logistik digunakan untuk menilai hubungan antara diagnosis penyakit mental dan karakteristik individu seperti jenis kelamin, usia, status perkawinan, segmentasi asuransi, dan provinsi. Temuan prevalensi dan penggunaan layanan dibandingkan dengan data RISKESDAS untuk mengevaluasi kesenjangan antara penyakit mental yang dilaporkan sendiri (self-reported) dengan penyakit mental yang didiagnosis.

Analisis regional menunjukkan bahwa kemungkinan untuk didiagnosis bervariasi antar Provinsi, mengindikasikan adanya perbedaan akses ke pelayanan yang menyediakan diagnosis. Prevalensi depresi yang dilaporkan sendiri pada RISKESDAS (6,1%) jauh lebih tinggi daripada tingkat yang didiagnosis pada data BPJS (0,04%). Namun, kesenjangannya berkurang untuk kasus depresi yang diobati (0,55% vs 0,05%).

Temuan ini menyoroti perlunya mengatasi kesenjangan regional dan demografis dalam diagnosis dan perawatan kesehatan mental di Indonesia. Kontras yang mencolok antara depresi yang dilaporkan sendiri dan didiagnosis menggarisbawahi pentingnya memperluas akses ke layanan kesehatan mental dan meningkatkan kapasitas diagnostik. Pembuat kebijakan harus memprioritaskan wilayah dan kelompok dengan kebutuhan tinggi yang belum terpenuhi, yaitu pekerja non-penerima upah (sektor informal), laki-laki (yang secara umum terbukti memiliki prevalensi lebih tinggi) khususnya di usia lebih dari 50 tahun. Selain itu, kebijakan berpendekatan system diperlukan di provinsi-provinsi tertentu yang memiliki kecenderungan kurangnya penyakit mental terdiagnosis untuk memastikan perawatan kesehatan mental yang setara.

Kesehatan mental memiliki dampak ekonomi negative terhadap seseorang karena memengaruhi kemampuannya untuk bekerja. Jon Gibson (Universitas Manchester) melakukan pendalaman dengan melakukan segregasi data lebih jauh untuk melihat dampak dari Kesehatan mental terhadap produktivitas. Penelitiannya menunjukkan bahwa kesehatan mental secara signifikan memengaruhi produktivitas. Depresi dan kecemasan meningkatkan kemungkinan ketidakhadiran dan presenteeisme, meskipun efeknya bervariasi menurut jenis pekerjaan. Namun, dampaknya (ketidakhadiran) sedikit lebih kecil di sektor formal, dibandingkan dengan kategori pekerjaan lainnya.

Dengan kata lain, pekerja di sektor formal lebih terlindungi dari Kesehatan mental yang buruk dalam hal dampak produktivitas, kemungkinan besar karena adanya kebijakan dan sistem pendukung di tempat kerja yang terstruktur. Temuan ini menekankan pentingnya intervensi kesehatan mental di tempat kerja, dan perlunya perhatian lebih untuk mengupayakan tersedianya system dukungan serupa untuk pekerja sektor informal dan pengangguran, untuk mengatasi kehilangan produktivitas yang terkait dengan ketidakhadiran dan presenteeisme. Hal ini penting dilakukan untuk melindungi mereka yang khususnya bekerja sebagai kepala keluarga untuk menjamin kelangsungan hidup keluarga.

Asri Maharani (University of Manchester) mengeksplorasi aspek lain dari kesehatan mental. Studinya menyelidiki perilaku pencarian, pemanfaatan, dan pengeluaran out-of-pocket (OOP) untuk perawatan kesehatan mental (mental health disorder/MHD) di kelompok usia dewasa di Indonesia dengan melakukan survei terhadap 19.236 orang dewasa berusia 18+ tahun pada bulan Juli dan Oktober 2023.

Hasilnya menunjukkan bahwa sekitar 2.119 (11%) responden mencari perawatan kesehatan mental, dengan 615 orang menerima perawatan rawat jalan dan 39 orang menerima perawatan rawat inap. Rata-rata biaya OOP adalah Rp140.359  untuk pelayanan rawat jalan dan Rp1.372.000  untuk pelayanan rawat inap.

Hanya 36% pengguna rawat jalan dan 56% pengguna rawat inap yang menggunakan asuransi kesehatan, dengan asuransi kesehatan sosial (JKN) menjadi asuransi yang paling umum digunakan. Kemungkinan MHD diidentifikasi pada 849 (4,42%) responden dengan depresi, 2.339 (12,17%) dengan kecemasan, dan 602 (3,13%) dengan keduanya. Perilaku pencarian bantuan lebih sering dilakukan oleh mereka yang memiliki kemungkinan MHD (19%) dibandingkan dengan yang tidak memiliki (10%), dan biaya OOP untuk perawatan Kepemilikan asuransi (khususnya JKN), usia yang lebih tua,  jenis kelamin perempuan, dan berada di kuintil terkaya, juga dikaitkan dengan peluang yang lebih tinggi untuk mencari bantuan.

Hal ini mengindikasikan bahwa gangguan kesehatan mental meningkatkan pemanfaatan perawatan kesehatan dan biaya OOP, namun tetap ada ketidaksetaraan. Orang yang lebih kaya dan mereka yang memiliki asuransi lebih mungkin mengakses perawatan kesehatan mental. Kebijakan untuk memperluas cakupan asuransi Kesehatan akan meningkatkan akses ke perawatan yang terjangkau, dan mengatasi kesenjangan. Namun ini harus diimbangi dengan peningkatan investasi dalam intervensi pencegahan, promosi, dan pengobatan.

Manajemen dan pemulihan yang efektif untuk individu dengan gangguan kesehatan mental bergantung pada perawatan kesehatan mental yang tepat. Di Indonesia, layanan kesehatan mental disediakan melalui pengaturan perawatan psikiatri dan non-psikiatri. Di Indonesia telah tersedia Pedoman Klasifikasi Diagnosis Gangguan Mental Indonesia III (berdasarkan ICD-10) yang memberikan kriteria diagnostik standar, namun sejauh mana pengaturan non-psikiatri mematuhi standar ini dan memberikan perawatan masih belum jelas.

Sri Idaiani (University of Manchester) mencoba mengeksplorasi distribusi diagnosis kesehatan mental di tingkat layanan klinis (RS D, C, B, A dan RS khusus jiwa) dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pola dan jalur pengobatan (care pathway) di Indonesia.  Sri menganalisis 4.335 kunjungan rawat jalan dengan diagnosis kode ICD-10 F yang tercatat dalam database Badan Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS-K) dari tahun 2019–2020. Data tersebut dikaitkan dengan informasi dari Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) 2019 tentang ketersediaan psikiater, psikolog klinis, dan rumah sakit jiwa.

Sri menemukan sebagian besar pasien dengan gangguan kesehatan mental di Indonesia dirawat di RS khusus jiwa. Namun, diagnosis spesifik, seperti gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku onset masa kanak-kanak, dan gangguan mental organik, ternyata lebih sering dikelola dalam pengaturan non-psikiatri (RS D,C,B,A) daripada di RS khusus jiwa. Perawatan juga lebih banyak dilakukan di RS A. Temuan ini mengungkapkan kesenjangan dalam sistem perawatan kesehatan mental Indonesia, terutama untuk kasus-kasus kompleks yang membutuhkan perawatan khusus. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan untuk memperkuat sistem rujukan dan meningkatkan akses ke spesialis kesehatan mental, yang akan menjadi sangat penting untuk meminimalkan kesenjangan ini.

Sesi ini menunjukkan bahwa di Indonesia masih terdapat perbedaan yang signifikan antara kondisi kesehatan mental yang didiagnosis dan dengan kondisi yang dilaporkan sendiri (self-reported), dan hal ini menggarisbawahi keterbatasan akses untuk dapat menyediakan layanan diagnosis kesehatan mental. Sesi ini juga membahas penggunaan klinik non-psikiatri untuk perawatan kesehatan mental, yang mencerminkan hambatan terhadap layanan khusus (klinik psikiatri) dan kebutuhan untuk memperkuat sistem perawatan. Konsekuensi ekonomi dari gangguan kesehatan mental dieksplorasi melalui dampaknya terhadap produktivitas di tempat kerja, dengan ketidakhadiran dan perilaku presenteeisme.

Studi ini berkontribusi dalam memahami kesehatan mental di Indonesia, menawarkan wawasan yang dapat menginformasikan pembuat kebijakan dan penyedia layanan kesehatan dalam mengatasi tantangan kesehatan mental dan meningkatkan outcome-nya dengan cara mendisain kebijakan yang setara dan inklusif untuk mendukung kesehatan mental. Hal lain yang juga penting dieksplorasi lebih lanjut adalah mengenai kualitas layanan dan juga kontinuitas layanan, serta pengayaan informasi melalui studi-studi kualitatif.

Reporter:
Shita Dewi (PKMK FKKMK UGM)

Reportase International Health Economics Association (IHEA) Congress 2025

   19 Juli 2025

Improving Financial Protection in Health: Strengthening the Evidence to Policy Pipeline

Sesi ini diselenggarakan bersama oleh World Bank dan World Health Organization/WHO. Tujuan sesi ini untuk berbagi temuan dan membahas bagaimana perlindungan finansial dalam kesehatan dapat ditangani dengan lebih baik. Diskusi difokuskan pada dua hal yaitu 1) Temuan dari rapid evidence assessment mengenai intervensi yang efektif serta 2) Pengembangan kerangka kerja sistem kesehatan untuk mendukung dialog kebijakan berbasis bukti.

Improving healthcare-related financial protection in low- and middle-income countries: a rapid evidence assessment

Presenter: Sophie Witter (Queen Margaret University, Edinburgh and ReBUILD for Resilience consortium)

Di tengah meningkatnya beban biaya kesehatan yang ditanggung langsung oleh masyarakat, isu perlindungan finansial menjadi semakin mendesak. Sophie Witter, akademisi dari Queen Margaret University sekaligus anggota konsorsium ReBUILD for Resilience, membuka sesi dengan menyampaikan hasil tinjauan penelitiannya terhadap 25 tahun literatur (1999-2024), meliputi 214 studi dari 40 negara. Fokusnya sederhana, namun krusial yaitu mencari tahu apa yang benar-benar berhasil dalam melindungi masyarakat dari beban biaya kesehatan yang melumpuhkan.

Penelitiannya menggali lebih dari sekadar efektivitas intervensi. Sophie mencoba memahami mengapa beberapa pendekatan berhasil, sementara yang lain gagal. Intervensi seperti asuransi kesehatan memang menjadi topik paling banyak diteliti, tetapi ada banyak dimensi yang selama ini luput dari perhatian terutama faktor sosial penentu kesehatan. Temuan dari studi ini juga menunjukkan bahwa pengeluaran langsung (out-of-pocket expenditure) masih menjadi indikator yang paling sering digunakan, namun hanya sebagian kecil studi yang mengkaji dampaknya terhadap keadilan sosial.

Sophie menyoroti tantangan lain yang tidak kalah penting: mengapa perlindungan finansial, meskipun secara konsep penting, masih jarang digunakan sebagai alat utama dalam perumusan kebijakan? Jawabannya, menurutnya, terletak pada kompleksitas. Banyak pembuat kebijakan kesulitan memahami konsep ini karena terlalu teknis dan rumus yang abstrak. Pihaknya menawarkan solusi sederhana namun kuat yaitu dengan membawa konsep ini ke dalam cerita.Data perlu diubah menjadi narasi yang mudah dipahami, dengan mengaitkannya pada pengalaman individu, agar lebih mudah dicerna dan relevan dalam diskusi publik.

A health system approach for addressing financial protection in policy dialogue

Presenters: Susan Sparkes (WHO), and Gil Shapira (WB)
Setelah paparan tersebut, diskusi bergerak ke arah yang lebih struktural. Gil Shapira dari World Bank dan Susan Sparkes dari WHO memperkenalkan upaya bersama yang sedang mereka kembangkan: sebuah kerangka sistem kesehatan untuk mengidentifikasi akar masalah dari lemahnya perlindungan finansial. Kerangka ini dirancang untuk membantu negara melakukan diagnosis mendalam dan menyusun intervensi yang terarah berdasarkan faktor-faktor penyebab, bukan hanya gejalanya.

Shapira menjelaskan bahwa pendekatan ini lahir dari kebutuhan akan perubahan cara kita menangani isu perlindungan finansial. Selama ini, proses pemantauan dan pengumpulan data berlangsung terpisah dari arah penyusunan kebijakan, sehingga keduanya tidak saling terhubung. Tujuan dari kerangka ini adalah menjembatani keduanya menghubungkan hasil nyata di lapangan dengan kebijakan yang bisa mengubahnya.

Pendekatan yang mereka gunakan berpusat pada pengalaman individu (user-centered approach). Bagaimana seseorang merasakan kebutuhan akan pelayanan kesehatan, bagaimana ia mencari dan menerima perawatan, bagaimana biaya yang harus dibayar, dan sejauh mana kemampuan keuangan rumah tangga mempengaruhi semua itu. Seluruh proses itu kemudian dipetakan untuk mengungkap di titik mana intervensi bisa dilakukan, dan oleh siapa.

Susan Sparkes kemudian mengajak peserta melihat lebih jauh ke dalam “alat kebijakan” (policy levers), berbagai jenis kebijakan yang dapat digunakan untuk memperbaiki perlindungan finansial. Ia menunjukkan bahwa intervensi tidak selalu harus datang dari sektor pembiayaan. Banyak kebijakan lain yang bisa digunakan, dari pengaturan harga obat hingga pajak impor, dari strategi subsidi hingga pemberdayaan masyarakat. Semuanya saling berkaitan, dan semuanya bisa menjadi bagian dari solusi jika digunakan dengan pemahaman yang tepat dan kontekstual.

Sesi ini tidak hanya menyajikan data dan konsep, tetapi menawarkan sebuah cara pandang baru. Bahwa untuk benar-benar melindungi masyarakat dari beban finansial akibat penyakit, kita tidak bisa hanya mengandalkan teori atau instrumen tunggal. Kita perlu sistem yang memahami manusia, yang melihat kenyataan lapangan, dan yang cukup lentur untuk diterapkan dalam konteks yang berbeda.

Reporter:
Ratri Mahanani, SE (PKMK FK-KMK UGM)


 

   20 Juli 2025

Complex and Fragmented Financing Inhibits Innovation to Improve PHC Performance in LMICs: Evidence and Strategies for Reform

Di sini disajikan rangkaian temuan lapangan dari Kenya, Pakistan, Indonesia, dan Filipina—empat negara desentralisasi yang telah mengadopsi skema universal health coverage. Semua studi yang dipaparkan merupakan bagian dari portofolio penelitian yang didukung oleh Thinkwell, lembaga yang selama beberapa tahun terakhir memetakan persoalan pembiayaan dan tata kelola pelayanan kesehatan primer (PHC) di negara‑negara berpendapatan menengah ke bawah.

Para presentan menekankan bahwa akar fragmentasi terletak pada banyaknya aliran dana yang masuk ke fasilitas PHC: anggaran pusat, provinsi atau county, dana pemerintah daerah, donasi lembaga internasional (World Bank, DANIDA, dan lain‑lain), skema asuransi publik, hingga pembayaran langsung pasien. Setiap sumber dana membawa seperangkat aturan administrasi, format laporan, serta prioritas program yang sering kali tidak selaras satu sama lain. Akibatnya, tenaga manajerial di Puskesmas, county health centers, atau barangay health units tersandera oleh persyaratan birokrasi, sehingga ruang untuk berinovasi—misalnya dalam rantai pasok, remunerasi tenaga kesehatan, atau perluasan layanan imunisasi—mengecil drastis.

Di Kenya, Thinkwell mendokumentasikan bagaimana insentif yang saling tumpang‑tindih—dari global budget capitation, anggaran primary care network (PCN), hingga dana kabupaten—menciptakan sinyal kontradiktif bagi fasilitas. PCN sendiri dipuji karena mampu mengonsolidasikan pengelolaan keuangan dan pemantauan kinerja di sub‑wilayah, tetapi efektivitasnya terhambat oleh ketiadaan landasan hukum yang jelas. Sementara itu, studi di Pakistan menyoroti model outsourcing ala People’s Primary Healthcare Initiative (PPHI), yang memberi otonomi luas pada fasilitas sekaligus menuntut transparansi tinggi. Peneliti Pakistan menegaskan bahwa keberhasilan model ini bertumpu pada “trust from the Ministry of Finance and upgraded managerial capacity”—dua prasyarat yang kerap diabaikan dalam replikasi antar daerah.

Indonesia dan Filipina menunjukkan wajah lain fragmentasi: integrasi JKN atau PhilHealth kadang dipromosikan sebagai solusi penggabungan sumber dana, namun realitasnya justru bisa menciptakan koridor pelaporan baru jika tidak disertai sinkronisasi dengan anggaran publik dan donor. Diskusi juga menyinggung fenomena “donor‑driven parallel reporting”, ironisnya kian diperkuat oleh tuntutan standar teknis organisasi internasional, termasuk WHO.

Sejumlah rekomendasi mengemuka. Pertama, memperkuat kerangka hukum dan mandat kelembagaan—seperti memberi status legal kepada PCN di Kenya—agar alur pendanaan dan akuntabilitas menjadi pasti. Kedua, menerapkan sistem public financial management (PFM) terintegrasi yang memungkinkan visibilitas serta pelacakan lintas‑sumber; pesan ringkas salah satu panelis, terngiang: “UHC tanpa PFM ibarat bangunan tanpa fondasi.” Ketiga, mengonsolidasi program vertikal dalam bentuk block grants berbasis kinerja guna memangkas duplikasi laporan. Keempat, memberikan otonomi bertahap kepada fasilitas, sembari membangun kapasitas pelaporan keuangan dan mengasah budaya transparansi. Terakhir—dan ini menjadi catatan kritis moderator—diperlukan konsensus lintas‑negara tentang indikator kinerja PHC; tanpa definisi yang disepakati, dampak reformasi akan sulit diukur dan dibandingkan.

Sesi Thinkwell, yang menghadirkan pembahas ibu Mazda Novi Mukhlisa dari Kemenkes RI dan Eduardo Banzon dari ADB ini menutup dengan pengingat kuat: desentralisasi dan UHC bukanlah jaminan jika tata kelola keuangan publik masih terpecah‑pecah. Integrasi pendanaan harus berjalan seiring pembenahan struktur insentif dan peningkatan kapasitas birokrasi, bila inovasi PHC ingin benar‑benar menembus hambatan sistemik di negara‑negara berpendapatan menengah ke bawah.

Reportase:
LIkke P (PKMK UGM)


 

Long-Term Care: Challenges and Future Directions

Sesi ini membahas mengenai perlunya kesiapan negara-negara di Asia untuk menghadapi layanan Kesehatan bagi populasi yang semakin menua (ageing society) karena kecepatan pertumbuhan kelompok usia lanjut dan semakin panjangnya angka harapan hidup.

Pembicara pertama, Dr. Mundiharno, MSi, CSA, GRCP, GRCA (Direktur Kepatuhan dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan) menyoroti perlunya system jaminan Kesehatan menyiapkan Sistem Perawatan Jangka Panjang yang Berkelanjutan untuk Indonesia dari perspektif asuransi kesehatan sosial.

Beliau membahas opsi kebijakan untuk mengintegrasikan LTC ke dalam sistem kesehatan nasional, termasuk model pendanaan, desain manfaat, dan pengaturan penyedia. Berdasarkan pengalaman internasional dan tren demografis Indonesia, studi ini mengidentifikasi elemen kunci untuk sistem LTC yang adil, terjangkau, dan selaras dengan JKN. Fokus khusus diberikan pada mekanisme pembiayaan, kriteria kelayakan, dan model pemberian layanan yang memastikan keberlanjutan jangka panjang dan dukungan bagi populasi yang menua.

