Beberapa hal ini merupakan masalah kebijakan di balik kasus 3 - Minat PPK
- Kasus ini merupakan sebuah contoh Kebijakan Pendidikan Kedokteran yang mempunyai pertentangan antar stakeholder sejak mulai dari Penyusunan Agenda sampai ke pasca pengesahan UU.
- RUU Pendidikan Kedokteran merupakan inisiatif DPR. Dalam prosesnya terlihat sikap dan koordinasi berbagai lembaga pemerintah yang belum baik dalam menyusun UU.
- Kasus ini menunjukkan adanya taktik dan strategi kelompok interest yang tidak tepat, yang terkait erat dengan aspek kekuasaan dalam menentukan kebijakan
Comments
Kita tidak menutup mata bahwa, lembaga pendidikkan kedokteran belakangan ini tumbuh dan menjamur ditanah air. Hal ini mengingat bahwa kebutuhan tenaga dokter di Indonesia masih besar sehingga lulusan kedokteran menjadi profesi yang dianggap masih sangat menjanjikan. Akibatnya masyarakat berlomba-lomba untuk menyekolahkan putra-putri mereka menjadi calon dokter. Untuk memenuhi animo masyarakat yang sangat besar, sekaligus menjadi sebuah “peluang bisnis”. Lembaga pendidikkan juga berlomba mendirikan lembaga pendidikkan dokter. Dengan pertumbuhan pesat ini, potensi untuk mengabaikan mutu pendidikkan juga sangat dimungkinkan dan faktor inilah yang menjadi pertimbangan legislative menyusun RUU pendidikkan kedokteran, untuk menegakka kualitas pendidikkan kedokteran.
Dalam hal prosesnya, koordinasi dalam penyusunan RUU pendidikkan kedokteran masih sangat lemah dan tidak melibatkan pihak lain yang berkompeten. Hal ini bisa diakibatkan oleh pertimbangan politis para anggota legislative yang ingin menjauhkan RUU ini dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk menggagalkan RUU. Sehingga kecepatan pengesahan RUU mutlak diperhitungkan, agar RUU ini cepat diimplementasikan dan itu merupakan bagian dari strategi politik penyusunan RUU pendidikkan kedokteran.
Bila ditinjau pada kasus yang terjadi, ini bermula dari awal terbentuknya UU Pendidikan Kedokteran, dan merupakan inisiatif dari DPR yang digunakan sebagai agenda kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat peran negara dalam pendidikan kedokteran dan memperketat syarat pendirian pendidikan kedokteran yang secara ideologis, meningkatkan subsidi pemerintah untuk pendidikan kedokteran, mengatur beasiswa yang dikaitkkan dengan penempatan, serta perbaikan sistem pendidikan residen sebagai tenaga kerja. Selain itu jika ditinjau mengenai Kebijakan tentang DLP menjadi kontroversi di berbagai kalangan karena ada anggapan program pendidikan ini bertolak berlakang dengan Undang-undang Praktik Kedokteran karena adanya Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI). Seolah-olah profesi dokter tersebut dan pendidikan kedokteran di anggap sebagai tujuan dari politik itu sendiri.
Pada konflik yang terjadi antara pihak IDI dan pemerintah ini terjadi karena adanya sebuah kepentingan kekuasaan. Dengan adanya situasi atau kondisi tersebut dapat di manfaatkan oleh oknum-oknum yang memang pada dasarnya menginginkan adanya ketimpangan-ketimpangan dari pengesahan RUU IDI. Salah satu cara untuk memahami dari kondisi permasalahan yang terjadi tersebut perlunya memahami hubungan formal dan informal antara aktor pro dan aktor kontra (interest), dengan cara mengidentifikasi yang menggunakan policy sub system atau policy community yang di gunakan sebagai pembuatan kebijakan publik dimasa yang akan datang.
