Reportase Webinar Seri 1: Pembiayaan Kesehatan di Indonesia (USAID HFA): Pasca Putusan MA, Akankah JKN Sustain?

Reportase Webinar Seri 1: Pembiayaan Kesehatan di Indonesia (USAID HFA): Pasca Putusan MA, Akankah JKN Sustain?

USAID melalui Health Financing Activity (HFA) mengadakan serial webinar mengenai program Young Health Economist (YHE) pada 27 Maret 2020. Program ini didukung oleh Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK FK – KMK UGM) dengan menggandeng  Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI). Seri pembuka webinar ini mengusung tema “Pasca Putusan MA , Akankah JKN Sustain?” Kegiatan yang dilakukan melalui telkonferens ini mengundang pemateri yakni Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH (USAID Health Financing Activity) dan dr. Kalsum Komaryani, MPPM (Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes). Selain itu, program awal webinar YHE tersebut dimoderatori oleh Ryan Rachmad Nugraha (USAID HFA). Peserta kegiatan ini terdiri dari pemerhati kebijakan kesehatan dari Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI), DJSN, USAID, mahasiswa hingga jurnalis.

Sebagai pembuka, Prof Hasbullah menyampaikan jika serial webinar ini diharapan bisa berjalan secara berkala khususnya untuk generasi muda yang memiliki perhatian dalam bidang pembiayaan kesehatan. Proyek ini merupakan kegiatan bersama antara USAID melalui HFA dan Kementerian Kesehatan, khususnya PPJK. Pemateri pertama menyampaikan gambaran kegiatan USAID HFA yang inti utamanya adalah sebagai peningkatan kapasitas tentang health financing bagi pemerhati kebijakan dan pembiayaan kesehatan, khususnya generasi muda. ProyekHFA merupakan kegiatan bersama oleh beberapa institusi yang diantaranya PKEK UI, PKMK UGM, R4D, dan USAID

Prof Hasbullah menjelaskan tentang JKN pasca putusan MA. Pada sesi awal, Prof Hasbullah menekankan jika paparan ini merupakan pandangan pribadi mengenai isu yang berkembang pasca keputusan MA mengenai JKN, khususnya iuran. Isu tentang putusan MA berpengaruh pada kelangsungan program JKN ini penting untuk dipahami bersama oleh berbagai pihak khususnya yang memiliki concern pada bidang atau isu pembiayaan dan kebijakan kesehatan. Proyek ini bertujuan untuk menyajikan berbagai evidence yang diharapkan meningkatkan belanja kesehatan Pemerintah. HFA juga diharapkan dapat mengevaluasi kebijakan terkait revenue collection, pooling, alokasi anggaran kesehatan, cost sharing hingga pembayaran pada fasilitas kesehatan.

Chief of Party HFA USAID ini berpendapat, masalah yang dihadapi keberlanjutan JKN saat ini yakni: moral hazard dan fraud pada fasilitas kesehatan; moral hazard dan fraud pada PBPU; dan belum maksimalnya tata kelola JKN. Ketiga permasalahan tersebut merupakan kendala namun belum masuk ke dalam kategori masalah utama JKN saat ini. Isu mengenai manfaat JKN yang terlalu luas, kapasitas fiskal yang rendah dan kesalahan desain JKN perlu ditinjau kembali. Di lain sisi, masalah utama JKN yang hangat saat ini adalah penetapan dan perubahan iuran tidak sesuai dengan konsep dasar dan cita – cita pada program JKN.

Dalam upaya sustainibilitas, menurut Hasbullah Thabraniy, syarat jika JKN sustain yakni dapat ditinjau berdasarkan aspek pendapatan dan belanja. Dari sisi pendapatan, revenue harus secara otomatis berjalan dan tidak perlu upaya yang rumit (misalnya tiap bulan meminta persetujuan ke DPR). Selain itu, tata kelola dari revenue ini harus baik, bersih dan transparan. Di lain sisi, dalam aspek belanja, layanan kesehatan harus dibayar sesuai dengan harga keekonomiannya. Dukungan lain yang perlu diperhatikan dalam keberlanjutan JKN ini adalah akurasi klaim harus tinggi dan sistem pembayaran atau belanja yang strategis. Dua aspek tersebut dinilai sebagai kunci utama dalam keberlanjutan sistem JKN. Salah satu tantangan terbesar JKN saat ini adalah program yang terbajak dengan kepentingan politis dan populis.

Dibandingkan dengan negara – negara lain, belanja kesehatan publik Indonesia terhadap PDB tergolong rendah dan jauh tertinggal. Sebagai gambaran, ahli ekonomi kesehatan ini juga menjelaskan, per 2016, persentase belanja kesehatan Indonesia berdasarkan PDB lebih rendah dibandingkan dengan Timor Leste, Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Ini dapat dijadikan gambaran bagaimana total anggaran kesehatan Indonesia ( bersumber BPJS K, APBN dan APBD) masih sangat kurang ( sekitar < 2 %). Peristiwa COVID-19 di Indonesia saat ini merupakan peluang yang besar kepada berbagai pemangku kepentingan bahwa pendanaan bagi layanan kesehatan perlu selalu ditingkatkan.