Pembicara selanjutnya, Prof Yukata Horie (Dekan School of Health Sciences, Fujita Health) menceritakan mengenai bagaimana system perlindungan untuk LTC telah dilakukan sejak tahun 1961 di Jepang. Namun beliau mengingatkan negara-negara lain bahwa yang perlu dilakukan adalah penyiapan dan dukungan untuk memperpanjang angka harapan hidup sehat (HALE), bukan hanya harapan hidup, sehingga desain perlindungan LTC jangan terlalu terfokus pada benefit package dan healthcare (layanan Ketika lansia telah sakit atau rehabilitasi dan perawatan jangka panjang setelah keluar dari rumahsakit), namun pada peningkatan kualitas hidup lansia (menghindarkan frailty), pemberdayaan, dukungan sosial, sehingga system long term care harus mencakup layanan berbasis komunitas. Di Jepang (dan di Thailand) dimulai dengan adanya “care manager” di tingkat komunitas.

Selaras dengan itu, WHO WPRO yang diwakili oleh Gao Chen (National Program Officer Health Financing, WHO Western Pasific Regional Office) memperkenalkan strategi WHO tentang LTC, perkembangan global, praktik terbaik, dan tantangan di Kawasan Pasifik Barat. Ada berbagai contoh negara dalam membangun sistem pembiayaan LTC yang terjangkau, adil dan berkelanjutan dalam konteks pertumbuhan kelompok usia lanjut yang cepat, meningkatnya permintaan untuk layanan LTC dan ruang fiskal yang terbatas. Pendekatan utama yang didorong oleh WHO adalah integrasi antara institution-based care dengan layanan berbasis komunitas/rumah.

Lampiran:

Reporter:
Shita Dewi (PKMK FKKMK UGM)


Opening Plenary

Using Economic Policy Instruments to Improve Health

Kongres IHEA dibuka secara resmi pada Minggu, 20 Juli 2025. Dalam acara pembukaan, terdapat dua pembicara kunci. Pertama, Menteri Kesehatan RI, memberikan sambutan pembukaan, kemudian disusul oleh topik utama dari kongres kali ini yaitu Pemanfaatan Instrumen Ekonomi untuk Peningkatan Kesehatan. 

Dalam sambutannya, Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, menyampaikan bahwa walaupun kepesertaan JKN telah mencapai 98%, namun kepesertaan ternyata tidak menjamin akses layanan, melainkan baru menjamin hak terhadap akses pelayanan. Buktinya, menurut laporan WHO terakhir, posisi Indonesia dalam Universal Health Coverage baru 50%. Menteri Kesehatan menyatakan bahwa hal ini disebabkan karena Universal Health Coverageseharusnya mencakup kemampuan menyediakan layanan Kesehatan berkualitas yang dibutuhkan oleh semua peserta pada waktunya. 

Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan mencanangkan transformasi Kesehatan, dan secara khusus berfokus pada pelayanan Primer melalui Integrasi Layanan Primer dan menambah kemampuan layanan primer untuk melakukan screening dan diagnostic melalui upaya melengkapi alat Kesehatan yang diperlukan (USG, X-ray, dll) di 10,000 Puskesmas dan 514 lab secara bertahap melalui dana pinjaman dari World Bank, ADB, dan IDB. Namun, menurut beliau, kemampuan layanan primer tidak hanya dimungkinkan oleh adanya peralatan yang dibutuhkan, melainkan lebih penting lagi untuk memastikan ketersediaan nakes kompeten yang dibutuhkan.

Hal ini juga berlaku untuk layanan rujukan. Menyadari bahwa untuk mengatasi penyakit-penyakit katastropik penyebab kematian tertinggi di Indonesia akan membutuhkan penyebaran tenaga spesialis secara lebih merata dan teknologi Kesehatan yang memadai (misal CABG, Cath lab, PET CT, dll). Menteri Kesehatan juga menyampaikan beberapa terobosan yang dilakukan untuk memastikan ketersediaan dan distribusi tenaga spesialis, termasuk spesialis pelayanan primer.  

Sebagai penutup, Menteri Kesehatan juga menyampaikan bahwa penguatan pembiayaan Kesehatan merupakan prasyarat untuk transformasi Kesehatan yang dicanangkan ini. Tentu saja berbagai sumber pembiayaan harus diupayakan, baik optimalisasi sumber pembiayaan yang ada saat ini (komitmen belanja public, peningkatan porsi asuransi swasta, dan pembiayaan inovatif) mau pun memastikan keberlanjutan JKN. 

Pembicara kunci dalam pembukaan kongres adalah Prof Anne Marie Thow dari University of Sydney yang menyampaikan bagaimana instrumen kebijakan fiskal memiliki potensi berdampak positif pada sektor kesehatan. Tantangan dan Peluang Penyakit Tidak Menular (PTM) terkait diet seperti diabetes dan obesitas merupakan beban kesehatan, ekonomi, dan sosial yang signifikan secara global, dan khususnya di kawasan Asia-Pasifik. Instrumen ekonomi merupakan komponen penting dari respons kebijakan yang direkomendasikan. Prof Thow berfokus pada kebijakan fiskal dan perdagangan yang dimaksudkan untuk mengatasi PTM terkait diet.

Tahun 2024, panduan WHO memberikan berbagai rekomendasi mengenai potensi pemanfaatan kebijakan fiskal untuk mendorong pola makan sehat. Rekomendasi ini termasuk kebijakan fiskal yang mencegah mengonsumsi makanan yang berkontribusi pada pola makan yang tidak sehat dan mendorong konsumsi makanan sehat melalui subsidi dan dukungan lainnya. 

Hal ini dilatarbelakangi oleh lingkungan makanan saat ini di mana banyak orang tinggal, bekerja, dan menghabiskan kehidupan sehari-hari mereka terdiri dari makanan yang sangat diproses dan biasanya tinggi lemak, gula, dan natrium tidak sehat. Banyak dari makanan ini juga banyak dipasarkan dan relatif murah. Akibatnya, konsumen sering menghadapi kendala untuk membuat keputusan terkait makanan sehat. Pola makan yang tidak sehat sekarang menjadi risiko kesehatan masyarakat global, berkontribusi pada penyakit tidak menular (PTM) termasuk obesitas, diabetes, penyakit jantung, stroke, dan kanker.

Pedoman WHO ini mencerminkan bukti yang menunjukkan bahwa pajak pada makanan tidak sehat seperti minuman berpemanis (SSB) dapat menyebabkan turunnya permintaan dan konsumsi yang lebih rendah. Sebaliknya, subsidi untuk makanan (dan sumber makanan) yang tepat dapat berkontribusi pada pola makan sehat, seperti buah dan sayuran, membuat makanan ini lebih mudah diakses dan terjangkau. Menerapkan kebijakan fiskal ini adalah pendekatan yang menjanjikan untuk mendorong konsumen menuju pilihan makanan yang lebih baik, menjadikan pilihan yang lebih sehat menjadi pilihan yang lebih mudah.

Pemerintah memainkan peran utama dalam mengurangi beban PTM terkait diet, mengatasi kekurangan gizi dalam segala bentuknya, dan mempromosikan pola makan sehat. Semakin banyak negara telah mengambil langkah-langkah untuk menerapkan kebijakan fiskal yang mempromosikan pola makan sehat. Pada tahun 2024, terdapat 115 negara yang telah menerapkan pajak minuman berpemanis, dan 41 Negara lain juga telah menerapkan pajak pada berbagai kategori makanan tidak sehat. Namun, di sisi lain, lebih sedikit negara yang menerapkan subsidi untuk mendorong konsumsi makanan dan minuman yang lebih sehat atau mengambil langkah-langkah untuk menghapus pajak makanan sehat dan subsidi makanan tidak sehat. Prof Thow mendorong pemerintah di negara-negara Asia Pasifik khususnya untuk mengeksplorasi kemungkinan pemanfaatan kebijakan fiskal dan subsidi serta perdagangan, yang disertai komitmen politik untuk meningkatkan Kesehatan dengan memanfaatkan instrument-instrumen ekonomi tersebut.

Prof Thow juga mendorong para peneliti ekonomi Kesehatan dan kebijakan Kesehatan untuk berkontribusi melalui penelitian-penelitian ekonomi Kesehatan untuk menyajikan bukti-bukti kuat yang akan mendukung kebijakan-kebijakan yang kondusif bagi Kesehatan Masyarakat. Namun, lebih penting lagi, perlu ada dekolonisasi pengetahuan, atau kesetaraan pengetahuan (Knowledge equity). Artinya, bukti-bukti harus tersedia bukan hanya dari negara-negara maju, melainkan juga harus muncul dari negara-negara berkembang atau negara-negara dalam konteks keterbatasan sumberdaya.  

Lampiran:

Reporter:
Shita Dewi (PKMK FKKMK UGM)


 

Field

Demand & utilization of health services

Economic evaluation of health and related care interventions

Evaluation of policy, programs and health system performance

Health beyond the health system

Health care financing & expenditures

Health, its valuation, distribution and economic consequences

Supply and regulation of health services and products

   23 Juli 2025

Mental Health Economics at a Crossroads

Tackling Key Challenges in the Field

PKMK- Nusa Dua. Sesi Closing Plenary pada IHEA Congress tahun ini menjadi penutup yang sangat kuat, dengan sorotan tajam pada isu yang semakin mendesak: kesehatan mental. Dipandu oleh Claire de Oliveira dari Centre for Addiction and Mental Health, sesi ini menghadirkan tiga pakar terkemuka, Prof. Rowena Jacobs (University of York), Dr. David Johnston (Monash University), dan Dr. Eduardo P. Banzon (Asian Development Bank) yang menyoroti kesehatan mental dari sudut pandang ekonomi global dan lintas sektor.

Rowena Jacobs membuka diskusi dengan menyampaikan lima alasan utama mengapa kesehatan mental perlu menjadi perhatian para ekonom, Pihaknya menekankan bahwa prevalensi gangguan mental seperti psikosis, kecemasan dan depresi terutama di kalangan anak-anak dan remaja, meningkat drastis dalam beberapa dekade terakhir. Namun lebih dari itu, dampaknya sangat terasa di dunia kerja, meningkatkan ketidakhadiran, rendahnya produktivitas, hingga ketidakaktifan ekonomi di usia produktif.

Kerugian ekonomi akibat kesehatan mental bukan angka yang kecil. Di Inggris, misalnya, biaya yang ditanggung akibat pengangguran, layanan kesehatan, dan penurunan kualitas hidup mencapai angka miliaran. Hal yang lebih menyedihkan, harapan hidup penderita gangguan jiwa bisa 15-20% lebih rendah dibanding populasi umum. Rowena juga mengangkat isu stigma, yang menciptaan perbedaan perlakuan antara penyakit fisik dan mental. Hal ini tidak hanya menyebabkan diskriminasi, tetapi juga mempengaruhi investasi dan pemanfaatan sumber daya manusia. Terakhir, Rowena menyoroti bahwa layanan kesehatan jiwa umumnya dibiayai oleh pemerintah namun sering kekurangan anggaran, sementara penanganannya membutuhkan pendekatan lintas sektor dan multidisipliner.

David Johnston mengajak audiens untuk melihat kesehatan jiwa sebagai fenomena yang memiliki dinamika ekonomi tersendiri. Dengan mencontohkan kasus bencana alam di Australia, Ia menunjukkan bagaimana konteks sosial dan lingkungan dapat memicu lonjakan kasus gangguan mental. Dalam hal ini, peran ekonomi adalah merancang model yang mampu memetakkan jalur penyebab dan memperkirakan kebutuhan serta permintaan layanan kesehatan mental.

David juga menekankan pentingnya investasi sejak dini, terutama dalam program anak dan remaja. Menurutnya, intervensi yang efektif perlu diarahkan dengan jelas melalui kriteria yang spesifik agar tepat sasaran dan efisien dari sisi biaya dan hasil.

Mewakili perspektif Asia, Eduardo P Banzon menjelaskan bahwa meski isu kesehatan mental makin diakui, mayoritas negara di Asia belum memiliki data nasional yang akuat mengenai prvalensi maupun alokasi anggaran untuk kesehatan jiwa. “Kita tidak bisa memperbaiki sesuatu yang tidak kita ukur,” tegasnya.  Eduardo P Banzon kemudian menyampaikan tiga poin kunci: pertama kebutuhan akand ata spesifik nasional; kedua, potensi telemedicine dan ruang aman digital sebagai alat intervensi; dan ketiga, perlunya perhatina khusus pada kesehatan mental remaja melalui program sekolah dan pendanaan dari skema global seperti Global Fund.  Selanjutnya, pihaknya mendorong integrasi indikator kesehatan mental dalam SDG agar isu ini menjadi prioritas pembangunan global.  Banzon juga mengajak berpikir lebih luas dan disruptif: intervensi terhadap kesehatan jiwa tidak harus datang dari sektor kesehatan saja, bisa melalui reformasi cara kerja, pendekatan sosial, atau teknologi.

Diskusi Panel: Kemana Arah Kebijakan?

Ketiganya sepakat bahwa sistem pelayanan kesehatan mental perlu dibangun dengan lebih cepat, inklusif, dan tepat sasaran. Rowena mempaparkan kerang kerja “8 element plumbing framework” yang mencakup berbagai faktor seperti sistem kesehatan, status ekonomi, pendidikan, lingkungan, dan kejadian mendadak. Sedangkan David menyoroti urgensi membangun sistem yang berfokus pada anak dan remaja dan Eduardo menekankan pentingnya distruptive thinking untuk mengubah cara kita melihat intervensi kesehatan mental.

Tantangan di Negara Berpedapatan Rendah dan Menengah (LMIC)

Dalam konteks LMIC, tantangan semakin kompleks. Eduardo mempertanyakan kesiapan negara-negara dalam menyediakan fasilitas dasar yang memadai sebagai fondasi layanan kesehatan jiwa. David menambahkan bahwa program berbasis komunitas dan intervensi usia dini harus menjasi prioritas. Rowena menekankan pentingnya investasi pada infrastruktur dan riset berbasis data untuk mendukung kebijakan yang lebih tepat sasaran dan berkelanjutan.

Reporter:
Ratri Mahanani (PKMK FK-KMK UGM)

 

Reportase INSPIRE Health Forum: Inclusive, Sustainable, Prosperous dan Resilient (INSPIRE) Health Systems in Asia and the Pacific

Asian Development Bank menyelenggarakan forum Inclusive, Sustainable, Prosperous dan Resilient (INSPIRE) Health Systems in Asia and the Pacific pada 7 – 11 Juli 2025 di kantor pusat ADB di Manila, Filipina. Berbagai sesi yang diikuti oleh tim FK-KMK UGM yang berada di Manila dapat diikuti melalui laporan dibawah:

Special Event

ADB Health Leadership Course (the Future Health Accelerator Course)

Foto para peserta pelatihan Kepemimpinan Batch 1 dengan pejabat-pejabat ADB dan para pelatih

 

Dr. Eduardo Banzon, Director, Health Practice Team ADB

ADB menekankan bahwa leadership perlu dilatihkan dan ditangani sejak masa muda. Dimulai dari orang-orang yang belajar, seperti saat Dr. Banzon sekolah di LSHTM dulu.  Berbagai mahasiswa berkumpul dari berbagai benua dan menjadi peers. Kita harus mulai dari leadership yang cross sektor sejak di masa pendidikan.

 

 

 

Ms Ayako Inagaki, Senior Director, Human and Social Development ADB

Dalam pembukaannya, Ayako menyatakan bahwa bagaimana sistem kesehatan diharapkan dapat menjawab tantangan kebutuhan masyarakat yang mencakup demokratisasi, equity, partisipasi sampai menjadi sistem yang mampu mendorong human development.

Sistem kesehatan harus mempunyai ketahanan yang berasal dari orang-orang di dalamnya. Mereka harus dipimpin oleh pemimpin. Kursus Kepemimpinan ADB ini bertujuan menyiapkan generasi baru yang berdasarkan jaringan sesama pemimpin yang diharapkan menjadi paper. Jaringan ini harus bisa mendobrak silo-solo yang ada di sektor kesehatan, melalui knowledge sharing dan pelatihan kepemimpinan.

 

Mrs Leah Gutierraz, Director General ADB

Leah menyatakan bahwa kursus ini menyasar sekumpulan policy maker, technical specialist, innovator, hingga health leaders. ADB bertekad untuk memperkuat usaha menjawab tantangan-tantangan sistem kesehatan dengan berbagai prinsip, antara lain: melakukan perubahan, peer to peer learning, mempraktekkan adaptive leadership, hingga melahirkan kepemimpinan yang bersifat action.

Kepemimpinan yang ada sekarang akan membentuk wajah sistem kesehatan di masa depan. Hal ini harus dikerjakan secara bersama-sama antar pemimpin di berbagai sektor. Oleh karena itu pelatihan ini penting sekali. Pelatihan ini baru dibuka untuk Batch 1. Selamat berlatih.

Reporter:
Prof. Laksono Trisnantoro (FK-KMK UGM)


 

Special Event

Connected Health Systems for Better Health Outcomes: Breaking Down Digital Health Silos

Narasumber:

  • Eduardo Banzon, Director SD3, HSD, ADB
  • Dilip Hensman, Koordinator, Health Information & Intelligence, WHO WPRO
  • Yoonee Jeong, Senior Digital Health Specialist, ADB
  • Alvin Marcelo, Penggagas AeHIN, COIL, SILab

Sesi dibuka oleh Dr. Eduardo Banzon yang menekankan pentingnya interoperabilitas dalam mendukung pertukaran informasi kesehatan untuk mencapai hasil kesehatan yang lebih baik.

Pembicara pertama, Mr. Dilip Hensman, menekankan mengapa standar dan interoperabilitas sangat penting. Dilip memulai dengan menjelaskan definisi interoperabilitas, yaitu kemampuan berbagai sistem informasi, perangkat, dan aplikasi untuk mengakses, bertukar, mengintegrasikan, dan menggunakan data secara kolaboratif dan terkoordinasi, baik di dalam maupun lintas batas organisasi, guna menyediakan informasi yang tepat waktu serta mendukung kesehatan individu dan populasi.

Interoperabilitas mencakup arsitektur pertukaran data kesehatan, antarmuka aplikasi, serta standar-standar yang memungkinkan data diakses dan dibagikan secara tepat dan aman di seluruh spektrum layanan, dalam berbagai pengaturan, serta dengan para pemangku kepentingan yang relevan, termasuk individu.

Dilip juga memaparkan berbagai tingkat interoperabilitas, mulai dari:

  • Interoperabilitas organisasi, yang mencakup tata kelola organisasi, kebijakan, aspek sosial, hukum, dan kelembagaan untuk memfasilitasi komunikasi serta penggunaan data yang aman, efisien, dan tepat waktu antar organisasi dan individu.
  • Interoperabilitas teknis, yang terdiri atas:
    • Interoperabilitas struktural terkait dengan format, sintaksis, dan organisasi pertukaran data.
    • Interoperabilitas semantik, yang menyediakan model dasar dan kodifikasi data termasuk penggunaan elemen data dengan definisi standar untuk memberikan pemahaman dan makna yang seragam kepada pengguna.

Selanjutnya, Dr. Alvin Marcelo memperkenalkan inisiatif Standards and Interoperability Lab- ASIA yang telah dikembangkan seiring pertumbuhan Asia eHealth Information Network (AeHIN). AeHIN mengusung kerangka kerja “Mind the GAPS and Fill the GAPS”, yang merupakan hasil pembelajaran dari berbagai pertemuan AeHIN selama beberapa tahun terakhir.

Kerangka ini membantu mengidentifikasi dan mengelompokkan isu-isu kompleks dalam sistem informasi kesehatan (Health Information Systems/HIS), sehingga negara-negara anggota dapat melaksanakan rencana eHealth mereka secara lebih efisien dan efektif.

