Beberapa hal ini merupakan masalah kebijakan di balik kasus 3 - Minat PPK

  1. Kasus ini merupakan sebuah contoh Kebijakan Pendidikan Kedokteran yang mempunyai pertentangan antar stakeholder sejak mulai dari Penyusunan Agenda sampai ke pasca pengesahan UU.
  2. RUU Pendidikan Kedokteran merupakan inisiatif DPR. Dalam prosesnya terlihat sikap dan koordinasi berbagai lembaga pemerintah yang belum baik dalam menyusun UU.
  3. Kasus ini menunjukkan adanya taktik dan strategi kelompok interest yang tidak tepat, yang terkait erat dengan aspek kekuasaan dalam menentukan kebijakan

 

Comments  

# Ridwan Syukri 2016-10-27 03:10
Dalam hal substansinya, proses Penyusunan RUU Pendidikkan Kedokteran sedari awal memang terkesan dipaksakan oleh satu pihak (DPR) tanpa melibatkan pihak lain yang sangat berkompeten dalam bidang kedokteran yaitu IDI dan KKI. Hal ini tentu menjadi tanya besar bagi publik tanah air, yaitu bagaimana bisa RUU yang sangat teknis seperti itu disusun dan disahkan secara personal dan individual di lembaga lesgislatif. Jika diamati lebih lanjut, bahwa hal yang melatar belakangi penyusunan RUU diawali oleh keinginan legislatif yang ingin menyelamatkan mutu pendidikkan dan lulusan pendidikkan kedokteran itu sendiri. Dengan cara lebih selektif terhadap lembaga pendidikkan kedokteran yang telah ada maupun yang akan didirikan, agar mampu berkompetisi dalam era pasar bebas khususnya dibidang disiplin ilmu kedokteran.
Kita tidak menutup mata bahwa, lembaga pendidikkan kedokteran belakangan ini tumbuh dan menjamur ditanah air. Hal ini mengingat bahwa kebutuhan tenaga dokter di Indonesia masih besar sehingga lulusan kedokteran menjadi profesi yang dianggap masih sangat menjanjikan. Akibatnya masyarakat berlomba-lomba untuk menyekolahkan putra-putri mereka menjadi calon dokter. Untuk memenuhi animo masyarakat yang sangat besar, sekaligus menjadi sebuah “peluang bisnis”. Lembaga pendidikkan juga berlomba mendirikan lembaga pendidikkan dokter. Dengan pertumbuhan pesat ini, potensi untuk mengabaikan mutu pendidikkan juga sangat dimungkinkan dan faktor inilah yang menjadi pertimbangan legislative menyusun RUU pendidikkan kedokteran, untuk menegakka kualitas pendidikkan kedokteran.
Dalam hal prosesnya, koordinasi dalam penyusunan RUU pendidikkan kedokteran masih sangat lemah dan tidak melibatkan pihak lain yang berkompeten. Hal ini bisa diakibatkan oleh pertimbangan politis para anggota legislative yang ingin menjauhkan RUU ini dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk menggagalkan RUU. Sehingga kecepatan pengesahan RUU mutlak diperhitungkan, agar RUU ini cepat diimplementasikan dan itu merupakan bagian dari strategi politik penyusunan RUU pendidikkan kedokteran.