Terima Kasih
Salam PPK
“Semangat Pantang Mundur”
menurut saya, DPR seperti memaksakan tentang RUU pendidikan dokter tersebut. tidak dijelaskan juga diatas apa yang melatarbelakangi hingga DPR bersikukuh untuk tetap memmbahas RUU tersebut walaupun IDI dan KKI saat iru tidak setuju. bahkan IDI walkout dari pertemuan tersebut. Mungkin DPR juga mempertimbangkan banyaknya universitas yang membuka fakultas kedokteran dengan kualitas yang masih perlu dipertanyakan. mampu menyekolahkan anaknya di fakultas kedokteran sekarang ini masih ada yang menganggapnya prestis, karena akan dianggap mampu sehingga berapapun tetap dibayarkan agar anaknya bisa kuliah di fak.kedokteran. ini dianggap oleh beberapa universitas sebagai peluang bisnis sehingga mereka berlomba - lomba untuk mendirikan fak,kedokteran. dari sini bisa terlihat bahwa universitas yang fak. kedokterannya "ecek-ecek" maka akan menghasilkan lulusan yang kualitasnya kurang bagus. Dari sini mungkin jadi alasan mengapa DPR begitu kukuh melanjutkan membahas RUU tersebut. setelah cukup lama menolak RUU tersebut akhirnya IDI menyetujui nya dengan beberapa persyaratan. Sikap IDI menimbulkan pertanyaan besar yaitu apa motif IDI untuk mau menerima RUU tersebut?mungki saja ada kekuatan politis yang memaksa IDI untuk menyetujui RUU tersebut. ataukah nantinya DPR akan memperlambat atau bahkan tidak menyetujui jika IDI mengajukan hal - hal yang penting bagi IDI kepada DPR karena dianggap sudah tidak dapat bekerjasama. hal tersebut akan membawa dampak buruk bagi IDI.
Salam PPK.
Pada kasus ini, terlihat seperti adanya paksaan terhadap kebijakan pendidikan kedokteran. Pihak legislatif (DPR) sangat bersikukuh ingin mewujudkan kebijakan segera disahkan, tetapi organisasi profesi IDI menolak adanya kebijakan tentang Dokter Layanan Primer (DLP). Penolakan ini saya rasa didasari bahwa bagaimana nanti kejelasan nasib antara dokter umum dan DLP yang setara spesialis. Memang perlu diapresiasi maksud Pemerintah mencetuskan DLP adalah agar pelayanan pada fasilitas kesehatan tingkat primer lebih optimal lagi. Namun, bagaimana kejelasan status dari DLP dari sisi kelembagaannya apa? bagaimana STR profesinya? Lalu bagaimana pula nasib dokter umum yang ada? Apa beda job desk dari dokter umum dan DLP nantinya di Puskesmas? Pada kasus penolakan kebijakan DLP oleh IDI, terlihat DPR terus memaksa pengesahan kebijakan tersebut hingga sampai MK. Nampak terlihat bahwa, adanya kekuasaan membuat pengesahan kebijakan ini terus bergulir hingga MK tanpa adanya dukungan dari IDI. Sepertinya ada bumbu politik yang membuat DPR tetap jalan sampai pasca pengesahan UU. Pada akhirnya, IDI yang awalnya menolak, kemudian menerima kembali putusan tentang kebijakan DLP tersebut. Terlihat yang berkuasa atas kebijakanlah yang memiliki kekuatan lebih dalam mengesahkan UU tanpa melakukan koordinasi pada pihak yang terkait dengan produk kebijakan yang disahkan tersebut.
Menurut saya, dari awal proses penyusunan RUU pendidikan kedokteran sudah terjadi berbagai pertentangan yang akhirnya terkesan dipaksakan oleh pihak pemerintah saja, dimana pihak organisasi profesi dalam hal ini Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sudah menolak dan menentang adanya RUU ini karena sudah ada UU Praktek Kedokteran dan menolak kebijakan tentang Dokter Layanan Primer (DLP). Jika dilihat menggunakan tiga alur penentuan agenda Kingdon maka:
1. Alur masalah, melihat kualitas dari dokter di Indonesia dan pendirian pendidikan kedokteran di sebuah universitas disamakan dengan pendirian pendidikan yang lain.