AeHIN mendorong negara-negara untuk membangun struktur dan kerangka tata kelola yang jelas guna membimbing perancangan dan implementasi cetak biru (blueprint) eHealth. Tata kelola ini penting agar semua pemangku kepentingan memahami dan mematuhi cetak biru serta standar yang diperlukan demi tercapainya interoperabilitas.

Terkait dengan Standards and Interoperability Lab – Asia (SIL-Asia), Dr. Alvin menjelaskan bahwa SIL-Asia merupakan laboratorium interoperabilitas kesehatan yang menyediakan dukungan teknis dan pengembangan kapasitas bagi negara-negara dalam membangun sistem dan aplikasi layanan kesehatan yang interoperabel. Ini dilakukan melalui pemanfaatan kerangka kerja kesehatan digital dasar, standar internasional, dan teknologi terkini.

Reporter:
Dr Lutfan Lazuardi (FK-KMK UGM)


 

Special Event

Mobilizing Private Sector Innovation: Strengthening Health Systems in Asia and the Pacific

Sesi paralel bertajuk “Mobilizing Private Sector Innovation: Strengthening Health Systems in Asia and the Pacific” menghadirkan pemangku kepentingan dari organisasi internasional, pemerintah, dan perusahaan swasta untuk berbagi strategi kolaborasi inovatif antara sektor publik dan swasta dalam memperkuat sistem kesehatan. Sesi ini dibuka dengan penegasan dari Dr. Eduardo Banzon, Direktur Kesehatan ADB, bahwa peran sektor swasta harus selaras dengan tujuan pemerintah dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. “Sektor swasta perlu menyelaraskan perannya untuk membantu sektor publik mencapai tujuan kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah,” ujarnya dalam sambutan pembuka. Pernyataan ini menjadi pengantar bagi rangkaian diskusi tentang kolaborasi inovatif publik-swasta dalam memperkuat sistem kesehatan di kawasan.

Agenda dibuka dengan paparan Asian Development Bank (ADB) mengenai pendekatan mereka dalam berkolaborasi dengan sektor swasta, seperti Korea Health Industry Development Institute (KHIDI) dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Tiga strategi utama yang disampaikan adalah mobilisasi investasi swasta untuk memperkuat sistem kesehatan, pengembangan kemitraan publik-swasta yang efektif di bidang kesehatan, serta peningkatan keterlibatan sektor swasta untuk hasil kesehatan yang lebih baik.

World Health Organization (WHO) kemudian menjelaskan prioritas strategisnya serta peluang untuk memperluas peran sektor swasta dalam mendukung pelayanan kesehatan universal (universal health coverage/ UHC). Dari Korea Selatan, dipaparkan praktik kemitraan kesehatan cerdas berbasis uji coba lokal dengan dampak global, serta kebijakan transformasi digital dan peluang kerjasama dengan negara-negara ASEAN.

Sesi juga menampilkan inovasi teknologi kesehatan yang ditawarkan tiga perusahaan swasta Korea, seperti penggunaan VR untuk pelatihan prosedur medis oleh Surgical Mind, perangkat diagnostik inovatif dari Bodytech, hingga jejaring RS global yang dibangun oleh Health on Cloud. Diskusi panel interaktif menyoroti pentingnya kemitraan sektor publik-swasta dalam meningkatkan kualitas, efisiensi, dan ketahanan sistem kesehatan, terutama di negara berkembang.

Acara ini menegaskan bahwa inovasi sektor swasta, bila didukung kerangka kebijakan yang tepat, berperan kunci dalam pencapaian tujuan UHC yang berkelanjutan di kawasan Asia dan Pasifik.


Plenary Session

Universal Health Coverage: Sustaining National Health Insurance & Launch of UHC PEERS

Sesi diskusi ini berlangsung di Auditorium ADB HQ, Manila, menghadirkan para pemimpin dan pakar kesehatan dari berbagai negara untuk berbagi pengalaman dan strategi memperkuat jaminan kesehatan nasional. Masih dalam rangkaian ADB Inspire Health Forum, sesi ini menyoroti tantangan sistem kesehatan pasca-pandemi, praktik inovatif dari Asia-Pasifik hingga EMRO, serta peluncuran inisiatif UHC PEERS sebagai wadah pembelajaran kolektif demi mewujudkan cakupan kesehatan semesta yang lebih adil dan berkelanjutan.

Masato Kanda — President, Asian Development Bank 

Era pasca-pandemi memperlihatkan kerentanan sistem kesehatan di seluruh dunia dan menjadikan Universal Health Coverage (UHC) lebih penting dari sebelumnya. Masato Kanda menegaskan pentingnya inisiasi UHC Peers sebagai komitmen untuk setiap negara terus belajar dari praktik terbaik dan tantangan implementasi UHC di Asia-Pasifik dan East Mediterranean Regional Office (EMRO).

 

Teodoro Herbosa — Secretary, Department of Health, Philippines

Sebagai salah satu contoh, Filipina memiliki rencana blueprint reformasi kesehatan 2023-2028 untuk memastikan sistem kesehatan yang lebih kuat, akses merata, dan layanan berbasis nilai. Ia memperkenalkan platform layanan inovatif seperti BUCAS untuk perawatan holistik berbasis tim multidisiplin di tingkat fasilitas kesehatan primer (Barangay).

 

Lena Nanushyan — First Deputy Minister of Health, Republic of Armenia

Armenia juga tengah bertransformasi menuju asuransi kesehatan publik wajib, kualitas layanan yang lebih baik, digitalisasi, dan penguatan SDM di daerah terpencil. Target mereka menaikkan anggaran belanja publik, agar memperkecil out-of-pocket payment, dan berfokus pada peningkatan pelayanan promotif preventif, seperti skrining penyakit, dan pelayanan penyakit kronis.

 

Soon man Kwon — Former Dean, Seoul National University, Republic of Korea

Soon Man Kwon menekankan pentingnya pembiayaan publik prabayar untuk menghapus hambatan finansial dan nonfinansial dalam akses pelayanan kesehatan bermutu. Ia menjelaskan bahwa negara dapat menghimpun berbagai sumber penerimaan publik untuk pembelian strategis pelayanan kesehatan, seperti iuran pegawai dan wirausaha (di Jepang, Korea, Taiwan), pajak khusus (di Ghana, Prancis, Korea), serta pendapatan umum (di Thailand, India, Pakistan, Kamboja). Namun, perlu komitmen subsidi pemerintah yang besar untuk memperluas cakupan pembiayaan publik ke sektor informal, mengingat tantangan administrasi, batasan definisi kelompok miskin dan informal, serta besarnya beban iuran sukarela yang menghambat kepesertaan.

Jyoti Yadav — Addl CEO, National Health Authority, India (AB-PM-JAY insurance)

Ayushman Bharat PM-JAY adalah skema jaminan kesehatan terbesar di dunia, mencakup perawatan sekunder dan tersier bagi lebih dari 120 juta keluarga dengan cakupan hingga Rs. 5 lakh per tahun, tanpa batas anggota keluarga, usia, atau gender, serta sepenuhnya cashless dan portabel. Skema ini fleksibel, memungkinkan tiap negara bagian menyesuaikan model implementasi, cakupan, dan paket layanan sesuai kebutuhan lokal, namun tetap menghadapi tantangan seperti isu privasi data, konektivitas internet, dan biaya administrasi di sektor informal.

Ali Ghufron Mukti — President Director, BPJS Kesehatan Indonesia

Indonesia mampu mencapai cakupan 98% populasi dalam 10 tahun melalui sistem tunggal BPJS yang terintegrasi secara nasional meski pemerintahan daerah terdesentralisasi. Inovasi digital dan advokasi komunitas terus dilakukan untuk memperluas kepesertaan dan meningkatkan layanan.

 

 

Edwin Mercado — President & CEO, PhilHealth

PhilHealth menargetkan penurunan pengeluaran langsung masyarakat hingga 25% melalui reformasi berbasis hukum yang jelas mencakup penggalangan dana, pooling, dan pembelian strategis. Tantangan besar tetap pada pencegahan fraud.

 

Eduardo Banzon — Director, SD1-HSD, ADB

Eduardo Banzon mengajak untuk belajar juga dari pengalaman UHC di EMRO yang erat kaitannya dengan keamanan kesehatan di tengah konflik. Ia menyoroti masih banyaknya masyarakat yang belum terlindungi layanan esensial dan tertekan secara finansial akibat biaya kesehatan. 

 

 

Dr. Susan P. Mercado – WHO WPRO

Salah satu tantangan sistem kesehatan yang disampaikan oleh Dr. Susan yaitu kecepatan pembelajaran lembaga seringkali kalah cepat dibanding perubahan zaman, termasuk mengenai digitalisasi layanan kesehatan. Selain itu, beliau juga menekankan pentingnya inovasi dan kesiapan menghadapi perubahan iklim, populasi menua, serta komitmen seumur hidup untuk mencapai transformasi kesehatan. 

Lian Yu-Chen — DDG, National Health Insurance Administration, Taipei, China

Terdapat dua elemen utama yang mempengaruhi keberhasilan transformasi kesehatan di Taipei, China, yaitu menekankan pentingnya infrastruktur digital yang kokoh dan integrasi rekam medis untuk menghindari pemborosan obat. Taipei, China, juga akan segera melakukan perluasan implementasi telemedisin dan e-resep untuk meningkatkan akses kesehatan di daerah pedesaan.

 

Breshna Arya — Senior Health Finance Specialist, The Global Fund

Dr. Arya menggarisbawahi peran Global Fund dalam memastikan UHC yang inklusif bagi semua, termasuk kelompok terpinggirkan yang masih menghadapi stigma dan diskriminasi. Ia juga menekankan pentingnya pendanaan untuk kader kesehatan masyarakat dan layanan NGO serta komitmen politik jangka panjang untuk warisan yang berkelanjutan.

 

Reporter:
dr Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)

 

 

 

Sesi Paralel

Pengembangan Private Health Insurance sebagai langkah strategis untuk memajukan UHC

Sesi ini merupakan diskusi kerjasama antara ADB dengan ANHSS sebagai hasil pertemuan di Hongkong pada awal bulan Mei 2025. Ada beberapa pembicara sebagai berikut:

Prof EK Yeoh, Director Center for Health Systems and Policy Research, The Chinese University of Hongkong (CUHK)

Membahas mengenai “Review of the Role and Challenges of Private Health Insurance (PHI) in the Global Context”. Dalam paparannya disebutkan mengenai mengapa banyak negara membutuhkan PHI dengan berbagai alasan. Bahkan di Belanda dan Swiss merupakan kewajiban untuk ikut. Ada 3 peran: supplementary, complementary atau substitusi di berbagai negara. Di Asia Pacific, PHI perlu diteliti lebih mendalam untuk menjadi kebijakan publik yang baik untuk meningkatkan ketahanan Social Health Insurance. Oleh karena itu di Chinese University of Hongkong bekerja sama dengan ANHSS mengembangkan pengetahuan baru mengenai PHI melalui scoping review dan penelitian bersama di berbagai negara. Silahkan klik papernya.

materi

April Wu dari The Chinese University of Hongkong (CUHK)

Menggambarkan PHI di Hongkong. Kebijakan pemerintah HK mendorong pengembangan PHI agar ada tambahan akses, peningkatan mutu, dan lebih banyak dana untuk kesehatan. Saat ini belanja kesehatan dari total GDP adalah sebesar 8.5%. Belanja pemerintah dari Total Belanja Kesehatan adalah 56%. Out of Pocket sebesar 27.3% dan PHI sebesar 15.5%. 42% warga HK mempunyai Askes Swasta. Ada 1.34 juta polis dengan  53% pemegang di bawah 40 tahun dan 33% di bawah 30 tahun.

materi

 

Prof. Laksono Trisnantoro dari Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan di FK-KMK UGM

Menguraikan mengenai keadaan asuransi kesehatan swasta (PHI) di Indonesia. PHI dibutuhkan di Indonesia sebagai katup pengaman untuk SHI (Social Health Insurance, yang dikelola oleh BPJS) yang saat ini berada dalam tekanan. Akan tetapi kenyataanya sektor PHI di Indonesia masih buruk. Secara total di tahun 2023, perusahaan-perusahaan askes swasta mengalami kerugian.  PHI memainkan peran yang sangat terbatas  dalam sistem kesehatan Indonesia. Regulasi yang ada masih di dalam konteks  asuransi jiwa, yang tidak sesuai untuk mengatasi risiko dan kebutuhan unik asuransi kesehatan. Infrastruktur juga tidak memadai untuk menangani tantangan seperti fraud. Banyak penyedia PHI beroperasi dengan kerugian, yang membuat perluasan menjadi sulit tanpa reformasi. Sebagai ringkasan PHI dapat melengkapi SHI jika dikembangkan dengan baik.

materi

Prof. Siripen Supakankunti dari Chulalongkorn University Thailand

Memaparkan mengenai Pengalaman PHI di Thailand. Operasional PHI terutama di layanan kesehatan swasta yang melengkapi layanan publik. Layanan ini terutama di daerah perkotaan. Asuransi komersial swasta memasuki pasar Thailand hampir 100 tahun lalu. Penerimaan asuransi kesehatan swasta agak lambat. Asuransi kesehatan swasta diatur oleh Kantor Komisi Asuransi sejak 2007 (Departemen Asuransi, Kementerian Perdagangan hingga 2007).

Asuransi kesehatan swasta saat ini sebagian besar bersifat pelengkap. Ada berbagai pendorong penggunaan asuransi kesehatan swasta: Persepsi tentang kualitas dan ketepatan waktu layanan kesehatan yang dibiayai publik: Asuransi kesehatan swasta  menawarkan pilihan rumah sakit swasta yang lebih luas. Masalah utama yang dihadapi adalah:  penetrasi asuransi lebih rendah daripada rata-rata global, peningkatan kesadaran dan kepercayaan konsumen untuk mengurangi ketergantungan pada sistem publik (yang terlalu membebani), adanya tarif premi tinggi, penolakan perpanjangan, dan pembatasan cakupan khususnya untuk orang lanjut usia. Oleh karena itu Thailand sedang mengembangkan Balancing Act untuk menyeimbangkan pendanaan untuk UHC dan askes swasta.

materi

Maria Elena Harrera, Professor (ret) Asian Institute of Management

Dari Filipina memaparkan mengenai PHI sebagai katalis untuk mencapai tujuan Sistem Kesehatan dan meningkatkan UHC. Disamping Philhealth yang mencakup 98% penduduk Filipina ada berbagai skema askes swasta. Perusahaan askes swasta beroperasi dengan 2 sasaran: (1) perusahaan dan SDMnya; (2) perorangan.  Untuk perusahaan ada berbagai skema, antara lain HMO, comprehensif dengan credit line, dan berbagai mekanisme askes lainnya.  Untuk individual model HMO, ada yang bersifat critical care, bersifat daily indemnity, guarantee cover dengan waktu tunggu. Ada berbagai isu yang dapat dipelajari: PHI yang bersifat supplemen dapat mengiris kekurangan dalam paket-paket UHC.  Peranan sangat kontekstual dan spesifik untuk berbagai penyakit. 

materi

Selanjutnya ada pembahasan dari Thalia Georgiou, Managing Partner, Asiacare Group, konsultan manajemen asuransi kesehatan yang filenya dapat dicermati sebagai berikut:

materi

Reporter:
Prof. Laksono Trisnantoro (FK-KMK UGM)


Sesi Paralel

Building Diagnostic Readiness for Future Pandemics

Salah satu sesi paralel pembuka forum di hari kedua, menyoroti pentingnya kesiapsiagaan sistem diagnostik dalam menghadapi persiapan pandemi di masa depan. Sesi ini juga menekankan bahwa keberhasilan deteksi, respon, dan penanggulangan wabah sangat bergantung pada ketersediaan diagnostik yang cepat, akurat, dan merata.

Prof. Rosanna Pelling dari London School of Hygiene & Tropical Medicine mengulas peran krusial diagnostik selama pandemi COVID-19. Diagnostik yang adekuat berperan penting dalam memperjelas definisi kasus, mendukung penelitian, memperkuat surveilans, dan memungkinkan uji klinis obat serta vaksin. Namun, pihaknya menyoroti tantangan besar dalam jalur akses diagnostik yang panjang dan terfragmentasi, serta proses regulasi yang memakan waktu bertahun-tahun.

Ketimpangan akses antar wilayah menjadi perhatian utama, khususnya bagi laboratorium kesehatan masyarakat yang membutuhkan alat diagnostik untuk respon cepat dan pengambilan kebijakan berbasis data. Rosanna juga menekankan pentingnya konektivitas sistem data, ketahanan sistem kesehatan, langkah pengendalian lintas batas, serta komunikasi yang efektif berbasis kepercayaan dan tata kelola kolaboratif.

Dr. Sarbjit Chadha menyoroti kesenjangan mencolok antara negara berpenghasilan tinggi dan rendah dalam akses serta kapasitas diagnostik. Sarbjit menyerukan aksi nyata dari pemerintah, ilmuwan, dan komunitas untuk menjembatani kesenjangan ini dan memperkuat sistem diagnostik global secara inklusif.

 

 

 

Shin Young-Soo dari WHO membahas program Pre-Qualification (PQ) WHO yang bertujuan memastikan kualitas diagnostik secara global. Ia juga menyoroti perlunya penyederhanaan lanskap regulasi agar inovasi diagnostik dapat lebih cepat tersedia di lapangan, khususnya di negara berkembang.

 

 

 


Sesi Paralel

Financing PHC and Community Health Workers (CHWs): Reaching the Unreached & Enhancing and Nurturing Resilient and Inclusive CHWs

Salah satu sesi paralel dalam forum ini, berjudul “Financing PHC and Community Health Workers (CHWs): Reaching the Unreached & Enhancing and Nurturing Resilient and Inclusive CHWs”, menyoroti peran krusial kader kesehatan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan primer di komunitas. Namun di banyak negara, kader masih menghadapi tantangan serupa, yaitu jumlah yang belum mencukupi, beban kerja berlebih, dan insentif yang rendah. Dalam sesi ini, perwakilan dari pemerintah dan NGO berbagai negara berbagi praktik baik dan pendekatan inovatif untuk memastikan para kader mendapat dukungan yang layak, baik secara finansial maupun non-finansial, agar mereka dapat bekerja secara berkelanjutan dan bermartabat.

Dr. Vannarom dari Kementerian Kesehatan Kamboja menjelaskan kebijakan nasional yang menempatkan keterlibatan komunitas sebagai prioritas, termasuk mendorong kepemimpinan lokal dan menjawab kebutuhan kelompok rentan melalui program berbasis masyarakat.

Dr. Mar Wynn Bello dari Biro Kesehatan Masyarakat Filipina mengangkat isu kekurangan jumlah Barangay Health Workers (BHW), kader kesehatan di layanan primer (Barangay). Saat ini, hanya 19% yang sesuai standar rasio 1:20 rumah tangga. Beban kerja tinggi dan keterbatasan insentif menjadi hambatan utama. Namun, kebijakan baru yang telah disahkan presiden untuk memperluas pembiayaan dari pemerintah pusat hingga DPR, disertai peningkatan kesejahteraan, pelatihan rutin, serta dukungan perlengkapan standar dan pemahaman pengobatan tradisional.

Dr. Thesda dari Bhutan menjelaskan peran 780 relawan di lebih dari 500 pusat layanan primer dalam promosi dan rujukan kesehatan, terutama di wilayah pegunungan. Salah satu contohnya untuk mendukung cakupan imunisasi dasar lengkap pada anak-anak, terhalang tantangan geografis Bhutan yang mayoritas pegunungan, namun diatasi melalui program catch-up imunisasi dengan mengerahkan kader kesehatan ke wilayah tidak terjangkau untuk melakukan advokasi dan memastikan semua anak mendapatkan imunisasi yang diperlukan.

Afrika Muka Neto dari UNICEF Asia Selatan menegaskan bahwa setiap ibu dan anak harus memiliki akses layanan terintegrasi. UNICEF berkomitmen untuk mendukung pembiayaan berkelanjutan, advokasi kebijakan, dan pemantauan melalui kemitraan erat agar tak ada komunitas yang tertinggal.

