Reportase “Seminar Nasional Demam Berdarah Dengue dalam Perspektif Sistem Kesehatan”

Pada Sabtu (2/3/2019), S2 IKM FK – KMK menyelenggarakan seminar nasional terkait DBD di Auditorium Lantai 8, Gedung Pascasarjana Tahir, FK – KMK UGM. Seminar Nasional Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam Perspektif Sistem Kesehatan bertujuan untuk membahas mengenai situasi terakhir DBD di Indonesia, peran lintas profesi dalam pencegahan dna penanganan DBD dan strategi penanganan DBD dan penyakit menular lainnya dalam perspektif sistem kesehatan. Seminar ini terbagi menjadi tiga sesi utama sesuai dengan tujuannya. Pada sesi pertama, lebih banyak dibahas mengenai gambaran dan situasi DBD di Indonesia serta beberapa program yang telah dilakukan terkait kasus DBD.

dr. Citra Indriyani, MPH mengawali pemaparan pertama dengan menjelaskan bahwa 75% beban dengue dunia ada di Asia Pasifik. Insidensinya secara tahunan selalu meningkat dari waktu ke waktu (sejak 1968- 2017) dan memiliki korelasi terhadap perubahan iklim. Jika perubahan iklim semakin tidak terkendali, maka beban dengue yang ada akan semakin meningkat. Hal ini ditandai dengan jumlah dengue meningkat ketika La Nina (1988,1996, 1998) terjadi sementara akan menurun pada saat El Nino (1987,1991,1994,1997). Namun demikian, angka fatalitas DBD menurun sejak 1968 – 2017 dengan tersedianya tatalaksana efektif. Sejak 2008, angka fatalitas DBD di Indonesia telah mencapai <1%.

DBD menyerang berbagai kelompok usia di Indonesia. Sejak 1993 – 2013, trend insidensi DBD pada kelompok usia > 15 tahun paling banyak meningkat, sementara untuk usia 5 – 14 tahun terjadi penurunan. Di Yogyakarta, diketahui bahwa 68% anak usia 1 – 10 tahun pernah terinfeksi dengue, dengan proporsi infeksi dengue yang meningkat seiring dengan peningkatan usia. Jumlah prevalensi infeksi multitipik pada kelompok 1 -18 tahun mencapai 50% lebih. Penyebaran kasus DBD sangat beragam dan ada di sekitar kita dengan kejadian kasus naik atau turunnya tergantung pada karateristik dari daerah tersebut.

Berdasarkan kategori WHO (2011), Indonesia termasuk pada hiperendemis DF/DBD. Hal tersebut mengacu pada empat kriteria yang dimiliki oleh Indonesia, yakni : masih merupakan masalah kesehatan utama, penyebab kematian dan hospitalisasi anak, adanya 4 serotipe yang bersirkulasi dan penyebaran hingga ke area pedesaan (rural area). Surveilans dengue di Indonesia terdiri dari surveilans pasif dan surveilans berbasis rumah sakit melalui KDRS (kewaspadaan dini rumah sakit). Di masa asimptomatik, jumlah virus dengue berada pada jumlah yang paling banyak pada tubuh seseorang dan periode ini sangat berperan dari terjadinya transmisi dengue.

Dr. dr. Ida Safitri, Sp.A(K) melanjutkan pemaparan mengenai tatalaksana klinis terbaru DBD. Terdapat dua guideline yang menjadi referensi tatalaksana DBD, yakni WHO 2011 dan WHO 2009. Saat ini Indonesia mengacu pada tatalaksana menurut WHO 2011 sebagai referensi bagi negara Asia Tenggara yang diterbitkan oleh WHO SEARO. Berdasarkan guideline tersebut, terdapat tiga klasifikasi yakni dengue fever, dengue haemorraghic fever dan expanded dengue syndrome. Untuk kriteria expanded dengue syndrome belum terwadahi oleh kode pembiayaan BPJS yang terbaru di fasilitas pelayanan kesehatan.

Warning signs merupakan tanda klinis dari seseorang yang patut menjadi perhatian utama. Sebelum terjadi perubahan parameter laboratorium, tubuh sudah menunjukkan tanda dari warning signs. Pada saat pasien sudah menunjukkan tanda warning signs, maka ia harus segera diobservasi. Adapun tanda dan gejala warning signs diantaranya ditandai dengan muntah berulang, letargi, perdarahan, tidak ada perbaikan klinis saat suhu reda, tidak bisa makan dan minum, keadaan pucat dengan ekstrimitas dingin dan diuresisi yang menurun hingga 4 – 6 jam. Perlu diketahui bahwa kegawatan pada dengue bukan pada penurunan trombosit melainkan pada kondisi terjadinya kebocoran plasma. Selanjutnya dilakukan penatalaksanaan sesuai penegakkan kondisinya : sindrom syok dengue terkompensasi dan sindrom syok dengue dekompensasi.