Reply
# Tika Amimah Hasibuan 2016-10-27 05:00
Sejak awal terjadi pertentangan karena dalam hal ini DPR tidak melibatkan berbagai elemen yang berkecimpung di bidang kesehatan sehingga terkesan hanya di putuskan oleh sebagian pihak. Terlihat kekuatan dari legislatif yang diwakili dari partai politik sangatlah kuat dan lembaga eksekutif tidak memiliki pandangan yang jelas terkait penyusunan UU ini. IDI berpendapat bahwa UU tersebut tumpang tindih dengan kebijakan yang telah ada, seperti kebijkan muktamar ke 29 IDI, sudah ada Standard Kompetensi Dokter Indonesia (2012) serta kurangnya sarana dan prasarana dalam mensukseskan UU tersebut. IDI menilai karena adanya UU ini dan muncul isu DLP dianggap membuang kas negara dalam mensekolahkan kembali dokter umum guna menjadi DLP. Seakan-akan SKDI tidak lah cukup, sedangkan di Indonesia ada 15% puskesmas yang tidak memiliki dokter. Harus ada jalan tengah sehingga kebijakan selalu berpengaruh positif pada rakyat, tidak hanya mnguntungkan kelompok yang “bermain” saja. Keberadaan agenda UU adalah untuk memperkuat peran negara dalam pendidikan kedokteran dan memperketat syarat pendirian pendidikan kedokteran, meningkatkan subsidi pemerintah untuk pendidikan kedokteran, mengatur beasiswa yang dikaitkan dengan penempatan, serta perbaikan sistem pendidikan residen sebagai tenaga kerja yang meninggalkan tempat kerjanya dan menyebabkan kekurangan dokter
Reply
# budi rodesta 2016-10-27 10:15
mohon izin untuk berkomentar. seperti yang kita ketahui bahwa suatu isu yang bisa diagkat menjadi agenda kebijakan merupakan isue yang memenuhi kriteria kebsahan, kelayakan, dan dukungan. dari segi keabsahan dan kelayakan yaitu dimana seberapa penting issue tersebut untuk diangkat, issu RUU pendidikan kedokteran ini merupakan issue yang sangat penting dengan alasan seperti yang dikemukakan pak ridwan pada komentar di atas. namun dari segi dukungan masih terdapat pertentangan antara kelompok pro dan kontra. sehingga bila dilihat dari segitiga kebijakan, dari segi proses, UU pendidikan kedokteran ini mengalami hambatan karena terkesan dipaksakan oleh oknum tertentu. dari kasus tersebut, terlihat bahwa faktor kekuasaan dapat berpengaruh dalam terbentuknya suatu kebijakan, dilihat dari kuatnya DPR untuk membentuk UU ini.
Reply
# Cati Martiyana 2016-10-27 12:05
Penentuan agenda kebijakan terhadap penambahan profesi baru dalam bidang kedokteran yang bernama dokter layanan primer (DLP) melalui RUU pendidikan dokter belum tepat. Keterlibatan kelompok dari luar pemerintah, seperti orang yang ahli dalam bidangnya, dalam hal ini profesi dokter (terwakili oleh orangisasi profesi seperti IDI) tidak full dalam mengawal jalannya kebijakan (RUU) yang dibentuk. Oleh karenanya, tidak aneh jika disinyalir pembentukan RUU pendidikan dokter dipengaruhi adanya kepentingan kelompok tertentu. Terlepas dari alasan pembentukan RUU tersebut, kemungkinan besar ada negosiasi politik yang terjadi dalam proses perjalanan kebijakan tersebut. Terbukti dengan adanya peran IDI yang memilih tidak melanjutkan kontribusinya dalam penyusunan RUU tersebut karena tidak setuju dengan penyusunan RUU itu, sementara RUU terus bergulir, berproses sampai selesai. Persayaratan untuk mengangkat sebuah masalah menjadi agenda kebijakan tampaknya belum dilakukan kajian secara komprehensif. Berdasarkan model penentuan agenda jendela politik Kingdon, maka sangat mungkin ada peran pembuat kebijakan (internal maupun eksternal luar pemerintah) yang memanfaatkan kesempatan penentuan agenda dengan memasukkan kepentingan tertentu dalam RUU pendidikan dokter ini. Pembentukan RUU tersebut bisa jadi dilakukan untuk pemecahan masalah tertentu yang ada dalam sistem kesehatan Indonesia, kemungkinan arahnya dalam rangka memenuhi ketersediaan pelayanan primer yang harus dipenuhi untuk running program JKN. Fakta di atas menunjukkan bahwa penyusunan kebijakan tidak melibatkan berbagai pihak secara proporsional: antara elit dengan ahli/ expertise (orang di luar pemerintahan), internal maupun eksternal luar pemerintah dan sebagainya. Yang jelas, politik selalu sarat dengan negosiasi: keuntungan, timbal balik, simbiosis, sehingga tidak semua kebijakan menjadi populis untuk kepentingan masyarakat dan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja dan kemungkinan tidak memikirkan dampak yang terjadi di masa depan.