Pada sesi diskusi panel, beberapa poin-poin penting juga disampaikan oleh panelis, diantaranya yaitu:

Neeraj Jain dari PATH menyebut tantangan umum berupa kekurangan tenaga, beban kerja tinggi, dan insentif rendah. Beberapa inovasi muncul, seperti pelatihan berkelanjutan dan pengakuan formal untuk kader-kader kesehatan di India, serta dukungan BRAC di Bangladesh.

Angela Chaudhuri dari Swasti menekankan bahwa kader bukan sekadar pelengkap, melainkan aktor kunci yang mampu menggerakkan komunitas. Investasi pada mereka harus dilihat dari dampak jangka panjang, bukan sekadar pengembalian biaya.

Manoj Jhalani dari WHO SEARO menutup dengan pesan bahwa kader kesehatan harus dilibatkan dalam perencanaan kebijakan, agar program dapat lebih dipercaya dan diimplementasikan secara efektif. Dukungan finansial maupun non-finansial, termasuk skema pensiun bagi para kader, juga perlu diintegrasikan dalam kebijakan kesehatan nasional.

Reporter: dr Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)


Sesi Pleno

Climate and Health Plenary

Sesi plenary ini membahas pentingnya isu global terkait dengan perubahan iklim dan kesehatan.

Terdapat Kerangka G20 untuk Iklim dan Kesehatan berfokus pada lima prinsip utama:

  1. Memprioritaskan pembangunan yang tangguh terhadap perubahan iklim.
  2. Mengembangkan sistem kesehatan yang rendah karbon dan berkelanjutan.
  3. Melakukan dekarbonisasi rantai pasok sektor kesehatan.
  4. Memobilisasi pembiayaan iklim.
  5. Mendorong kolaborasi lintas sektor termasuk kesehatan hewan dalam pendekatan One Health.

Asian Development Bank (ADB) meluncurkan program unggulan Climate Health Initiative (CHI) serta membangun portal informasi sebagai sumber daya untuk mendukung aksi iklim dan kesehatan.

Dr. Soumya Swaminathan

(Mantan Peneliti Senior WHO) menekankan pentingnya Isu Iklim dan Kesehatan melalui Kepemimpinan Multilateral dan Penyesuaian Kebijakan Regional. Soumya menyampaikan bahwa dampak perubahan iklim terhadap kesehatan sangat luas seperti:

 

  1. Gelombang panas ekstrem.
  2. Ketahanan pangan terganggu.
  3. Peningkatan penyakit tular vektor.
  4. Polusi udara.
  5. Kelangkaan air bersih.
  6. Disrupsi sistem pelayanan kesehatan.

Data terkini terkait perubahan iklim dan dampaknya terdokumentasi dalam Laporan Lancet Countdown dan di kawasan Asia Pasifik, isu utamanya mencakup: Penyakit tular vektor (VBD), tekanan panas (heat stress) dan polusi udara.

Untuk merespon hal tersebut, beberapa solusi yang didorong seperti:

  • Menjadikan udara bersih sebagai aset.
  • Mendanai transisi menuju sistem ramah iklim.
  • Menetapkan target kualitas udara bersih sejalan dengan standar WHO dan memantau kemajuan bersama.
  • Bekerja bersama untuk solusi yang menguntungkan semua pihak.

Untuk itu,  diperlukan komitmen di semua level — nasional, regional, dan global — untuk memastikan kesehatan menjadi prioritas dalam kebijakan iklim.

Di kawasan Asia Pasifik prioritas diberikan untuk:

  1. Investasi dalam riset dan inovasi di bidang iklim dan kesehatan.
  2. Memperkuat dan melembagakan kepemimpinan regional di isu ini.
  3. Membangun institusi yang siap menghadapi tantangan masa depan iklim dan kesehatan.

Mr. Martin Edlund (CEO, Malaria No More)

Martin mempresentasikan terkait dengan inovasi untuk penyakit tular vektor. Beliau menyampaikan bahwa ada 4 miliar orang berada dalam risiko meningkatnya penyakit tular vektor dan hal ini diperparah oleh menurunnya dukungan donor dan ancaman pandemi. Perubahan iklim menambah kompleksitas tantangan ini. Solusi yang didorong adalah perlunya terobosan inovatif yang diperluas skalanya, tidak hanya terbatas pada tataran penelitian dan pengembangan saja.

Ada berbagai potensi solusi inovatif yang sudah dikembangkan dalam dan perlu diperluas skalanya untuk diimplementasikan secara luas di lapangan. Salah satu solusi inovatif adalah intervensi berbasis bakteri nyamuk yang diinfeksi wolbachia yang akan memblokir transmisi virus dengue. Setelah beberapa pilot proyek di Yogyakarta, Indonesia saat ini sedang memperluas cakupan intervensi ini dalam skala yang lebih luas ke daerah lainnya.

Sesi ini kemudian dilanjutkan dengan diskusi panel yang menghadirkan narasumber:

  • Mr. Syed Hussein Mujtaba (Climate and Health Expert, Pakistan)
  • Dr. Lucica Ditiu (Stop TB Partnership)
  • Mr. Robert Matiru (DIrector, Programme Division, Unitaid)
  • Dr. Ronald Law (Direktur Iklim dan Kesehatan, DOH Filipina)
  • Dr. Ricardo Baptista Leite (CEO Health AI)

Mr. Syed Hussein Mujtaba

Menyampaikan bahwa Pakistan sangat rentan terhadap perubahan iklim. Banjir besar pada 2022 menyebabkan 3 juta orang mengungsi dan kerugian lebih dari 30 miliar USD. Hal ini mengakibatkan peningkatan kejadian penyakit dan kematian, serta prevalensi stunting anak mencapai 44%. Mr. Hussein menyampaikan bahwa istilah-istilah seperti climate finance, blended finance, tidak cukup, tapi harus ditindaklanjuti dengan langkah nyata di lapangan.

Lucica Ditiu

Sementara Lucica menyampaikan bahwa sektor kesehatan belum menjadi prioritas. Kita perlu bersama-sama mendukung Kementerian Kesehatan untuk menjadikannya prioritas utama. Beliau menyampaikan bahwa dalam penanggulangan TB, inovasi sangat penting — mulai dari Rapid Molecular Test, Palm Health Test dengan swab, hingga X-ray.

Robert Matiru

Sementara Mr. Robert Matiru menekankan perlunya akses yang setara terhadap pelayanan kesehatan, termasuk dalam konteks perubahan iklim. Dalam merespon perubahan iklim, inovasi lintas sektor diperlukan — yang climate smart, tangguh, dan adaptif terhadap perubahan. Robert  menekankan pentingnya memperhatikan beberapa hal yaitu:

  • Tidak hanya mengandalkan pembiayaan hibah.
  • Perlu diskusi vertikal dan aksi nyata di lapangan.
  • Teknologi yang tahan lama dan dekat dengan masyarakat sangat penting.
  • Ini adalah proses multisektoral: perlu sinergi antara bank, pemerintah, komunitas, dan sektor lain.

Dr. Ronald Law (DOH, Filipina)

Ronald menyampaikan bahwa Filipina dengan 7.600 pulau sangat rentan terhadap bencana alam seperti topan, letusan gunung berapi, dan gempa bumi. Bulan Juli ditetapkan sebagai bulan ketangguhan bencana nasional. Beberapa tindakan strategis yang dilakukan adalah Filipina adalah: Manajemen darurat kesehatan menjadi prioritas, termasuk dalam Universal Health Care Law, berpartisipasi di COP20 Dubai — untuk pertama kalinya ada Health Day di COP, mengembangkan sistem kesehatan yang tangguh terhadap iklim dan netral karbon, DOH telah memiliki kantor khusus dan roadmap terkait iklim dan kesehatan.

Dr. Ricardo Baptista Leite

Dr. Ricardo menyampaikan mengenai pentingnya mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan melalui sains termasuk dengan kecerdasan buatan (AI). Saat ini hanya 70% target SDGs yang diperkirakan tercapai. Sehingga memerlukan aksi nyata dan inovasi. Kesepakatan tidak berguna tanpa implementasi nyata, terutama di tingkat lokal dan dengan dukungan sektor swasta. Meskipun ada “Paradoks AI dan Iklim” seperti AI berkontribusi terhadap beban iklim, misalnya AI membutuhkan konsumsi energi tinggi, termasuk pusat data (data center) yang menghabiskan jutaan galon air untuk mekanisme pendinginan (1,7 juta galon air per tahun untuk satu pusat data). Namun, AI juga membawa potensi positif:

  • Dari R&D hingga manajemen, AI digunakan untuk predictive analytics.
  • Dapat membantu mengidentifikasi potensi pandemi.
  • Membantu memastikan investasi tepat sasaran dan teknologi digunakan secara bertanggung jawab tanpa meninggalkan siapa pun.

Reporter:
Dr Lutfan Lazuardi (FK-KMK UGM)

 

Sesi Pleno

Tapping the Demographic Dividend: Strengthening Early Childhood Development

Sesi ini menggarisbawahi bahwa investasi pada perkembangan anak usia dini (PAUD) merupakan strategi kunci untuk membentuk generasi sehat, produktif, dan tangguh sejak awal kehidupan. Dengan kerangka nurturing care yang mencakup kesehatan, gizi, stimulasi dini, dan perlindungan anak, pembicara dari berbagai lembaga menekankan perlunya pendekatan multisektor yang terintegrasi untuk menjangkau semua anak seawal mungkin.

dari kiri Gi Soon Song, Dr. Dinesh Arora, Scott Morris, Uma Mahadevan, Sumitra Mishra, Roopa Srinivasan, Anil Swarup


Gi Soon Song
, Director of Human and Social Development, ADB membuka dengan data bahwa hanya 1 dari 5 anak di negara berpenghasilan rendah memiliki akses ke pendidikan prasekolah. Oleh karena itu, ADB kini mendorong transformasi dari pendekatan berbasis program menuju sistem terintegrasi yang menyatukan pelayanan gizi, kesehatan, pendidikan, dan perlindungan anak.

Paparan dilanjutkan oleh Dr. Dinesh Arora, Principal Health Specialist, ADB, yang menekankan konsep serve and return dalam stimulasi otak anak, dan menyebut bahwa investasi pada masa awal kehidupan memberi pengembalian tertinggi di masa depan.

Wakil Presiden ADB, Scott Morris, mengingatkan bahwa anak usia kurang dari 5 tahun sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, sistem PAUD perlu dirancang agar adaptif dan tahan terhadap krisis iklim.

Uma Mahadevan, perwakilan pemerintah daerah Karnataka, India, membagikan praktik baik dari Karnataka dalam menyediakan layanan penitipan anak bagi pekerja perempuan informal. Ia menekankan bahwa kurangnya layanan terstruktur menghambat partisipasi perempuan dalam pekerjaan berbayar. 

Salah satu contoh baik peran sektor swasta di India, disampaikan oleh Sumitra Mishra, CEO Mobile Creche, dalam menyediakan layanan pengasuhan melalui kebijakan dan regulasi ketenagakerjaan. Implementasi inovasi yang dikembangkan mengadopsi model Care Diamond dan Nurturing Care Framework WHO.

Roopa Srinivasan menyampaikan bahwa keadilan sosial tak akan tercapai jika intervensi PAUD tidak ditingkatkan cakupannya, terutama bagi anak berkebutuhan khusus. Program Perkembangan Anak Usia Dini (ECD) dari Ummeed memberikan pelatihan dan pendampingan tentang cara mendukung tumbuh kembang anak usia 0–3 tahun melalui pendekatan berbasis bermain yang melibatkan pengasuh, menggunakan alat seperti Guide for Monitoring Child Development (GMCD), dengan metode lokakarya dan bimbingan berkelanjutan.

Anil Swarup menekankan peran ADB dan institusi lain yang mengembangkan program terkait anak usia dini, dalam memahami konteks lokal sebelum mereplikasi model di negara lain, dan memastikan keberlanjutan serta adaptasi kebijakan.

Foto dari kiri (2) Indu Bhushan; (3) Sofia Shakil; (4) Soumya; dan (5) Ana Maria Rodriguez


Indu Bhushan
,
board member Pehel Foundation, yang banyak bergerak dalam advokasi risiko paparan timbal (lead) pada anak yang berdampak jangka panjang, mulai dari gangguan kognitif hingga peningkatan risiko kriminalitas, sebagaimana dibuktikan melalui studi di AS. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah meningkatkan awareness, edukasi remaja atau orang tua mengenai paparan timbal sebelum maupun saat hamil, adopsi dalam kurikulum sekolah, dan melibatkan lintas pemangku kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan yang berkaitan dengan perubahan iklim, termasuk paparan timbal dari lingkungan.

Sofia Shakil menekankan pentingnya membangun kemitraan strategis untuk memperluas cakupan intervensi yang terbukti berhasil, serta menyoroti dampak perubahan iklim dan migrasi terhadap akses layanan anak.

Soumya menyoroti perlunya integrasi intervensi sejak masa kehamilan dan penguatan kapasitas tenaga lapangan, disertai umpan balik data yang berguna dan tidak tersilo.

Ana Maria Rodriguez dari UNICEF menyampaikan beberapa saran teknis yang perlu dilaksanakan untuk memastikan keberhasilan program pendukung perkembangan anak usia dini, diantaranya perlunya kemauan politik, kebijakan lintas sektor, dan dukungan terhadap pengasuhan serta inovasi-inovasi dalam program PAUD.

Kirsten Hurley, Associate Professor dari Bloomberg School of Public Health, melengkapi perspektif pentingnya lingkungan yang mendukung perkembangan anak sejak dini melalui perspektif akademis dan peneliti. Beliau memaparkan hasil penelitiannya di India dengan penekanan bahwa intervensi harus dimulai sejak dini, fokus pada pengurangan risiko, dan memperkuat faktor protektif seperti gizi. Namun, tantangan selanjutnya adalah menerjemahkan hasil penelitian menjadi aksi di lapangan agar mencapai hasil yang diharapkan.

Sesi ini mempertegas bahwa penguatan PAUD adalah investasi strategis untuk memanfaatkan bonus demografi secara maksimal. Dibutuhkan kolaborasi multisektor, kebijakan terpadu, serta kemauan politik untuk menciptakan sistem pengasuhan yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.

Reporter:
dr Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)


Sesi Pleno

How Pandemic Response Drives UHC

Peter Sands, direktur dari the Global Fund membuka sesi plenary. Pesan kunci Peter bahwa kesiapan menghadapi pandemi merupakan salah satu contoh bagaimana investasi untuk kesehatan merupakan investasi terpenting yang bisa dilakukan oleh pemerintah, dan investasi yang didukung penuh oleh stakeholder. Hal ini mencakup tanggung jawab dan peran yang dapat diambil oleh institusi internasional mau pun negara-negara dengan sumber daya yang lebih. Jepang, contohnya, berkomitmen untuk membantu negara-negara di Asia dan Afrika untuk penyediaan perbekalan Kesehatan, seperti disampaikan oleh dr Yosuke Kita dari Kementerian Luar Negeri Jepang.

Sesi plenary menghadirkan pembicara dari Kementerian Kesehatan negara-negara di Pasifik, beberapa mitra pembangunan khususnya yg mendukung perbekalan kesehatan.

Fiji, salah satu negara kepulauan kecil di Pasifik, menghadapi tantangan dalam penyediaan oksigen selama pandemi COVID-19. Menteri Kesehatan Fiji menyatakan bahwa dukungan dari negara lain dan lembaga multi-negara membantu sistem kesehatan Fiji belajar untuk membangun resiliensi, khususnya bagi kantong-kantong populasi yang memiliki keterbatasan akses. Inovasi dan penerapan teknologi yang kontekstual (misalnya pemanfaatan panel surya) telah membantu Fiji untuk memastikan layanan kesehatan yang berkelanjutan. Serupa dengan pengalaman tersebut, Cook Island, negara kepulauan lain di Pasifik juga menyampaikan pengalamannya. Menteri Kesehatan Cook Island menyampaikan bahwa pandemi telah mengajarkan bahwa sistem kesehatan sangat rentan, tetapi juga membuka kesempatan untuk menyadari pentingnya perencanaan dan perawatan infrastruktur kesehatan, sistem transportasi dan logistik, serta penguatan SDM. Berikutnya wakil Menteri Kesehatan Armenia menyampaikan bahwa pandemi juga mengajarkan prioritisasi bagi pelayanan primer yang kuat dan pengembangan kemandirian obat dan perbekalan. Tahun ini, misalnya, Armenia menganggarkan peningkatan 40% untuk investasi research and development (R&D).

Dr Saima Wazed (Direktur Regional WHO SEARO) menggarisbawahi bahwa memiliki faskes saja tidak cukup. Sistem dan sumber daya harus dibangun. Selain itu, kolaborasi harus dibangun dengan mitra-mitra non pemerintah. Menyadari kerentanan saja tidak cukup, tetapi harus ada aksi mitigasi dan kemauan untuk menyingkirkan hambatan sistem.

Robert Matiru (Direktur Divisi Program, Unitaid) juga menyoroti dua hal (1) harus tersedia kolaborasi multi-finance yang menghasilkan proposal pembiayaan yang rasional dan koheren berbasis kebutuhan, (2) kemampuan untuk negosiasi dan berkolaborasi dengan sektor swasta. Unitaid memfasilitasi berdirinya Global Oxygen Alliance untuk memastikan keberlanjutan dari kolaborasi masa pandemi untuk ketersediaan oksigen, dengan cara (1) Crowd-Financing, (2) memastikan Capital Expenditure (capex) untuk market assurance dan hal-hal lain yang sering diabaikan, dan (3) membangun accountability matrix untuk investasi yang dihimpun. 

Priya Basu, direktur Pandemic Fund dari Bank Dunia menyatakan dua prinsip utama untuk memperkuat kesiapan menghadapi pandemi: (1) itu harus menjadi inti dari membangun sistem kesehatan yang inklusif dan resilien: mampu menyediakan layanan di masa krisis mau pun tidak; (2) dukungan eksternal hanya bersifat komplemen terhadap komitmen dan sumberdaya domestic yang disediakan pemerintah. 

Amanda McClelland (dari “Prevent Epidemics, Resolve in Save Live”, sebuah organisasi yang bermitra dengan pemerintah untuk membangun health security systems) juga menambahkan bahwa kesiapan pandemi tidak mungkin tercapai tanpa kemitraan dengan komunitas.

Reporter:
Shita Dewi (PKMK UGM)


Sesi Paralel

Strategic Reforms on Health Financing: UHC Reforms on the Frontline

Penguatan sistem kesehatan khususnya dalam hal penyediaan jaminan kesehatan semesta merupakan salah satu tujuan dari sistem kesehatan. Tantangan utama dalam cakupan kesehatan semesta adalah ketidakcukupan dana, dan ini berusaha diatasi melalui (1) meningkatkan komitmen  anggaran pemerintah dan mencari berbagai sumber pembiayaan publik untuk kesehatan, (2) meningkatkan pembayaran non publik, dan (3) efisiensi layanan. Sesi paralel kali ini membahas pengalaman dari 4 negara yang sangat berbeda konteks dan sumberdayanya, yaitu Indonesia, Mongolia, Vietnam dan Turki. Sesi ini dikhususkan untuk membahas bagaimana negara-negara ini melakukan upaya reformasi strategis untuk mencapai cakupan kesehatan semesta.

Indonesia

Dalam kesempatan ini, Prof. Ali Ghufron Mukti (Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan/ BPJS-K) membahas upaya untuk mengejar kepersertaan dari sektor informal yang mampu. Inovasi yang dilakukan termasuk pemanfaatan berbagai platform pembayaran yg umum digunakan (sekitar 1 juta channel untuk pembayaran), mekanisme penyisiran berbasis komunitas dengan pemanfaatan kader JKN untuk edukasi mengenai kepersertaan dan kepatuhan pembayaran, pemanfaatan donasi/zakat, program rehab (cicilan), dan telekoleksi serta WA blasting.