Terkait dengan penatalaksanaan DBD di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), penegakkan diagnosa sesuai dengan kompensasi BPJS dilakukan berdasarkan pada hasil pemeriksaan kadar trombosit. Seharusnya, untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, perlu melihat kembali pada tanda klinis dari pasien. Kasus – kasus Dengeu Shock Syndrome (DSS) dengan penyulit di PPK III juga masih memberikan beban biaya yang cukup besar dan melebihi paket biaya yang disediakan oleh BPJS berdasarkan pada data biaya perawatan DFH/DSS RSUP Dr. Sardjito Januari – Februari 2019. Oleh sebab itu, perlu dikaji kembali mengenai penegakkan diagnosis dan jumlah pembiayaan yang tepat bagi kasus dengue di PPK. Di samping itu, perlu juga dilakukan uji deteksi antigen serologi sebagai konfirmasi diagnostik (mengingat banyak penyakit dengan demam yang bergejala mirip dengan infeksi dengue) serta perhatian pada pengenalan tanda bahaya dan tatalaksana awal kegawatan terkait kasus dengue yang akan berpengaruh pada hasil outcome.

Pada paparan yang ketiga, dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes., PhD menerangkan lebih banyak mengenai penggunaan sistem informasi kesehatan untuk melakukan prediksi terjadinya wabah DBD. Menurutnya, sistem deteksi saat ini masih tergolong terlambat dalam hal pelaporan mengenai kasus DBD. Seringkali kejadian atau outbreaks sudah terlanjur terjadi tanpa ada prediksi sebelumnya. Sistem prediksi menjadi penting sebagai sistem kewaspadaan dini/deteksi dini dan informasi untuk melakukan respon. Prediksi dapat dilakukan dengan memanfaatkan data yang aksesibel dan mudah didapatkan, mendekati real time dan free-access/gratis.
Kenaikan suhu permukaan laut sebesar 1,5 derajat Celcius berpengaruh besar pada terjadinya perubahan iklim yang bermanifestasi pada angka kejadian DBD.

Berdasarkan kajian ini, kasus DBD dapat diprediksi dengan data cuaca. Demikian halnya hasil yang ditemukan dari sebuah riset terbaru yang dilakukan di Indonesia dengan memanfaatkan salah satu akses data gratis melalui data google trends. Berdasarkan penelitian ini, diketahui bahwa data google trends memiliki pola deret waktu linier dan secara statistik berkorelasi dengan laporan demam berdarah yang resmi dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan. Pemanfaatan penggunaan google trends lebih lanjut dapat menjadi potensi sebagai salah satu pengawasan penyakit di Indonesia dengan perlunya mengidentifikasi perilaku pencarian informasi bagi penggunanya. Di samping itu, analisis data juga merupakan kunci dari kajian model prediksi pada kesehatan yang data analisisnya dapat digunakan dari berbagai sumber mumpuni, terutama di era big data system saat ini.

Dr. Retna Siwi Padmawati melengkapi paparan mengenai pencegahan melalui perilaku dan lingkungan. Beberapa hal yang telah dilakukan oleh masyarakat saat ini antara lain : pemberantasan sarang nyamuk dengan 3M dan gerakan 1 rumah 1 jumantik; kegiatan promosi kesehatan melalui jumantik sekolah dan pramuka; pokjanal DBD dan penemuan dini kasus dan pengobatannya. Namun sejauh mana efektivitas dan sustainability dari pelaksanaan program tersebut masih menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Salah satu studi yang dilakukan di Kuba (wilayah non – endemis DBD) menunjukkan bahwa dukungan pemerintah, ketersediaan link antara masyarakat, struktur program dan pemerintah serta adanya mobilisasi masyarakat menjadi faktor penting. Pendekatan yang selama ini dilakukan melalui COMBI (community for behavioural impact) dan pemberdayaan masyarakat perlu untuk dipertahankan. Sementara itu, pendekatan lain melalui participatory action research juga dibutuhkan dengan tidak hanya terbatas pada penelitian yang dilakukan tetapi juga mendapatkan intervensi yang memberikan dampak perubahan perilaku positif bagi pencegahan kasus. Beberapa hal yang menjadi tindak lanjut ke depannya antara lain penguatan advokasi, penguatan mobilisasi sosial dan tentu saja komunikasi dan koordinasi secara lintas sektor.

Paparan akhir diberikan oleh dr. Riris Andono Ahmad, Ph.D melalui kajian riset pengendalian dengue dengan teknologi Wolbachia. Tantangan kasus DBD di Indonesia masih menjadi masalah sebab angka kasus yang masih meningkat fluktuatif, uatamanya saat musim penghujan tiba. Vector nyamuk Aedes Aegepty cenderung dekat dengan perilaku manusia, dengan karakteristik tidak berbunyi, tidak sakit jika menggigit, tidak suka bau wangi dan suka menggigit di bagian bawah tubuh. Tantangan pengendalian dengue saat ini adalah masih belum tersedianya vaksin yang 100% efektif, belum tersedianya obat untuk dengue, 70& kasus bersifat asimptomatis, dan belum kuatnya sistem surveilans.

