Beberapa hal ini merupakan masalah kebijakan di balik kasus 3 - Minat KIA

  1. Kasus ini merupakan sebuah contoh Kebijakan Pendidikan Kedokteran yang mempunyai pertentangan antar stakeholder sejak mulai dari Penyusunan Agenda sampai ke pasca pengesahan UU.
  2. RUU Pendidikan Kedokteran merupakan inisiatif DPR. Dalam prosesnya terlihat sikap dan koordinasi berbagai lembaga pemerintah yang belum baik dalam menyusun UU.
  3. Kasus ini menunjukkan adanya taktik dan strategi kelompok interest yang tidak tepat, yang terkait erat dengan aspek kekuasaan dalam menentukan kebijakan

 

Comments  

# Abi Wahab 2016-10-25 07:27
Kepada para mahasiswa/i minat KIA-KR, silakan berdiskusi tentang masalah kebijakan kesehatan berdasarkan kasus di atas. Prinsip-prinsip kebijakan apa yang muncul dari kasus tersebut? Bagaimana pendapatmu?
Reply
# Monica Dara Delia S 2016-10-25 15:23
Selamat malam,
DPR sebagai badan legislatif yang berfungsi untuk membuat undang-undang sekaligus sebagai wakil rakyat,dalam RUU pendidikan kedokteran berusaha untuk meminimalisir adanya FK yang tidak layak didirikan agar mutu pendidikan kedokteran lebih baik, dan nantinya diharapkan akan mencetak lulusan dokter yang lebih kompeten. Namun, dalam penyusunan RUU pendidikan kedokteran DPR tidak melibatkan organisasi profesi. Menurut saya, DPR memiliki tujuan yang baik namun dalam agenda setting hingga penyusunan UU, DPR memanfaakan fungsi legislasinya secara sewenang-wenang. Fungsi legislasi DPR adalah membuat undang-undang, namun dalam penyusunan undang-undang tsb tidak hanya diperlukan pemikiran dari anggota DPR saja, tetapi juga diperlukan dari kelompok lain yang memiliki peran dalam UU tsb.
Kelompok yang berperan sebagai kelompok interest salah satunya adalah IDI. Interest group berbeda tergantung perlakuan pemerintah terhadap mereka. IDI merupakan kelompok outsider group bagi pemerintah. Strategi yang dipakai IDI adalah strategi outsider yaitu dengan melakukan protes, demonstrasi, dan walk-out. Namun hal tersebut tidak berpengaruh terhadap keputusan pemerintah. Strategi outsider yang dilakukan IDI tidak tepat, namun sebaliknya jika IDI melakukan strategi insider maka kemungkinan besar IDI akan dianggap sebagai kelompok insider oleh pemerintah, maka pengaruh IDI akan cenderung lebih kuat.
Reply
# emi badaryati 2016-10-26 03:15
Memang benar mb monic, biar bagaimanapun peran IDI sangat kuat dalam perumusan kebijakan RUU Pendidikan Kedokteran karena mereka yang tahu langsung kondisi profesi mereka. Tetapi sepertinya pemerintah ingin menggunakan "kekuasaan" mereka dalam pengambilan keputusan, dimana kebijakan diambil atas inisiatif pemerintah dan walaupun IDI walk out dari perumusan kebijakan tersebut, proses perumusan tetap berjalan. Mungkin pemerintah mengganggap permasalahan pendidikan kedokteran adalah hal yang sangat urgen dan vital, karena pelayanan medis (kedokteran) menyangkut keselamatan "nyawa"manusia, jadi harus teliti dalam proses perizinan dan hal hal lain yang terkait dengan pendidikan Kedokteran tersebut, agar outcome dari pendidikan kedokteran benar benar berkualitas. Berbeda dengan kasus sebelumnya dimana pada perumusan kebijakan RUU dikdok ini peran pemerintah yang dominan dalam perumusan dan pembentukan kebijakan, serta sebesarapa besar pengaruh pemerintah dalam perumusan dan pembentukan kebijakan, sedangkan kasus sebelumnya (RUU KTR di DIY) pokok persoalan bisa masuk ke dalam agenda kebijakan melalui proses yang tidak serta merta dikendalikan oleh pemerintah, tetapi perumusan kebijakan tersebut mencakup pertimbangan akan berbagai kepentingan.