Reply
# Ida Susanti 2016-10-27 12:35
Pada kasus minggu ke 3 kali ini lebih berfokus pada dunia kesehatan khususnya pendidikan kedokteran. Jika dianalisis lebih lanjut pada kasus yang terjadi tesebut, adanya pihak yang pro terhadap dan adanya pihak yang kontra dari suatu kebijakan tersebut. Untuk RUU Kedokteran kali ini pihak-pihak atau stakeholder yang terkait adalah para dokter atau yang dikenal dengan sebutan IDI.
Bila ditinjau pada kasus yang terjadi, ini bermula dari awal terbentuknya UU Pendidikan Kedokteran, dan merupakan inisiatif dari DPR yang digunakan sebagai agenda kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat peran negara dalam pendidikan kedokteran dan memperketat syarat pendirian pendidikan kedokteran yang secara ideologis, meningkatkan subsidi pemerintah untuk pendidikan kedokteran, mengatur beasiswa yang dikaitkkan dengan penempatan, serta perbaikan sistem pendidikan residen sebagai tenaga kerja. Selain itu jika ditinjau mengenai Kebijakan tentang DLP menjadi kontroversi di berbagai kalangan karena ada anggapan program pendidikan ini bertolak berlakang dengan Undang-undang Praktik Kedokteran karena adanya Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI). Seolah-olah profesi dokter tersebut dan pendidikan kedokteran di anggap sebagai tujuan dari politik itu sendiri.
Pada konflik yang terjadi antara pihak IDI dan pemerintah ini terjadi karena adanya sebuah kepentingan kekuasaan. Dengan adanya situasi atau kondisi tersebut dapat di manfaatkan oleh oknum-oknum yang memang pada dasarnya menginginkan adanya ketimpangan-ketimpangan dari pengesahan RUU IDI. Salah satu cara untuk memahami dari kondisi permasalahan yang terjadi tersebut perlunya memahami hubungan formal dan informal antara aktor pro dan aktor kontra (interest), dengan cara mengidentifikasi yang menggunakan policy sub system atau policy community yang di gunakan sebagai pembuatan kebijakan publik dimasa yang akan datang.

Terima Kasih
Salam PPK
“Semangat Pantang Mundur”
Reply
# Apriliana Dany Susan 2016-10-27 13:19
selamat malam..
menurut saya, DPR seperti memaksakan tentang RUU pendidikan dokter tersebut. tidak dijelaskan juga diatas apa yang melatarbelakangi hingga DPR bersikukuh untuk tetap memmbahas RUU tersebut walaupun IDI dan KKI saat iru tidak setuju. bahkan IDI walkout dari pertemuan tersebut. Mungkin DPR juga mempertimbangkan banyaknya universitas yang membuka fakultas kedokteran dengan kualitas yang masih perlu dipertanyakan. mampu menyekolahkan anaknya di fakultas kedokteran sekarang ini masih ada yang menganggapnya prestis, karena akan dianggap mampu sehingga berapapun tetap dibayarkan agar anaknya bisa kuliah di fak.kedokteran. ini dianggap oleh beberapa universitas sebagai peluang bisnis sehingga mereka berlomba - lomba untuk mendirikan fak,kedokteran. dari sini bisa terlihat bahwa universitas yang fak. kedokterannya "ecek-ecek" maka akan menghasilkan lulusan yang kualitasnya kurang bagus. Dari sini mungkin jadi alasan mengapa DPR begitu kukuh melanjutkan membahas RUU tersebut. setelah cukup lama menolak RUU tersebut akhirnya IDI menyetujui nya dengan beberapa persyaratan. Sikap IDI menimbulkan pertanyaan besar yaitu apa motif IDI untuk mau menerima RUU tersebut?mungki saja ada kekuatan politis yang memaksa IDI untuk menyetujui RUU tersebut. ataukah nantinya DPR akan memperlambat atau bahkan tidak menyetujui jika IDI mengajukan hal - hal yang penting bagi IDI kepada DPR karena dianggap sudah tidak dapat bekerjasama. hal tersebut akan membawa dampak buruk bagi IDI.