Melalui Eliminate Dengue Project (EDP), dikembangkan pemanfaatan bakteri alami Wolbachia yang memiliki kapasitas menekan pengembangan virus dengue. Wolbachia berfungsi sebagai vaksin pada tubuh nyamuk yang disebarluaskan sendiri dengan cara berkawin dengan nyamuk lain dan melahirkan nyamuk dengan Wolbachia didalam tubuhnya. Dengan adanya Wolbachia didalam tubuh nyamuk, maka virus dengue tidak memiliki kesempatan untuk berkembang dan berakibat pada nyamuk aedes aegypti yang tidak bisa mendistribusikan virus dengue sebagai penyebab dari kejadian DBD.

Penggunaan nyamuk dengan Wolbachia dilakukan di Yogyakarta, terutama di Sleman dan Bantul. Penelitian ini dilakukan dalam 4 fase yang terdiri dari fase persiapan dan kelayakan penialian keamanan, fase penyebaran skala terbatas nyamuk aedes aegypti dengan Wolbachia, fase penyebaran skala luas nyamuk Aedes Aegypti dengan Wolbachia dan fase penguatan adopsi dan implementasi kebijakan. Saat ini, riset yang sedang dilakukan berada pada fase ketiga untuk penyebaran skala luas. Hasil sementara yang didapatkan menunjukkan terjadi penurunan kasus DBD di wilayah sasaran penyebaran.

(Reporter: Kurnia Widyastuti/ PKMK)

{jcomments on}

 

Reportase “Kupas Tuntas Klaim Pembayaran Rumah Sakit oleh BPJS Kesehatan Pasca Perpres No. 82/2018 Jaminan Kesehatan”

19feb

Seminar yang dilaksanakan di Yogyakarta pada 19 Februari 2019 ini dihadiri oleh tiga narasumber, yaitu dr. Tonang Dwi Ardyanto (PERSI), dr. Aris Jatmiko (BPJS Kesehatan Jateng DIY) dan dr. Endang Suparniati (RSUP Dr. Sardjito). Jumlah peserta JKN per 1 Februari 2019 mencapai 217. 549. 455 jiwa, namun mengutip Bernie Sanders bahwa The Goal of Real Healthcare Reform Must Be High Quality, Universal Coverage In A Cost Effective Way. Perkembangan faskes yang bekerjasama sejak 2014-2018 mengalami peningkatan jumlah 26,37% (FKTP) dan 46,04% (FRTL). Namun demikian, berdasarkan pemaparan dr. Aris Jatmiko kepuasan peserta dan provider masih belum tercapai. 

Fakta tantangan JKN masih soal mismatch, pendapatan yang belum optimal, transisi epidemiologi dan demografi, ekspektasi peserta meningkat dan kehandalan sistem administrasi klaim dengan defisit finansial yang masih terus berlanjut dan mutu layanan faskes yang perlu diperbaiki terus – menerus. Perpres No 82 Tahun 2018 melengkapi regulasi sebelumnya yaitu Perpes No 13 Tahun 2013, Perpres No 111 Tahun 2013, Pepres No 19 Tahun 2016 dan Perpres No 28 Tahun 2016. Beberapa upaya dalam pengelolaan pembiayaan yang diatur dalam Pepres terbaru yaitu; waktu pengajuan klaim, lama pembayaran klaim, penyelesaian klaim pending/dispute, dan kecurangan/fraud dalam klaim.

Kesiapan BPJS Kesehatan dalam menyikapi Pepres 82/2018 terkait administrasi klaim terkait akurasi dan tindak lanjut seperti peraturan pendukung, revisi draft perjanjian kerjasama bersama faskes dan aplikasi pendukung. Harapan dr. Aris Jatmiko bahwa rumah sakit dapat memahami seluruh ketentuan administrasi klaim JKN, RS melakukan self assessment klaim sebelum penyerahan klaim dan saling berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan dalam penyelesaian masalah klaim.

dr. Endang (RSUP Dr. Sardjito) menyatakan upaya yang dilakukan RS dengan menerapkan langkah – langkah sosialisasi ketentuan klaim kepada KSM dan instalasi, pendampingan implementasi di bangsal, penempatan tim koding dan evaluasi implementasi. Upaya tersebut juga diikuti dengan masalah dan kendala internal RS yaitu belum semua resume medis menggunakan e-resume medis, tanda tangan DPJP masih sering terlambat, residen tidak melakukan koreksi diagnosis akhir, kekurangan dalam menghitung jumlah berkas klaim yang belum diterima di instalasi penjaminan dan masih ada berkas yang ditemukan beberapa bulan setelah pelayanan diberikan. Sedangkan masalah dan kendala dengan pihak BPJS Kesehatan, seperti berita acara tertunda, belum adanya SOP tentang mekanisme pengajuan klaim (waktu penyerahan berkas, hasil purifikasi, verifikasi manual, dan perubahan waktu) serta tidak ada kejelasan tentang klaim yang dianggap tidak layak. Namun, pihak RS lega dengan terbitnya Pepres No 82 Tahun2018 karena adanya kejelasan waktu penyelesaian klaim.