Reply
# Nuraliah 2016-10-26 04:17
Selamat siang
Ijin menanggapi untuk kasus di atas, menurut pendapat saya munculnya permasalahan di atas disebebkan oleh beberapa faktor diantaranya :
1.Adanya aktor yang tidak dilibatkan dalam pembuatan kebijakan tersebut yaitu petani tembakau. Sehingga jika kebijakan tersebut diberlakukakn akan merugikan petani itu sendiri yaitu akan kehilangan mata pencaharian. Padahal petani tembakau juga merupakan bagian dari masyarakat yang juga memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan. Setidaknya ada solusi untuk mereka mata pencaharian pengganti.
2.Sebuah kebijakan akan berlaku tergantung dari siapa yang memiliki kekuasaan terbesar. Dalam permasalahan tersebut, menurut saya yang memiliki kekuasaan terbesar adalah dari kaum elitisme yang memiliki kepentingan tertentu. Karena kepentingan dari kaum elitisme bertentangan dengan kebijakan kesehatan yang dibuat sehingga output dari kebijkan tersebut tidak berjalan dengan baik. Lobby yang dilakukan oleh kaum elitisme bukan hanya mempengaruhi suara rakyat tapi juga mempengaruhi pemerintah itu senidiri.
3.Karena memiliki kepentingan yang berbeda, akhirnya kebijkan yang dikeluarkan pun terlihat tidak begitu matang. Seperti adanya larangan untuk tidak merokok namun tidak ada sanksi yang diberikan.
Reply
# Nuraliah 2016-10-26 04:21
maaf yang ini salah copy :D
Reply
# Nuraliah 2016-10-26 04:22
Selamat pagi,
Sangat setuju dengan pendapat saudari Monic, menurut saya permasalahan di atas adalah terkait pertentangan antara beberapa stakeholder yang memiliki pandangan yang berbeda. Dalam pembuatan agenda RUU Pendidikan Dokter, DPR selaku pemerintah terlalu banyak mengambil porsi tanpa melibatkan aktor lain yang seharusnya terlibat di dalamnya seperti Kementrian Kesehatan, IDI, KKI, Pihak Universitas, dan PDUI. Jika dilihat tujuan RUU yang dibuat DPR sangat baik dan sama halnya juga dengan UU Pendidikan Nasional yang termasuk di dalamnya pedidikan kedokteran. Tujuan keduanya bagaimana menciptakan kualitas seorang dokter yang lebih baik dan dapat mengatasi permasalahan kesehatan.
Jika dianalisis menggunakan model Kingdom, ada tiga proses politik yaitu :
1.Alur masalah : permasalahan kesehatan masih cukup banyak namun solusi belum mampu mengatasi. keberadaan dokter belum merata dan masih cukup banyak daerah yang belum terpenuhi kebutuhan dokter.
2.Alur kebijakan : gagasan tentang DLP (Dokter Layanan Primer) menjadi isu pertentangan antara Pemerintah dan IDI
3.Alur politik: aktor di luar pemerintahan seperti ahli profesi menolak gagasan RUU karena menganggap RUU tersebut terlalu menyulitkan untuk para dokter. Walk out salah satu langkah yang dilakukan untuk menolak RUU ini.
Reply
# Almas Awanis 2016-10-26 07:47
Selamat sore mbak aliah.
