Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK UGM

POLICY BRIEF: Juli 2011
Revisi PP 38/2007:  Pemantapan Desentralisasi di sektor kesehatan

Kebijakan yang diamati pelaksanaannya: UU 32 tahun 2004 dan PP 38/2007

  1. Desentralisasi kesehatan yang dipicu oleh UU di tahun 1999 yang diamandemen oleh UU 32/2004 pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan peran pemerintah daerah dalam pembangunan kesehatan sehingga mutu layanan kesehatan serta status kesehatan masyarakat meningkat. Dengan demikian desentralisasi kesehatan telah berlangsung lebih dari 10 tahun, namun ternyata banyak kendala ditemui dalam pelaksanaannya, termasuk PP 38 tahun 2007.
  2. Indikator-indikator kesehatan masyarakat sejak desentralisasi tidak berubah banyak. Angka kematian ibu di tahun 2000 adalah 307/100.000 kelahiran, sedangkan di tahun 2009 masih sekitar 228/100.000 kelahiran. Demikian juga angka kematian bayi, hanya  turun dari 37/1000 kelahiran  menjadi sekitar 26,9/1000 selama 9 tahun kemudian. DI propinsi-propinsi Indonesia timur angka kematian bayi justru memburuk.
  3. Dalam pelaksanaan desentralisasi pembiayaan, penyaluran dana dari pemerintah pusat masih kurang sesuai dengan UU desentralisasi. Dalam UU 33/2004 ditegaskan bahwa dana dekonsentrasi dan Tugas pembantuan seharusnya secara bertahap diubah ke DAK (masuk sebagai APBD). Kenyataan Tugas Pembantuan terus membesar, termasuk adanya dana BOK. Dalam situasi dana APBN yang semakin membesar, terlihat kesibukan luar biasa pejabat pemerintah pusat, sementara peran propinsi dan kabupaten semakin mempunyai risiko terabaikan. Disisi lain APBD untuk kesehatan di sebagian besar daerah masih belum meningkat kecuali untuk jaminan kesehatan.
  4. Problem mengelola dana pemerintah pusat yang sampai ke daerah (misal Puskesmas) menjadi salahsatu sumber terjadinya disclaimer Kementerian Kesehatan. Persoalan ini  menjadi isu penting disaat ada tekanan untuk meningkatkan anggaran Kementerian Kesehatan mendekati 5% APBN. Dalam konteks ini, berbagai kebijakan pusat yang baik seperti BOK dan Jampersal dapat berkurang efektifitasnya karena masalah yang terkait dengan desentralisasi.
  5. Dengan adanya dana Tugas Pembantuan untuk pembelian alat, dilaporkan terjadi berbagai ketidak-cocokan pembelian. Banyak alat menumpuk karena sebenarnya tidak dibutuhkan. Ada daerah mengeluh bahwa “yang dibutuhkan tidak diberi, yang dibutuhkan malah tidak diberikan”
  6. Penyebaran tenaga kesehatan juga tetap masalah. Dokter spesialis masih tetap memilih praktek dan tinggal di kota-kota besar di Jawa daripada di bagian timur Indonesia walaupun bupati/walikota sudah menyediakan dana insentif tambahan.
  7. Para kepala daerah menjadi lebih berkuasa dalam memilih pejabat kesehatan di daerah. Salah satu contoh semakin berkuasanya kepala daerah adalah adanya intervensi politik kepala daerah untuk pengisian jabatan tenaga struktural. Gubernur, bupati/walikota, tanpa melihat kompetensi, semakin mudah menempatkan pendukungnya untuk menjadi kepala dinas kesehatan atau direktur rumah sakit dan mengabaikan mereka yang tidak mendukung ketika pilihan kepala daerah. Permenkes no 971/2009 mengenai kompetensi tenaga struktural kesehatan belum diperhatikan.
  8. Penanganan bencana dan Kejadian luar biasa (KLB) antar daerah. Bencana maupun KLB tidak mengenal batas geografis. Akibatnya sering terjadi kebutuhan obat-obatan dan peralatan yang mendesak harus diadakan terhambat birokrasi karena harus meminta persetujuan di ibu kota propinsi yang letaknya lebih jauh dari kabupaten tetangga yang kebetulan ada di propinsi lain.
  9. Pengaturan jaminan kesehatan daerah. Dalam lampiran PP 38/2007 dijamin peran daerah dalam pengelolaan maupun penyelenggaraan jaminan kesehatan. Dalam pengelolaam jaminan kesehatan daerah terdapat banyak variasi paket manfaat jaminan kesehatan.
  10. Perhatian pimpinan Kementerian Kesehatan terhadap desentralisasi masih kurang. Ada berbagai kebijakan yang diharapkan lebih mengacu pada peraturan pemerintah dalam kebijakan desentralisasi.

