Beberapa hal ini merupakan masalah kebijakan di balik kasus 3 - Minat Gizi

  1. Kasus ini merupakan sebuah contoh Kebijakan Pendidikan Kedokteran yang mempunyai pertentangan antar stakeholder sejak mulai dari Penyusunan Agenda sampai ke pasca pengesahan UU.
  2. RUU Pendidikan Kedokteran merupakan inisiatif DPR. Dalam prosesnya terlihat sikap dan koordinasi berbagai lembaga pemerintah yang belum baik dalam menyusun UU.
  3. Kasus ini menunjukkan adanya taktik dan strategi kelompok interest yang tidak tepat, yang terkait erat dengan aspek kekuasaan dalam menentukan kebijakan

 

Comments  

# siti maria ulva 2016-10-25 14:08
selamat malam izin saya memberikan komentar sehubungan dgn lahirnya kebijkan UU ttg pendidikan kedokteran Thn 2013 berdsarkan penentuan agenda dgn model 3 alur (Kingdom) menurut pendapat saya 1.alur masalah :dimana pencapaian kesehatan masih blmlah sesuai harapan dilihat dari indikator2 kesehatan yg ada, keberadaan dokter blm merata, kebutuhan dokter ditempat2 "tertentu" blm terpenuhi 2.alur kebijakan: dimunculkan gagasan pendidikan dlp sendiri bahkan msh ada prtentangan diantara organisasi profesi terkait dlm hal ini IDI, sbenarx msh merupakan rangkaian dari salah satu rencana solusi utk menyelesaikn masalah2 kesehatan yg ada di Indonesia 3. sementara dari alur politik sendiri juga ada msing2 kepentingan berhubungan dg pendirian2 sekolah kedokteran, brp keuntungan yg bisa didpatkan melalui pendirian skolah kedokteran swasta? bgm skrg pelayanan kedokteran jg ikut masuk dlm issue politik contohnya pelayanan kes dari seorang dr(umum+ spesialis) utk kepentingan *penguasa didaerah terutama*. masing2 dari alur ini berada dlm proses yg berbeda satu dg lainnya krn dari alur2 ini memunculkn berbagai perbedaan fikiran. pendapat saya sendiri pndidikan dlp tidaklah menjadi agenda kebijakan yg tepat. bebrapa alasan saya al: pd kurikulum dr sbelum hadir uu kesehtan sbanrx pendidikan dokter jg sdh dibekali ttg ilmu publichealth tdk hanya ttg mengobati. seorang dr harusnya mampu melihat seorang pasien secara keseluruhan (fisik,mental,sosial,prilaku dll).. jumlah dokter yg banyak dikrenakan brdirinya fk2 swasta membuat kwalitas seorang dr pun dipertanyakan. sya lebih setuju sprti dulu adax kebijakan pemerintah ttg dr PTT. bahwa setiap dr yg sudah mnyelesaikan pendidikan kedokteran wajib utk mlaksanakn Ptt di daerah2 dg prioritas. seorang dr mmg mmpunyai kewajiban utk mengabdi trlebih dahulu sbelum kemudian melanjutkan jenjang ke dr spesialis. tdk sprti skrg skolah kedokter sprti bisa dibeli/dibayar. siapa yg mampu secara materi mempunyai kesempatan utk menjadi dokter. jikapunada kebijakan dri Pemda utk melakukan krjasama pendidix dokter ttap hrus mengutamakan sdm yg bnr2 berkwalitas bukan krn hub kerabat, titipan dsb. begitu jg utk kebijakan Tim Nusantara Sehat sebaikx lebih dimaximalkan dlm hal pemanfaatan, monitoring dan evaluasiyg berkesinambungn drpda kemudian membuat lg kebjakan yg msih belum jelas akan dibawa kemana ttg pendidikan dlp yg dimaksud. Tks
Reply
# Hafidhotun Nabawiyah 2016-10-26 02:25
Sebagian besar saya sependapat dengan mba ulva terkait UU pendidikan kedokteran tahun 2013. Menambahkan beberapa hal bahwa alur masalah menurut saya niat baik pemerintah yang merasakan ada beberapa pendidikan dokter yang dirasa kurang dari standard. Namun, dalam alur kebijakan mengapa DPR yang memuncukan inisiatif tersebut? apakah organisasi profesional kedokteran tidak merasakan hal yang sama sebelumnya? dan lagi ada baiknya ketika UU ini direncanakan pihak kementrian pendidikan juga merangkul kementrian kesehatan serta jejak pendapat dari organisasi profesi kedokteran sendiri karena hal ini erat kaitannya dengan pelaksanaan pelayanan kesehatan nantinya. Unsur politik, menurut saya jelas terlihat disini dikarenakan ada beberapa pihak pro dan kontra padahal UU sudah disahkan tahun 2013. Selanjutnya apakah dari pihak DPR sendiri tidak memberikan langkah berikutnya berupa penjelasan lebih lanjut mengenai isi dari UU. Harapannya dengan adanya publikasi secara nyata dari pemerintah tentang aturan tersebut dapat memberikan pemahaman yang sama bagi seluruh pihak terkait, sehingga ketika ada pihak yang kurang setuju dapat dicarika solusi lain. Bila dirasa usulan UU ini tidak tepat maka dapat dihentikan agar tidak memicu konflik baru bahkan membuang waktu. Demikian sudut pandang saya tentang kebijakan ini, bila ada pihak yang kurang berkenan saya mohon maaf dan trimakasih.
Reply
# andi tenri kawareng 2016-10-26 12:01
Berdasarkan model tiga alur penentuan agenda menurut kingdon menggambarkan tiga pemunculan kebijakan melalui tiga alur atau proses yang terpisah yaitu alur masalah , alur politik dan alr kebijakan. Jika kasus ini ditinjau kita bisa menganalisis bahwa alur masalah mengacu pada persepsi yang menganggap masalah sebagai urusan public yang memerlukan tindakan pemerintah dan dipenaruhi oleh usaha sebelumnya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menanggapi masalah tersebut. Pemerintah menganggap bahwa undang pendidikan kedokteran adalah sebuah aturan yang oenting untuk maksimalisasi peran dokter terhadap Negara. Alur kebijakan yang membutuhkan analisis yang berkesinambungan terhadap masalah dan solusi yang ditawarkan bersama - sama dengan perdebatan yang mengelilingi masalah tersebut dan kemungkinan tanggapan terhadapnya. Terjadi perdebatan antara penyusun kebijakan (kelompok interest) dan penentu kebijakan (pemerintah). Kelompok interest dalam hal ini adalah IDI menganggap bahwa aturan tersebut tidak penting karena telah ada pendidikan kedokteran yang akan mengatur segala permasalahan tersebut. Dan hingga saat ini Undang pendidikan kedokteran ini walaupun telah di sahkan sejak tahun 2013 masih mengalami proses yang panjang masih berada pada alur politik ada permainan power yang terjadi anatara penentu kebijakan dan penyusun kebijakan. Dan jika dihubungkan dengan UU no 12 Tahun 2011 proses penyusunan undang – undang ini telah memenuhi persyaratan penyusunan kebijakan.
Reply