2. Alur kebijakan, tujuan pihak pemerintah dalam menyusun RUU ini adalah untuk mengatasi masalah yang terdapat dalam pendidikan kedokteran salah satunya adalah adanya pembatasan atau aturan tentang pendirian FK di universitas untuk menanggulangi adanya FK yg tidak layak dan hanya mencari keuntungan semata.
3. Alur politik, penolakan dan perubahan sikap ikatan profesi dimana aktor yang seharusnya terlibat ‘IDI’ memilih WO dan tidak mau terlibat penyusunan RUU tersebut karena menolak kebijakan tentang Dokter Layanan Primer (DLP). Adanya political will dari DPR menyebabkan kebijakan terus disusun tanpa melibatkan organisasi profesi.
Saya mencoba menyampaikan pendapat, menurut saya terdapat persoalan dalam menentukan agenda kebijakan dan prosesnya menjadi resmi, yaitu Undang-Undang nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter, dimulai dari anggapan kementerian kesehatan yang merasa bukan menjadi ranah Kementerian Kesehatan, namun karena menyangkut masalah penddidikan menjadi bagian dari kementerian lain. Seperti dalam alur penentuan agenda menurut Kingdon, gambaran proses alur masalah, alur kebijakan dan alur politik dalam Undang-Undang tersebut. Hal selanjutnya adalah pengkajian kebijakan oleh Legislatif yaitu DPR sebagai pencetus terbentuknya Undang-Undang nomor 20 Tahun 2013 ini. Isu yang terkait dengan Dokter Layanan Primer dianggap mengandung unsur politik. Kelompok besar yang ikut menjadi sorotan yaitu Konsil Kedokteran Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia, khususnya IDI yang terlihat kurang yakin dalam bersikap dimungkinkan mendapat tekanan dari pihak yang berkepentingan.
2. Kingdon dalam model tiga alur penentuan agenda menjelaskan bahwa ada 3 alur yang mendasari suatu masalah masuk kedalam agenda seting yaitu; masalah, permasalahan pada profesi dokter (menurut DPR dan pemerintah) membawa dampak yang besar bagi masyarakat luas sehingga harus dibuat kebijakan untuk mengaturnya. Kebijakan, yaitu peraturan yang telah dibuat sebelumnya terkait penyelenggaraan pelayanan kesehatan, bisa jadi kebijakan sebelumnya belum mengakomodir atau terdapat keterbatasan sehingga harus dibuat peraturan untuk melengkapinya. Politik, yaitu ada kepentingan politik terkait dengan isu masalah dokter, partai penguasa tentunya punya kepentingan terhadap konstituen yang barangkali ada masalah tapi tidak terakomodir oleh IDI atau KKI akhirnya cenderung untuk langsung mengangkatnya menjadi agenda.
3. DPR mempunyai 3 fungsi yaitu legislasi, penganggaran dan pengawasan. dalam fungsinya sebagai badan legisatif adalah keterkaitannya dalam pembuatan kebijakan bersama-sama dengan pemerintah. hal inilah yang menginisiasi DPR untuk membuat kebijakan tentang pendidikan kedokteran.