Bahasan PERSI terkait Perpres No 82 Tahun2018 mengenai klaim adalah kerangka waktu memang menjadi tegas dan jelas, namun perlu diperhatikan bersama bahwa kesiapan RS satu dengan lainnya berbeda – beda. Tentu tidak bisa disamakan dengan kesiapan RS Sardjito yang hampir semuanya paripurna baik SDM maupun sarana prasarana. Kajian lebih lanjut dari Pepres ini adalah bagaimana ruang yang diberikan untuk kesiapan RS dengan kapasitas SDM, alat dan sarana yang bervariasi di Indonesia dalam menjalankan beberapa fase; paperless-semi digital-full digital dengan bridging? Hal ini penting agar tidak menjadi negative pressure terhadap JKN.

Selain itu, terdapat beberapa hal yang belum cukup jelas terurai di Pepres No 82 Tahun2018 antara lain pembahasan mengenai bagaimana ragam klaim pelayanan obat, alat kesehatan tertentu dan obat di luar paket; definisi kebutuhan dasar kesehatan dan kelas standar?; kelas standar berbasis standar kelas dan standar pelayanan; ketentuan coordination of benefit (COB) yang menurut Permenkeu No 141 Tahun2018 menjadi beban RS; kewenangan Pemda mengenai pengawasan dan regulasi masih patut ditelusur agar program/kebijakan berjalan secara sinergi dengan muatan lokal, penguatan FKTP dan pelayanan rujukan;

Pekerjaan rumah utama kita bersama adalah mengawal dan ikut berpartisipasi dalam implementasi peraturan turunan Perpres No 82 Tahun 2018 yang diuraikan bahwa dibutuhkan 22 Peraturan Kemenkes, 11 peraturan BPJS Kesehatan, 4 Peraturan Kemenkeu, 2 Peraturan Kemensos, 2 Peraturan Kemendagri dan 1 peraturan BKKBN.
Terakhir disimpulkan secara reflektif bahwa Perpres ini menyisakan pertanyaan mengenai transparasi urutan pengajuan klaim, dan mekanisme yang akan dibuat BPJS Kesehatan untuk memastikan klaim dibayarkan secara adil dan tepat waktu.

Reporter : Tri Aktariyani (PKMK UGM)

{jcomments on}

 

Manajemen TB di Lingkungan Kerja dalam Mendukung Implementasi Public-Private Mix (PPM) TB

underline

Manajemen TB di Lingkungan Kerja dalam Mendukung Implementasi Public-Private Mix (PPM) TB

28 Februari 2019

 

LATAR BELAKANG

Salah satu kegiatan Challange Tuberculosis (CTB) adalah menerapkan District Based Public Private Mixed (DPPM) dengan melakukan berbagai kegiatan di Tingkat fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) untuk membangun jejaring layanan TB yang kuat antara pelayanan di dalam ataupun di luar fasilitas kesehatan (faskes) di tiap kabupaten/kota binaan CTB. Penguatan jejaring layanan TB di tiap kabupaten/kota binaan CTB tersebut dilakasanakan mulai di bulan Maret dan sampai saat ini.

Di Provinsi DKI Jakarta pendekatan ini mulai dilaksanakan pada bulan Maret 2018, diawali di Puskesmas di Jakarta Selatan dan kemudian di bulan April mulai dilaksanakan di Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Implementasi Pendekatan DPPM di tingkat FKTP di Provinsi DKI Jakarta didampingi oleh CTB KNCV bersama dengan SA FK Atmajaya. Sedangkan, untuk tingkat FKRTL, kegiatan dilaksanakan bersama dengan KOPI (Koalisi Organisasi Profesi) TB Jaya dan mulai dilaksanakan bulan Oktober 2018 dengan memberikan peningkatan kapasitas pada anggota KOPI di 15 RS terpilih yang kemudian dijadikan champion di masing-masing kota.

FKTP korporasi / perkantoran sebagai salah satu komponen sistim layanan yang tersedia di wilayah berpotensi mendukung DPPM, dan KOPI TB (Koalisi Organissasi Profesi Indoensia utk TB) melihat peluang untuk meningkatkan peran dan kontribusi FKTP Korporasi / Perkantoran ini kepada program pengendalian TB. Didalam KOPI TB ada anggota yang berasal dari induk organisasi PERDOKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Okupasi) dan IDKI (Ikatan dokter kesehatan kerja Indonesia), yang para member nya berasal dari FKTP Korporasi / Perkantoran.