# Lily Sulistyawati 2016-10-26 23:14
Penentuan agenda setting dalam penyusunan kebijakan ini adalah diawali dari pemilihan Pokja RUU yang dipimpin oleh salah seorang anggota fraksi partai politik yang ternyata sebelumnya sudah ada draft RUU ini sudah dipersiapkan. Pihak yang ditugasi menyusun adalah pihak pemerintah dan staf Kemendikbud. Alur penentuan agenda menurut Kingdon dalam penyusunan kebijakan ini adalah 1). Alur masalah, pendidikan kedokteran sudah banyak di Indonesia tetapi distribusi profesi dokter belum merata di seluruh daerah 2). Alur politik, inisiatif pembentukan kebijakan ini bukan muncul dari kalangan dokter tetapi dari tokoh politik itu sendiri di parlemen dengan tujuan ingin memperkuat peran negara dalam pendidikan kedokteran 3). Alur kebijakan, kebijakan ini diagendakan dan masuk dalam agenda setting. Peran eksekutif dan legislatif sangat berpengaruh dalam penentuan kebijakan ini terlihat disini ketika objek dari kebijakan ini yaitu para dokter yang tergabung dalam IDI tidak menyetujui RUU ini tetapi pengesahan kebijakan ini tetap dilaksanakan dan saat IDI menggugat kebijakan yang telah disahkan ini juga tetap tidak berhasil. Partai politik yang nota bene bukan latar belakang dokter mereka yang punya inisiatif dahulu untuk membentuk kebijakan ini, disini sangat terlihat bahwa partai politik juga sangat berpengaruh dalam penentuan kebijakan. Grup interest dalam kebijakan ini terdiri dari fraksi-fraksi di parlemen. Pihak-pihak lain seperti IDI, KKI, Kementerian kesehatan tidak sejalan dengan kebijakan ini. Kementerian kesehatan tidak bisa berbicara banyak karena ini tidak terkait langsung dengan kementerian tersebut. Di pihak lain AIPKI yang awalnya menentang kemudian berubah menjadi mendukung kebijakan ini. Begitu juga dengan berbagai universitas besar yang awalnya menentang kemudian berubah menjadi mendukung. Seyogyanya pihak interest mendengarkan alasan dari IDI dan KKI mengenai ketidaksefahaman mereka, agar isi dari kebijakan ini bisa diperbaiki dan mempertimbangkan segala hal dan tidak mementingkan kekuasaan semata. Dengan demikian isi kebijakan dapat diterima oleh semua pihak dan dapat dilaksanakan dengan baik sesuai tujuan.
Reply
# salahuddin al ayubi 2016-10-27 00:13
Undang-undang pendidikan kedokteran telah "disyahkan", dan ini merupakan contoh nyata bahwa penyusunan suatu kebijakan tidaklah mudah, adanya pertentangan yang dinamis didalammya, walaupun pada akhirnya semua pihak harus "menerima" kebijakan ini, terkait mengenai alur penyusunan/penentuan agenda dalam kebijakan ini saya sependapat dengan teman-teman (sisi masalah,sisi kebijakan, dan sisi politiknya), undang-undang pendidikan kedokteran ini selanjutnya akan diatur dalam RPP u pelaksanaanya, pihak-pihak yang pro dan kontra dalam penyusunan UU ini diharapkan bisa duduk bersama kembali untuk mencapai tujuan yang lebih besar sesuai dengan amanat UUD 1945 di atas kepentingan kelompok, golongan dan politik.
Reply
# Rosita Antariksawati 2016-10-27 03:35
Dokter Layanan Primer (DLP) adalah produk politik. DLP lahir dari keputusan politik antara pemerintah dengan DPR. Hal ini dimaksud bahwa pemerintah ingin membentuk Dokter dengan multi power yang bisa melakukan pelayanan kesehatan secara menyeluruh baik curativ maupun preventiv. Kenyataanya tidak semudah membalikkan telapak tangan karena DLP masih menjadi perdebatan antara pemerintah, masyarakat kedokteran dan mahasiswa...Menurut saya, untuk saat ini Dokter layanan primer bukan jawaban untuk Indonesia. Masih banyak hal yang dapat diselesaikan terlebih dahulu, seperti moratorium FK, hentikan komersialisasi dunia kedokteran, pemerataan dan penyediaan fasilitas kesehatan dan juga para dokter umum. Pembukaan DLP dapat menimbulkan masalah sebagai berikut :
Pemborosan APBN
Tata kerja terganggu di tingkat primer karena tidak ada batas jelas pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh DLP. Sehingga dokter umum dan DLP cenderung tumpang tindih
Masyarakat akan memandang sebelah mata dokter umum karena menganggap kemampuan DLP seperti spesialis lainnya yang artinya lebih baik dari dokter umum.
Dokter umum yang bekerja di primer akan kehilangan pekerjaannya digantikan oleh DLP, sedangkan kuota dokter umum jauh lebih besar dari DLP
Trimaksih..
Reply
# Martha Puspita Sari 2016-10-27 05:06
Menambahkan komentar, Kingdon menggambarkan pemunculan kebijakan melalui tiga alur terpisah, yaitu alur masalah, politik, dan kebijakan. Bila ketiga alur bertemu maka akan membuka jendela kebijakan. Kebijakan juga akan dianggap serius oleh pemerintah bila ketiga alur berjalan bersamaan. Terkait UU Pendidikan Kedokteran yang disusun pada 2010 dan sudah disahkan di tahun 2013, merupakan UU yang kontroversial karena tumpang tindih 4 (empat) UU yaitu : UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, UU No Tentang No 20 Tahun 2013 Pendidikan Kedokteran, dan UU No. 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan kemudian UU No. 20 Tahun 2013 memasukkan “dokter layanan primer” ke dalam jenis profesi baru kedokteran. Tujuan RUU Pendidikan Kedokteran ini dibuat karena belum adanya aturan yang jelas mengenai proses pendidikan dan profesi kedokteran di Indonesia. Beberapa dampaknya adalah penyebaran tenaga medis yang tidak merata di daerah serta banyaknya perguruan tinggi dengan akreditasi C pada fakultas kedokteran. Diharapkan adanya naskah akademik dari IDI yang akan segera dibahas kembali dengan pemerintah sehingga kebijakan tersebut dapat diterima semua pihak.
Reply
# Nurmina H 2016-10-27 10:32
Izin menambahkan pendapat mba Martha. saya sepakat bahwa UU pendidikan kedokteran no 20 tahun 2013 perlu dilakukan perubahan. Karena tampak jelas adanya unsur politik, pada awal perumusan UU ini telah mengalami pro dan kontra di pihak pemerintah sendiri sebagai pihak yang menginisiasi kebijakan apakah akan merumuskan UU tentang pendidikan kedokteran atau tidak. selanjutnya seiring perjalanan UU ini kemudian disahkan. adanya tumpang tindih dengan empat UU yang lain juga merupakan masalah yang butuh perhatian. karena ini terkesan mengulang-ulang kebijakan dan wewenang. selain itu profesi baru kedokteran yaitu Dokter Layanan Primer (DLP) juga menjadi masalah, karena menurut saya pribadi seorang dokter pada dasarnya memang sudah dibekali ilmu untuk memberikan pelayanan primer yang menjadi kompetensi dasarnya. sehingga tidak perlu lagi adanya profesi untuk menjadi dokter pelayanan primer. jadi sangat perlu bagi pemerintah untuk kembali mempertimbangkan dan merevisi UU no 20 tahun 2013 ini, dengan mempertimbangkan 'suara' dari IDI sebagai pelaksana dari UU ini. terima kasih