Sedikit sharing saja, dari alur masalah yang telah dipaparkan, memang benar permasalahan kesehatan masih cukup banyak terutama di Indonesia dan solusi belum mampu mengatasi. Ditambah keberadaan dokter belum merata dan masih cukup banyak daerah yang belum terpenuhi kebutuhan dokter. Dibandingkan negara lain memang kuantitas dokter sangat kecil, namun sebenarnya dapat di manage dengan "pe-realisasian kebijakan" seperti isu di atas. Masing-masing aktor yang semestinya dilibatkan (antar DPR yang harus bisa saling memahami bersama IDI) sehingga tidak ada ego antar aktor yang akhirnya berbenturan dengan pengambilan kebijakan. Sedangkan kebijakan itu sendiri nantinya bisa menjadi solusi untuk menjadi bagian penentu kualitas dokter di Negara kita. Dan yang nantinya kualitas inilah yang menyelamatkan masyarakat Indonesia.
Reply
# Almas Awanis 2016-10-26 07:32
Selamat sore mbak monic, menanggapi sedikit dari pernyataan yang telah disampaikan. Saya setuju bahwa memang benar dalam pengambilan keputusan DPR tidak melibatkan IDI sebagai organisasi profesi. Padahal seperti yang telah kita ketahui bahwa di tiap proses kebijakan haruslah ada aktor-aktor yang tepat untuk menentukan kebijakan tersebut. DPR memang mempunyai kewenangan untuk mencetuskan, namun karena bidang yang akan digarap adalah "Dokter", maka alangkah baiknya IDI dilibatkan.
Ibarat di dalam policy cycle kita masih di tahapan "Problem indentification" sehingga kita belum bisa menilai bahwa protes, demonstrasi, dan walk-out yang dilakukan IDI berpengaruh terhadap keputusan pemerintah, karena masalahnya ada disini: alasan dibalik ketidak setujuan IDI.
Reply
# Faizah Ruhil Islam 2016-10-26 01:44
Awal mula tercetusnya RUU dikdok adalah kebijakan yang dirumuskan tanpa melibatkan organisasi profesi maupun akademisi dan murni inisiatif DPR. Sehingga menimbulkan polemik dikemudian hari seperti saat ini. Walk out organisasi profesi (PDOUI, IDI dan KKI) dari DPR menunjukkan ketidaksetujuan atas UU Nomer 20 tentang Pendidikan Kedokteran yang telah disahkan di tahun 2013.
Ketidaksetujuan ini bukan tanpa alasan, terutama poin mengenai Dokter Layanan Primer (DLP). Dijelaskan bahwa DLP ini dibentuk selaras dengan diterapkannya era Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia, di mana perlunya dokter keluarga sebagai penguatan layanan primer.
Namun pertanyaannya apakah benar masalah kesehatan (tingginya AKI, AKB, angka gizi buruk, insidensi penyakit manular) yang ada di Indonesia akan dapat diatasi seiring meningkatnya kompetensi DLP? Bukankah determinan masalah kesehatan adalah persoalan yang holistik meliputi sektor ekonomi-sosial-pendidikan-lingkungan. DLP seolah-olah menjadi jalan pintas menyelesaikan masalah Indonesia meskipun nyatanya tidak demikian.
Belum lagi dengan adanya Pendidikan bagi DLP yang nantinya akan dianggap setara dengan dokter spesialis (masa studi 3-4 tahun), menambah beban biaya pendidikan bagi mahasiswa kedokteran karena untuk lulus dokter (plus internship) mereka sudah harus mengenyam pendidikan selama 7 tahun. Singkatnya, jika DLP diberlakukan maka seorang dokter akan menjadi produktif setelah 10-11 tahun mengenyam pendidikan.