Reply
# luthfiatul makhmudah 2016-10-27 13:24
Menurut saya UU pendidikan kedokteran telah disyahkan, oleh karena itu UU yang sudah di syahkan merupakan salah satu contoh yang nyata dalam suatu kebijakan kesehatan yang tidaklah mudah. Karena adanya banyak pertentangan dalam pembuatan kebijakan, dan yang akhirnya semua pihak harus menerima semua kebijakan yang telah dibuat. Oleh karena itu terkait mengenai alur penyusunan/penentuan agenda dalam kebijakan ini saya sependapat dengan teman-teman (sisi masalah,sisi kebijakan, dan sisi politiknya), undang-undang pendidikan kedokteran ini selanjutnya akan diatur dalam RPP u pelaksanaanya, pihak-pihak yang pro dan kontra dalam penyusunan UU ini diharapkan bisa duduk bersama kembali untuk mencapai tujuan yang lebih besar sesuai dengan amanat UUD 1945 di atas kepentingan kelompok tertentu, sehingga dalam pelaksanaanya dapat berjalan dengan semestinya.
Reply
# #Laode Reskiaddin 2016-10-27 13:31
Mohon izin berkomentar. Sebenarnya penerapan Pendidikan Dokter Layanan Primer sangat baik untuk peningkatan capabillty para dokter, apalagi kita sudah berada dalam masyarakat ekonomi global. Selain peningkatan kompetensi, Penyebaran dokter di daerah-daerah terpencil juga sangat minim sehingga DPR menginisiasi kebijakan mengenai pendidikan dokter. IDI sebagai interest group yang pada awalnya menolak kebijakan tersebut karena akan memberatkan para dokter, lamanya waktu pendidikan ditambah dengan sarana prasarana peningkatan kompetensi di berbagai daerah masih sangat minim sehingga kebijakan tersebut tidak begitu efektif jika diterapkan. Namun, pada akhirnya IDI berbalik arah, mendukung dan menerima pengesahan tersebut. Nah, apa yang sebenarnya terjadi? Jika kita mengkaji menggunakan teori Hall bahwa kebijakan ini perlu di bahas kembali karena tidak sesuai konteks berpihak pada kepentingan rakyat umum. Ribuan dokter yang masih bergejolak menyuarakan ketidaksetujuan ini merupakan salah satu lemahnya dukungan dari masyarakat. Olehnya itu, perlu dirumuskan kembali dalam agenda setting sehingga kebijakan yang disahkan itu bisa layak sehingga masyarakat dapat benar-benar memberi dukungan yang tinggi terhadap kebijakan tersebut. Mohon maaf jika ada kesalahan kata. Terima kasih
Reply
# Windri Lesmana R 2016-10-27 13:34
Argumen saya terkait kasus tersebut dimana RUU pendidikan Kedokteran secara tegas dibuat dalam rangka menghentikan proses pendirian FK-FK baru yang dianggap belum layak didirikan dan disinyalir mempunyai agenda cari untuk belaka, Kita semua menyadari pentingnya pendidikan kedokteran bagi kesehatan dan kesejahteraan bangsa Indonesia di masa kini dan juga untuk masa yang akan datang. Pendidikan kedokteran meilkii peran sangat strategis dalam pembangunan kesehatan. Menyadari luasnya negara kita yang yang terbagi dalam begitu banyak pulau dengan jumlah penduduk yang luar biasa pertumbuhannya, sumber daya dokter memang amat penting kebutuhannya, hal ini menerangkan bahwasanya profesi ini memliki prospek yang baik dan pasti kini hingga nanti, maka tentu saja alasan inilah yang menjadi begitu banyak putra-putri bangsa ini ingin menjadi dokter selain dari motivasi bahkan dorongan paksa dari orang tua yang sangat menginginkan anaknya menjadi dokter yang terkadang pun mengabaikan batas kemampuan yang dimiliki seorang anak. Peluang –peluang inilah yang ditangkap oleh universitas-universitas di luar sana yang notabennya secara akreditasi pun belum atau bahkan tidak layak membuka FK namun terkesan memaksa, lagi-lagi ujungnya mengejar keuntungan instansi dan mengabaikan kualitas dan mutu lulusannya. Sehingga memang atas latar belakang tersebut RUU ini benar untuk disahkan dan diberlakukan. Yang dibutuhkan kini adalah, sinergi antara Pemerintah, DPR serta organisasi profesi kunci yaitu IDI dan KKI untuk terlibat bersama kembali dalam proses penentuan kebijakan pendidikan kedokteran dimana dalam prosesnya pun IDI dan KKI berhak dalam pengawalan.