Reply
# marlindha setyarini 2016-10-27 05:15
Melihat kasus UU kedokteran di atas, isu kebijakan adalah inisiatif DPR. suatu masalah bisa menjadi masalah publik jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius; telah mencapai tingkat partikularitas tertentu, berdampak dramatis; menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa; menjangkau dampak yang amat luas ; mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya). tetapi dalam kasus UU Pendidikan Kedokteran ini banyak timbul konflik antara pemerintah, legislatif, organisasi profesi, sehingga penyelesaiannya berlarut-larut. Alur penentuan agenda menurut Kingdon dalam penyusunan kebijakan ini adalah 1). Alur masalah, pendidikan kedokteran sudah banyak di Indonesia tetapi distribusi dokter belum merata 2). Alur politik, inisiatif pembentukan kebijakan dari tokoh politik di parlemen (DPR) dengan tujuan ingin memperkuat peran negara dalam pendidikan kedokteran 3). Alur kebijakan, kebijakan ini diagendakan dan terkesan dipaksakan masuk dalam agenda setting. legislatif dan eksekutif juga mempunyai peran yang penting dalam penentuan kebijakan. IDI sebagai organisasi profesi yang semula menentang akhirnya juga menyetujui, tentu ada upaya dari pihak legislatif untuk mempengaruhi pihak-pihak yang menentang. terlihat di sini peran legislatif sangat kuat, terutama partai politik. Dalam tahap evaluasi kebijakan, seyogyanya tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
Reply
# Vidya Avianti Hadju 2016-10-27 06:08
Izin berkomentar, terdapat 2 pandangan terhadap UU ini: IDI menyatakan: 1) UU Pendidikan Dokter terutama mengenai program Dokter Layanan Primer (DLP) dianggap merendahkan & meragukan kompetensi dokter yang saat ini melayani masyrakat di bagian primer; 2) UU Pendidikan Dokter ini dianggap tumpah tindih terhadap Undang-Undang sebelumnya; 3) Kurikulum, standar pendidikan, dan gelar DLP belum memiliki kejelasan dan landasan formal. Sedangkan pendapat yang pro terhadap UU Pendidikan Dokter yaitu pemerintah dan pakar dalam bidang kedokteran lainnya beranggapan UU Pendidikan Dokter ini sebenanrnya sudah selaras & tidak tumpang tindih terhadap peraturan lainnya, UU ini semata-mata untuk meningkatkan kompetensi dasar seorang dokter. DLP ini nantinya akan melakukan penelusuran yang lebih mendalam dengan melakukan pendekatan yang lebih baik terhadap masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat. Di luar negeri, DLP ini lebih dikenal dengan dokter keluarga. Perlu adanya kesamaan persepsi dengan melakukan sosialisasi yang baik mengenai tujuan dari UU Pendidikan Dokter, termasuk Program DLP ke berbagai interest group (IDI, KKI, AIPKI).
Reply
# Anis Kurnia Maitri 2016-10-27 07:23
Menurut Kingdon, ada 3 alur dalam penyusunan kebijakan, (1) ALUR MASALAH, (2) ALUR PROBLEM SOLVING/KEBIJAKAN; (3) ALUR POLITIK, dimana ketiga alur tersebut seharusnya saling bertemu dalam Jendela Kebijakan yang memenuhi keinginan semua pihak. Akan tetapi pada kasus UU Pendidikan dokter diatas, nampak bahwa pada alur masalah sudah terdapat perbedaan antara masing-masing stakeholder. Satu pihak menganggap terdapat masalah dari UU Pendidikan sebelumnya, sedangkan pihak lain tidak merasa ada masalah. Sehingga pada alur-alur selanjutnya hal tersebut semakin menimbulkan pertentangan antara masing-masing pihak (stakeholder).
IDI sebagai stake holder utama melakukan walkout namun oleh alur politis hal tersebut dianggap tidak menjadi masalah terlihat dari statement yang dikeluarkan Ketua Panja RUU Pendidikan Kedokteran yang tegas menyatakan bahwa proses tidak akan berhenti karena mundurnya sebuah lembaga di masyarakat. Melihat dari hal ini, menurut saya ada interest grup yang “memaksakan” UU ini segera disyahkan. Sehingga pengesahan tetap dilakukan oleh DPR. Kembali lagi, peran politik menjadi lebih unggul dalam pemutusan kebijakan.
Reply
# Vita Nurhikmah 2016-10-27 15:19
Saya setuju dengan pendapat Mbak Anis yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan dalam alur masalah pada proses penyusunan kebijakan menurut Kingdon. Satu pihak menganggap ada masalah pada UU yang mengatur pendidikan kedokteran sebelumnya sedangkan pihak yang lain tidak menganggap adanya masalah. Perbedaan pendapat ini membuat ketiga alur penyusun kebijakan menjadi tidak berjalan bersamaan. Akibatnya kebijakan yang dihasilkan yakni UU Pendidikan Kedokteran tahun 2013 tidak dianggap serius oleh banyak pihak sehingga sampai saat ini masih ada aksi unjuk rasa yang dilakukan untuk menentang pelaksanaan UU tersebut.
Reply
# yeniar alifa 2016-10-27 08:57
Pembentukan RUU yang diinisiasi anggota DPR menurut saya bertujuan baik untuk meningkatkan mutu pendidikan kedokteran di indonesia. Namun IDI menganggap DLP hanya akan memberatkan dokter serta meragukan kompetensi dokter yang saat ini melayani masyarakat di layanan primer. Apabila dokter umum yang saat ini sedang bekerja di layanan primer harus di sekolahkan lagi maka semakin banyak biaya yang diperlukan dan kalau semua dokter harus sekolah lagi maka kita akan kekurangan sumber daya di lapangan. Sepakat dengan pak ayubi bahwa penyusunan suatu kebijakan tidaklah mudah, selalu saja ada pertentangan di dalamnya, dan mau tidak mau pihak yang kontra harus tetap ikut sepakat dan menjalankan.
Reply
# Masfufah 2016-10-27 09:12
Menurut Kingdon pemunculan kebijakan melalui tiga alur terpisah, yaitu alur masalah, politik, dan kebijakan. Nah, pada kasus ini terdapat dua pandangan terhadap Undang-undang ini yaitu:
1. Menurut pandangan IDI:
a. UU Pendidikan Dokter terutama mengenai program Dokter Layanan Primer (DLP) dianggap merendahkan & meragukan kompetensi dokter yang saat ini melayani masyrakat di bagian primer
b. UU Pendidikan Dokter ini dianggap tumpah tindih terhadap Undang-Undang sebelumnya
c. Kurikulum, standar pendidikan, dan gelar DLP belum memiliki kejelasan dan landasan formal.
2. Pendapat yang pro terhadap UU Pendidikan Dokter yaitu pemerintah dan pakar dalam bidang kedokteran lainnya beranggapan UU Pendidikan Dokter ini sebenanrnya sudah selaras & tidak tumpang tindih terhadap peraturan lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dasar seorang dokter.