Sebagai bahan informasi data TB dari sebuah perusahaan multinasional bidang layanan, ada 15 kasus TB karyawan yang sedang di obati tahun 2018 dari sejumlah outlet, dari total 1422 karyawan (data dari asuransi rekanan perusahaan yang bersangkutan). Jika ini setara dengan 1 % dari populasi karyawan , maka ada banyak perusahaan labor intensive di DKI yang turut mengobati karyawan yang terkena TB berpotensi tidak terlaporkan. Data ini bisa dielaborasi, jika jumlah perusahaan yang diundang 50, rerata memperkerjakan 1000 karyawan, maka di prediksi pertemuan DPM korporasi ini dapat menjaring kasus TB sejumlah 500 kasus dalam kurun satu bulan. Karenanya pertemuan ini sekaligus menjadi strategis bagi Program TB nasional, dan penguatan Jejaring sesuai konsep DPPM.

Kegiatan ini akan diadakan pada hari Sabtu, minggu ketiga di bulan Februari. Pemilihan hari kegiatan ini disesuaikan dengan ketersediaan waktu dari peserta kegiatan yang merupakan dokter perusahaan dan tidak dapat menghadiri kegiatan apabila diadakan pada hari kerja.

TUJUAN

  1. Memberikan pengetahuan update perihal layanan program TB kepada para DPM korporasi / Perkantoran
  2. Memberikan peluang kerjasama Antara FKTP Korporasi / Perkantoran dengan Puskesmas selaku pengampu wilayah terujung dalam Program TB dalam kerangka penguatan jejaring DPPM di wilayahnya
  3. Meningkatkan penggunaan aplikasi WIFI TB oleh DPM korporasi / perkantoran DKI dalam melaporkan kasus2 TB
  4. Meningkatkan pelaporan jumlah kasus yang diobati dari DPM korporasi

 LUARAN

  1. Pengetahuan TB meningkat significant antara pre dan post evaluation
  2. Terbentuknya MOU antara Puskesmas dengan FKTP Korporasi / perkantoran
  3. Meningkatnya jumlah pengguna WIFI TB
  4. Jumlah terlapor Kasus TB yang diobati meningkat 200 kasus dalam 1 bulan
  5. Terpilihnya salah satu korporasi yang bersedia melakukan screening TB massal, dalam moment peringatan World TB Day (dengan dana Puskesmas pengampu teritori domisili korporasi tsb)

WAKTU DAN TEMPAT KEGIATAN

Kegiatan ini akan dilaksanakan pada:
Hari/Tanggal : 28 Februari 2018
Pukul : 08.00 – 16.00
Tempat : JS Luwansa Hotel, Jakarta

AGENDA KEGIATAN

WAKTU AGENDA PIC
08.00 – 08.30 Registrasi Panitia
08.30 – 09.00 Monkey survey pre-test CTB
09.00 – 09.20

Pembukaan dan Arahan

Situasi TB DKI Jakarta

Dinas Kesehatan : dr. Widyastuti MKM
09.20 – 09.40 Kondisi Tenaga Kerja Terkait TB di Perusahaan Kemenaker – Subdit PNK3 : dr. Sudi Astono MSc
09.40 – 10.00 Peran KOPI TB Provinsi DKI KOPI TB: dr. Anna, Sp.PD, K-P, MARS
10.00 – 10.10 Coffee break  
10.10 – 10.40 Talkshow : testimony mantan TB dan dokter perusahaan

VP HR Yum International / PT Sari Melati : Ibu F Ambarrukmi SH

Dokter Perusahaan : dr. Istiati Sapto MKK
Moderator: dr. Iwan, Sp.OK (PERDOKI)

10.40 – 11.40

Update TB
(Alur diagnosis TB dan TB SO & RO dewasa)

Narasumber:
dr. Gatut Priyonugroho, Sp.P

11.40 – 12.40 ISHOMA  
12.40 – 13.40

Management TB SO & RO
(termasuk PPI TB)

Narasumber:
dr. Titi Sundari, Sp.P

13.40 – 14.40 Pengenalan WIFI TB Tiar (CTB KNCV RO)
14.40 – 15.25 Penyusunan RTL: perusahaan yang akan diskrining TB untuk TB day. dr. Murni Luciana MKM & dr. Johny
15.25 – 15.45 Monkey survey post-test CTB
15.45 – 16.00 Penutupan Dinas Kesehatan

 

Acara ini dapat diikuti secara cuma-cuma melalui webinar setelah mendaftar terlebih dahulu.

