Reportase Advokasi Kebijakan KIA dan Gizi Berdasarkan Evidence Based

Sesi Pagi

Rangkaian Forum Nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia (FKKI) 2019 berlangsung di dua kota, yaitu Banda Aceh dan Yogyakarta (11/10). Forum juga ditayangkan melalui webinar dan bisa diikuti oleh peserta di seluruh Indonesia. Di Banda Aceh, sebagian besar peserta berasal dari kalangan akademisi dan peneliti kebijakan kesehatan. Sementara di Yogyakarta, peserta didominasi oleh mahasiswa dari Departemen Manajemen dan Kebijakan Kesehatan UGM. Forum Nasional KKI IX diadakan dengan tujuan agar hasil penelitian yang dilakukan dapat diadopsi oleh pemerintah untuk memberikan layanan kesehatan yang lebih baik kepada masyarakat.

“Kami ingin hasil penelitian kami dapat dilakukan oleh pemerintah khususnya dinas kesehatan. Terutama mengenai penurunan AKI di Aceh,” ujar salah satu peserta dari Aceh.

Lebih lanjut, Prof Laksono menjelaskan bahwa rangkaian penelitian yang diadakan diawali dengan pelatihan mengenai penyusunan policy brief yang merupakan salah satu proses advokasi kebijakan. Sebagian besar peserta yang hadir menyatakan tidak memiliki pengalaman penyusunan policy brief dan hanya sebatas laporan penelitian.

“Nah pelatihan ini menjadi penting ya, karena untuk membuat perubahan perlu adanya vokalis - vokalis yang dapat menuntut ke parlemen agar memberikan perubahan. Khususnya mengenai obsgyn, gizi dan KIA ya,” ujar Prof. Laksono.

Tentang Advokasi Kebijakan

Dalam rangkaian Forum Nasional KKI 2019, peserta sudah mendapatkan pengantar pelatihan tentang advokasi kebijakan. Advokasi kebijakan memiliki kaitan dengan proses penyusunan kebijakan seperti, penetapan agenda, perumusan kebijakan, penetapan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Peran dari advokasi kebijakan akan berada dalam setiap proses tahapan tersebut.

Dalam rangkaian Forum Nasional KKI 2019 (11/10), Prof. Laksono meminta peserta untuk merumuskan permasalahan mengenai gizi atau KIA.
“Kesehatan jaminan kesehatan Aceh (JKA) masih belum dapat meningkatkan taraf hidup karena prinsipnya masih berputar untuk mengobati orang sakit bukan mencegah penyakit,” ujar salah satu peserta di Aceh.

Peserta diminta mengisi survei permasalahan kebijakan yang telah dibahas pada rangkaian sebelumnya. Kemudian, peserta membagi permasalahan menjadi tiga permasalahan yang ada di level nasional maupun daerah.

Perumusan permasalahan dalam advokasi kebijakan membutuhkan Evidence Base Policy (EBP) sebagai dasar dan bukti ilmiah. EBP juga dapat digunakan dalam penulisan jurnal oleh akademisi dan peneliti untuk menjadi dasar dalam analisis kebijakan hingga advokasi kebijakan.
Hadirnya analisis kebijakan diperlukan untuk membantu peneliti untuk menggugat perubahan dalam kebijakan pemerintah daerah maupun pusat. Peneliti juga bisa mengkritisi tidak hanya dalam jurnal dan karya ilmiah tetapi juga dalam proses pembuatan kebijakan melalui analisis tersebut. Selanjutnya, peneliti dalam melakukan advokasi kebijakan agar hasil analisis tersebut dapat diterapkan oleh pemangku kepentingan.

Strategi Advokasi Kebijakan

Rangkaian dilanjutkan dengan pembahasan tentang penyusunan strategi advokasi kebijakan. Advokasi kebijakan memiliki tiga tujuan, yaitu mendidik, mempengaruhi dan memaksa. Dalam praktiknya, advokasi kebijakan membutuhkan negosiasi dan lobi terhadap pemangku kepentingan. Selain itu, perencanaan yang matang sesuai proses juga diperlukan agar advokasi kebijakan dapat diterapkan.

Proses tersebut dimulai dari identifikasi isu, analisis, penetapan tujuan, penetapan target, membangun koalisi, menyusun pesan kunci untuk setiap pemangku kepentingan, menetapkan alat atau teknik yang akan digunakan. Pengawasan dan evaluasi juga diperlukan untuk menjaga stabilitas proses advokasi yang dilakukan. Peserta kemudian diminta untuk merumuskan tujuan advokasi kebijakan kesehatan yang akan dilakukan. Sebagian besar peserta telah memahami dan dapat menetapkan tujuan advokasi yang terstruktur.