Salam PPK.
Reply
# Vina Yulia 2016-10-27 13:48
Mohon izin untuk memberi komentar.
Pada kasus ini, terlihat seperti adanya paksaan terhadap kebijakan pendidikan kedokteran. Pihak legislatif (DPR) sangat bersikukuh ingin mewujudkan kebijakan segera disahkan, tetapi organisasi profesi IDI menolak adanya kebijakan tentang Dokter Layanan Primer (DLP). Penolakan ini saya rasa didasari bahwa bagaimana nanti kejelasan nasib antara dokter umum dan DLP yang setara spesialis. Memang perlu diapresiasi maksud Pemerintah mencetuskan DLP adalah agar pelayanan pada fasilitas kesehatan tingkat primer lebih optimal lagi. Namun, bagaimana kejelasan status dari DLP dari sisi kelembagaannya apa? bagaimana STR profesinya? Lalu bagaimana pula nasib dokter umum yang ada? Apa beda job desk dari dokter umum dan DLP nantinya di Puskesmas? Pada kasus penolakan kebijakan DLP oleh IDI, terlihat DPR terus memaksa pengesahan kebijakan tersebut hingga sampai MK. Nampak terlihat bahwa, adanya kekuasaan membuat pengesahan kebijakan ini terus bergulir hingga MK tanpa adanya dukungan dari IDI. Sepertinya ada bumbu politik yang membuat DPR tetap jalan sampai pasca pengesahan UU. Pada akhirnya, IDI yang awalnya menolak, kemudian menerima kembali putusan tentang kebijakan DLP tersebut. Terlihat yang berkuasa atas kebijakanlah yang memiliki kekuatan lebih dalam mengesahkan UU tanpa melakukan koordinasi pada pihak yang terkait dengan produk kebijakan yang disahkan tersebut.
Reply
# Dita Anugrah Pratiwi 2016-10-27 14:02
Selamat malam...
Menurut saya, dari awal proses penyusunan RUU pendidikan kedokteran sudah terjadi berbagai pertentangan yang akhirnya terkesan dipaksakan oleh pihak pemerintah saja, dimana pihak organisasi profesi dalam hal ini Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sudah menolak dan menentang adanya RUU ini karena sudah ada UU Praktek Kedokteran dan menolak kebijakan tentang Dokter Layanan Primer (DLP). Jika dilihat menggunakan tiga alur penentuan agenda Kingdon maka:
1. Alur masalah, melihat kualitas dari dokter di Indonesia dan pendirian pendidikan kedokteran di sebuah universitas disamakan dengan pendirian pendidikan yang lain.
2. Alur kebijakan, tujuan pihak pemerintah dalam menyusun RUU ini adalah untuk mengatasi masalah yang terdapat dalam pendidikan kedokteran salah satunya adalah adanya pembatasan atau aturan tentang pendirian FK di universitas untuk menanggulangi adanya FK yg tidak layak dan hanya mencari keuntungan semata.
3. Alur politik, penolakan dan perubahan sikap ikatan profesi dimana aktor yang seharusnya terlibat ‘IDI’ memilih WO dan tidak mau terlibat penyusunan RUU tersebut karena menolak kebijakan tentang Dokter Layanan Primer (DLP). Adanya political will dari DPR menyebabkan kebijakan terus disusun tanpa melibatkan organisasi profesi.