Link Webinar: https://attendee.gotowebinar.com/register/1858304790144901121 
Webinar ID: 469-437-387

 

 

Seminar Nasional: Demam Berdarah Dengue dalam perspektif Sistem Kesehatan

PENGANTAR

DBD merupakan penyakit yang mempunyai siklus menarik dan erat kaitannya dengan masalah di luar kesehatan. Beberapa minggu terakhir, terjadi lonjakan kejadian DBD yang perlu diperhatikan dan ditangani dengan sebaik-baiknya. Kebersihan lingkungan, cuaca, bahkan status gizi dapat mempengaruhi terjadinya DBD. Ciri menarik DBD ini perlu dikaji dari perspektif Sistem Kesehatan yang saat ini berada dalam era Jaminan Kesehatan Nasional. Seminar nasional ini berusaha mengkaji situasi DBD dalam perspektif Sistem kesehatan yang mempunyai sifat lintas sektor.

TUJUAN

  1. Membahas situasi terakhir DBD di Indonesia
  2. Membahas peran berbagai profesi dalam pencagahan dan penanganan DBD
  3. Membahas strategi penanganan DBD dan penyakit menular lainnya dala perspektif system kesehatan.

SASARAN PESERTA

Target peserta seminar sebanyak 100 orang, dengan latar belakang

  1. Tenaga Kesehatan
  2. Alumni S2 IKM
  3. Umum

BIAYA PENDAFTARAN

Pendaftaran: Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) melalui Webinar / Tatap Muka 
Pembayaran dikirimkan : melalui Bank BNI : 9888807104110003 a/n. UGM FKU S2 IKM PENERIMAAN PELATIHAN/SEMINAR/WORKSHOP
Paling lambat tanggal 27 Februari 2019 

AGENDA 

Waktu Topik Narasumber/PIC
07.30-8.00 Registrasi Sekretariat
08.00-08.30

Sambutan dan Pembukaan

  1. Ketua Prodi Magister IKM
  2. Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM
08.30 – 10.15

Sesi I : Situasi DBD saat ini di Indonesia

Sesi ini membahas situasi terbaru mengenai penyakit DBD. Pembahasan akan diisi dengan uraian mengenai Tatalaksana Klinis dan pendanaan klaim DBD dari BPJS sampai dengan pencegahan lintas sektoral. Masalah DBD ini merupakan sebuah kasus menarik mengenai kerjasama intersektoral. Diharapkan dalam Sesi ini para peserta mendapatkan updating mengenai situasi terbaru DBD di Indonesia saat ini.

Moderator: Prof. Dra. Yayi Suryo Prabandari, MS.i., Ph.D

Sesi IA .    08.30 09.15

Situasi Saat Ini

  1. Epidemiologi DBD di Indonesia dalam 10 tahun terakhir

dr. Citra Indriyani, MPH

materi

  1. Tatalaksana Klinis terbaru DBD

Dr. dr. Ida Safitri, Sp.A(K)

materi

Sesi 1B.    09.15 – 10.15

Apa yang kurang dari Program Kita?

Moderator : Dr. Mubasysyir Hasanbasri, MA
  1. Penggunaan Sistem Informasi Kesehatan untuk melakukan prediksi terjadinya wabah DBD

dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes., Ph.D

materi

  1. Pencegahan melalui perbaikan perilaku dan lingkungan

Dr. Retna Siwi Padmawati MA

materi

 
  1. Penelitian Pengendalian Dengue dengan teknologi Wolbachia

dr. Riris Andono Ahmad, Ph.D

materi

10.15 – 10.30 BREAK PAGI

10.30 – 12.15

Sesi 2: Berada di minat masing-masing.

Sesi ini membahas mengenai berbagai hal terkait dengan sector-sektor yang terlibat di dalam pencegahan dan pengobatan DBD. Para peserta akan dibagi dalam minat-minat yang ada di Prodi S2 IKM.

Minat Topik

Kebijakan dan Manajemen Kesehatan

Peluncuran Buku: Kebijakan Pembiayaan dan Fragmentasi Sistem Kesehatan

Penulis: Prof. dr. Laksono Trisnantoro, Msc, PhD

materi

Sistem Informasi Kesehatan Digital Health Innovation-Market Place
KP-Manajemen Asuransi Kesehatan Efektifitas Pembiayaan Program DBD
Manajemen Rumah Sakit Peran Rumah Sakit dalam Penanganan Outbreak
Perilaku dan Promosi Kesehatan Workshop pencegahan DBD dari Perspektif Perilaku Kesehatan, Kesling dan K3
Kesehatan Lingkungan
K3
Kesehatan Reproduksi-Ibu dan Anak Pemanfaatan Big Data Untuk Surveilance Dengue
Epidemiologi Lapangan/FETP
Gizi Kesehatan
12.15 – 13.15 ISHOMA

13.15 – 14.45

Sesi 3: Reformasi Sistem Kesehatan: apakah diperlukan di sektor kesehatan dan di penanganan DBD?

Sesi ini membahas mengenai Konsep Reformasi Kesehatan di sector kesehatan dan penerapannya di berbagai masalah kesehatan masyarakat, termasuk DBD. Sebuah studi empiric mengenai fragmentasi system kesehatan Indonesia di era JKN akan dibahas. Problem yang dihadapi dan solusi yang diharapkan dari pendekatan reformasi kesehatan khususnya penguatan Dinas Kesehatan akan dibahas untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat. Diharapkan ada dialog kebijakan dengan pengambil keputusan.

