Skip to content

Reportase Paralel 1 Sesi 6 Filantropi dalam Membangun Sistem Kesehatan

Forum Nasional XV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (JKKI) tahun 2025 yang diselenggarakan oleh Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia bekerja sama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK–KMK UGM dan Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM mengangkat tema besar “Implementasi Kebijakan Transformasi Sektor Kesehatan dalam UU Kesehatan 2023”. Forum ini dilaksanakan secara hybrid di FK-KMK UGM dan melalui Zoom Meeting dan live stream Youtube. Salah satu subtema yang diangkat pada hari pertama Fornas (28/10/2025) adalah “Filantropi dalam Membangun Sistem Kesehatan”.

Sesi 6 Filantropi diawali pengantar oleh Prof. Laksono Trisnantoro selaku ketua JKKI. Dalam pengantarnya, Prof. Laksono menegaskan bahwa filantropi memiliki peran strategis dalam sistem kesehatan Indonesia. Menurut Prof Laksono, filantropi dapat berkontribusi tidak hanya dalam promosi kesehatan di masyarakat, tetapi juga dalam transformasi layanan rujukan, penguatan ketahanan bencana, serta pengembangan penelitian dan riset yang mendukung sistem kesehatan nasional.

Sesi kemudian dilanjutkan dengan pemaparan yang menghadirkan tiga pembicara utama dan satu pembahas, serta dipandu oleh Dr. dr. Jodi Visnu, MPH (RS Panti Rapih Yogyakarta) sebagai moderator.

Pembicara pertama, dr. Yeni Purnamasari, MKM selaku General Manager Kesehatan Dompet Dhuafa, memaparkan kiprah lembaganya melalui pilar segitiga Dompet Dhuafa: pelayanan kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan respon darurat. Hingga kini, Dompet Dhuafa mengelola 11 fasilitas kesehatan dan 7 rumah sakit yang fokus melayani masyarakat dhuafa tanpa jaminan kesehatan. Program unggulan seperti Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) dan “Kawasan Sehat” menekankan pemberdayaan komunitas, peningkatan kapasitas lokal, serta kolaborasi lintas sektor dalam pengelolaan penyakit menular maupun tidak menular. Dalam penanggulangan TBC, Dompet Dhuafa berperan aktif melalui pembentukan TB Community untuk penemuan kasus, pendampingan nutrisi, serta pemberdayaan ekonomi pasien. Seluruh upaya tersebut selaras dengan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) khususnya tujuan 2, 3, 5, 6, dan 17.

Pembicara kedua, Ir. Trihadi Saptoadi, MBA dari Yayasan Tahija, menyoroti peran strategis filantropi dalam memperkuat layanan rujukan dan sumber daya manusia kesehatan. Menurutnya, filantropi bukanlah pengganti pemerintah atau sektor bisnis, melainkan mitra yang melengkapi melalui investasi pada pengembangan kapasitas SDM, tata kelola, dan kepemimpinan. Filantropi juga berperan sebagai katalis inovasi, menguji model percontohan tanpa terikat birokrasi, seperti pada program Wolbachia yang berhasil di advokasikan hingga ke kebijakan nasional. Ir. Trihadi menekankan pentingnya riset operasional berbasis bukti, mekanisme blended financing, serta kolaborasi multi pihak. Tantangan yang dihadapi mencakup persepsi bahwa filantropi sekadar sumber pendanaan, kurangnya keselarasan prioritas antar lembaga, hingga absennya peta jalan nasional filantropi kesehatan yang dapat memandu arah kemitraan.

Pembicara ketiga, dr. Bella Donna, M.Kes dari Divisi Manajemen Bencana PKMK FK–KMK UGM, menguraikan peran filantropi dalam meningkatkan ketahanan dan respon terhadap bencana kesehatan. Berdasarkan data tahun 2024 terdapat lebih dari 3.400 bencana di Indonesia, menandakan perlunya sistem kesehatan yang tangguh menghadapi krisis. Filantropi, menurutnya, dapat berkontribusi dalam empat fase kebencanaan mitigasi, kesiapsiagaan, respon, dan pemulihan jangka panjang melalui pendanaan cepat, dukungan logistik, riset, serta penguatan kapasitas tenaga kesehatan.

Contoh nyatanya terlihat pada penanganan COVID-19 dan gempa Palu, di mana lembaga filantropi turut menutup kesenjangan pendanaan, menggerakkan relawan, serta memperkuat solidaritas publik. Namun, ia mengingatkan pentingnya koordinasi dengan pemerintah, transparansi penggunaan dana, dan strategi keberlanjutan agar bantuan tidak berhenti pascabencana.

Sebagai pembahas, Prof. Dr. dr. Sukadiono, MM dari Kemenko PMK menekankan peran filantropi sebagai katalisator kebijakan dan mitra strategis dalam memperkuat sistem kesehatan nasional. Filantropi dapat mendukung promosi dan pencegahan penyakit melalui pendanaan proyek percontohan, kampanye perubahan perilaku, serta pelatihan tenaga kesehatan. Ia menyoroti lima tantangan utama yang perlu diatasi: fragmentasi program, akuntabilitas dan pengukuran dampak, ketiadaan regulasi khusus, pembiayaan berkelanjutan, serta keberlangsungan program pasca proyek. Pemerintah, akademisi, dan lembaga filantropi diharapkan dapat mengembangkan National Health Philanthropy Roadmap untuk memastikan arah kolaborasi yang lebih efektif dan berorientasi hasil.

Sesi tanya jawab berlangsung interaktif. Salah seorang peserta menyoroti insentif pajak bagi sektor kesehatan dibandingkan bidang lain, serta menanyakan contoh negara dengan tingkat kepatuhan filantropi tinggi meskipun tanpa amnesti pajak. Menanggapi hal tersebut, Ir. Trihadi menjelaskan bahwa kesehatan merupakan satu-satunya sektor besar yang belum memperoleh insentif pajak dan hal ini penting untuk dikaji ulang. Peserta lain turut aktif dalam diskusi dengan menanyakan bagaimana individu atau lembaga yang tidak memiliki dana bisa melakukan aktivitas filantropi. dr. Yeni menjawab bahwa filantropi tidak hanya berwujud dana, melainkan juga partisipasi relawan dan co-financing dengan pemerintah daerah untuk mendukung keberlanjutan program. dr. Bella menegaskan pentingnya koordinasi antar lembaga agar sistem relawan dan bantuan dapat bekerja sesuai standar WHO. Prof. Sukadiono menutup diskusi dengan menekankan nilai dasar filantropi sebagai bentuk gotong royong dan keikhlasan yang perlu terus dikuatkan dalam mendukung transformasi sistem kesehatan.

Sebagai penutup, kesimpulan sesi ini menunjukkan bahwa filantropi memiliki potensi besar dalam memperkuat sistem kesehatan nasional, bukan  hanya melalui pendanaan tetapi juga inovasi, riset, peningkatan kapasitas SDM, dan kolaborasi lintas sektor. Sinergi antara pemerintah, akademisi, dan lembaga filantropi akan menjadi kunci dalam mewujudkan transformasi kesehatan Indonesia yang lebih tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.

Reporter: Mashita Inayah R (PKMK UGM)


 

   Reportase Terkait:

Mempelajari
UU No.17/2023 Tentang Kesehatan

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.