Reply
# Sholikah 2016-10-27 15:13
Pada kasus di atas, pemyusunan RUU pendidikan dokter mengalami pertentangan antara stake holder dari awal. Pertama, proses penyusunan RUU ini dimulai dengan memasukkan RUU ke dalam agenda kebijakan. Proses memasukkan pokok persoalan menjadi sebuah agenda ini menurut model Hall memerlukan 3 syarat yaitu keabsahan, kelayakan, dan dukungan. Dalam prosesnya DPR merasa bahwa RUU Pendidikan dokter merupakan masalah yang harus diprioritaskan dan layak untuk disahkan karena ingin memperbaiki kualitas pendidikan dokter di Indonesiasementara dukungan dari ikatan profesi dalam hal ini KKI dan IDI kurang. Kementerian pendidikan juga masih meragukan perlunya RUU ini karena menganggap sudah ada UU Pendidikan yang mengatur. Kedua, untuk dapat menjadi agenda menurut model Kingdon harus ada 3 alur proses politik yang harus bertemu, yaitu alur masalah, alur politik dan alur kebijakan. Jika ada salah satu alur yang tidak sinkron, maka penyusunan RUU ini akan mengalami hambatan. Ketiga, dalam penyusunan RUU pendidikan dokter ini terdapat interest groupcyang juga terlibat dalam pengambilan keputusan. Interest group dalam hal ini adalah IDI. IDI dalam hal ini seharusnya menjadi insider yang telibat dalam proses pengesahan RUU namun justru malah menolak untuk terlibat dalam penyusuna RUU tersebut.
Reply
# Irma Alya Safira 2016-10-27 15:39
Selamat malam...

Saya mencoba menyampaikan pendapat, menurut saya terdapat persoalan dalam menentukan agenda kebijakan dan prosesnya menjadi resmi, yaitu Undang-Undang nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter, dimulai dari anggapan kementerian kesehatan yang merasa bukan menjadi ranah Kementerian Kesehatan, namun karena menyangkut masalah penddidikan menjadi bagian dari kementerian lain. Seperti dalam alur penentuan agenda menurut Kingdon, gambaran proses alur masalah, alur kebijakan dan alur politik dalam Undang-Undang tersebut. Hal selanjutnya adalah pengkajian kebijakan oleh Legislatif yaitu DPR sebagai pencetus terbentuknya Undang-Undang nomor 20 Tahun 2013 ini. Isu yang terkait dengan Dokter Layanan Primer dianggap mengandung unsur politik. Kelompok besar yang ikut menjadi sorotan yaitu Konsil Kedokteran Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia, khususnya IDI yang terlihat kurang yakin dalam bersikap dimungkinkan mendapat tekanan dari pihak yang berkepentingan.
Reply
# Bernike sofia zega 2016-10-27 17:00
Sejatinya sebuah penetapan kebijakan harus memiliki dasar yang konseptual dan akurat. Banyak unsur yang dijadikan pertimbangan untuk membuat sebuah kebijakan dimana unsur ini sendiri lahir dari perihal yang terjadi di masa lalu dan bagaimana terapannya di era mendatang. Tentu rumusan ini sulit untuk ditetapkan secara personal tanpa melibatkan pihak yang terkait terhadap kebijakan yang dibuat. Dalam hal ini, pemerintah bukanlah satu satunya lembaga yang mempunyai ranah idealis terhadapan kebijakan ini, akan tetapi kondisinya pemerintah tidak melibatkan IDI dan KKI selaku lembaga yang memliki kompetensi tinggi terkait masalah pendidikan dokter di Indonesia. Kondisi ini pasti menjadi perhatian dan menimbulkan pertentangan dari lembaga lembaga yang memiliki hubungan terhadap kebijakan tentang pendidikan tersebut, baik itu dari pendiri pendidikan, praktisi, akademisi serta pihak lain yang memiliki hubungan. Konflik yang terjadi tentu akan mengganggu kinerja internal pemerintah dalam penyusunan komponen regulasi tersebut. Hal hal mendasar perlu ditetapkan melalui pandangan secara luas. Tentunya pemerintah memerlukan input dari lembaga yang secara khusus memberikan perhatian terhadap regulasi pendidikan dokter ini. Jika dianalisis lebih lanjut DPR selaku pengesah RUU tersebut kemungkinan memiliki kepentingan politik tersendiri. Lembaga pemerintah yang memiliki andil kuat dalam menentukan kebijakan menunjukkan adanya esensi yang berbeda dibalik penyusunan undang-undang ini.
