25% Orang Dewasa di Indonesia Menderita Hipertensi
Menurut Riskedas 2013 lebih dari 25% orang Indonesia yang berusia di atas 18 tahun menderita penyakit darah tinggi (hipertensi). Namun, yang mengkhawatirkan, dari jumlah tersebut, yang menyadari menderita hipertensi (melalui diagnosis tenaga kesehatan dan/atau meminum obat) tidak sampai 10%.
"Pada dasarnya gejala hipertensi bervariasi, di antaranya pusing, leher atau pundaknya pegal, demam, dan sebagainya. Namun, banyak juga yang tidak ada gejala khas. Dengan begitu, diperlukannya perilaku CERDIK, yakni: Cek kesehatan secara rutin, Enyahkan asap rokok dan polusi udara lainnya, Rajin aktivitas fisik, Diet sehat dengan kalori seimbang, Istirahat cukup, dan Kelola stres," ujar Dr Ekowati Rahajeng, Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemkes RI pada Temu Media dan Workshop Pengendalian Hipertensi di Jakarta, Rabu (8/1).
Dr Ekowati menambahkan, perilaku CERDIK tersebut perlu ditingkatkan dan digencarkan, terutama sosialisasi ke daerah-daerah sub urban.
"Dari tahun 2007 sampai 2013 perbandingan penderita hipertensi antara yang tinggal di daerah perkotaan dan pedesaan cukup tinggi. Tidak diduga bahwa warga desa atau kota kecil lebih banyak yang menderita hipertensi dibandingkan yang tinggal di kota besar," lanjut Dr Ekowati.
Menurut Riskesdas 2007 penduduk desa secara umum yang menderita hipertensi sebesar 32,2%, sedangkan yang di perkotaan 14,1%. Untuk data tahun 2013 yang masih belum bisa dipublikasikan, memiliki perbandingan yang tidak jauh berbeda.
"Mie instan dan makanan-makanan berpengawet lain sudah banyak tersedia di desa-desa. Perubahan gaya hidup itulah yang diduga menjadi faktor utama penyebab hipertensi bagi penduduk desa," imbuh Dr Ekowati.
Menurutnya, orang suka salah mengartikan seperti, makanan yang bersantan dan berlemak tinggi menjadi faktor utama penyebab hipertensi. Padahal, kalori yang dikonsumsi secara berlebihanlah yang mejadi pemicu.
"Tidak ada makanan tertentu yang menjadi penyebab hipertensi. Semua itu bila dikonsumsi berlebihan tentu akan berisiko," tandasnya.
Dengan begitu, Kemkes, PT Novartis Indonesia dan Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia (PKEKK UI) bekerjasama untuk menjalankan program intervensi kesehatan masyarakat ke beberapa puskesmas di daerah sub urban, yakni kabupaten Bogor.
"Kita pasti akan meningkatkan kegiatan preventif ke desa-desa, salah satunya melalui program ini. Karena terbukt terjadinya peningkatan kesadaran di masyarakat mengenai hipertensi setelah dilakukannya intervensi," kata Dr. Ekowati.
Dikatakannya bahwa peningkatan kesadaran jadi lebih baik dari masyarakat, yaitu mencapai 76%, sebelum dilakukan intervensi angkanya sekitar 65%.
Di dalam program tersebut akan dilakukan berbagai workshop dan kegiatan seperti permainan untuk menambah wawasan dan kepedulian masyarakat terhadap penyakit yang sering disebut silent killer ini.
sumber: www.beritasatu.com