Keputusan telah diambil, UU telah disahkan oleh legislatif dan eksekutif meskipun pada awalnya melibatkan 'interest group' (organisasi profesi) namun walk out saat sidang berlangsung sehingga sifatnya menjadi 'outsider'. Sebagai organisasi di luar pemerintah, IDI tidak memiliki hak sebagai pengambil keputusan dan menjadi halangan potensial bagi pemerintah. Bahkan gugatan PDUI ke Mahkamah Konstitusi ditolak pada 7 Desember 2015. Itu artinya, UU diknok harus diberlakukan.
Karena mau tidak mau harus dilaksanakan, pemerintah perlu memberikan perhatian serius dan menanggung konsuensi yang muncul dari diberlakukannya UU dikdok. Solusinya adalah adanya upaya pemerintah untuk memfasilitasi beasiswa bagi mahasiswa DLP, antara Kementerian Kesehatan, Kemenristek-dikti, Asosiasi Ilmu Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), KKI serta IDI membangun kurikulum yang baik bagi program studi DLP dan menetapkan batas kompetensi yang jelas antara DLP- dokter umum sehingga DLP diberi kewenangan yang lebih dalam pelayanan, mempermudah kualifikasi seleksi bagi putra daerah, serta dalam kualifikasinya mahasiswa harus sudah memiliki pengalaman bekerja minimal 1 tahun.

Terima kasih
Reply
# Dwi Mayasari Riwu 2016-10-26 03:32
Masalah kebijakan yang muncul dalam pembuatan UU pendidikan kedokteran adalah pertentangan antar stakeholder yang dimulai dari awal agenda setting hingga pada tahap implementasi. Perumusan agenda kebijakan yang dilakukan secara sepihak oleh DPR sebagai pihak legislatif tanpa melihat issue-issue kebijakan yang muncul menyebabkan IDI melakukan aksi walk out sebagai bentuk protes terhadap keputusan ini. Meskipun terjadi konflik dalam penentuan agenda setting, pihak legislatif tetap menggunakan perspektif elitisme untuk menyesaikan masalah ini, terlihat dari statement yang dikeluarkan Ketua Panja RUU Pendidikan Kedokteran yang tegas menyatakan bahwa proses tidak akan berhenti karena mundurnya sebuah lembaga di masyarakat.
Dalam buku Buse dikatakan bahwa interest group bisa mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Dalam hal ini, IDI sebagai salah bentuk interest group melakukan berbagai upaya untuk menetang kebijakan UU pendidikan kedokteran, namun belum berhasil. Strategi yang digunakan IDI menurut saya kurang tepat, karena hanya menggunakan dukungan dari sesama interest group, seharusnya jika merasa perlu IDI bisa berkoordinasi dan meminta dukungan dari pemerintah seperti kementrian kesehatan dan juga bisa menggunakan media sebagai alat untuk mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat bahwa UU pendidikan kedokteran belum terlalu dibutuhkan saat ini.
Reply
# Elvaria Mantao 2016-10-26 15:40
saya setuju dengan yang dikatakan oleh mba maya bahwa IDI adalah bentuk dari interest group. pertentangan yang dilakukan oleh IDI karena perumusan kebijakan yg dilakukan sepihak oleh DPR tanpa melihat isu-isu kebijakan. dalam pertentangan ini IDI menggunakan strategi outsider tetapi tidak dapat mengubah keputusan pemerintah. jika IDI menggunakan jalur insider seperti yang dikatakan diatas bisa berkordinasi dan meminta dukungan dari emerintah, kemungkinan IDI akan mempunyai pengaruh yang kuat dalam penentuan agenda kebijakan.
Reply
# yuli luthfiana 2016-10-27 16:21
saya tambahin sedikit ya eva, dan pada saat seperti ini jendela kebijakan baru akan terbuka karena tidak semua hal yang ada di DPR itu akan masuk ke dalam agenda, banyak juga yang diabaikan kecauali jika ada kesempatan politik yang bisa dimanfaatkan. dan pemegang kekuasaan hanya akan mempertahankan pendapatnya. jika alur kebijakan berjalan dengan baik dimana masalah dan solusi ditawarkan bersama maka penentuan agenda serta penerapan kebijakan akan berjalan dengan baik.