Reply
# Luqman Afifudin 2016-10-27 19:49
1. Tidak semua permasalahan yang terjadi di masyarakat dapat masuk menjadi sebuah Masalah Publik yang nantinya menjadi agenda pemerintah, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi yaitu salah satunya adalah bahwa masalah tersebut berdampak luas terhadap masyarakat, bisa jadi DPR dan pemerintah menganggap isu masalah dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melibatkan tenaga dokter (dengan didukung dasar bukti yang akurat dan kredibel) menjadi masalah yang memenuhi kriteria untuk dimasukkan kedalam agenda setting.
2. Kingdon dalam model tiga alur penentuan agenda menjelaskan bahwa ada 3 alur yang mendasari suatu masalah masuk kedalam agenda seting yaitu; masalah, permasalahan pada profesi dokter (menurut DPR dan pemerintah) membawa dampak yang besar bagi masyarakat luas sehingga harus dibuat kebijakan untuk mengaturnya. Kebijakan, yaitu peraturan yang telah dibuat sebelumnya terkait penyelenggaraan pelayanan kesehatan, bisa jadi kebijakan sebelumnya belum mengakomodir atau terdapat keterbatasan sehingga harus dibuat peraturan untuk melengkapinya. Politik, yaitu ada kepentingan politik terkait dengan isu masalah dokter, partai penguasa tentunya punya kepentingan terhadap konstituen yang barangkali ada masalah tapi tidak terakomodir oleh IDI atau KKI akhirnya cenderung untuk langsung mengangkatnya menjadi agenda.
3. DPR mempunyai 3 fungsi yaitu legislasi, penganggaran dan pengawasan. dalam fungsinya sebagai badan legisatif adalah keterkaitannya dalam pembuatan kebijakan bersama-sama dengan pemerintah. hal inilah yang menginisiasi DPR untuk membuat kebijakan tentang pendidikan kedokteran.
4. nah permasalahan yang terjadi adalah terdapat perbedaan pendapat dari kalangan organisasi profesi terkait RUU pendidikan kedokteran ini yaitu IDI dan KKI seperti yang disajikan diatas, , IDI dan KKI memainkan peranannya sebagai interest group karena undang-undang ini menyangkut profesi dokter yang menjadi domain mereka, seharusnya baik DPR, pemerintah dan perwakilan profesi dokter duduk bersama membahas permsalahan ini sebelum diangkat menjadi agenda. apabila hal ini sudah dilakukan namun nyatanya tidak menemui kesepakatan yang akhirnya IDI (PDUI) menempuh judicial review dan ditolak oleh MK maka hal ini menurut saya adalah wajar (seperti kasus ahok dengan masalah cuti kampanyenya), yang harus menjadi perhatian bahwa group interest harus meningkatkan strategi dalam kapasitasnya sebagai pengemban amanat profesi, bisa jadi aturan sudah dijalankan bukan berarti tanpa hambatan, hambatan atau masalah itulah yang menjadi dasar bagi interest group untuk mengangkatnya menjadi policy issue dan barangkali menjadi agenda setting untuk kemudian dihasilkan kebijakan yang lebih optimal dan legitimate
Reply
# WARTONO_PPK 2016-10-27 20:16
1. Kasus ini merupakan sebuah contoh Kebijakan Pendidikan Kedokteran yang mempunyai pertentangan antar stakeholder sejak mulai dari Penyusunan Agenda sampai ke pasca pengesahan UU.
Menurut saya sebagian besar, bahkan hampir semua kebijakan pasti akan ada pertentangan, akan ada yang pro dan kontra terhadap keijakan tersebut. Sehingga itulah kenapa dalam tahap pengesahan sebuah kebijakan ada tahapan-tahapan yang harus dilalui agar kebijakan tersebut diterima semua pihak, ada tahap dimana semua pihak yang berkepentingan dengan RUU tersebut (dalam kasus ini IDI, PDUI dan AIPKI sebagai stakeholder) bisa memberikan masukan guna menyempurnakan kebijakan tersebut. Mekanisme yang digunakan biasanya adalah melalui public hearing yaitu sebagai media dimana pihak insider mendengarkan masukan dan tanggapan dari outsider terkait sebuah kebijakan yang sedang dibahas, bahkan biasanya pihak yang sangat berkepentingan dengan kebijakan tersebut pasti akan dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan tersebut.