4. nah permasalahan yang terjadi adalah terdapat perbedaan pendapat dari kalangan organisasi profesi terkait RUU pendidikan kedokteran ini yaitu IDI dan KKI seperti yang disajikan diatas, , IDI dan KKI memainkan peranannya sebagai interest group karena undang-undang ini menyangkut profesi dokter yang menjadi domain mereka, seharusnya baik DPR, pemerintah dan perwakilan profesi dokter duduk bersama membahas permsalahan ini sebelum diangkat menjadi agenda. apabila hal ini sudah dilakukan namun nyatanya tidak menemui kesepakatan yang akhirnya IDI (PDUI) menempuh judicial review dan ditolak oleh MK maka hal ini menurut saya adalah wajar (seperti kasus ahok dengan masalah cuti kampanyenya), yang harus menjadi perhatian bahwa group interest harus meningkatkan strategi dalam kapasitasnya sebagai pengemban amanat profesi, bisa jadi aturan sudah dijalankan bukan berarti tanpa hambatan, hambatan atau masalah itulah yang menjadi dasar bagi interest group untuk mengangkatnya menjadi policy issue dan barangkali menjadi agenda setting untuk kemudian dihasilkan kebijakan yang lebih optimal dan legitimate
Menurut saya sebagian besar, bahkan hampir semua kebijakan pasti akan ada pertentangan, akan ada yang pro dan kontra terhadap keijakan tersebut. Sehingga itulah kenapa dalam tahap pengesahan sebuah kebijakan ada tahapan-tahapan yang harus dilalui agar kebijakan tersebut diterima semua pihak, ada tahap dimana semua pihak yang berkepentingan dengan RUU tersebut (dalam kasus ini IDI, PDUI dan AIPKI sebagai stakeholder) bisa memberikan masukan guna menyempurnakan kebijakan tersebut. Mekanisme yang digunakan biasanya adalah melalui public hearing yaitu sebagai media dimana pihak insider mendengarkan masukan dan tanggapan dari outsider terkait sebuah kebijakan yang sedang dibahas, bahkan biasanya pihak yang sangat berkepentingan dengan kebijakan tersebut pasti akan dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan tersebut.
2. RUU Pendidikan Kedokteran merupakan inisiatif DPR. Dalam prosesnya terlihat sikap dan koordinasi berbagai lembaga pemerintah yang belum baik dalam menyusun UU.
Terkait inisiator dari RUU Pendidikan Kedokteran adalah DPR, menurut saya itu sah-sah saja. Roger W. Cobb dan Charles D. Elder mengidentifikasi ada dua macam agenda kebijakan salah satunya adalah “Agenda Sistemik”. Agenda sistemik terdapat dalam setiap sistem politik di tingkat nasional dan daerah. Agenda sistemik terdiri dari semua isu yang menurut pandangan anggota-anggota masyarakat politik pantas mendapat perhatian publik dan mencakup masalah masalah yang berada dalam yurisdiksi wewenang pemerintah yang sah. Sehingga dalam kasus ini DPR dengan pertimbangan/ agenda untuk memperkuat peran negara dalam pendidikan kedokteran dan memperketat syarat pendirian pendidikan kedokteran, meningkatkan subsidi pemerintah untuk pendidikan kedokteran, mengatur beasiswa yang dikaitkkan dengan penempatan, serta perbaikan sistem pendidikan residen sebagai tenaga kerja. Secara ideologis RUU ini mengarah ke keyakinan keadilan sosial dengan mencoba mengurangi pengaruh mekanisme pasar dalam pendidikan kedokteran.
Kehadiran DLP dapat membuat masyarakat lebih tidak percaya terhadap kualitas dokter umum yang ada di Indonesia. Hal ini akan berdampak buruk bagi dunia kesehatan Indonesia. Padahal perbedaan kompetensi antara dokter umum dan DLP secara jumlah penyakit berbeda tipis yaitu 144 untuk dokter umum dan 155 untuk DLP. DLP juga dibedakan karena memiliki kemampuan lebih yaitu ilmu kedokteran komunitas dan keluarga serta komunikasi. Ilmu – ilmu tersebut adalah ilmu diluar penyakit yang seharusnya dapat diperdalam melalui workshop atau seminar tidak perlu membuat program studi baru. Sehingga sejatinya Dokter Umum dan DLP tidak memiliki perbedaan namun berpotensi menyebabkan masalah.