Reply
# Verayanti A.Bata 2016-10-26 03:54
Selamat pagi.
Perumusan sebuah kebijakan publik berkaitan dengan hubungan antara badan legislatif,eksekutif,dan yudikatif. Sependapat dengan mbak Monic bahwa dalam hal ini DPR sebagai badan legislatif badan yang mewakili rakyat,menetapkan undang-undang yang mengatur rakyat,mengesahkan undang - undang dan mengawasi badan eksekutif, termasuk di dalamnya juga adalah mengenai RUU pendidikan kedokteran. Menurut saya DPR memiliki tujuan yang baik,karena jelas berbeda isi daripada RUU pendidikan dokter dan UU praktik dokter yang sudah ada. RUU pendidkan kedokteran mengatur segala hal mengenai pendidikan dokter,mulai dari kriteria sarana,prasarana dan SDM. Saya melihat adanya agenda setting yang tidak dipersiapkan secara baik dalam hal keterlibatan aktor yang memang benar-benar paham dampak dari penetapan sebuah kebijakan dan akhinya dampak dari ini adalah adanya proses yang berjalan penuh pertentangan dari berbagai stakeholder yang seharusnya memperjuangkan RUU tersebut. Faktor struktural salah satu faktor yang mempengaruhi kebijakan,dimana belum adanya keterbukaan sistem dalam pembahasan keputusan kebijakan yang pada akhinya terlihat bahwa ini merupakan taktik kelompok interest yang tidak tepat yang terkait erat dengan sebuah kepentingan kelompok.
Reply
# Darsal Z Dafid 2016-10-26 13:02
Dalam Kebijakan Pendidikan Kedokteran di Indonesia disebutkan bahwa jumlah peminat pendidikan kedokteran yang sangat tinggi terus meningkat, sedangkan kapasitas sarana dan prasarana masih terbatas. Akibatnya kualitas lulusan tidak sesuai dengan harapan. Untuk itu dituntut komitmen dari stakeholder terkait pengaturan penyelenggaraan pendidikan kedokteran dalam bentuk undang-undang untuk sama-sama mewujudkan pendidikan kedokteran yang berorientasi masa depan dengan menitikberatkan pada mutu pendidikan yang mengacu pada standar global. Pada dasarnya inisiatif DPR untuk kebijakan ini sangat baik dalam meningkatkan derajat kesehatan Indonesia. Namun dalam penyusunannya kurang melibatkan sektor lain yang terkait dalam kebijakan. Disini terlihat bahwa kebijakan ini berdasarakan “kekuasaan sebagai pengambil keputusan”. Saya berasumsi bahwa kebijakan ini berkesan terburu-buru dalam penyusunannya. Ini seperti model incremental dalam pengambilan keputusan, maksudnya bahwa aktor dalam kebijakan hanya mengambil langkah tambahan dari kasus pendidikan kedokteran dengan membandingkan beberapa alternatif saja. Lindblom juga mengatakan bahwa ‘muddling through’ untuk mengambil keputusan dalam sebuah kebijakan dibutuhkan saran, sehingga kesalahan kebijakan yang merusak bisa dihindari dengan menggunakan langkah incremental yang efeknya bisa ditaksir lebih dulu untuk mengambil langkah selanjutnya.