Dalam hal strategic purchasing, BPJS-K menerapkan mekanisme Kerjasama (kontrak) dengan faskes public dan swasta, penjaminan mutu faskes (kredensialing) dan layanan (melalui kapitasi berbasis kinerja), pemanfaatan Health Technology Assessment (HTA) dalam penyusunan paket manfaat, dan sebagainya.

Vietnam

Sesi ini disampaikan oleh Dr. Vu Nu Anh, Deputy Director General Dari Health Insurance Department dari Kementerian Kesehatan Vietnam. Pada 2024, Vietnam menerbitkan UU Nomor 51 Tahun 2009 mengenai jaminan kesehatan, sebagai puncak dari upaya yang bermula dari berbagai mekanisme jaminan Kesehatan yang dimulai pada 1992. Saat ini, 12% dari revenue jaminan kesehatan Vietnam diharapkan berasal dari rumahtangga dan ini masih merupakan tantangan untuk pemenuhannya. Upaya yang dilakukan sejauh ini adalah meningkatkan subsidi pemerintah untuk kelompok miskin, penguatan primary care, serta efisiensi melalui pemanfaatan HTA, serta melakukan pilot sinergi antara cakupan jaminan kesehatan sosial dengan asuransi swasta.

Mongolia

Batbayar Ankhbayar, health financing specialist dari Kementerian Kesehatan Mongolia menyampaikan bahwa strategic purchasing menjadi strategi utama Mongolia untuk meningkatkan efisiensi dan mutu layanan di sektor kesehatan. Hal ini dilakukan dengan membuat system jaminan sosial single-pool pada 2021 (Health Insurance General Agency/HIGA sebagai purchaser utama) yang mencakup komponen selective contracting, pembayaran provider dengan prinsip outcome-based dan melakukan volume-based budgeting pada 2024.

 

Turki

Dalam kesempatan ini Ugursel Erol dari Lembaga Asuransi Sosial (Turki) membahas upaya penguatan tata kelola sebagai strategi utamanya. Salah satu contoh adalah (1) memastikan proses pengambilan keputusan yang melihatkan multi-stakeholder, misalnya keputusan mengenai reimbursement; (2) mekanisme alternatif untuk reimbursement yang transparan, dan juga direct supply yang berbasis pasien.

Dalam sesi diskusi yang dimoderatori oleh Piya Hanvoravongchai, para pembicara menambahkan pentingnya (1) sistem anti-fraud yang kuat, (2) reformasi regulasi, (3) mengubah persepsi ‘kesehatan adalah spending’ menjadi ‘kesehatan adalah investasi’ (baik persepsi pemerintah (Kementerian Keuangan) mau pun individu, serta (4) memastikan adanya learning health system untuk merespon tantangan sesuai konteks dan belajar dari pengalaman.

Reporter:
Shita Dewi (PKMK UGM)


Sesi Parallel

Sustainable & Resilient Health Systems & Infrastructure: Thailand, Armenia & India

Sesi ini membahas tantangan umum serta berbagi contoh inovatif dari India, Armenia, dan Thailand dalam mengembangkan sistem dan infrastruktur kesehatan yang tangguh terhadap perubahan iklim. Resiliensi iklim didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem untuk merespons dan mengantisipasi bencana terkait iklim, dengan tetap menjaga keberlangsungan layanan. Ditekankan pula pentingnya mengaitkan dampak perubahan iklim terhadap kesehatan dengan respons yang menggunakan pendekatan health system building blocks, termasuk aspek Sumber Daya Manusia (SDM), Water, Sanitation and Hygiene (WASH), energi berkelanjutan, serta infrastruktur yang mendukung ketahanan terhadap iklim. Infrastruktur, teknologi, dan intervensi produk dibagi dalam tiga kategori utama:

  1. Adaptasi sistem dan infrastruktur, termasuk pengembangan kebijakan dan regulasi.
  2. Promosi teknologi baru yang mendukung ketangguhan terhadap iklim serta kelestarian lingkungan.
  3. Keberlanjutan operasional fasilitas pelayanan kesehatan.

WHO juga telah menerbitkan Compendium of Health and Environment Interventions, yang menjadi repository global berisi sekitar 500 aksi/intervensi yang mendukung lingkungan yang lebih sehat dan sistem kesehatan yang lebih tangguh.

Mr. Angad Karandhe, Advisor, Government of Maharashtra, India
Mr. Karandhe memaparkan upaya penguatan pelayanan kesehatan tersier dan pendidikan kedokteran di Maharashtra dalam menghadapi perubahan iklim. Dengan dukungan dari ADB, Maharashtra melakukan reformasi kebijakan yang semula hanya berfokus pada aspek infrastruktur, kini mencakup komponen lunak (soft components), seperti, pertama, pembentukan center of excellence untuk pendidikan kesehatan. Kedua, pengembangan kurikulum yang memasukkan isu perubahan iklim dan resiliensi iklim bagi mahasiswa dan tenaga pengajar di institusi pendidikan kedokteran. Ketiga pengenalan digital medical education sebagai pendekatan inovatif yang sekaligus memperkenalkan solusi digital dalam bidang kesehatan yang relevan untuk mengatasi tantangan iklim. Keempat, pembangunan infrastruktur kesehatan yang tangguh terhadap iklim, termasuk inisiatif green campus dan efisiensi energi.

Maria Hovakimyan, Deputy Director of the Health Project Implementation Unit, Ministry of Health, Armenia 
Dengan latar belakang sebagai ahli kebijakan kesehatan, Hovakimyan menjelaskan proses yang dijalani Armenia dalam membangun sistem kesehatan yang tangguh terhadap iklim. Kemudian, dukungan ADB mendorong Armenia mengambil sejumlah langkah diantaranya, pertama, melakukan pemetaan risiko kesehatan terkait perubahan iklim, seperti morbiditas dan mortalitas akibat gelombang panas (heat waves). Kedua, membangun infrastruktur dengan desain yang mendukung ketahanan iklim, seperti insulasi dinding yang memadai, sistem pencahayaan hemat energi, dan sistem daur ulang air. Ketiga, mengadopsi best practices yang sudah terbukti efektif untuk penguatan layanan primer (primary healthcare) yang tangguh terhadap iklim. Keepat, mengembangkan kurikulum pelayanan kesehatan primer yang menyertakan topik perubahan iklim. Kelima, membangun sistem peringatan dini (Early Warning System/EWS) untuk mengenali potensi masalah kesehatan, serta menyampaikan informasi secara proaktif kepada masyarakat agar mereka dapat lebih siap menghadapi dampaknya.

Dr. Wiwat Chatwangwan, Wakil Direktur Rumah Sakit Maharat Nakhon Ratchasima, Thailand
Dr. Wiwat menyampaikan bahwa Thailand memiliki national policy framework yang memasukkan aspek ketangguhan (resilience) sebagai bagian integral dari sistem kesehatan. Salah satu inisiatif utamanya adalah pengembangan green hospital dengan tujuan: menjadi rumah sakit netral karbon dan menetapkan tolok ukur keberlanjutan (sustainability benchmark).

Beberapa langkah yang telah diambil termasuk pertama, inisiasi carbon footprint analysis untuk mengukur dan menurunkan emisi. Kedua, mendukung program “30 Baht Treatment Anywhere” yang memungkinkan akses layanan kesehatan di seluruh Thailand. Program ini didukung oleh aplikasi digital berbasis AI, yang mengurangi kebutuhan perjalanan pasien dan secara tidak langsung menurunkan emisi karbon. Ketiga, pemanfaatan teknologi seperti telemedicine, health wallet digital platform, serta health station (Care Kiosk) yang memperluas akses layanan kesehatan berbasis digital dan memperkuat sistem kesehatan yang adaptif terhadap perubahan iklim.

Reporter:
dr. Lutfan Lazuardi (FK-KMK UGM)


 

 

Sesi Paralel

Behind the Deal: What Makes Healthcare PPPs Work (or Fail)?

Pada 1990-an, mayoritas RS di Inggris dibangun melalui skema Public Finance Initiative (PFI), dan banyak negara setelahnya mengadopsi model PFI ini, dimana sektor swasta membiayai, membangun dan merawat bangunan, fasilitas, teknologi dan infrastrukturnya; sementara layanan klinis disediakan oleh pihak pemerintah. Menariknya, di Asia Pasifik keberhasilan PPP sangat rendah (1%) sementara di regional lain lebih tinggi (misal: Amerika 20%, dan di Eropa rata-rata 18%).

Sesi ini berupa diskusi antara beberapa praktisi public private partnership (PPP) dan tantangannya. Pembicara termasuk Menteri Kesehatan Filipina, Wakil Menteri Uzbekistan, serta sektor swasta.

Persepsi umum pertama adalah bahwa PPP merupakan privatisasi dan bertentangan dengan prinsip penyediaan public goods oleh pemerintah, apalagi sektor swasta dianggap hanya beroerientasi pada profit sehingga akan membuat layanan kesehatan disediakan melalui kerangka PPP menjadi mahal.

Menteri Kesehatan Filipina menceritakan bahwa di Filipina, banyak infrastruktur (air, jalan, dan sebagainya) telah dibangun dengan kerangka PPP (difasilitasi oleh regulasi tentang BOT) dan berjalan baik, namun ketika dilakukan untuk sektor kesehatan, PPP dilabeli “privatisasi” dan muncul banyak tantangan. Proses PPP sejak inisiasi sampai terlaksana membutuhkan proses, waktu yang sangat Panjang, dinamika dukungan dan tantangan politik sangat turbulent, ditambah dengan ketika terjadi disrupsi perubahan dipemerintah.  Lesson learned dari pengalaman Filipina menunjukkan bahwa selama proyek PPP masih dalam skala yang kecil (misalnya hanya unit pelayanan tertentu di RS e.g. robotic)  atau terbatas (misalnya hanya faskes tingkat kota atau regional e.g. Makati Life Medical Center milik kota Makati), proses ini hanya membutuhkan persetujuan Kementerian Kesehatan di Filipina sehingga dapat diproses oleh unit PPP di Kementerian Kesehatan dan biasanya berakhir sukses. Menkes Filipina mengakui bahwa kekurangannya adalah proses PPP ini biasanya berlangsung tanpa adanya social marketing yang mengedukasi pemahaman lebih luas kepada masyarakat mengenai PPPs.

Persepsi umum lain adalah bahwa PPP dianggap ‘taktik’ pemerintah untuk by pass kebutuhan pendanaan besar. PPP dianggap mahal atau berbiaya tinggi.  Oleh karena itu, bagi pemerintah, perlu penegasan tujuan dari pemerintah dalam keterlibatan swasta tersebut. Motivasi apa yang mendorong, masalah apa yang sebenarnya ingin dipecahkan melalui PPPs. Refleksi transparan mengenai hal ini akan membantu membentuk strategi dan model PPP yang tepat dan trustworthy. Sebagai contoh, PFI muncul di Inggris karena secara historis terlihat bahwa pembangunan infrastruktur di Inggis selama ini tidak efisien dan sering tidak tepat waktu. Sementara di Portugal, PPPs muncul karena tidak adanya tenaga kesehatan yang memadai di sektor publik untuk menyediakan layanan, sehingga PPP di Portugal mencakup kontrak untuk pembangunan infrastruktur dan dikombinasikan dengan kontrak untuk penyediaan layanan.

Dari perspektif pendanaan/investor/swasta, capital expenditure (capex per capex), memang investasi PPP berbiaya tinggi, namun bila dilihat dari lifecycle-nya maka sesungguhnya invetasi PPP cukup memberi value for money. Selain itu, disampaikan bahwa motivasi swasta tidak semata-mata tentang profit. Di Pakistan, misalnya, jejaring RS swasta yang bermitra dengan pemerintah melakukannya dalam kerangka layanan dan filantropi, nirlaba, dan berorientasi pada dampaknya bagi masyarakat. Kontrak dengan pemerintah diatur melalui serangkaian indikator(KPI) yang dipantau oleh pihak ketiga. KPI yang dipilih juga mencerminkan bagaimana prinsip kualitas layanan sangat dijunjung tinggi sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari masyarakat dan juga dari pemerintah.

Reporter:
Shita Dewi (PKMK UGM)


Parallel Session: Pandemics & Infectious Diseases Track

Advanced Warning & Response (AWARE) Systems

Dalam sesi ini, para peserta diajak menyelami inisiatif Advance Warning Systems and Response (AWARE) dari Asian Development Bank (ADB), sebuah pendekatan inovatif yang menjembatani kesenjangan antara meningkatnya risiko kesehatan akibat perubahan iklim dan terbatasnya kapasitas sistem kesehatan untuk merespons. AWARE menghadirkan alat peringatan dini, data real-time, serta solusi yang berakar dari kebutuhan negara, dengan tujuan membangun sistem kesehatan yang lebih tangguh, adaptif, dan antisipatif di wilayah Asia-Pasifik.

Sesi yang dimoderatori oleh Angela Chaudhuri, CEO dari Swasti Health Catalyst ini, menghadirkan berbagai pembicara dari lintas sektor yang telah terlibat dalam perancangan dan implementasi AWARE di berbagai negara, mulai dari pengambil kebijakan, ahli teknologi, hingga pelaksana di lapangan.

Sesi dibuka oleh Dr. Dinesh Arora, Principal Health Specialist ADB, yang menjadi motor teknis di balik pengembangan AWARE. Dinesh memimpin pengintegrasian teknologi peringatan dini, data spasial, dan analitik prediktif untuk membantu pemerintah merespons risiko iklim secara lebih cepat dan tepat sasaran. Pembicara menekankan bahwa meskipun prediksi sangat membantu, tetap ada potensi ketidakpastian. Oleh karena itu, prioritas utama tetap pada pencegahan dan deteksi dini untuk meminimalkan dampak risiko kesehatan akibat perubahan iklim.

Materi panel disampaikan oleh Dr. Soumya Swaminathan, mantan Chief Scientist WHO, yang memberikan konteks global terhadap pentingnya sistem surveilans yang terstandar dan terintegrasi sehingga dapat dimanfaatkan saat menghadapi krisis kesehatan global. Banyak tools surveilans yang kini tersedia dan bisa digunakan, termasuk yang tidak kalah penting adalah social listening, memanfaatkan media sosial atau percakapan public sebagai sumber data tren kejadian penyakit, serta mengantisipasi misinformasi dan merancang strategi komunikasi risiko yang efektif.

Sesi AWARE turut menampilkan inisiatif konkret dari berbagai negara di Asia yang telah mengadopsi sistem peringatan dini berbasis data untuk memperkuat ketahanan kesehatan terhadap risiko perubahan iklim di India, Thailand, dan Filipina.

Dr. T.S. Selvavinayagam, Direktur Direktorat Kesehatan Masyarakat dan Pengobatan Pencegahan Tamil Nadu, India, memperkenalkan Scrub Typhus Advanced Warning System. Sistem ini menggunakan data iklim dari badan meteorologi, data spasial, dan laporan kasus rumah sakit untuk memperkirakan potensi wabah scrub typhus. Seluruh rumah sakit di wilayah tersebut diperingatkan sejak dini. Dengan dukungan analitik prediktif, sistem ini telah membantu menghubungkan pola cuaca dengan lonjakan penyakit, memungkinkan intervensi lebih cepat dan terarah.

Dr. Valerie Laloo, petugas surveilans penyakit di Meghalaya, India, mempresentasikan pengembangan sistem State One-Health Surveillance yang berfokus pada penyakit zoonotik. Inisiatif ini mengintegrasikan data dari rumah sakit, laboratorium manusia dan hewan, serta instansi meteorologi, dengan dukungan dari organisasi lokal. Tujuannya adalah membangun sistem peringatan dini yang mengurangi penyakit, kematian, dan dampak ekonomi—dengan pondasi tata kelola yang kuat sebagai penopangnya.

Gubernur Cielo Krisel Lagman-Luistro dari Tabaco City, Filipina, memberikan contoh nyata bagaimana pemerintah daerah menerapkan Community-based Monitoring System (CBMS) untuk memantau data kesehatan dan perubahan iklim di tingkat “barangay” (setara Puskesmas). Sistem ini mengagregasi data demografi, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kesehatan masyarakat melalui dashboard interaktif, yang memudahkan pemerintah kota dan pemangku kepentingan untuk mendeteksi anomali seperti lonjakan penyakit atau indikator kerentanan lainnya secara real-time.

Patipat Susumpao dari OpenDream Thailand, memaparkan pendekatan inovatif Community-Driven Participatory Surveillance, yang memberdayakan petani dan warga desa sebagai ‘detektif penyakit’. Melalui aplikasi mobile, mereka dapat melaporkan gejala penyakit hewan secara cepat, yang kemudian dianalisis dan ditindaklanjuti oleh petugas kesehatan dan dokter hewan. Dalam uji coba, deteksi wabah turun dari 24 jam menjadi 12 jam, dan waktu respons menjadi hanya 7–8 jam. Pendekatan ini tidak hanya menyelamatkan ternak, tetapi juga mencegah kerugian ekonomi jutaan dolar.

Biju Jacob, CTO dari Health Innovation Exchange (HIEx), bertanggung jawab atas pengembangan solusi digital dan arsitektur teknologi di balik AWARE. Ia mengembangkan sistem visualisasi data, pemantauan lingkungan, dan dashboard yang bisa digunakan pengambil kebijakan dalam waktu nyata.

Prof. Sir Gordon Duff, Presiden United in Diversity Foundation, berbagi wawasan tentang pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam membangun sistem kesehatan masa depan yang adaptif terhadap risiko iklim, dengan pendekatan inklusif dan berbasis solidaritas.

Ayako Inagaki, Direktur Senior Divisi Pengembangan Sosial dan Kemanusiaan ADB, menutup sesi ini dengan menjelaskan bagaimana ADB memperkuat sistem kesehatan di negara-negara berkembang melalui pendekatan responsif terhadap perubahan iklim. Ayako menekankan pentingnya penyediaan data yang akurat, sehingga pemangku kepentingan memiliki kepercayaan terhadap data, sehingga dapat memberikan respons yang lebih cepat dan Menyusun kebijakan berbasis data yang tepat, untuk membangun sistem kesehatan yang inklusif dan berkeadilan, khususnya untuk kelompok rentan.

Reporter:
dr Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)

 

Sesi Pleno

How can pandemic preparedness and response make health systems more resilient?

Sesi plenary kali ini membahas beberapa pembelajaran dari era pandemi mengenai beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk memastikan ketahanan sistem kesehatan. Perspektif yang disoroti adalah pengalaman kemampuan negara untuk mengidentifikasi apa kelemahan utama dalam sistem kesehatan mereka yang kemudian direformasi. Sesi ini dimoderatori oleh Dr Nima Asgari (APO Health Systems and Policies).

Prof Dr Md Sayedur Rahman, Staf Khusus Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga, Bangladesh, mengingatkan bahwa sistem kesehatan harus dibangun bukan sekedar sebagai “respon” terhadap  disrupsi, tetapi harus dibangun berakar dalam realita sosial and Masyarakat, menyasar berbagai determinan Kesehatan, karena hanya dengan cara itu system dapat resilient dan memiliki keberlanjutan.

Dr Gina Samaan, Direktur Regional Emergency, WHO WPRO menggarisbawahi apa yang bisa dilakukan sebagai suatu kawasan untuk menjaga health security. International health regulation (IHR) dan pandemic agreement adalah sebuah multilateral treaty yang menunjukkan bahwa pentingnya upaya multilateral untuk melengkapi kesiapan sistem kesehatan nasional menghadapi krisis Kesehatan. Sebagai contoh, upaya kawasan harus memperkuat sistem surveillance, forecasting dan modelling, R&D network, manufacture dan procurement, dan supply chain network.