Namun sebagian berpendapat bahwa UU DLP dianggap masih terlalu dini untuk diterapkan. UU tetap dibahas walaupun ada pertentangan dari profesional sebagai pelakunya yaitu dokter. Para dokter tersebut menganggap bahwa lingkup kerja yang dikerjakan oleh DLP sangatlah membebani mereka dimana mereka harus melakukan investigasi dulu sebelum melakukan kuratif. Sebenarnya penerapan DLP secara umum memang merupakan tuntutan, dimana jika Indonesia tidak menrapkannya maka kemungkinan masuknya tenaga kerja dalam hal ini profesional dokter dari luar sangat mungkin terjadi. Indonesia termasuk salah satu negara yang belum menerapkan kebijakan DLP ini selain Laos dan Myanmar.

Nah dapat di katakan bahwa Undang-undang pendidikan kedokteran yang telah disahkan merupakan contoh nyata bahwa penyusunan suatu kebijakan tidaklah mudah, dikarenakan adanya pertentangan, walaupun pada akhirnya semua pihak menerima kebijakan tersebut. Sebenarnya, Indonesia belum siap untuk menerapkan program ini karena dari segi infrastuktuktur dan geografis Indonesia tidak memadai kemudian persebaran dokter juga belum merata, masih terpusat di wilayah kota besar.
Reply
# Irmayanti 2016-10-27 10:17
Izin berkomentar, mungkin pendapat saya agak berbeda, meurut Model Penentuan Agenda Kingdon perubahan atau pembuatan kebijakan bisa terjadi ketika ketiga alur (alur masalah, alur politik, dan alur kebijakan) bertemu pada satu titik sehingga menciptakan sebuah jendela kebijakan. Dapat dilihat sendiri pada kasus ini terjadi pro dan kontra antara pressure group dan pemerintah pada alur masalah. Pemerintah menganggap bahwa UU ini diperlukan karena adanya masalah yaitu persebaran dokter tidak merata sementara IDI sebagai pressure group menganggap UU ini tidak diperlukan karena sudah ada UU sebelumnya yang mengatur issue serupa. Alur kebijakan terkesan berjalan lambat karena adanya keraguan-raguan di antara para pembuat keputusan itu sendiri. Sementara untuk alur politik sendiri yang cenderung terpisah dari kedua alur bisa saja disebabkan karena adanya kepetingan ataupun perubahan yang di anggap perlu oleh para pemegang kendali politik. Sehingga menurut saya pertemuan antara ketiga titik ini serasa cenderung dipaksakan tetapi pada akhirnya kebijakan baru tetap ditetapkan. Itu pendapat saya menurut yang saya pahami jika keliru harap dikoreksi, terima kasih.
Reply
# Karina Muthia Shanti 2016-10-27 12:47
Izin menambahkan,
Saya setuju dengan pendapat saudari Irma bahwa pembentukan UU Pendidikan Kedokteran ini cenderung dipaksakan. Tentu terdapat kepentingan-kepentingan politik tertentu sehingga UU ini mencapai tahap pengesahan, misal dapat dilihat dari sikap Kementerian Kesehatan yang mulanya tidak banyak berperan, pada akhirnya tiba-tiba lebih aktif berperan saat merumuskan pasal-pasal mengenai DLP.
Banyak polemik antara interest group (dalam hal ini IDI) dan pemerintah, tetapi bagaimanapun peran politik tetaplah unggul.