Reply
# Nanik Sri Wahyuni 2016-10-27 07:20
Selamat Siang teman-teman semua,, Saya sependapat dengan pendapat sdr. Darsal dan sdri. Vera bahwa menjamurnya pendidikan kedokteran akan berpengaruh pada kualitas lulusannya jika tidak disertai dengan peningkatan standar mutu, untuk itu DPR berinisiatif membuat RUU tersebut, tetapi seyogyanya sebuah kebijakan dibuat berdasarkan kesepakatan bersama sehingga tidak ada pertentangan. Dalam kasus ini kelompok interest (IDI) malah menentang UU tersebut artinya ada hal-hal yang harus dikaji ulang disana. Namun walaupun ada pertentangan-pertentangan dalam penyusunannya toh RUU tetap berjalan dan disyahkan. Disini teori inkremental (teori Lindblom) yang digunakan untuk menetapkan kebijakan yaitu proses pengambilan kebijakan yg dikarakteristikan oleh stakeholder yang memiliki kepentingan sendiri-sendiri dan keputusan yang dihasilkan lebih mempresentasikan apa yg secara politik fisibel. sedangkan pendekatan IDI kurang tepat karena menggunakan outsider group bukan insider.
Reply
# Elvaria Mantao 2016-10-26 15:14
RUU pendidikan kedokteran adalah untuk mengatur ketersediaan tenaga kedokteran di seluruh Indonesia. Masalah yang terdapat pada penyusunan kebijakan UU pendidikan kedokteran adalah pada saat penentuan agenda. Pertentangan yang terjadi antar stekholder dan penyusunan hanya karena inisiatif sendiri dari DPR sehingga dalam prosesnya terlihat sikap dan koordinasi berbagai lembaga pemerintah yang belum baik dalam menyusun UU pendidikan kedokteran. Karena penyusunan kebijakan yang dilakukan sepihak oleh DPR maka IDI melakukan pertentangan terhadap UU, akan tetapi walaupun telah terjadi pertentangan RUU tetap berjalan. Dalam buku buse dikatakan bahwa banyaknya aktor yang terlibat dalam pembuatan agenda kebijakan tidak selamanya didominasi oleh pemerintah. Agenda kebijakan bisa berubah karena adanya kepentingan elite politik yang paling berpengaruh. Dalam politik biasa banyak reformasi yang berbeda-beda saling bersaing untuk memeperebutkan perhatian para pembuat kebijakan yang mana dapat masuk dan tidaknya dalam agenda kebijakan. terima kasih
Reply
# adelia ismarizha 2016-10-26 23:55
selamat pagi kawan-kawan,
menanggapi kasus diatas, kenapa permasalahan tersebut masuk kedalam agenda setting DPR dalam hal ini sebagai pembuat kebijakan di NKRI adalah dimulai dari KETIDAK-PERCAYAAN Publik terhadap kompetensi dokter. kasus malpraktik yang terjadi beberapa tahun terakhir, bahkan kasus yang sangat booming yang menunjukkan sengitnya pertarungan masyarakat sipil melawan pelayan kesehatan yaitu kasus Prita. kepercayaan publik semakin menipis, karena dianggap arogan menanggapi kritik dari masyarakat yang notabene sebagai kliennya. oleh DPR, hal tersebut menjadi penting untuk masuk dalam agenda pembahasan kebijakan (agenda setting). menurut teori HALL, ada tiga aspek yaitu kelayakan, keabsahan dan dukungan. masalah ini layak diangkat oleh DPR karena dianggap memiliki pemecahan persoalan yang praktis, dengan membuat kebijakan untuk mengatur pendidikan dokter. DPR memiliki hak untuk mengambil peran dalam mengatur persoalan kesehatan, termasuk dalam dunia pendidikan dokter. dukungan, DPR tentu mempertimbangan apakah upaya tersebut mendapat dukungan? Keyakinan penuh tentu ada pada DPR, karena persoalan ini diyakini akan mendapatkan dukungan dari masyarakat meskipun akan ada pertentangan dari organisasi profesi. 3 hal petimbangan berdasarkan teori HALL, DPR menjadikan isu pengaturan pendidikan dokter menjadi agenda (setting) yang akan dibahas.