Moderator: dr. Firdaus Hafidz, MPH.,Ph.D.,AAK

Materi yang akan dibahas : Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

  1. Overview mengenai Reformasi Sektor Kesehatan di Indonesia
  2. Impact terhadap DBD dan berbagai penyakit lainnya
  3. Usulan Solusi

materi

Pembahas:

  1. Drs. Heroe Poerwadi, MA (Wakil Walikota Yogyakarta)
  2. dr. Anung Sugihartono, M.Kes (Dirjen P2 PL Kementerian Kesehatan)
  3. Dr. Mubasysyir Hasan Basri, MA

14.45- 15.30

Penutup dan Pembentukkan Pengurus Alumni Magister IKM

Break sore

DR. rer. nat. dr. Bj. Istiti Kandarina

18.00-22.00

Guyup Rukun Saklawase, Kangen-Kangenan Balik Kampus, Malam Temu Alumni

Special Perfomance

Vina Panduwinata

reportase


WAKTU & TEMPAT

Waktu  : Sabtu, 2 Maret 2019
Pukul   : 08.00 – 15.00 WIB
Lokasi  : Auditorium Lantai 1, Gedung Pascasarjana Tahir, FK – KMK UGM

Pendaftaran pada sekretaris minat:

Peserta Umum: Emilia : 085729170456

Alumni S2 IKM melalui sekretaris minat masing-masing

  1. Kesehatan Lingkungan : Heri : 085868408722
  2. K3 : Pirenaningtyas : 081578054794
  3. Perilaku dan Promosi Kesehatan : Asnandar : 08156873774
  4. Manajemen Rumahsakit : Didik : 0878-3823-7034 / 085717253799
  5. Kebijakan&Manajemen Pel.Kesehatan : Heny : 08157936822
  6. Sistem Informasi Manajemen Kesehatan : Asri : 085643858498
  7. KP-Manajemen Asuransi Kesehatan : Yuni : 0811283824
  8. Kesehatan Reproduksi-Ibu dan Anak : Antini : 085726947335
  9. Gizi Kesehatan : Siti : 081328601706, 08112545352
  10. Epidemiologi Lapangan/FETP : Ayies : 081392953203
  11. International Health /IH : Emil : 085729170456

 

Ringkasan dan Kesimpulan Penyampaian Hasil Evaluasi 8 Sasaran Peta Jalan JKN 2014-2018 dengan Pendekatan Realist Evaluation

Kegiatan penyampaian hasil evaluasi 8 sasaran peta jalan JKN dengan pendekatan Realist Evaluation oleh PKMK FK UGM telah berhasil dilaksanakan sebagai bentuk advokasi efektif pada Kamis, 31 Januari 2019. Hasil dialog diringkas sebagai berikut:

Isu 1: Apakah tujuan kebijakan JKN tercapai ? (defisit pendanaan BPJS)

  1. Adanya defisit BPJS kesehatan menggambarkan adanya ketidakseimbangan cash flow dalam sistem keuangan BPJS kesehatan. Tentu ada pengaruh dari belum sesuainya besaran iuran, besaran tarif, belum optimalnya manajemen/pengelolaan JKN, dan adanya penyalahgunaan pelayanan kesehatan (fraud).
  2. Dengan adanya defisit BPJS kesehatan, bukan berarti JKN gagal.
    • Tujuan utama pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan dan gizi masyarakat, meningkatkan perlindungan finansial dan meningkatkan responsifitas sistem kesehatan. Dalam konteks ini, JKN adalah bagian dari sistem kesehatan, yang tidak saja bertujuan untuk meningkatkan perlindungan finansial dari ancaman kemiskinan, tetapi juga untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
    • Dengan adanya JKN, dorongan besar untuk meningkatkan kualitas dan memberikan pelayanan kesehatan yang lebih komprehensif kepada seluruh penduduk juga semakin meningkat.
    • Pelaksanaan JKN sekaligus menjadi ruang bagi pemerintah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi anggaran kesehatan serta keleluasan dalam mengalokasikan pembiayaan untuk upaya promosi dan pencegahan, termasuk secondary prevention yang merupakan upaya pencegahan tahap II (kecacatan dan kematian akibat penyakit).
    • Perluasan cakupan kepesertaan JKN dari tahun ke tahun telah berdampak pada menurunnya unmet need pelayanan kesehatan, yaitu persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan dan terganggu aktifitas sehari-hari namun tidak berobat jalan, dari 9,9% pada tahun 2006 menjadi 4,3% pada tahun 2016. 
    • Dari sisi perlindungan finansial, JKN meningkatkan akses bagi seluruh masyarakat tanpa kendala finansial dan mencegah penduduk jatuh “miskin” akibat biaya pengobatan yang mahal. Program ini juga menjamin akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, dengan subsidi premi asuransi ditanggung oleh pemerintah.
    • Pada intinya, program ini memberikan banyak perubahan terhadap sistem kesehatan di Indonesia melalui peningkatan perlindungan finansial, pemerataan akses pelayanan kesehatan, dan peningkatan status kesehatan masyarakat.