Sebenarnya UU Pendidikan Kedokteran ini memiliki konten yang baik untuk melindungi pembentukan FK-FK yang belum jelas sehingga kualitas profesi dokter terjamin. Namun demikian pada aspek lain yaitu terkait program DLP, perlu dikaji lebih dalam lagi karena jika dokter umum sudah baik, seharusnya DLP sudah tercakup pada kompetensi dokter umum. Apabila DLP sudah terlaksana dan lulusan DLP sudah ditempatkan di berbagai FKTP, tetapi FKTP tidak memiliki fasilitas yang memadai maka DLP juga tidak dapat berperan banyak dalam menanggulangi penyakit dan mengurangi jumlah rujukan ke RS. Oleh karena itu, seyogyanya pemerintah membentuk kebijakan yang berbasis evidence based policy, jangan sampai kebijakan justru tidak dapat dilakukan oleh masyarakat atau justru merugikan masyarakat.
Terima kasih.
Reply
# Farah Nuriannisa 2016-10-27 13:39
Selamat malam, izin menambahkan pendapat

Saya sependapat dengan saudari Irma dan Karina. Menurut saya, penyusunan UU Pendidikan Kedokteran ini belum terlalu urgent untuk dilakukan. Lebih baik pemerintah menyusun kebijakan tentang pemerataan akses layanan kesehatan, karena masih banyak daerah yang belum layak akses pelayanan kesehatannya.
Selain itu, penyusunan UU Pendidikan Kedokteran dan inisiasi DLP ini menurut saya tidak relevan dengan kondisi Indonesia, dimana DLP nantinya akan setara dengan dokter spesialis, sehingga tentunya biaya masyarakat untuk ke DLP akan lebih mahal dibandingkan dengan ke dokter umum, padahal kompetensi yang dimiliki hampir serupa, sehingga nantinya malah akan membebani rakyat.
Bila memang ingin memperbaiki sistem pendidikan kedokteran, sebaiknya diperbaiki yang memang urgent dilakukan, misalnya penempatan dan pemerataan dokter di daerah-daerah FKTP, dsb.
Terimakasih
Reply
# Destriyani 2016-10-27 11:42
Pemerintah memandang, kesehatan bagi masyarakat seharusnya diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, merata, dan dengan mutu yang baik serta dapat diterima atau dirasakan masyarakat dengan harga yang terjangkau. Untuk memastikan layanan kesehatan tersebut diperlukan penataan mulai dari sisi hulu yakni pendidikan kedokteran.DPR sebagai badan legislatif yang berfungsi untuk membuat undang-undang sekaligus sebagai wakil rakyat dalam penyusunan RUU pendidikan kedokteran memiliki tujuan yag baik dan sama halnya dengan UUD Pendidikan Nasional yang termasuk di dalamnya pendidikan kedokteran dimana tujuan tersebut untuk meminimalisir adanya FK yang tidak layak didirikan agar mutu pendidikan kedokteran lebih baik, dan menciptakan lulusan dokter yang lebih kompeten untuk mrngatasi permasalahan kesehatan serta pemerataan dokter karena saat ini banyak dokter-dokter terkumpul di kota-kota besar, sementara di daerah-daerah terpencil sangat kekurangan tenaga dokter. Dalam penyusunan RUU Pendidikan kedokteran terkait pertentangan antara beberapa stakeholder yang memiliki pandangan yang berbeda. Dalam pembuatan agenda RUU Pendidikan Dokter, DPR selaku pemerintah terlalu banyak mengambil porsi tanpa melibatkan aktor lain yang seharusnya terlibat di dalamnya seperti Kementerian Kesehatan, IDI dan Pihak Universitas. .
Jika dianalisis menggunakan model Kingdom, ada tiga proses politik yaitu :
1.Alur masalah : Keberadaan dokter belum merata dan masih cukup banyak daerah yang belum terpenuhi kebutuhan dokter, pemerataan melanjutkan pendidikan di dunia kedokteran, komersialisasi dalam dunia pendidikan kedokteran
2.Alur politik: aktor di luar pemerintahan seperti ahli profesi menolak gagasan RUU karena menganggap RUU tersebut terlalu menyulitkan untuk para dokter. Walk out salah satu langkah yang dilakukan untuk menolak RUU ini.
2.Alur kebijakan : gagasan tentang DLP (Dokter Layanan Primer) menjadi isu pertentangan antara Pemerintah dan IDI
Reply
# Rizka Fikrinnisa 2016-10-27 13:14
Izin berkomentar, banyaknya pendidikan kedokteran di Indonesia harus disertai dengan peningkatan standar mutu sehingga DPR berinisiatif untuk membentuk UU ini. Adanya pertentangan yang dilakukan oleh IDI dalam hal ini sebagai interest group dalam bentuk sikap walkout dikarenakan perumusan kebijakan dilakukan DPR sebagai pihak legislatif tanpa melihat isu-isu kebijakan sehingga terkesan pemutusan suatu kebijakan hanya berdasarkan kekuasaan dan kepentingan kelompok tertentu. Seharusnya pada saat perumusan RUU ini tidak hanya DPR dan Kementrian Pendidikan tetapi juga melibatkan organisasi profesi kesehatan yang dalam hal ini sebagai pelaksana kebijakan.
Reply
# Fahmi Tiara Sari 2016-10-27 14:39
Selamat malam, mohon izin memberikan komentar. Dalam konteks penolakan IDI terhadap UU Pendidikan Kedokteran (Dikdok), baik pada saat penyusunan RUU maupun pengajuan gugatan Yudisial Review oleh PDUI, yang menjadi pressure group dalam proses kebijakan yang paling terlihat ialah IDI serta PDUI yang juga dinaungi oleh IDI. Meskipun gugatan telah ditolak MK, namun IDI tetap berpegang pada pendiriannya dan menolak keputusan MK. Dalam hal ini IDI juga berlaku sebagai sectional group yang memiliki tujuan utama melindungi dan meningkatkan kepentingan anggotannya atau masyarakat yang diwakilinya yaitu PDUI. IDI melakukan strategi-strategi agar pemerintah mempertimbangkan tuntutan dilakukannya revisi UU Dikdok. Hingga pada tahun 2016 DPR mengadakan rapat dengar pendapat yang melibatkan beberapa stakeholder yang berkaitan penyusunan UU Dikdok dan kabar terakhir kemungkinan besar UU Dikdok akan direvisi. Terima kasih, maaf apabila ada kesalahan.
Reply
# Nurlienda Hasanah 2016-10-27 15:00
Saya sepakat dengan Tiara mengenai adanya adanya sectional group... Interest group yang paling dirasakan dalam RUU ini.
menurut saya UU nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran ini memang riskan sebagai pemicu konflik. Inisiator RUU ini komisi X DPR bukan pihak yang terlibat langsung di dalam pendidikan kedokteran seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Konsil kedokteran Indonesia (KKI). Hal ini tentu saja membuat pertanyaan besar, ada apa dibalik UU ini? Pendidikan dokter yang dinilai sangat kental dengan kapitalisme (kualitas institusi dan pembiayaannya) makin memanas dengan adanya dokter layanan primer (DLP). Tak mengherankan jika DLP disebut sebagai produk politik dari pihak-pihak tertentu. Adapun alur kebijakan yang mulanya digodok DPR bersama IDI, KKI dan beberapa pihak terkait pada prosesnya sempat membuat IDI walk out dan masuk kembali dengan mengajukan beberapa persyaratan.