Menurut Kingdon, penentuan agenda kebijakan ada 3 alur yaitu alur masalah, kebijakan dan politik. alur masalah, dunia pendidikan dokter menurut DPR perlu diatur ulang untuk memperbaiki pelayanan kesehatan ke masyarakat yang dilaksanakan oleh dokter. konpetensi dokter hasil dari pendidikan yang memiliki semangat melayani diharapkan oleh masyarakat. munculnya FK-FK baru yang dianggap "premature" karena belum cukup persyaratan dinilai ikut menyumbangkan tenaga dokter yang kurang kompeten. alur kebijakan dilihat agak tumpang tindih, Kementerian pendidikan yang memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan pendidikan masih memiliki keraguan sedangkan Kementerian Kesehatan yang memiliki penguasaan permasalahan tidak andil besar dalam penentuan kebijakan. yang paling menarik adalah alur politik. Kementerian pendidikan dan kebudayaan yang ragu diawal akhirnya tetap memimpin berjalannya proses. Kampus besar dan IDI yang awalnya menolak UU tersebut, berbalik mendukung meskipun IDI menyetujui dengan berbagai syarat. perubahan politik tersebut tidak terlepas dari agenda setting masing-masing untuk tetap bisa memasukkan kepentingan dalam UU tersebut. agenda setting besar dalam penyusunan RUU Pendidikan Dokter, terdapat agenda setting dari masing-masing pihak yang terlibat didalamnya tidak terkecuali organisasi profesi.

namun...dalam skema besar negara, DPR harusnya memainkan perannya sebagai lembaga pemersatu berbagai organisasi masyarakat, organisasi profesi dan Perguruan tinggi dalam memecahkan persoalan. peran tersebut tidak tejadi, sehingga pertentangan dalam penyusunan RUU terjadi pada tahap-tahap awal. pelibatan aktor terkait isu tersebut harusnya dilakukan oleh DPR sejak penentuan agenda.
Reply
# Laras Prastiyawati 2016-10-27 00:50
Kasus penyusunan RUU pendidikan kedokteran masalahanya terlihat jelas sejak agenda settingnya. Ya betul sekali, saya setuju dengan pendapat Mba Adel, dalam hal ini DPR yang memiliki inisiatif membuat UU pendidikan kedokteran karena adanya kasus dalam bidang kedokteran yang membuat kepercayaan rakyatnya hilang atas kejadian kejadian tidak enak menyangkut keselamatan jiwa yang berkitan dengan kompetensi dokter. Namun dalam penyusunan RUU, akan lebih baik jika melakukan analisis terlebih dahulu, aktor mana saja yang perlu terlibat. Dalam hal ini aktor aktor yang bermain sangat kuat dengan pendapat mereka masing – masing, seharusnya ada pihak ahli yang dapat menjadi penyatu pendapat. Karena memang tujuan dari adanya Undang – undang pendidikan kedokteran ini adalah untuk menghasilkan dokter dokter yang lebih kompeten yang nantinya dapat memperbaiki derajat kesehatan negara.
Terima kasih.
Reply
# husnawati 2016-10-27 00:55
RUU Pendidikan kedokteran yang merupakan inisiatif DPR memiliki tujuan yang baik yaitu memfasilitasi pendidikan kedokteran di Indonesia untuk mengurangi mekanisme pasar dalam pendidikan kedokteran dan untuk meningkatkan mutu dan kualitas FK yang ada. RUU ini muncul sebagai akibat dari terungkapnya kasus-kasus malpraktik yang banyak terjadi di dunia kedokteran, sehingga DPR sebagai wakil dari rakyat berupaya untuk memberikan solusi dari permasalahan yang terjadi dengan membuat kebijakan mengenai pendidikan kedokteran dan diharapkan dengan diberlakukannya kebijakan tersebut akan mencetak dokter-dokter yang kompeten sehingga tidak ada lagi kasus malpraktek yang terjadi.