Dr Battur Lkhagvaa, National Center for Public Health, Mongolia, merefleksi pengalaman pandemi yang menyingkapkan bahwa tata kelola sistem kesehatan untuk mendeteksi dan merespon krisis kesehatan seringkali terfragmentasi namun overlapped satu sama lain. Oleh karena itu, salah satu prioritas reformasi sistem kesehatan yang muncul dari pengalaman pandemi seharusnya adalah integrasi berbagai fungsi, institusi serta tata kelola yang membentuk ketahanan sistem kesehatan dalam konteks krisis kesehatan.

Berry Ropa, Health Security Program, PNG, menyampaikan bahwa kunci ketahanan sistem kesehatan adalah perencanaan yang bersifat proaktif, menggunakan pendekatan yang menyeluruh. Oleh karena itu, prioritas di PNG adalah pemanfaatan pendekatan OneHealth dalam pelatihan kepada SDM di berbagai sektor termasuk kader-kadernya, serta mendorong kolaborasi sipil-militer (konteks: kelompok militer biasanya adalah kelompok yang paling awal ditempatkan dalam situasi-situasi darurat dan krisis). 

 

Prof Ren Minghui, Direktur Institute for Global Health, Peking University, mengingatkan tantangan yang harus segera diatasi untuk memperkuat kemampuan layanan primer sebagai garda terdepan ketahanan sistem kesehatan:

  • Defisiensi struktur gatekeeping, yang biasanya diperparah oleh (1) kelangkaan nakes khususnya dokter, (2) ketidaksiapan infrastruktur
  • Lemahnya integrasi di dalam sistem kesehatan versus fungsi kesmas yang biasanya diperburuk oleh (1) rendahnya remunerasi dan insentif untuk tenaga Kesehatan (nakes) dalam pelaksanaan fungsi kesmas dan (2) knowledge gap dalam menjalankan fungsi-fungsi kesehatan masyarakat (kesmas)
  • Kurang upaya keterlibatan dan pemberdayaan otoritas lokal dan tidak adanya mekanisme berbagi informasi

Dr Seung Sun Kim, Direktur Korea Disease Control Agency, menunjukkan bahwa digitalisasi merupakah kunci untuk mendeteksi dan merespon krisis secara real-time. Korea memanfaatkan big data yang dikumpulkan bukan hanya dari data faskes tetapi juga dari data jaminan sosial/asuransi, data sektor lain (non kesehatan), bahkan CCTV, dan menyusun OneHealth big data. Hal ini membuat mereka mampu membuat predictive analysis, AI untuk beberapa penyakit menular prioritas, misalnya AI untuk TB dan vector-borne diseases.  Pesan kuncinya adalah memanfaatkan digitalisasi dan data lintas sektor.

Reporter:
Shita Dewi (PKMK UGM)


Sesi Paralel

Indonesia’s Health System Transformation

Sesi ini menghadirkan diskusi mendalam tentang bagaimana pandemi COVID-19 menjadi katalis bagi Indonesia untuk mendorong reformasi sistem kesehatan secara menyeluruh. Sesi ini menghadirkan pemangku kepentingan kunci, mulai dari Kementerian Kesehatan Indonesia, BPJS Kesehatan, hingga Asian Development Bank (ADB).

Dalam sambutan pembuka, Scott Morris, Wakil Presiden ADB, menyoroti Indonesia sebagai negara yang menonjol dalam menghadapi krisis fiskal dan kesehatan. Morris menyebutkan bahwa Indonesia menunjukkan agenda transformasi yang berani melalui enam pilar reformasi sistem kesehatan, meskipun menghadapi tantangan geografis, sosial, dan ekonomi yang kompleks.

Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin menegaskan pentingnya enam pilar yang menjadi fondasi agenda Health System Transformation, yang dirancang pasca-pandemi untuk membentuk sistem kesehatan nasional yang lebih tangguh dan terintegrasi, meliputi transformasi layanan primer, layanan rujukan, ketahanan sistem, pembiayaan, sumber daya manusia, dan teknologi.

Budi menjelaskan bahwa pandemi COVID-19 bukan hanya menjadi ujian bagi sistem kesehatan Indonesia, melainkan juga peluang untuk melakukan reformasi besar-besaran. Pembicara memaparkan bahwa Kementerian Kesehatan Indonesia telah merevitalisasi lebih dari 10.000 Puskesmas dengan pendekatan layanan sepanjang siklus hidup (life-cycle approach), didukung digitalisasi sistem secara menyeluruh. Dukungan teknologi juga menjadi fokus utama, termasuk pemanfaatan konektivitas dari inisiatif Elon Musk untuk memperkuat layanan di daerah terpencil. Dalam hal infrastruktur, Kemenkes bekerjasama dengan ADB dan Bank Dunia untuk pengadaan alat-alat kesehatan esensial seperti USG, EKG, X-ray, hingga analyzer laboratorium di fasilitas layanan primer. Seluruh upaya ini bertujuan memastikan bahwa Puskesmas tidak hanya menjadi tempat pengobatan, melainkan juga pusat deteksi dini dan pencegahan penyakit.

Budi juga menyoroti reformasi di bidang pembiayaan dan SDM kesehatan. Pemerintah menggandakan alokasi anggaran untuk program promotif dan preventif, serta meningkatkan kontribusi BPJS Kesehatan untuk layanan primer. Dalam jangka panjang, Indonesia menargetkan setiap Puskesmas memiliki dokter layanan primer yang terlatih melalui program pascasarjana kedokteran keluarga. Selain itu, Kementerian Kesehatan saat ini tengah mendorong produksi dalam negeri untuk obat dan vaksin, serta merancang rilis kelompok risiko penyakit secara nasional tahun depan. Upaya ini diperkuat dengan sistem data kesehatan yang terintegrasi dan terstandar, termasuk kewajiban keamanan data yang kini diatur dalam undang-undang. Seluruh pendekatan ini menunjukkan strategi menyeluruh dalam membangun sistem kesehatan yang tangguh, efisien, dan siap menghadapi tantangan masa depan.

Pada sesi diskusi panel, para panelis menekankan pentingnya pendekatan sistemik dan lintas sektor dalam reformasi kesehatan:

  • Maria Endang Sumiwi, Dirjen Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan Indonesia menyampaikan pentingnya pendekatan berbasis gaya hidup, bukan sekadar berbasis penyakit, untuk mengurangi potensi adanya data silo di sistem kesehatan layanan primer. Endang juga menyinggung inisiatif kebijakan baru “Birthday Checkup”, layanan medical check-up gratis tahunan bagi masyarakat.
  • Murti Utami, Plt. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan Indonesia menyoroti dua fokus penyakit prioritas: tuberkulosis, kanker dan beberapa rencana layanan kesehatan yang terfokus.
  • Prof Ali Ghufron Mukti, Direktur Utama BPJS Kesehatan Indonesia, menggarisbawahi upaya memperkuat pembiayaan komunitas, termasuk integrasi dengan sumber seperti zakat, serta perubahan sudut pandang Kementerian Keuangan bahwa kesehatan bukan lagi sekadar pengeluaran, tetapi investasi.

Closing remarks disampaikan oleh Eduardo Banzon dari ADB mengenai bagaimana Indonesia mengubah krisis menjadi peluang. Eduardo menegaskan perlunya keluar dari kerja sektoral yang terkotak-kotak, transformasi sistem kesehatan dapat terlaksana dengan berhenti bekerja secara silo dan mulai bertransformasi secara sistemik.

Reporter:
dr. Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)


Sesi Parallel

Investasi di Kesehatan Mental

Sesi ini berupa diskusi dari WHO dengan para praktisi tentang pertanyaan-pertanyaan kunci dan aspek-aspek penting, yaitu:

  • Pelayanan kesehatan mental yang terintegrasi dan equitable
  • Pelayanan kesehatan mental harus beradaptasi sesuai dengan konteks, misalnya pandemi, perubahan iklim dan perubahan demografi
  • Pendekatan yang digunakan untuk mengatasi batasan-batasan, misalnya pelayanan yang harus tersedia melalui berbagai kanal (bahkan sampai ke level individu), di tingkat primer, dan sebagainya
  • Integrasi pelayanan kesehatan mental dalam layanan cakupan Kesehatan semesta
  • Peningkatan investasi dan anggaran untuk kesehatan mental
  • Mendorong advokasi kebijakan yang lebih inklusif

Didiskusikan pula pendekatan yang mungkin perlu dilakukan, yaitu melibatkan para penyintas dan/atau keluarga,  khususnya dalam mendapatkan informasi yang diperlukan untuk merancang pelayanan yang sensitif, berorientasi pada kebutuhan mereka, sehingga sistem layanan dapat didisain untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut.

Hal penting lain yang disinggung adalah isu pembiayaannya. Dalam diskusi mengenai penguatan sistem kesehatan untuk mencapai cakupan kesehatan semesta biasanya tidak menyentuh bagaimana cakupan untuk layanan tentang kesehatan mental. Hal ini terutama karena kelompok ini adalah kelompok yang tidak terlihat (kecuali dalam situasi Dimana kondisi pasien sudah sampai pada ODGJ atau harus menjalani rawat inap), padahal ada banyak stigma di seputar gangguan mental yang lain sehingga kebanyakan orang tidak mengakui, atau tidak didiagnosis sebagai gangguan mental. Tantangan besar lain dalam investasi kesehatan mental adalah bagaimana menghitung biaya untuk preventif promotifnya, serta menghitung ‘manfaat’ yang dihasilkan, misalnya menghindari eskalasi hingga muncul kebutuhan untuk rawat inap. 

Reporter:
Shita Dewi (PKMK UGM)


Sesi Parallel

Mengatasi Tantangan Obesitas

Sesi ini membahas tiga hal penting:

Topik pertama adalah obesitas merupakan krisis kesehatan global

  1. Data Global Burden of Disease menunjukkan bahwa  tren kenaikan obesitas di Asia merupakan yang tercepat di seluruh dunia, walaupun dari prevalensinya yang tertinggi adalah negara-negara Oseania (Australia, Fiji, Kiribati, Kepulauan Marshall, Federasi Mikronesia, Nauru, Selandia Baru, Palau, Papua Nugini, Samoa, Kepulauan Solomon, Tonga, Tuvalu, Vanuatu).
  2. Data juga menunjukkan bahwa di Asia proporsi obesitas akan melampaui proporsi overweight, baik di kelompok anak mau pun kelompok usia. Hal ini mengindikasikan kegagalan preventif promotif kita. Hal ini diperparah oleh perubahan pola makan yang terpusat pada minuman berpemanis (SSB) dan calorie-densed serta kurangnya aktivitas fisik
  3. Data juga menunjukkan bahwa kelompok yang lebih rentan terhadap obesitas adalah kelompok pendapatan rendah.

Topik kedua yang dibahas adalah mengenai biaya. Biaya kesehatan sebagai dampak dari obesitas meningkat 15% dalam dua decade terakhir. Di Asia Pasifik biayanya mencapai 0.78% GDP (data tahun 2013), di negara-negara SEARO mencapai 1,19% GDP dan di negara-negara WPRO 1.58% GDP (data tahun 2019).  

Topik ketiga yang dibahas adalah terdapat begitu banyak pendekatan best-buy yang bisa dilakukan terkait obesitas, dan terdiri dari mayoritas pendekatan preventif promotif (termasuk aktivitas fisik dan pola makan sehat) atau pun kebijakan fiskal (misal cukai untuk SSB). Filipina menunjukkan pasca penetapan cukai SSB, terjadi penurunan konsumsi sebesar 8.7%. Pilihan kebijakan lain yang masih dapat dieksplor adalah kebijakan food system, memastikan pula bahwa pilihan sumber makanan yang sehat (sayur buah) lebih murah dan lebih mudah diakses daripada makanan cepat saji. Salah satu godaan terbesar untuk menggunakan pendekatan medis dan klinis terhadap obesitas (misalnya operasi atau penggunaan Ozempic) adalah karena tersedia data yang menunjukkan bagaimana dampak langsungnya. Sebaliknya, pendekatan-pendekatan preventif promotif biasanya sulit dibuktikan efektivitasnya dan dampaknya karena banyak dipengaruhi oleh hal-hal lain.  

Untuk memastikan negara-negara mampu mengimplementasikan best-buy yang direkomendasikan oleh panduan WHO, WHO juga menyarankan pendekatan yang berbasis roadmap yang melibatkan multisektor. Namun, diakui bahwa dua tantangan terbesar adalah (a) perubahan perilaku, dan (b) pengumpulan serta pemantauan data.

Reporter:
Shita Dewi (PKMK UGM)


Sesi Parallel

Strengthened Regional Vaccine Manufacturing and Regulation

Sesi ini membahas bagaimana pandemi COVID-19 mengungkap ketimpangan akses vaksin secara global dan pentingnya kapasitas manufaktur serta regulasi vaksin di tingkat regional. Asian Development Bank (ADB) menanggapi tantangan ini dengan pendekatan multisektor, termasuk dukungan terhadap biomanufaktur domestik, pengadaan bersama di tingkat regional, konvergensi regulasi, dan penguatan kapasitas otoritas regulatori nasional (National Regulatory Authorities/NRA).

Kunci Strategi ADB dalam Mendorong Ketahanan Kesehatan Regional

Dinesh Arora (Principal Health Specialist, ADB) membuka sesi dengan menyoroti tantangan dalam vaksinasi tidak hanya dari sisi suplai tetapi juga dari sisi permintaan. Adanya vaccine hesitancy (keraguan untuk vaksin) di beberapa negara, bukan hanya masalah kepercayaan, tapi juga terkait dengan hambatan informasi mengenai produk hingga literasi digital masyarakat yang tidak sejalan dengan sistem digital vaksinasi yang berkembang pesat.

Perspektif Mitra dan Praktisi Regional

Hani Kim (CEO, Right Foundation) menyampaikan bahwa keadilan akses harus dibangun dari hulu. “Jika ingin kecepatan, kita perlu berinvestasi pada jaringan produksi regional yang berlapis,” ujarnya. Ia juga mendorong agar produksi dan distribusi vaksin dipimpin oleh pemerintah, dengan penguatan data kependudukan dan perencanaan pra-produksi, terutama bagi komunitas marjinal.

Syed Ahmed (CEO, Techinvention) menggarisbawahi pentingnya melihat vaksin dari dua sisi: manusia dan hewan. Ia juga menekankan perlunya pendekatan berkelanjutan terhadap lingkungan dan sistem pengadaan yang tepat. “Kita juga harus mempertimbangkan cost-effectiveness dari jumlah dosis dan rute pemberian vaksin,” katanya.

Muhammad Salman (CEO, National Institute of Health, Pakistan) menyampaikan pengalaman negaranya dalam membangun kapasitas produksi dalam negeri sebagai respons terhadap pandemi, yang dapat menjadi contoh bagi negara berkembang lainnya.

Dr. Matthias Helble dari WHO menjelaskan bahwa investasi pada riset dan pengembangan dalam vaksin sangat berisiko dan butuh waktu panjang, sehingga kolaborasi regional dan regulasi yang harmonis menjadi semakin krusial.

Dr. Kavita Singh (DNDi) menekankan pendekatan pragmatis: mulai dari inisiatif yang sudah berjalan, memastikan relevansi teknologi dengan kebutuhan lokal, dan membangun platform riset regional berbasis prinsip open science.

Dr. Sarabjeet Chaddha (FIND) menyoroti potensi transformasi digital, termasuk pemanfaatan AI untuk memprediksi permintaan vaksin. Teknologi ini menurutnya menjadi alat penting dalam mengoptimalkan distribusi.

Sofia Shakil (Director, ADB) menutup sesi dengan menekankan pentingnya sistem kesehatan yang well-governed dan dapat diakses secara luas. Sofia menyebut bahwa penyakit tidak mengenal batas negara, sehingga kolaborasi lintas wilayah sangat penting. Menurutnya, investasi ADB diarahkan untuk memastikan ketersediaan vaksin yang adil, terjangkau, dan tepat waktu.

Sesi ini menegaskan bahwa produksi vaksin regional bukan hanya soal teknologi dan investasi, tetapi juga soal tata kelola, keadilan akses, dan kolaborasi lintas sektor. ADB dan para mitra menekankan bahwa infrastruktur regulasi yang kuat, sistem pengadaan yang efisien, serta integrasi teknologi dan data merupakan fondasi penting dalam membangun ketahanan kesehatan jangka panjang.

If the next pandemic hits tomorrow, our success will depend on how well we’ve prepared regionally—through production, regulation, and trust

Reporter:
dr Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)


Sesi Paralel Pandemics & Infectious Diseases

Ending Complex & Challenging Infectious & Tropical Diseases (ExCITD)

Sesi ini menyoroti bagaimana perubahan iklim memperburuk beban penyakit menular di Asia dan Pasifik, serta bagaimana inisiatif baru “Ending Complex and Challenging Infectious and Tropical Diseases (ExCITD)” yang dipimpin oleh ADB bertujuan mempercepat eliminasi penyakit seperti malaria, TB, dan dengue melalui pendekatan sistemik dan kemitraan regional.

Tantangan dan Respons di Tengah Perubahan Iklim

Ayako Inagaki (Senior Director, ADB) membuka sesi dengan menekankan bahwa iklim yang berubah cepat menjadi pengganda risiko (force multiplier) bagi penyakit tropis. Kombinasi suhu tinggi, hujan ekstrem, dan urbanisasi yang tidak terencana telah memicu lonjakan kasus dengue, leptospirosis, TB, dan malaria. ExCITD dibentuk sebagai platform unggulan ADB untuk mendorong pembiayaan, inovasi, dan kemitraan lintas negara dalam merespons krisis ini.

Hon. Teodoro Herbosa (Menteri Kesehatan Filipina) menegaskan perlunya pendekatan regional dalam menanggulangi penyakit lintas batas seperti TB dan malaria. Ia menekankan pentingnya kesiapan sistem kesehatan dalam menghadapi penyakit akibat perubahan iklim yang tidak bisa diprediksi.

Dr. Soumya Swaminathan (mantan Chief Scientist WHO) menyoroti bahwa penyebab mendasar TB adalah malnutrisi. Ia mendorong adopsi inovasi seperti tongue swab untuk diagnosis TB, yang dikembangkan di India dan China. “Kita melihat potensi besar dari teknologi ini, meskipun sensitivitasnya masih perlu ditingkatkan,” ujarnya. Ia juga mencatat pentingnya pengembangan rejimen pengobatan TB baru yang lebih pendek dan efektif.

Urvashi B. Singh (Tuberculosis Program, India) dan Lucica Ditiu (Stop TB Partnership) menekankan pentingnya sistem surveilans yang kuat dan keterlibatan komunitas dalam mendeteksi dan menanggapi wabah sejak dini.

Nasiruddin M. A. Mirza (Pakistan) memaparkan kondisi negaranya yang masih bergulat dengan malaria dan TB, serta rekor kematian tertinggi akibat dengue pada 2023. Nasiruddin menyebutkan bahwa pertumbuhan kota yang tak terkendali dan sistem pengendalian vektor yang lemah turut memperburuk situasi. Sementara cakupan DOTS untuk TB meningkat, data masih terfragmentasi.

Dalam konteks pendanaan, Deepali Khanna (Rockefeller Foundation) dan Dinesh Arora (ADB) menggarisbawahi pentingnya blended finance untuk men-scale up inovasi di tengah menurunnya kontribusi donor tradisional. “Climate finance telah meningkat dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir, namun kita tetap butuh hampir empat kali lipat untuk mencapai target 2030,” jelas Khanna.

Xavier Chan (APLMA) berbagi pengalaman selama satu dekade dalam upaya eliminasi malaria, terutama di wilayah seperti Papua dan Papua Nugini. Ia menekankan bahwa eliminasi mungkin dicapai bila negara bekerja secara regional dan menerapkan agenda eliminasi multidisease secara terpadu.