Lalu, bagaimanakah seharusnya peran legislatif ?
Beberapa partai politik yang gencar melalui anggotanya di badan legislatif tampak tidak konsisten. Ada yang mengajukan peninjauan kembali, ada yang bersikap tak acuh dan sebagainya. Berbagai interest group pun turut mewarnai UU ini. Persatuan Dokter Umum Indonesia (PDUI) menolak adanya UU no. 13 tahun 2013 khususnya yang berkaitan dengan DLP. Sikap walk out IDI dari pembahasan RUU sebenarnya merugikan IDI sendiri meskipun telah mengupayakan jalur judicial review kepada Mahkamah Konsitusi (MK), sehingga intervensi terakhir melalui penyusunan RPP. Interest group baru yakni Perhimpunan Dokter Spesialis Layanan Primer Indonesia (PDLPI) pada 27 Agustus 2015 dan beberapa fakultas kedokteran yang siap menyelenggarakan pendidikan profesi DLP seperti Universitas Padjajaran dan UGM (dalam proses penyiapan).
Reply
# Kartika Yuliani 2016-10-27 15:17
Selamat malam, mohon izin untuk berpendapat. Menurut saya, penentuan agenda kebijakan UU Pendidikan kedokteran memiliki urgensi yang cukup tinggi dilihat dari tujuan dari UU yaitu memperkuat peran negara dalam pendidikan kedokteran dan memperketat syarat pendirian pendidikan kedokteran, meningkatkan subsidi pemerintah untuk pendidikan kedokteran, mengatur beasiswa yang dikaitkkan dengan penempatan, serta perbaikan sistem pendidikan residen sebagai tenaga kerja. Tetapi dalam penetapannya UU ini cenderung dipaksakan, dilihat dari kurangnya dukungan dari beberapa interest grup seperti IDI dan KKI. Strategi Pemerintah untuk menyerahkan pembuatan RUU pada sebagian staf Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menurut saya juga kurang tepat karena UU Pendidikan kedokteran pada akhirnya tidak hanya berdampak pada penyelenggaraan pendidikan kedokteran, tetapi juga pada kinerja dokter di lapangan yang tentu saja sangat terkait dengan kepentingan interest grup seperti IDI dan KKI terutama dengan akan diadakannya DLP . Namun strategi yang dilakukan oleh IDI dan KKI untuk walk out dari proses perumusan kebijakan juga tidak tepat karena akan semakin menjauhkan peran mereka sebagai insider group yang dapat berpengaruh langsung dalam pembuatan kebijakan. Keputusan untuk baru bergabung kembali dalam penyusunan RPP dan regulasi terkait UU Pendidikan Kedokteran bisa menjadi strategi untuk masuk kembali sebagai insider group dan memberikan perannya dalam merumuskan kebijakan walaupun bisa dikatakan cukup terlambat. Peranan IDI dan KKI sebagai interest group dan juga sectional group tidak bisa dipandang sebelah mata karena mereka memiliki anggota yang cukup besar serta memiliki peranan dan pengetahuan yang luas tentang lapangan (bidang kesehatan) yang mereka pegang. Oleh karena itu baik pihak legislatif, eksekutif, interest-interest grup lain, maupun elit-elit pembuat aturan UU ini yang lebih lanjut sebaiknya lebih terbuka dalam perumusan serta bisa melakukan lobbying apabila terdapat penolakan yang tidak dapat diterima.
Reply
# Juniar A Wigiyandiaz 2016-10-27 15:38
Saya setuju dengan pendapat saudari Kartika, bahwa tidak tepat jika IDI walk out dari proses perumusan kebijakan. Karena organisasi tersebutlah yang memiliki anggota yang seharusnya bisa sangat berpengaruh terhadap kebijakan yang akan dibuat. Mereka yang seharusnya dianggap paling mengerti kondisi nyata di lapangan. apa saja yang dibutuhkan, dan kebijakan apa yang seharusnya dibuat serta didahulukan. Ketika mereka melakukan walk out, maka bisa jadi suara mereka justru tidak didengar dan kurang dipertimbangkan dalam proses selanjutnya. Jika memang ada hal yang dirasa kurang sesuai, maka dapat dilakukan perundingan untuk mencari jalan tengah suatu masalah, sehingga didapat win-win solution.
Belakangan, banyak terdapat berita di media bahwa terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh dokter. menurut saya, akan lebih baik jika tenaga dan massa untuk berdemo, digunakan saya untuk melakukan perundingan atau lobby ulang, dimana dapat dikemukakan fakta-fakta yang dapat memperkuat argumen dari IDI dan organisasi lain yang bersangkutan.
Reply
# Josefa Rosselo 2016-10-27 16:00
Ijin berkomentar,
Proses penyusunan undang-undang pendidikan kedokteran memang menuai banyak pro dan kontra. Jika dilihat dari model tiga alur penentuan agenda menurut Kingdon yaitu 1). Alur masalah;UU pendidikan kedokteran dinilai tidak urgen untuk dilaksanakan karena sudah ada dalam UU lain sebelumnya yaitu UU pendidikan dan UU kedokteran, sehingga pemerintahpun awalnya ragu-ragu untuk menetapkannya.2). Alur kebijakan; Walaupun RUU pendidikan kedokteran tersebut ditentang oleh IDI melalui PDUI namun proses penyusunannya tetap terus dilanjutkan tanpa mau mendengar aspirasi dari kelompok yang kontra.3). Alur politik; DPR sebagai badan legislatif dan wakil rakyat dengan kekuasaan yang dimilikinya bersama pemerintah (kementrian pendidikan) akhirnya menetapkan UU pendidikan kedokteran tersebut pada tahun 2013. Dalam perkembangan selanjutnya muncul lagi isu DLP yg juga ditentang oleh IDI namun akhirnya diterima dengan beberapa catatan kesepatan. Dari fenomena ini terlihat ada kecenderungan pemerintah mengabaikan aspirasi dari kelompok yang menjadi obyek kebijakan dengan dominan dipengaruhi oleh faktor politik dan kekuasaan.Thks.
Reply
# Karina Puspa Adwaita 2016-10-27 16:32
Saya akan mencoba melakukan analisis menggunakan model agenda setting kebijakan dari Kingdon.