Terkait putusan MA mengenai pembatalan iuran JKN, Hasbullah Thabrany menilai keputusan ini dapat dipengaruhi oleh tekanan politik dan bukan merujuk pada fakta hingga data. Keputusan Mahkamah Agung ini dinilai sebagai preseden buruk dan berbahaya bagi kelangsungan JKN. Di lain sisi, tekanan DPR dan tokoh tertentu dinilai sangat tinggi dalam menggaungkan isu untuk tidak menaikkan iuran JKN. Ini merupakan beberapa isu yang dapat mengancam kelangsungan dan cita – cita dari kebijakan JKN yang telah dikenalkan sejak  2014. Terkait potensi solusi, Prof Hasbullah menambahkan iuran boleh tidak naik namun jumlah revenue JKN ke BPJS Kesehatan perlu ditingkatkan. Selain itu, pemerintah dapat membayar selisih iuran PBPU dari putusan MA dengan besaran jumlah iuran sebelumnya. Solusi lain yang dapat menjadi pilihan pemerintah adalah dengan menggunakan anggaran subsidi dari program lain pada  anggaran 2020 untuk digunakan sebagai dana hibah ke BPJS Kesehatan.

Pada sesi berikutnya, dr. Kalsum Komaryani yang merupakan Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan (PPJK) Kemenkes RI memaparkan tentang National Health Account (NHA). NHA adalah gambaran belanja kesehatan disebuah negara yang menggambarkan semua komponen belanja kesehatan baik dari sisi publik maupun non publik. Sebagai gambaran, data NHA Indonesia 2018 mendeskripsikan total belanja kesehatan Indonesia berada pada angka 455,5 Triliun Rupiah dengan proporsi total belanja kesehatan terhadap PDB sebesar 3,1% (masih rendah). Sedangkan proporsi pembiayaan dari kantong rumah tangga atau OOP masih sangat tinggi dibandingkan proporsi jumlah belanja kesehatan bersumber swasta, BPJS Kesehatan dan Pemda. dr. Kalsum Komaryani juga memaparkan jika total belanja kesehatan Indonesia pada 2010 – 2018 cenderung meningkat.

Selain itu, kepala PPJK juga menekankan jika implementasi program JKN telah sangat mempengaruhi peningkatan belanja publik dan menurunkan angka belanja dari rumah tangga (Out Of Pocket). Untuk sektor fasilitas kesehatan, belanja kesehatan program JKN masih besar kontribusinya untuk pembiayaan FKRTL. Pembiayaan belanja kesehatan pada penyakit katastropik masih tinggi. Untuk itu, dr. Kalsum Komaryani menjelaskan bahwa penguatan belanja pada program promotif preventif perlu dikuatkan untuk mengurangi pembiayaan penyakit kronis hingga katastropik dimasa depan yang memberatkan neraca belanja kesehatan.

Berikutnya, program ini dilanjutkan dengan sesi diskusi. Pada sesi ini, pembicara dan peserta banyak berdiskusi terkait pengaruh politik dalam keberlangsungan JKN. Pembicara memberikan opsi bahwa peningkatan aktivitas di media masa perlu dilakukan sehingga pemberian informasi dapat dilakukan ke masyarakat dan memberikan gambaran solutif ke pemangku kepentingan. Prof. Hasbullah menekankan tentang peran komplementer bagi keberlanjutan dan kesuksesan JKN di daerah. Peran komplementer diartikan sebagai upaya bagi pemerintah daerah dalam pemenuhan kebutuhan fasilitas kesehatan, pembiayaan, hingga peningkatan utilisasi faskes bagi maysarakatnya.

Peran komplementer oleh pemerintah atau swasta (Corporate Social Responsibility) perlu ditingkatkan, khususnya bagi wilayah yang supply nya masih minim atau kurangnya utilisasi dikarenakan kondisi geografis. Pembicara juga menekankan peran komplementer merupakan wujud tanggung jawab Pemda dalam pemenuhan JKN bagi masyarakatnya. Pemenuhan fasilitas di daerah ini juga dapat melibatkan kerjasama antara pemerintah daerah dan swasta yang juga berada di daerah. Dengan ini, program JKN dari aspek ekuitas dapat tercapai dengan baik.

Terkait adanya isu redefinisi benefit JKN, Prof Hasbullah berpendapat jika isu pembatasan layanan kesehatan itu justru dapat melanggar Undang – Undang Dasar yang akan memperberat rakyat dan akan menambah porsi OOP. Jika ada revisi definisi benefit, program tersebut diharapkan tidak mengurangi jenis layanan yang bersifat kebutuhan dasar medis. Pilihan yang lebih cost-effective tanpa menghilangkan kebutuhan dasar medis perlu selalu ditekankan. dr. Komaryani juga menambahkan bahwa pelayanan program berbasis kualitas yang maksimum akan selalu menjadi concern utama.

Materi Presentasi Prof. Hasbullah dapat diklikDISINI dan Materi Presentasi dr. Kalsum komaryani dapat diklik DISINI

Notulen : Nopryan Ekadinata (PKMK FK – KMK UGM)

Share this post