Jaya Singh Verma (FCDO) menyampaikan bahwa integrasi agenda iklim dan kesehatan sudah semakin mendesak. Negara tidak bisa bekerja sendiri. Kemitraan lintas sektor dan pendekatan lintas negara menjadi kunci.

Sesi ini ditutup dengan ajakan dari Dinesh Arora agar seluruh pemangku kepentingan berhenti bekerja dalam silo. “Kita punya alat, kita punya teknologi, yang kita butuhkan adalah advokasi dan pendekatan sistem kesehatan yang utuh. Mari kita bekerja sebagai satu tim,” tegasnya.

Reporter:
dr Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)

 

Special Event

Symposium on Multilateral Financing: Pandemic Preparedness and Response

Opening remark: Dr. Scott Morris, Vice President ADB

Dalam pidatonya, Dr. Scott Morris, Vice President dari Asian Development Bank, menegaskan pentingnya penguatan sistem kesehatan (Health System Strengthening/HSS) sebagai landasan utama untuk menghadapi ancaman pandemi di masa depan. Morris menekankan bahwa investasi yang berkelanjutan dalam aspek-aspek kritis seperti logistik vaksin, sistem cold chain, serta digitalisasi layanan kesehatan, menjadi sangat penting agar sistem kesehatan kita tidak hanya mampu merespons krisis, tetapi juga mampu mengantisipasi ancaman yang akan terjadi di masa mendatang.

Lebih lanjut, Morris menyampaikan bahwa untuk benar-benar siap menghadapi pandemi berikutnya, kita tidak boleh berhenti pada apa yang telah dibangun. Inovasi harus terus dilanjutkan, dan surveilans penyakit harus bersifat lintas batas negara, karena patogen tidak mengenal perbatasan administratif. Di samping itu, pembiayaan yang inklusif dan memadai adalah kunci; jangan sampai ada negara, khususnya negara berpenghasilan rendah, yang tertinggal dalam kesiapsiagaan maupun respons pandemi.

Dalam konteks ini, kolaborasi menjadi elemen yang tidak bisa diabaikan. Pembicara mengajak seluruh pihak — pemerintah, mitra pembangunan, masyarakat sipil, dan sektor swasta — untuk bekerja bersama dalam aksi nyata yang berbasis pada bukti ilmiah dan dipicu oleh inovasi. Kolaborasi lintas sektor bukan hanya ideal, tetapi mutlak dibutuhkan agar sistem kesehatan global menjadi lebih tangguh dan adil.

Keynote: Dr. Soumya Swaminathan, Former Senior Researcher WHO

Dr. Soumya Swaminathan menyoroti bahwa kesiapsiagaan terhadap pandemi tidak bisa hanya bersifat reaktif. Kita perlu secara berkala melakukan evaluasi situasi di tingkat nasional, regional, dan global, untuk memahami pelajaran apa yang bisa diambil dan langkah apa yang harus diperbaiki ke depan. Dunia, menurutnya, tengah dihadapkan pada berbagai ancaman global — tidak hanya dari penyakit menular yang dapat bermutasi, tetapi juga dari faktor-faktor lain seperti konflik, polusi, hingga ancaman teknologi seperti keamanan siber.

Soumya juga menyoroti ketimpangan yang masih nyata dalam respons pandemi. Misalnya, pada Juli 2021, sebagian besar negara maju sudah berhasil memvaksinasi sebagian besar penduduknya, namun di negara berpenghasilan rendah, capaian vaksinasi bahkan belum mencapai 40%. Hal ini menunjukkan bahwa akses terhadap vaksin dan alat kesehatan lainnya masih belum merata, dan diperlukan mekanisme pengadaan serta distribusi yang lebih adil di tingkat regional dan global.

Pembicara menyampaikan 7 pilar dalam Kesepakatan Pandemi WHO yang mencakup penguatan koordinasi internasional, akses yang adil terhadap sumber daya, pendekatan One Health, serta sistem regulasi yang tangguh. Ia juga menekankan pentingnya memiliki sistem pengawasan rantai pasok global, akses patogen yang transparan, dan penguatan institusi regulasi — terutama untuk mempercepat adopsi teknologi kesehatan baru seperti vaksin mRNA.

Lebih jauh, Soumya menggarisbawahi empat pilar utama dari kerangka kerja Pandemic Preparedness and Emergency Response (PPER), yaitu: tata kelola dan pendanaan, data dan sistem peringatan dini, riset dan pengembangan kapasitas, serta kemitraan dan komunikasi risiko. Semua pilar ini perlu didukung oleh program transfer teknologi, terutama untuk pengembangan vaksin dan produk medis strategis.

Soumya menutup paparanya dengan menekankan bahwa dalam semua upaya tersebut, kita tidak boleh melupakan faktor sosial-ekonomi yang menjadi penggerak munculnya penyakit. Contohnya, pasar hewan beberapa negara bisa menjadi jalur transmisi penyakit zoonotik, seperti yang dicurigai dalam kasus COVID-19 di pasar di Wuhan. Oleh karena itu, pendekatan One Health, yang mengintegrasikan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan, menjadi semakin relevan dalam mencegah pandemi masa depan.

Rosanna W Peeling, London School Hygiene and Tropical Medicine (LSHTM)

Salah satu pelajaran penting yang dipetik dari pandemi adalah perlunya kolaborasi erat antara sektor kesehatan manusia, kesehatan hewan, lingkungan, dan juga sektor komersial untuk mencegah kemunculan penyakit baru. Upaya ini diperkuat dengan adanya sistem peringatan dini dan respons global seperti Global Early Warning and Response System (GLEWS) yang fokus pada pengendalian penyakit hewan yang berpotensi menyebar ke manusia.

Selain itu, penting untuk berinvestasi dalam ilmu regulasi dan penilaian teknologi kesehatan (Health Technology Assessment) guna menjamin mutu, keamanan, dan akses yang tepat waktu terhadap berbagai intervensi medis, termasuk obat-obatan, vaksin, dan alat diagnostik.

Pandemi juga menyoroti ketimpangan dalam akses terhadap diagnosis dan berbagai bentuk penanggulangan medis lainnya, baik di dalam suatu negara maupun antar wilayah. Ketimpangan ini menjadi hambatan besar dalam mencapai respons kesehatan yang merata dan efektif.

Di sisi lain, dibutuhkan infrastruktur kesehatan masyarakat yang kuat untuk memungkinkan respon yang cepat dan efisien saat krisis terjadi. Infrastruktur ini juga penting untuk menerjemahkan hasil riset menjadi kebijakan yang bisa langsung diimplementasikan di lapangan.

Sistem data dan konektivitas menjadi landasan penting dalam upaya kesiapsiagaan. Dengan data yang terintegrasi dan konektivitas yang baik, deteksi dini dan pengambilan keputusan bisa dilakukan secara cepat dan tepat sasaran.

Keterlibatan masyarakat juga terbukti sangat menentukan dalam membangun ketahanan sistem kesehatan. Komunitas harus diposisikan sebagai bagian yang aktif dalam sistem, bukan sekadar penerima layanan, karena ketangguhan sistem kesehatan sangat dipengaruhi oleh peran serta masyarakat.

Dalam konteks pengendalian penyakit, pengawasan dan kebijakan di perbatasan terbukti efektif dalam memperlambat laju penyebaran SARS-CoV-2. Namun, efektivitas ini bergantung pada koordinasi, kebijakan berbasis data, dan komunikasi antarnegara.

Akhirnya, salah satu pelajaran strategis yang tak kalah penting adalah pentingnya membangun tata kelola yang baik dan hubungan kolaboratif lintas sektor bahkan di masa tenang, saat tidak terjadi wabah. Periode antar epidemi adalah waktu yang paling tepat untuk memperkuat sistem, menyusun protokol, dan membangun kepercayaan lintas lembaga dan lintas negara sebagai fondasi kesiapsiagaan ke depan.

Ms. Amanda McClelland, Prevent Pandemic, Resolve to Save Lives

Dalam situasi krisis, tiga hal utama yang harus dilindungi secara bersamaan adalah kehidupan manusia, perekonomian, dan kohesi sosial. Pandemi sebelumnya telah memberikan banyak pelajaran berharga. Salah satu yang paling jelas adalah bahwa kecepatan respons sangat penting, kepercayaan masyarakat menjadi pusat keberhasilan, dan ketimpangan justru semakin dalam saat krisis terjadi.

Oleh karena itu, sangat penting untuk membangun “DNA ketangguhan” dalam kegiatan sehari-hari pemerintahan dan masyarakat, agar saat krisis datang, kita sudah memiliki sistem yang siap bergerak cepat dan efektif. Dalam kondisi normal, pemerintahan perlu terus memperkuat sistem dan budaya kerja yang memungkinkan respons krisis yang terkoordinasi dan adaptif.

Data dan produk informasi yang relevan menjadi penunjang utama dalam pengambilan keputusan. Namun, hal ini hanya akan efektif bila didukung oleh struktur pemerintahan yang mampu menentukan prioritas secara jelas dan cepat.

Kita bisa belajar dari pengalaman negara seperti Afrika Selatan, Singapura, dan Selandia Baru, di mana komunikasi publik yang terbuka dan konsisten terbukti sangat penting untuk membangun dan menjaga kepercayaan masyarakat. Komunikasi yang efektif bukan hanya satu arah, tetapi perlu dikembangkan sebagai komunikasi dua arah yang menciptakan ruang bagi masyarakat untuk didengar dan terlibat.

Selain itu, kesiapsiagaan juga harus tertanam di tingkat pelayanan kesehatan dasar. Primary Health Care (PHC) harus diposisikan sebagai tulang punggung sistem kesehatan, bukan sebagai pelengkap. PHC yang siap menghadapi keadaan darurat akan memungkinkan respons masyarakat yang cepat dan efektif dalam menghadapi berbagai ancaman kesehatan.

Tak kalah penting, kepemimpinan memiliki peran sentral dalam respons krisis. Sehingga, dibutuhkan pemimpin yang mampu melihat situasi secara holistik, dapat menegosiasikan pendanaan, menghapus sekat-sekat antar sektor, serta mendorong pendekatan inovatif dalam menangani tantangan yang kompleks.

Dr. Hoon Sang Lee,  RIGHT Foundation, Republic of Korea

Respon kesehatan masyarakat di Korea Selatan selama pandemi COVID-19 dikenal sebagai salah satu yang paling cepat dan sistematis. Secara umum, pendekatannya mengutamakan prinsip “trace, test, and treat”, namun dalam presentasi ini Dr. Hoon Sang Lee akan lebih menekankan pada bagaimana pemerintah Korea mengambil peran sentral dalam memimpin respons tersebut.

Sebelum pandemi COVID-19, Korea Selatan telah memiliki pengalaman menghadapi berbagai bencana kesehatan, termasuk wabah MERS pada 2015. Dari pengalaman tersebut, pemerintah Korea belajar pentingnya pengambilan keputusan yang cepat dan terkoordinasi. Maka saat COVID-19 mulai menyebar, Korea mampu mengambil langkah peningkatan level respons dengan sangat cepat, melalui mekanisme pengambilan keputusan yang cepat di tingkat pemerintah pusat.

Salah satu tantangan awal yang dihadapi adalah keterbatasan kapasitas laboratorium pengujian. Pada saat wabah MERS, Korea membutuhkan waktu hingga tiga bulan hanya untuk menyiapkan vaksin prototipe. Namun belajar dari hal tersebut, Korea CDC dan NIH bekerja sama dengan sektor industri untuk mempercepat riset dan pengembangan, serta memberikan otorisasi terhadap vaksin dan alat diagnostik prototipe pertama.

Dukungan infrastruktur kemudian diperluas secara cepat, termasuk pendirian lebih dari 600 lokasi pengambilan spesimen dan kolaborasi dengan 200 produsen industri vaksin. Hal ini memungkinkan peningkatan kapasitas testing dan pengobatan secara cepat dan masif.

Inovasi dan teknologi informasi (ICT) juga dimanfaatkan secara maksimal, khususnya untuk keperluan pelacakan kontak. Penggunaan teknologi ini memang menuai perdebatan, terutama terkait keseimbangan antara privasi individu dan kepentingan kesehatan masyarakat, namun pemerintah Korea berhasil menerapkan kebijakan yang tetap menjunjung nilai keterbukaan dan akuntabilitas.

Kampanye vaksinasi juga dilakukan secara sangat cepat dan efisien, dengan dukungan sistem verifikasi digital serta kebijakan berbasis teknologi yang memperkuat pelaksanaan di lapangan.

Keberhasilan Korea Selatan dalam merespons pandemi pada fase awal tidak lepas dari sejumlah faktor kunci, antara lain:

  • Sistem “test, trace, isolate” yang terintegrasi;
  • Asuransi kesehatan nasional yang mencakup seluruh populasi;
  • Penerapan physical distancing yang disiplin;
  • Pemanfaatan inovasi teknologi secara luas;
  • Keputusan kebijakan yang tepat waktu dan eksekusi yang cepat;
  • Serta pengalaman berharga dari wabah MERS 2015 yang memperkuat kesiapsiagaan institusional

Reporter:
Dr Lutfan Lazuardi (FK-KMK UGM)


 

Session 2

Creating A Multilateral Financing Mechanism for Pandemic Preparedness

 

Bagian kedua dari sesi pagi ini membahas mengenai mekanisme pembiayaan multilateral yang berperan selama masa pandemi.  Sesi ini khususnya membahas desain dan penyiapan pembiayaan multilateral baru yang berfungsi sebagai platform regional untuk risiko kesehatan, surveilans dan dan respons pandemi, dengan dukungan dari bank pembangunan multilateral, organisasi internasional dan donor. Mekanisme pembiayaan tersebut memastikan keterlibatan strategis dengan produsen dan pengembang vaksin dan melakukan pengadaan penanggulangan medis atas nama DMC.

Beberapa pembicara adalah Javier Guzmán, Division Chief, Health, Nutrition and Population, Inter-American Development Bank; Dr. Frederik Kristensen, Managing Director, Regionalized Vaccine Manufacturing Collaborative (RVMC) dan Robert Boothe, Principal Planning and Policy Economist, Strategy, Policy, and Partnerships Department, ADB.

Salah satu contoh mekanisme pembiayaan yang dimaksud misalnya adalah Asia Pacific Vaccine Access Facility(APVAX), mekanisme keuangan yang dibangun ADB untuk penyediaan pendanaan untuk dapat melakukan:

  • rapid response procurement: pengadaan vaksin secara cepat.
  • project investment component: investasi untuk infrastruktur, distribusi, outreach, pengembangan SDM dan sebagainya.

Hal lain yang juga disinggung adalah kemungkinan perlunya instrumen keuangan terpisah yaitu mekanisme pembiayaan untuk kebutuhan “surge” yang dapat dimobilisasi secara cepat. Para pembicara hampir sepakat bahwa mekanisme dan instrument keuangan apa pun yang tersedia harus memastikan kepentingan Kawasan, membangun kapasitas negara-negara penerima manfaat (baik untuk manufaktur atau kapasitas pendukung lain), tata Kelola serta transparansi proses dan akuntabilitasnya, serta kapasitas regulasi. Pertimbangan pertama dalam berinvestasi dalam pengembangan vaksin tentu saja adalah vaksin apa yang akan menjadi obyek investasinya: mRNA, DNA, recombinant vector vaccines, atau apa?

Terakhir, disinggung pula potensi dari pooled procurement atau strategic procurement, dan ini akan dibahas pada sesi berikutnya.

Reporter:
Shita Dewi (PKMK)


Session 3

Ensuring Access to Medical Countermeasures through Strategic Procurement

Dr. Prashant Yadav, Senior Fellow for Global Health, Council on Foreign Relations (CFR) Strategic procurement

Pengadaan untuk Medical Countermeasures (MCM), seperti vaksin, diagnostik, dan terapi selama keadaan darurat kesehatan, bukanlah hal yang sederhana. Di satu sisi, proses ini dapat menimbulkan biaya yang sangat besar, tetapi di sisi lain, pengadaan tidak semata-mata soal harga. Prahant juga harus memprioritaskan inovasi dan mendorong persaingan yang sehat untuk menghasilkan produk terbaik.

Penting untuk melihat pengadaan ini dari perspektif rantai nilai secara menyeluruh, bukan hanya sebagai proses membeli produk akhir dari produsen. Dalam konteks produk medis, terdapat sejumlah karakteristik khusus yang membedakan proses ini dari pengadaan tradisional.

Pertama, dalam kondisi darurat seperti pandemi, pengadaan sering kali dilakukan dengan risiko tinggi, bahkan saat produk belum terbukti efektivitas atau keamanannya. Ini dikenal sebagai pengadaan berbasis risiko, di mana keputusan pembelian harus dilakukan sebelum ada produk yang benar-benar disetujui. Kedua, kecepatan adalah faktor kunci. Proses pengadaan harus berlangsung cepat, namun tetap mengikuti prinsip transparansi dan akuntabilitas publik. Setiap langkah harus bisa dipertanggungjawabkan dan terbuka untuk ditinjau oleh publik. Ketiga, keterlibatan dengan pemasok menjadi lebih kompleks. Pemerintah atau lembaga pengadaan perlu mengetahui seluruh portofolio produk dari masing-masing pemasok, tidak cukup hanya melihat satu produk. Ini sangat berbeda dari pendekatan pengadaan tradisional yang bersifat lebih sederhana dan satu arah.

Pengadaan MCM harus mampu memahami dan mengelola rantai pasok dari hulu ke hilir (end-to-end). Salah satu tantangan besar adalah lemahnya insentif bagi produsen untuk mempertahankan kapasitas produksi ketika tidak ada permintaan mendesak. Risiko pembelian (purchasing risk) juga tinggi, terutama saat kontrak dilakukan lebih awal sebelum ada kepastian produk berhasil dikembangkan. Misalnya, pada Agustus 2020, saat banyak kandidat vaksin COVID-19 masih dalam tahap pengembangan, muncul pertanyaan penting: Apakah kita harus membuat kontrak pengadaan di awal, padahal kita belum tahu kandidat mana yang akan berhasil? Jika vaksin tersebut gagal, maka risiko dan kerugiannya harus ditanggung.

Dalam kondisi seperti itu, kemampuan untuk melakukan perbandingan portofolio antar produsen melalui pemodelan menjadi sangat penting. Hal ini membantu memproyeksikan mana produk yang paling mungkin berhasil dan layak didanai.

Pertanyaan besar lainnya adalah: di tingkat mana sebaiknya pengadaan dilakukan? Apakah global, regional, atau nasional? Idealnya, pengadaan harus dilakukan secara multi-kanal. Jika suatu negara tidak mampu melakukan pengadaan sendiri, maka harus ada opsi untuk melakukannya secara kolektif di tingkat regional atau global.

Untuk menjawab tantangan ini, kita perlu pendekatan pengadaan multi-kanal (multichannel procurement) yang memungkinkan fleksibilitas dan kecepatan, serta melibatkan lebih banyak pemasok untuk mempercepat proses. Proses pengadaan harus tetap mengikuti langkah-langkah yang sistematis dan dipandu oleh pertimbangan yang jelas tentang manfaat dan risikonya di setiap tahap.

Pada akhirnya, pengadaan untuk MCM memerlukan kemitraan yang aktif dengan para pemasok, termasuk pemahaman yang menyeluruh terhadap portofolio produk yang mereka miliki, guna memastikan respons yang cepat, efisien, dan adaptif terhadap krisis kesehatan yang mungkin muncul.

Ms. Hui C. Yang, Head of Supply Operations, the Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria

Saat ini, lebih dari 200 produk kesehatan penyelamat jiwa telah tersedia melalui platform digital yang dapat diakses oleh lebih dari 100 negara. Ini menunjukkan kemajuan besar dalam mempermudah akses terhadap produk kesehatan esensial secara global.