2. RUU Pendidikan Kedokteran merupakan inisiatif DPR. Dalam prosesnya terlihat sikap dan koordinasi berbagai lembaga pemerintah yang belum baik dalam menyusun UU.
Terkait inisiator dari RUU Pendidikan Kedokteran adalah DPR, menurut saya itu sah-sah saja. Roger W. Cobb dan Charles D. Elder mengidentifikasi ada dua macam agenda kebijakan salah satunya adalah “Agenda Sistemik”. Agenda sistemik terdapat dalam setiap sistem politik di tingkat nasional dan daerah. Agenda sistemik terdiri dari semua isu yang menurut pandangan anggota-anggota masyarakat politik pantas mendapat perhatian publik dan mencakup masalah masalah yang berada dalam yurisdiksi wewenang pemerintah yang sah. Sehingga dalam kasus ini DPR dengan pertimbangan/ agenda untuk memperkuat peran negara dalam pendidikan kedokteran dan memperketat syarat pendirian pendidikan kedokteran, meningkatkan subsidi pemerintah untuk pendidikan kedokteran, mengatur beasiswa yang dikaitkkan dengan penempatan, serta perbaikan sistem pendidikan residen sebagai tenaga kerja. Secara ideologis RUU ini mengarah ke keyakinan keadilan sosial dengan mencoba mengurangi pengaruh mekanisme pasar dalam pendidikan kedokteran.
Reply
# Zainab Hikmawati 2016-10-28 03:03
RUU Pendidikan Kedokteran ini memuat tentang isu kebijakan dokter layanan primer yang merupakan inisiatif untuk meningkatkan mutu dokter di indonesia. Inisiatif ini dipicu karena masalah kasus-kasus malpraktek yang dilakukan dokter terjadi di indonesia. Selain masalah malpraktek, RUU ini untuk mengatur penyelenggaran pendidikan kedokteran agar tidak terjadi diskriminasi. Namun, dalam proses untuk menyelesaikan masalah tersebut tidak melibatkan stakeholder terkait sejak awal (IDI dan KKI) sehingga menimbulkan masalah lain yaitu dengan RUU ini menambah lama masa studi dokter dan menempatkan dokter spesialis dengan sub-spesialis di jenjang yang sama. Dengan menempatkan dokter spesialis dengan sub-spesialis di jenjang yang sama akan menyebabkan dunia kedokteran bisa jalan di tempat. Prosesnya RUU ini terlihat ada unsur politik sehingga koordinasi berbagai lembaga pemerintah belum baik dalam menyusun UU ini.
Reply
# Wiradianto Putro 2016-10-30 15:33
DLP disebut – sebut sebagai dokter umum setara spesialis. Penamaan tersebut mengundang banyak kontroversi karena tidak mungkin menspesialisasi sesuatu yang general atau umum. Ditambah lagi kompetensi dari Dokter Umum dan Dokter Layanan Primer tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Masalah yang paling utama dan menjadi perhatian dari organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Mahasiswa Indonesia adalah kejelasan nasib dokter umum yang akan lulus dan yang sudah lulus.

Kehadiran DLP dapat membuat masyarakat lebih tidak percaya terhadap kualitas dokter umum yang ada di Indonesia. Hal ini akan berdampak buruk bagi dunia kesehatan Indonesia. Padahal perbedaan kompetensi antara dokter umum dan DLP secara jumlah penyakit berbeda tipis yaitu 144 untuk dokter umum dan 155 untuk DLP. DLP juga dibedakan karena memiliki kemampuan lebih yaitu ilmu kedokteran komunitas dan keluarga serta komunikasi. Ilmu – ilmu tersebut adalah ilmu diluar penyakit yang seharusnya dapat diperdalam melalui workshop atau seminar tidak perlu membuat program studi baru. Sehingga sejatinya Dokter Umum dan DLP tidak memiliki perbedaan namun berpotensi menyebabkan masalah.
Reply

Add comment

Security code
Refresh