Beberapa Kelemahan PP 38/2007

  1. Selama 10 tahun terakhir, memang nampak bahwa PP 38/2007 yang mengatur pembagian wewenang pusat dan daerah, kurang memberi dampak pada status kesehatan.
  2. Pembagian urusan pemerintah pusat dan daerah kurang jelas terjabarkan sehingga diinterpretasikan secara variatif oleh pusat dan daerah. Misalnya karena tidak dijelaskan apa arti “pengelolaan” dan “penyelenggaraan”, terjadi berbagai kebingungan di pusat dan daerah.
  3. Dalam konteks pembagian peran dan anggaran yang menyertainya, ada propinsi yang masih belum merasa mempunyai peran yang cukup sehingga masih kurang diberdayakan oleh pemerintah pusat dalam melakukan koordinasi antar kabupaten. PP 38/2007 dirasa masih kurang memberi peran pada pemerintah propinsi.
  4. Kota atau kabupaten di daerah yang kapasitas fiskalnya rendah masih merasa kurang diperhatikan sehingga masih kesulitan merekrut sumber daya kesehatan strategis. Sebaliknya daerah yang kapasitas fiskalnya tinggi tidak sanggup membatasi tenaga kesehatan tertentu yang sudah terlalu banyak.
  5. Secara umum, PP 38/2007 (terutama lampirannya mengenai bidang kesehatan) kurang rinci dan kurang spesifik. Dalam lampirannya, tidak banyak disebut perlunya  penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK). Hal ini yang mendorong banyak daerah menetapkan NSPK sesuai kemampuan mereka sendiri yang ternyata kurang sesuai dengan yang seharusnya.  Dalam hal NSPK ini, kesiapan pemerintah pusat (Kementerian Kesehatan) masih kurang baik.
  6. Namun ada juga yang merasakan manfaat desentralisasi kesehatan, terutama yang berada di daerah yang mempunyai kemampuan fiskal tinggi pasca desentralisasi yaitu daerah-daerah seperti Riau dan Kalimantan Timur. Bagi daerah-daerah ini kebijakan desentralisasi banyak manfaatnya dan hanya perlu diperbaiki mekanismenya.

Terdapat beberapa kebutuhan yang dibahas dalam pertemuan Revisi PP 38/2007 di Yogyakarta antara lain:

  1. Pemerintah propinsi dan kabupaten perlu untuk lebih diberdayakan, termasuk penganggaran untuk pembinaan dan pengawasan kegiatan anggaran pusat yang sampai di daerah.
  2. Fungsi pembinaan sarana kesehatan. Perlu ada pemberdayaan dinas kesehatan kabupaten untuk pengawasan rumahsakit, termasuk rumahsakit pusat.
  3. Perlu dibahas lebih lanjut apakah daerah dapat membina fasilitas kesehatan yang “pemilik”nya adalah pemerintah di tingkat lebih atas.
  4. Perekrutan dan pelatihan tenaga strategis. Perlu ada kejelasan peran perekrutan di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kota karena selama ini banyak daerah masih tetap kekurangan tenaga kesehatan strategis karena ada kuota dari pusat.
  5. Fungsi akreditasi. Dalam lampiran PP 38/2007 memang disebutkan peran akreditasi mulai dari tingkat nasional maupun tingkat kabupaten/kota. Perlu dibahas apakah akreditasi merupakan urusan wajib pemerintah atau lebih baik diserahkan ke badan independen.

Penutup: Rekomendasi kebijakan untuk revisi PP 38/2007

Desentralisasi politik telah menjadi pilihan rakyat Indonesia dan untuk kembali ke era sentralisasi merupakan pilihan kebijakan yang sulit untuk dilaksanakan.

Desentralisasi di sektor kesehatan perlu dicermati.  Memang masih terdapat ketidaksempurnaan di sana sini. Diharapkan ada usaha memantapkan pelaksanaan desentralisasi di sektor kesehatan melalui kebijakan revisi PP 38/2007 yang lebih komprehensif dan akomodatif terhadap kepentingan daerah, tanpa mengorbankan kepentingan nasional.

Rekomendasi untuk Kementerian Kesehatan:

  1. Memantapkan kepemimpinan di pusat agar lebih memahami makna dan pentingnnya desentralisasi di sektor kesehatan. Setiap direktorat jendral dan pusat diharapkan aktif mengkaji desentralisasi kesehatan agar ketidak pahaman terhadap makna dan pentingnya desentralisasi kesehatan di kementerian kesehatan menjadi berkurang.
  2. Memperkuat pelaksanaan desentralisasi di sektor kesehatan dengan melakukan kajian ulang terhadap program-program pusat yang perlu diperkuat dan program-program pusat yang dinilai bertentangan dengan UU desentralisasi di sektor kesehatan.
  3. Mempercepat penyusunan berbagai NSPK yang akan menjadi pedoman daerah. Perlu ada tim khusus di pusat dan berbagai tenaga ahli yang relevan untuk menyelesaikannya.
  4. Memperkuat kepemimpinan kesehatan di daerah dengan berbagai dukungan dan aturan nasional agar kompetensi terjaga baik.


Penyusun policy brief:
Laksono Trisnantoro

Sigit Ryarto