Selama pandemi COVID-19, pada tahun 2021 diperkenalkan pendanaan tambahan untuk memperkuat respons terhadap krisis yang masih berlangsung. Salah satu fokus utama adalah investasi dalam implementasi oksigen medis, serta pengenalan peralatan diagnostik digital di banyak negara untuk mempercepat deteksi dan penanganan kasus.

Dalam konteks strategic purchasing atau pembelian strategis, pembelajaran penting muncul dari berbagai tantangan yang dihadapi. Salah satu tantangan utama adalah disrupsi rantai pasok selama krisis seperti pandemi. Tantangan lainnya adalah keterbatasan data, baik dalam ketersediaannya maupun kualitasnya, sehingga menyulitkan identifikasi kebutuhan paling mendesak dan pengambilan keputusan yang tepat.

Selain itu, upaya membangun aliansi dalam rantai pasok menjadi hal yang tidak mudah. Dibutuhkan kerja keras dari berbagai mitra untuk memastikan tersedianya produk yang paling dibutuhkan di waktu dan tempat yang tepat.

Dari pengalaman tersebut, terdapat beberapa pelajaran penting yang bersifat menyeluruh. Salah satunya adalah bahwa inisiatif yang baik harus diperluas skala dan keberlanjutannya, tanpa harus selalu memulai dari awal (no need to reinvent the wheel). Kita juga belajar bagaimana mekanisme pengadaan dapat dimanfaatkan secara strategis, tidak hanya untuk mendapatkan produk, tetapi juga untuk memberikan insentif kepada perusahaan agar tetap berinovasi dan berkomitmen dalam mendukung kebutuhan global.

Akhirnya, membangun jejaring kemitraan yang kuat, baik di tingkat nasional, regional, maupun global, menjadi sangat penting untuk menciptakan sistem pengadaan dan distribusi yang tangguh, berkelanjutan, dan responsif terhadap tantangan kesehatan global.

Mr. Santiago Cornejo, Executive Manager, Regional Revolving Funds PAHO and former Director, Country Engagement at COVAX Facility

Setahun setelah pandemi COVID-19 diumumkan secara global, inisiatif COVAX berhasil menyiapkan dosis vaksin untuk negara-negara berpenghasilan rendah (LIC). Ini merupakan capaian besar dan menjadi pelajaran penting yang patut dicatat. Kami merasa cukup beruntung, karena dalam kasus COVID-19, sebagian besar kandidat vaksin yang dikembangkan ternyata berhasil. Namun, pengalaman ini juga mengungkapkan sejumlah tantangan mendasar yang perlu diantisipasi ke depan.

Salah satu tantangan utama adalah pembiayaan. Saat itu, tidak ada mekanisme pembiayaan yang memungkinkan pengambilan risiko, misalnya jika vaksin yang dikembangkan ternyata gagal. Kami tidak memiliki sumber daya terkait dengan ini.

Kendala lain muncul pada aspek sertifikasi dan proses produksi vaksin. Kami tidak memprediksi akan terjadi pembatasan ekspor-impor di saat krusial. Salah satu contoh nyata adalah terhambatnya pengiriman filter yang diperlukan dalam proses produksi vaksin, sehingga formula akhir tidak bisa diselesaikan tepat waktu.

Selain itu, penting untuk menyoroti perlunya mekanisme berbagi risiko (risk sharing) yang kuat dan bertingkat. Dalam hal ini, lapisan regional terbukti sangat penting sebagai titik tumpu respons yang lebih dekat dan fleksibel dibandingkan skema global yang bersifat lebih kompleks.

Dari pengalaman ini, terdapat beberapa elemen kunci yang harus diperhatikan untuk kesiapsiagaan pandemi di masa depan:

  1. Pentingnya membangun kapasitas produksi vaksin di tingkat regional. Meski setiap negara ingin memproduksi vaksin sendiri, pendekatan ini belum tentu berkelanjutan tanpa kolaborasi regional.
  2. Perlu adanya perjanjian pandemi (pandemic agreement) yang menjamin dana publik untuk menanggung risiko pengembangan produk.
  3. Diperlukan instrumen keuangan baru yang menghubungkan antara pengadaan, permintaan, dan investasi jangka panjang.
  4. Harus ada upaya yang konsisten untuk memperkuat layanan imunisasi rutin, karena infrastruktur yang kuat akan meningkatkan kemampuan sistem kesehatan dalam merespons pandemi secara cepat dan terstruktur.

Mr. Jesper Pedersen, Director, Procurement, Portfolio and Financial Management Department (PPFD), ADB

Dalam menghadapi pandemi, terdapat sejumlah hal yang dinilai berhasil dan menjadi pembelajaran penting, khususnya terkait peran Asian Development Bank (ADB). Salah satu keberhasilan utama adalah kemitraan yang kuat, terutama dalam membangun pengetahuan bersama antara berbagai pihak. Selain itu, kebijakan pengadaan ADB yang fleksibel dan tangguh juga menjadi kekuatan tersendiri. Dari sisi kebijakan, ADB mampu menyusun proses yang cepat, adaptif, dan memungkinkan persetujuan dalam waktu singkat, bahkan dalam urusan operasional harian.

Namun demikian, terdapat pula berbagai tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah keterbatasan dalam klausul kontrak, yang sebenarnya tidak terkait langsung dengan mekanisme pengadaannya. Tantangan lainnya adalah persyaratan administratif dan kebijakan antikorupsi, yang sering kali menjadi pertanyaan dari mitra dan pemasok—mengapa ADB memerlukan hal-hal tertentu dalam kontrak. Hal ini dapat memperlambat proses pengadaan, meskipun dilakukan demi akuntabilitas.

Pemahaman tentang siapa saja pelaku pasar juga sangat penting. ADB sebagai lembaga pembiayaan memiliki struktur yang berbeda dengan negara, sehingga perlu berinteraksi langsung dengan sektor swasta untuk menjembatani ekspektasi dan proses yang berbeda. Di sisi swasta sendiri, terdapat tantangan berupa kurangnya transparansi, terutama karena di beberapa wilayah seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, kontrak-kontrak pengadaan sering disertai dengan Non-Disclosure Agreement (NDA) yang merupakan praktik umum di pasar, namun membuat isi perjanjiannya tidak dapat diakses oleh publik. Hal ini dapat menciptakan kesenjangan informasi dan menyulitkan proses koordinasi yang adil dan terbuka.

Pengalaman ini menunjukkan bahwa pengadaan kolaboratif (collaborative procurement) sangat penting untuk dibangun. Tidak hanya untuk merespons krisis, tetapi juga sebagai investasi dalam kapasitas regional yang berkelanjutan, yang bisa digunakan untuk menghadapi tantangan kesehatan lainnya di masa depan.

Reporter:
Dr. Lutfan Lazuardi (FK-KMK UGM)


Session 4

Bridging Financing Gaps for Pandemic Preparedness

Moderator: Mr. Dinesh Arora, ADB
Pembicara: Dr. Kalipso Chalkidou (WHO), Dr. Eduardo P. Banzon (ADB), Ms. Patricia Rhee (ADB), Dr. Ruchir Agarwal (Global Talent Lab)

Sesi ini mengeksplorasi pendekatan inovatif dalam menjembatani kekosongan pendanaan untuk kesiapsiagaan pandemi. Dr. Kalipso Chalkidou menekankan pentingnya pendekatan pembiayaan yang berbasis bukti dan efisiensi biaya untuk kesiapsiagaan pandemi. Kalipso mendorong investasi yang memberikan manfaat ganda (co-benefits), dengan mengintegrasikan kesiapsiagaan pandemi dan pencapaian cakupan kesehatan semesta (UHC) secara bertahap. Menurutnya, negara-negara perlu meningkatkan belanja kesehatan secara signifikan dan memanfaatkan pembiayaan konsesional. Namun, ia juga mengingatkan bahwa uang saja tidak cukup, namun sistem dan mekanisme pendukungnya juga harus berfungsi dengan baik agar pembiayaan dapat memberikan dampak nyata.

Sementara itu, Dr. Ruchir Agarwal menekankan pentingnya mobilisasi talenta global untuk mempercepat kesiapsiagaan sistem kesehatan. Agarwal mengulas dampak ekonomi jangka panjang (economic scars) akibat pandemi yang sebagian besar disebabkan oleh model pembiayaan berbasis negara per negara, dimana setiap pemerintah harus mengamankan dana dan pasokan secara mandiri. Pihaknya menekankan bahwa mengakhiri pandemi secepat mungkin adalah global public good yang membutuhkan pendekatan kolektif. Agarwal mengusulkan empat hal utama: (1) alokasi pembiayaan PPR perlu lebih difokuskan pada aspek pencegahan; (2) pentingnya pendanaan yang dapat diaktifkan sejak hari pertama pandemi (day zero financing); (3) investasi di bidang R&D memiliki potensi imbal hasil yang sangat tinggi; dan (4) perlunya membedakan antara tujuan pembangunan dan tujuan keamanan global dalam merancang strategi pembiayaan.

Dr. Eduardo Banzon membagikan pendekatan ADB dalam memajukan cakupan kesehatan semesta (UHC) sekaligus merespons ancaman kesehatan global. Banzon menyoroti masih lemahnya koordinasi antar sistem surveilans, minimnya kerja sama antarnegara, serta belum adanya mekanisme pengadaan global yang efektif. Meskipun surveilans adalah barang publik global (global good), tidak semua negara bersedia berinvestasi di dalamnya. Pembicara menggarisbawahi beberapa pelajaran penting dari pandemi: (1) pelacakan kontak yang kini berbasis elektronik perlu dipikirkan keberlanjutannya; (2) perlu ada skema pembiayaan jangka panjang untuk komunikasi kesehatan; (3) telemedicine sangat potensial, namun perlu kejelasan mekanisme pembayarannya; dan (4) dana darurat kesehatan masyarakat sebaiknya dibentuk agar dapat segera digunakan, berbeda dengan pengalaman saat COVID-19 dimana banyak dana tersendat atau sulit diakses dengan cepat.

Patricia Rhee menjelaskan aspek hukum dan kontraktual yang perlu dipertimbangkan dalam pembiayaan lintas negara, khususnya dalam pengadaan vaksin. ADB menggunakan kriteria tertentu untuk memastikan bahwa vaksin yang didanai telah memenuhi standar internasional, termasuk efektivitas, keamanan, dan rencana manufakturnya. Ia menekankan beberapa pelajaran penting dan agenda ke depan: (1) mempermudah jalur persetujuan regulatori di kawasan Asia Pasifik (mengacu pada standar WHO dan WLAs Level 3 dan 4), (2) memperkuat kapasitas produksi vaksin di kawasan Asia Pasifik, serta (3) mempercepat komitmen dalam skema at-risk procurement untuk mempercepat akses saat darurat kesehatan terjadi.

Reporter:
dr Ichlasul Amalia (FK-KMK UGM)


Closing Session

High-level Roundtable Discussion on Ways Forward

Moderator: Mr. Scott Morris, Vice-President (East and Southeast Asia, and the Pacific), ADB
H.E. Aminath Shirna, Minister of State for Health, Maldives

Pasokan medis selama krisis menjadi tantangan besar, terutama bagi negara-negara kepulauan kecil dengan wilayah yang tersebar, seperti negara kami yang memiliki lebih dari 100 pulau berpenghuni dan sangat bergantung pada impor alat dan barang medis. Dalam kondisi darurat, situasi ini membuat kami sangat rentan, karena akses terhadap pasokan medis sering datang terlambat, saat kebutuhan sudah sangat mendesak.

Aminath mewakili Kementerian Kesehatan Maldives percaya bahwa mekanisme multilateral yang ada saat ini perlu diperbaiki dan diubah menjadi lebih adil dan tangguh. Untuk mendukung negara-negara seperti kami, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan:

  1. Sistem harus mampu bertindak cepat dan dapat diprediksi, dengan pendanaan yang berbasis indikator risiko, sehingga dapat langsung merespons sebelum krisis memburuk.

  2. Mekanisme yang ada harus cukup fleksibel, karena rantai pasok dan faktor geografis menimbulkan risiko tersendiri bagi negara kepulauan dan wilayah terpencil.

  3. Pendanaan harus berdampak nyata, yakni dalam bentuk akses langsung terhadap obat-obatan, alat kesehatan, peralatan diagnostik, dan dukungan lainnya.

Dalam hal ini, kerja sama regional merupakan bagian penting dari solusi. Maldives membutuhkan mekanisme regional yang memungkinkan dukungan bersama, koordinasi lintas negara, dan berbagi sumber daya secara adil. Oleh karena itu, pembentukan mekanisme pembiayaan khusus bagi negara-negara kecil dan rentan harus menjadi prioritas.

Mekanisme ini harus cepat, fleksibel, dan siap merespons setiap situasi darurat. Aminath juga menegaskan bahwa kesiapsiagaan terhadap pandemi bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga menyangkut keadilan dan kemauan politik untuk memastikan tidak ada negara yang tertinggal dalam menghadapi krisis global di masa depan.

Mr. Farkhodjon Tashpulatov, Deputy Minister of Health, Uzbekistan

Pengalaman Uzbekistan selama pandemi menunjukkan tantangan besar dalam penyediaan vaksin. Pada saat itu, negara hanya mampu memvaksinasi sekitar 20% dari populasi, yang sebagian besar berasal dari kelompok berisiko tinggi. Kondisi ini menjadi pengingat bahwa kesiapsiagaan dan peningkatan kapasitas sistem kesehatan sangat penting, bukan hanya bagi satu negara, melainkan juga untuk semua negara tanpa terkecuali.

Dari pengalaman tersebut, terdapat beberapa poin penting yang perlu menjadi fokus ke depan:

  1. Penguatan infrastruktur laboratorium dalam negeri sangat penting untuk mendukung deteksi dini, pengujian, dan respon cepat terhadap ancaman kesehatan.
  2. Penting untuk membangun sistem keamanan kesehatan regional, yang memungkinkan kerja sama lintas negara dalam menghadapi krisis bersama.
  3. Perlu adanya program kerja sama ekonomi terpusat dan regional, agar sumber daya dapat dialokasikan dan digunakan secara efisien dalam kondisi darurat.
  4. Pengembangan platform digital menjadi krusial untuk mendukung sistem informasi kesehatan, pelacakan data, dan koordinasi logistik.
  5. Dan yang tidak kalah penting, perlu jaminan akses yang adil terhadap pelatihan tenaga kesehatan, vaksin, serta segala bentuk dukungan medis, agar semua negara memiliki kesempatan yang setara dalam melindungi warganya.

Melalui pendekatan kolektif dan solidaritas regional yang kuat, negara-negara seperti Uzbekistan dapat lebih siap dalam menghadapi pandemi berikutnya—dengan sistem yang lebih tangguh, responsif, dan inklusif.

drg. Murti Utami, Deputy Minister and Acting Director General, Ministry of Health, Indonesia

Pengalaman pandemi menunjukkan bahwa sistem kesehatan kita, serta koordinasi regional dan global, masih lemah. Dalam sektor kesehatan, waktu berarti nyawa—semakin cepat kita bertindak, semakin banyak nyawa yang dapat diselamatkan. Indonesia meluncurkan kampanye imunisasi massal dalam waktu singkat, hanya 18 bulan setelah upaya pengembangan vaksin dimulai, dan berhasil mencapai lebih dari 2 juta suntikan per hari. Namun, pencapaian ini tidak lepas dari berbagai tantangan besar. Salah satu tantangan utama adalah keraguan dari berbagai pihak tentang kemampuan negara berkembang untuk membayar. Saat kami mendekati sejumlah perusahaan, ada pandangan skeptis dan pendekatan yang berorientasi pada keuntungan. Padahal, Indonesia menunjukkan komitmennya: kami siap membayar, kami menjalin kerja sama dengan GAVI, dan akhirnya berhasil mengamankan 1 juta dosis vaksin.

Pengalaman ini menunjukkan dua masalah kritis:

  1. Negara-negara miskin tidak memiliki kapasitas yang memadai—tanpa uang, mereka tidak bisa mendapatkan vaksin, dan prosesnya bisa tertunda hingga 6–12 bulan.
  2. Produksi vaksin berlangsung terlalu lambat, padahal pandemi menuntut respons yang cepat. Saat memegang kepemimpinan G20, Indonesia ikut mendorong pembentukan Pandemic Fund sebagai solusi jangka panjang, namun tetap dibutuhkan tindakan cepat dan pengambilan keputusan yang gesit.

Kesenjangan pembiayaan masih menjadi tantangan besar. Di sinilah peran strategis bank pembangunan multilateral seperti ADB menjadi sangat penting. Oleh karena itu, kami mengusulkan beberapa langkah konkret:

  1. ADB dan negara-negara anggotanya perlu menyepakati jalur pembiayaan yang jelas untuk respon krisis kesehatan.
  2. Pendekatan blended financing harus diperluas, menggabungkan sumber pendanaan publik dan swasta.
  3. Negara berpendapatan tinggi perlu mulai membangun mekanisme pembiayaan mandiri.
  4. Perlu mengeksplorasi inovasi pembiayaan untuk menarik lebih banyak modal dari sektor swasta.
  5. Memperkuat platform riset dan kapasitas produksi lokal menjadi prioritas agar ketergantungan pada pasokan global bisa dikurangi.
  6. Terakhir, akses terhadap pembiayaan dalam situasi krisis harus disederhanakan, agar negara dapat bertindak cepat tanpa terhambat birokrasi.

Ms. Ayako Inagaki, Senior Sector Director, Health and Social Development Sector Group, Sector Department 3, ADB

Dalam berbagai diskusi yang berkembang, muncul banyak gagasan mengenai pentingnya kemitraan dalam memperkuat ketahanan sistem kesehatan. Dari berbagai usulan tersebut, intervensi dapat dikelompokkan ke dalam empat area utama:

  1. Dukungan keuangan yang cepat dan fleksibel selama kondisi darurat.
Intervensi di tingkat nasional dan subnasional perlu diperkuat, dimulai dari sistem kesehatan yang terstruktur dan berfungsi dengan baik, termasuk sumber daya manusia kesehatan (SDMK), laboratorium, akses terhadap logistik dan alat medis di tingkat layanan primer. Selain itu, keterlibatan masyarakat juga menjadi kunci keberhasilan respons kesehatan.
  2. Aliansi regional untuk penguatan kapasitas manufaktur.
 Diperlukan upaya membangun kerja sama regional untuk mendukung harmonisasi sistem regulasi, peningkatan kapasitas produksi lokal, serta berbagi data guna mendukung riset dan pengembangan.
  3. Mekanisme pembiayaan yang fleksibel dan cepat dari ADB.
Semakin banyak negara yang memiliki sistem regulasi dan kesiapsiagaan yang memadai, semakin siap pula ADB dalam memberikan dukungan pembiayaan yang cepat dan responsif terhadap kebutuhan negara anggota.
  4. Kepemimpinan, pembiayaan berkelanjutan, dan komitmen politik jangka panjang.
Keberhasilan tidak akan tercapai tanpa komitmen politik yang kuat dan berkelanjutan. Dalam hal ini, ADB bekerja sama dengan kementerian dan lembaga nasional melalui dialog tingkat tinggi untuk memastikan kepemimpinan yang visioner dan dukungan kebijakan yang konsisten.

Reporter:
Dr Lutfan Lazuardi (FK-KMK UGM)

 

 

 

 

 

Pertemuan Ilmiah mendatang

Perencanaan Kesehatan di Indonesia

Laman ini diperuntukkan untuk menyebarkan pengetahuan
dan ketrampilan perencanaan kesehatan di pusat, propinsi dan kabupaten / kota

Pertemuan Ilmiah mendatang

  1. Webinar-webinar
  2. Kursus-kursus
  3. .

Pertemuan Ilmiah yang sudah berjalan

Perencanaan Kesehatan di Indonesia

Laman ini diperuntukkan untuk menyebarkan pengetahuan
dan ketrampilan perencanaan kesehatan di pusat, propinsi dan kabupaten / kota

Pertemuan Ilmiah yang sudah berjalan

Seri Webinar Renstra