Kingdon menggunakan pendekatan "jendela kebijakan" untuk memasukkan hal-hal apa saja yang akan djadikan agenda setting. Beliau mengemukakan bahwa kebijakan muncul melalui 3 arus atau proses, yakni:

1. Arus Masalah
Yang dianggap sebagai masalah hingga muncul UU Pendidikan kedokteran adalah:
- Kompetensi sebagian dokter umum saat ini dianggap kurang mumpuni karena sejumlah fakultas kedokteran di Indonesia tidak memiliki akreditasi yang baik sehingga lulusannya menjadi kurang berkualitas.
- Banyaknya angka rujukan penyakit dari faskes primer ke faskes sekunder sehingga faskes tingkat lanjut menjadi overload dan biaya kesehatan yang harus dibayarkan BPJS membengkak.
- Masih belum tercapainya target indikator kesehatan nasional Indonesia (terutama AKI dan AKB) yang salah satu penyebabnya adalah sistem layanan kesehatan primer yang kurang menjalankan fungsinya secara optimal.

2. Arus Kebijakan
Merupakan solusi yang diajukan untuk mengatasi masalah di atas:
- Pada UU terdapat pasal mengenai adanya pendidikan lanjutan pasca profesi dokter umum setara spesialis yang dinamakan Dokter Layanan Primer (DLP) yang hanya boleh diadakan oleh Fakultas Kedokteran terakreditasi tertinggi. Program tersebut diadakan untuk meningkatkan kompetensi para dokter yang akan fokus berkarir di layanan primer. Sehingga diharapkan dengan kualitas dokter yang lebih baik, fungsi pelayanan primer bekerja lebih maksimal.
- Dilakukan pembatasan terhadap pembukaan fakultas kedokteran baru karena pemerintah akan fokus memperbaiki kualitas fakultas kedokteran yang masih bermasalah dulu sebelum menambah masalah baru lagi dengan institusi pendidikan yang sebenarnya belum siap menyelenggarakan fakultas kedokteran (menghindari lahirnya lulusan dokter yang tidak kompeten).

3. Arus Politik
UU ini disusun oleh berbagai pihak, di antaranya DPR, perwakilan AIPKI, Kolegium Kedokteran, IDI, dan kementerian terkait sehingga harus ada muatan yang mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingannya.

Adanya protes dari IDI yang mengajukan yudisial review ke MK dilatarbelakangi oleh adanya ketidaksetujuan mengenai pasal yang mengatur program DLP ini. Mereka menilai bahwa program DLP terlalu dipaksakan, terkesan digunakan fakultas kedokteran untuk mencari keuntungan komersial dengan mendirikan prodi baru, dan berpotensi menimbulkan kriminalisasi dokter karena ada isu bahwa yang nantinya boleh memberikan pelayan primer kepada pasien BPJS adalah dokter layanan primer, tidak cukup dokter umum.

Menurut IDI, yang menimbulkan pelayanan kesehatan primer Indonesia kurang baik adalah terbatasnya sarana prasarana di level faskes primer dan tidak meratanya distribusi dokter hingga ke daerah perifer maupun pedalaman, bukan masalah kompetensi dokter umum yang kurang. Akibat dari keterbatasan saranan/prasarana, dokter menjadi tidak dapat memberikan performa primanya di faskes primer sehingga terpaksa dirujuk ke tempat yang fasilitasnya lebih memadai.

IDI menilai bahwa untuk meningkatkan atau mengupdate pengetahuan/skill dokter umum di layanan primer cukup dengan program pendidikan berkelanjutan saja (melalui seminar, workshop, kegiatan profesional klinis, pengajaran/penelitian, dan pengabdian masyarakat), tidak perlu sekolah formal lagi 3 tahun.