Sesi Siang

Rangkaian Forum Nasional IX Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia (Fornas IX JKKI) telah sampai di penghujung acara. Setelah melalui rangkaian acara sejak Senin 8 Oktober 2019, peserta kini tiba pada acara ‘Pelatihan Advokasi KIA dan Gizi’ yang diselenggarakan di Yogyakarta dan Aceh pada Jum’at, 11 Oktober 2019. Melalui pelatihan ini, peserta diharapkan mampu mengadvokasikan fokus isu KIA dan Gizi kepada pemangku kebijakan.

Pelatihan ini dimulai pukul 09.00 WIB dengan pemaparan materi dari narasumber yakni Prof. Laksono Trisnantoro dan Shita Listyadewi dari Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada ( PKMK FK - KMK UGM). Sesi ini berlangsung pukul 09.00 - 12.00 WIB, Prof. Laksono Trisnantoro menjelaskan pentingnya advokasi kebijakan dengan memaparkan contoh - contoh masalah di tiap daerah. Sedangkan Shita Listyadewi menjelaskan strategi advokasi kebijakan. Peserta di Aceh difasilitatori oleh Digna Purwaningrum, MPH dari PKMK FK - KMK UGM. Adapun peserta di Yogyakarta menyimak materi via webinar dengan fasilitator Relmbuss Biljers Fanda, MPH dari PKMK FK - KMK UGM.

Usai pemaparan materi, selanjutnya ialah latihan membuat rancangan advokasi. Pelatihan membuat rancangan advokasi ini dipandu langsung oleh Shita Listyadewi di Aceh. Sementara itu, pelatihan di Yogyakarta dipandu langsung oleh Tri Muhartini dari PKMK FK - KMK UGM. Pelatihan dimulai pukul 13.30 WIB hingga menjelang pukul 17.00 WIB.

Mengawali proses pelatihan, Shita Listyadewi memberikan kesempatan kepada peserta untuk mengusulkan permasalahan. Peserta juga dipersilakan mengusulkan rekomendasi dan stakeholder yang dituju. “Kita perlu menyadari perpsektif dari target advokasi. Mereka akan memilih rekomendasi yang paling visible,” ujar Shita Listyadewi saat memberikan catatan kepada peserta mengenai pemilihan topik yang akan diadvokasikan.

Peserta mulai membahas permasalahan mengenai Keluarga Berencana (KB) di daerah masing - masing. Tiap peserta kemudian mengajukan rekomendasi kebijakan. Rekomendasi dan sudut pandang masalah sangat beragam lantaran peserta berasal dari lintas bidang dan instansi. Proses selanjutnya, Shita Listyadewi memandu peserta untuk menyeleksi stakeholder.

Usai mengetahui stakeholder yang dituju, peserta diarahkan untuk memetakan kepentingan stakeholder. Para stakeholder digolongkan dalam dua sisi, yakni yang mungkin mendukung atau yang menentang proses advokasi. Penting juga untuk memetakan power tiap - tiap stakeholder secara detail.
Pelatihan ini penting bagi para peneliti. Harapan dari pelatihan ini ialah peneliti memiliki skill yang mumpuni dalam memilih strategi advokasi serta menetapkan target stakeholder. “Pelatihan ini ada pemetaan stakeholder, yang bertujuan memudahkan penetapan target advokasi. Harapan pelatihan hari ini untuk membantu para peserta yang akan membawa hasil penelitiannya ke dalam proses advokasi kebijakan.” ujar Tri Muhartini.

Usai pelatihan membuat rancangan advokasi, selanjutnya ialah webinar mengenai Pelatihan Pengembangan Kemampuan Telekonferensi. Narasumber webinar ini ialah Manajer UnitPublikasi PKMK FK - KMK UGM, dr. Sudi Indrajaya. dr. Sudi menjabarkan hal yang dibutuhkan untuk melakukan telekonferensi. “Pertama bapak ibu memiliki koneksi internet, kedua device atau alatnya boleh komputer, smartphone atau tablet,” ujar dr. Sudi. Untuk menyelenggarakan webinar, perlu meng - install beberapa software. Software tersebut misalnya GoToWebinar, Webinar Ninja, Adobe Connect dan masih banyak lainnya.

Praktik telekonferensi ini digunakan dalam banyak hal. dr. Sudi memberikan contoh telekonferensi pernah digunakan dalam praktik operasi bedah. Beberapa sosialisasi dari kementerian pun juga dilaksanakan via webinar.“Output dari kegiatan ini bapak ibu bisa update informasi via webinar,” ujar dr. Sudi.

Reporter: Kurnia Putri Utomo & Reporter: Tri Muhartini

© Copyright 2019 Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia

Search