Tetapi dalam proses penyusunannya terjadi perdebatan dan pertentangan mengenai kebijakan ini dari kalangan stakeholder. Proses penyusunannya yang tidak terkoordinasi dengan baik serta tidak melibatkan organisasi di dunia kedokteran (PDOUI, IDI, dan KKI) dan lebih banyak melibatkan Kemendikbud yang dianggap bertanggung jawab dalam dunia pendidikan. IDI sebagai interest group melakukan aksi walk out/menolak terlibat dalam penyusunan UU Pendidikan Kedokteran, selanjutnya IDI melakukan aksi menentang kebijakan dengan melakukan berbagai aksi demo.
Sikap yang ditunjukkan oleh IDI sebagai bentuk protes terhadap UU No 20 tahun 2013 terutama yang berkaitan dengan Dokter Layanan Primer. Program pendidikan DLP akan menyebabkan masa pendidikan dokter yang akan praktek di layanan primer menjadi panjang serta menghabiskan biaya yang sangat besar dan merupakan tanggungan negara sehingga hal ini dianggap sebagai pemborosan anggaran pendidikan. Dalam prakteknya nanti juga dapat menimbulkan maslah di kemudian hari, dimana bisa terjadi tumpang tindih di pelayanan kesehatan, karena DLP yang setara dengan spesialis bekerja di pelayanan primer. Hal tersebut dapat menjadi pemicu ‘konflik horizontal’ di tingkat pelayanan primer.
Reply
# Nadia Ade Pratiwi 2016-10-27 09:16
Menurut saya masalah kebijakan yang terjadi pada kasus tersebut yaitu tentang proses penyusunan undang -undang pendidikan kedokteran yang dibentuk atas inisiatif dari DPR. KKI dan IDI malah menentang RUU pendidikan kedokteran. pada proses penyusunan undang-undang IDI melakukan walk out dan menolak untuk ikut terlibat dalam penyusunan undang-undang pendidikan kedokteran, akan tetapi proses penyusunan RUU pendidikan kedokteran tetap berjalan.
Keberadaan dokter layanan primer (DLP) dianggap bertentangan. DLP lahir dari keputusan politik antara pemerintah dengan DPR. Campur tangan politik terhadap profesi kini semakin dalam, hal tersebut tentu akan menambah kekacauan bagi dunia kedokteran dan sistem pelayanan kesehatan di indonesia, hal ini terjadi karena profesi dokter dan pendidikan dokter digiring ke ranah politik dan sangat jelas bahwa undang-undang itu sendiri adalah produk politik. DLP merupakan dokter yang diberikan kompetensi melebihi dokter umum dan setara dokter spesialis. dokter DLP diharapkan mumpuni dalam menangani berbagai penyakit dan masalah kesehatan, tetapi yang menjadi masalah adalah terkait kompetensi DLP, karena nantinya akan terjadi tumpang tindih dengan dokter umum dan juga dokter spesialis, bahkan jika di cermati kompetensi DLP sulit dibedakan dengan dokter umum saat ini.
Reply
# KurniatyKIAKR16 2016-10-27 16:14
Selamat malam teman-teman.
Pada kasus di atas saya melihat ada nya sebuah ketidaksiapan dalam mengagendakan sebuah kebijakan. sependapat dengan Mbak Vera,Mbak Nanik dan Mas Darsal,tujuan dari adanya RUU pendidkan dokter ini hendak menegaskan pentingnya aturan Pendidkan Kedokteran baik itu yang meliputi sarana ,prasarana dan SDM,tujuannya adalah untuk mencetak SDM Dokter yang berkompeten. Tetapi sangat disayangkan justru aktor yang seharusnya mendukung kebijakan justru terjadi petentangan di dalamnya,sehingga terlihat bahwa ada kepentingan - kepentingan kelompok untuk tujuan tertentu.. Perlunya adanya keterbukaan sistem,sehingga tidak salah dalam melibatkan aktor yang berdampak pada proses dan isi dari sebuah kebijakan.
Reply

Add comment

Security code
Refresh