Seyogyanya sebelum kebijakan ini disahkan, ada baiknya dilakukan riset terlebih dahulu apa yang sebenarnya menjadi masalah belum tercapainya target indikator kesehatan nasional dan masih tingginya angka rujukan. Dengan demikian, solusi yang akan diambil bisa sesuai dengan akar masalah yang sebenarnya. Konflikpun dapat diminimalisir jika sebelumnya ada bukti empiris yang mendukung munculnya kebijakan tersebut.
Reply
# Rizti Medisa 2016-10-28 01:29
UU Pendidikan Kedokteran merupakan produk politik yang dibidani oleh badan legislatif (DPR) dengan kepentingan tertentu. Dalam penyusunannya tercermin bahwa pengadaan RUU ini terkesan memaksakan karena Pokja RUU yang di dalamnya juga terdapat staf Kementerian Pendidikan Kebudayaan masih ragu akan urgensi UU tersebut. Dalam tahap awal pembuatan kebijakan ini, antara badan legislatif, eksekutif (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan) dan organisasi kedokteran (IDI, KKI dan AIPKI) juga belum ada persamaan persepsi akan tujuan dibuatnya UU. IDI yang memutuskan untuk Walk Out di awal sebenarnya dirugikan oleh tindakannya sendiri, karena nasib profesinya sebagai interest group serta sectional group dipertaruhkan dalam penyusunan UU ini.
Adanya penambahan kebijakan DLP setelah UU disahkan makin menambah polemik di saat kritis, dalam hal ini pihak eksekutif yaitu Kementerian Pendidikan Kebudayaan dan Kementerian Kesehatan semakin terlibat aktif karena mereka tidak bisa menolak produk yang telah disahkan presiden dan DPR. Alasan Kemenkes dan Kemendikbud tetap mengusahakan adanya DLP di antaranya ialah: untuk mengurangi angka rujukan dari FKTP ke pelayanan sekunder sehingga mengurangi beban BPJS dalam membiayai penyakit yang seharusnya bisa disembuhkan di pelayanan primer. DLP memang terbukti berhasil di negara maju (USA, Inggris) bahkan negara berkembang (Thailand), namun perlu diingat lagi bahwa pemerataan dokter dan fasilitas kesehatan di Indonesia belum berjalan dengan baik. Saat ini dokter umum di seluruh Indonesia sendiri berjumlah sekitar 111.000, apabila Kemenkes bersedia menyiapkan anggaran untuk program DLP 15 tahun ke depan, biaya yang dikeluarkan akan lebih banyak, mengingat lama pendidikan DLP setara spesialis ialah 2-3 tahun. DLP juga akan menimbulkan tumpang tindih antara keberadaan dokter umum dan ahli kesehatan masyarakat, karena DLP diharuskan menguasai 155 kompetensi yang mana terdapat muatan tambahan yaitu dokter keluarga, kedokteran komunitas, dan kesehatan masyarakat.
Maka solusi terhadap polemik RUU Pendidikan kedokteran dan Dokter Layanan Primer ini ialah:
- Sebelum melahirkan dokter DLP dari berbagai FK terakreditasi terbaik, pemerintah juga perlu menyiapkan sarana dan prasarana lahan di mana DLP nanti akan mengabdi, pemerataan fasilitas dan alat kesehatan di seluruh Indonesia perlu dilakukan. Karena akan sangat disayangkan jika, DLP nantinya hanya bekerja di daerah dengan sumber daya yang baik
- Pemerintah mengajak para stakeholder di bidang kedokteran (IDI, KKI, AIPKI) untuk bekerja sama “menggodok” kebijakan DLP
- Memisahkan ranah politik terhadap profesi dokter, pendidikan dan cabang ilmu kedokteran
Terima kasih
Reply
# Hurfiati 2016-10-28 01:51
Kingdom menggambarkan pemunculan kebijaka melalui tiga proses yaitu alur masalah, alur politik, dan alur kebijakan. Penyusunan undang-undang pedidikan kedokteran yang sudah disahkan pada tahun 2013 banyak menuai kontroversi, karena semula UU pendidikan kedokteran ini merupakan inisiatif dari aggota DPR dengan alasan memperkuat pendidikan kedokteran dan memperketat pendirian pendidikan kedokteran yang mana pendidikan kedokteran saat ini menjamur dan disinyalir mempuyai agenda mencari uang belaka. dari segi dukungan peyusunan undang-undang ini ada yang pro dan ada yang kontra, dimana yang kontra adalah organisasi profesi seperti IDI dan KKI. Walaupun organisasi profesi menolak Undang-undang pendidikan kedokteran tetapi sebagai anggota legislative seperti DPR dan perwakilan dari pemeritah seperti kementrian pendidikan dan kebudayaan tetap melaksanakan peyusuan UU tersebut. Dalam hal proses koordinasi dalam penyusunan RRU masih sangat lemah karena tidak melibatkan organisasi yang lain yang berkompoten seperti IDI dan KKI. Hal ini merupakan pertimbangan DPR agar RUU cepat di realisasikan tanpa ada hambatan. Sehigga bila di lihat dari segi kebijakan undand undang pedidikan kedokteran terkesan dipaksakan. Dan terlihat bahwa factor kekuasaan dapat berpengaruh dalam terbentuknya suatu kebijakan.
Reply
# Fatimah Zahra Burhan 2016-10-28 09:40
Di semua negara, tidak hanya di negara yang departemen kesehatannya berstatus rendah, departemen lain yang kebijakannya mempengaruhi kesehatan cenderung untuk menjadi lebih asyik denagn pokok-pokok kebijakan sectoral mereka sendiri daripada memusatkan diri untuk berkontribusi pada seperangkat luas kebijakan kesehatan pemerintah. Jadi, departemen yang bertanggungjawab atas sector-sektor seperti sumber daya alam, pertanian dan terutama pendidikan, memiliki tujuan tersendiri yang ingin mereka capai dan mereka bertanggungjawab penuh untuk mencapainya. Akibatnya, mereka mungkin tidak terlalu memperhatikan dampak kesehatan dari keputusan-keputusan mereka terhadap manusia. Unsur pemerintah yang ditugasi menyusun UU Pendidikan Kedokteran ini yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memgawalinya dengan keraguan. Kementerian tidak Kesehatan tidak ikut berpendapat karena domain UU yaitu pendidikan, bukan sektor kesehatan sehingga tidak dilibatkan. Setelah memenuhi tiga alur penentuan agenda Kingdon yaitu alur masalah, alur politik, dan alur kebijakan maka UU ini masuk dalam agenda selama bertahun-tahun dan telah disahkan pada tahun 2013 dengan diinisiasi oleh beberapa anggota DPR dari Partai tertentu sehingga terlihat adanya pengaruh politik dalam kebijakan ini. Kemudian interest group seperti IDI dan KKI menolak UU ini dengan alasan-alasan tertentu yang telah banyak disebutkan teman-teman sebelumnya. Sedangkan AIPKI dan beberapa universitas besar yang awalnya ragu-ragu dan menentang kemudian berbalik arah untuk mendukung sehingga tidak ada kekompakan diantara group interest sehingga penolakan terhadap UU ini pun tidak maksimal. Dan akhirnya dengan adanya perubahan internal di dalam tubuh IDI, IDI berbalik arah ikut mendukung UU Pendidikan Kedokteran ini, sehingga sangat jelas terlihat bahwa interest group pun sangat dipengaruhi oleh kepentingan dan aktor-aktor di dalamnya untuk mengambil sikap terhadap suatu kebijakan.
Reply
# agus santosa 2016-10-31 04:00
Pro kontra pendidikan kedokteran saat ini menunjukkan lemahnya koordinasi pengambil kebijakan. DPR berinisiatif memperbaiki kualitas tenaga kesehatan khususnya profesi dokter,ada kecurigaan dari DPR kualitas lulusan dokter belum terstandarisasi karena kenyataan saat ini menjamur lembaga pendidikan /universitas kedokteran..namun kurangnya koordinasi dengan profesi dokter IDI maka menjadi polemik yang mengaburkan tujuan pembentukan UU pendidikan kedoteran
Reply

Add comment

Security code
Refresh