Isu 2: Mengapa hasil antar provinsi berbeda? (usulan adanya dinding pemisah (firewalls) yang ketat antara PBI dengan PPU dan PBPU)

  1.  Hal ini benar terjadi karena desain kelembagaan yang tidak sempurna, sehingga hubungan kelembagaan tidak didefinisikan dengan baik. Hal yang krusial adalah monev BPJS kesehatan, tidak jelas siapa leading K/L yang melakukan monev dan memberikan solusi yang dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi implementasi JKN. Hubungan antara BPJS kesehatan dengan sistem kesehatan daerah dan hubungan antara BPJS, DJSN, Kemkeu, Kemkes, Bappenas, KemkoPMK juga masih perlu disempurnakan. Perlu dengan jelas didefinisikan K/L apa berperan apa, sehingga jelas pembagian peran antar K/L.
  2. Usulan untuk membuat dinding pemisah (firewalls) yang ketat antara PBI dengan PPU dan PBPU perlu dipertimbagkan lebih lanjut. Hal ini dikarenakan masalahnya bukan pada pemisahan antara PBI dan PBPU tetapi pada supply side kesehatan yang belum merata.
    • Supply side fasilitas kesehatan adalah sisi lain dari JKN yang sering terlupakan. Supaya JKN berjalan dengan baik, maka fasilitas kesehatan harus di jamin ketersediaannya secara merata termasuk di DTPK.
    • Untuk pemerataan ini merupakan tugas pemerintah sebagai provider (RS dan puskesmas milik pemerintah) dan pemerintah sebagai regulator dalam penyusunan aturan dan pengaturan keuangan (APBN) harus menyediakan pelayanan kesehatan secara merata. Peningkatan dan pemerataan fasilitas kesehatan telah ditingkatkan cukup signifikan melalui DAK kesehatan dengan perbaikan mekanisme pengusulan DAK melalui proposal based dan terdapat skema khusus DAK penugasan dan DAK afirmasi untuk menjamin tersedianya fasilitas kesehatan di DTPK dan sarpras yang mendukung pencapaian prioritas nasional.
    • Pemanfaatan sistem informasi berbasis digital yang diterapkan dalam pelayanan kesehatan (pemantauan stock obat, sarpras, nakes) di era JKN perlu diperluas untuk mempermudah perbaikan pada sisi perencanaan dan implementasi.
    • Jika kebijakan firewalls akan diterapkan, maka beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian sebagai berikut: 1) pemanfaatan dana jika claim ratio PBI lebih rendah dari alokasi dana yang disediakan (penggunaan dana misal untuk pengiriman tenaga kesegatan ke DTPK perlu dipikirkan kembali karena dilapangan yang terjadi justru rendahnya minat nakes untuk ditempatkan di DTPK walau insentif yang disediakan cukup besar), 2) proyeksi dampak equity dan equality akses terhadap pelayanan kesehatan berkualitas terutama bagi PBPU yang banyak menderita penyakit yang sifatnya katastropik.

Kunci utama keberhasilan terletak dari tindak lanjut yang akan dilaksanakan di masa mendatang dengan agenda terdekat adalah rangkaian advokasi di bulan Februari. Agenda advokasi yang akan dilakukan di bulan Februari-Maret 2019 antara lain: 1) Pembuatan dan penerbitan analisis kebijakan dan policy brief kepada key stakeholders, salah satunya adalah Bappenas, menggunakan dasar temuan hasil awal evaluasi; 2) Diskusi lanjutan dengan Bappenas terkait perbaikan kebijakan implementasi JKN dengan landasan hasil temuan evaluasi; 3) Kesepakatan untuk evaluasi menyeluruh implementasi JKN di DKI Jakarta bersama dengan komitmen dari Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta; 4) Keberlanjutan evaluasi dengan realist evaluation di 3 provinsi (DKI, Kalimantan Timur, dan Papua) dan provinsi lainnya di Indonesia bersama mitra daerah, salah satunya melalui JKKI; 5) Presentasi via teleconference (webinar) per provinsi oleh 7 mitra provinsi di mana kegiatan evaluasi telah dilakukan yang akan dilakukan di setiap minggunya di bulan Februari.

Secara keseluruhan, kegiatan penyampaian hasil awal evaluasi 8 sasaran peta jalan JKN 2014-2018 dengan pendekatan realist evaluation mendapatkan sambutan positif dari key stakeholders yang mengikuti agenda kegiatan baik yang hadir di lokasi acara maupun melalui teleconference. Kegiatan realist evaluation ini tidak berhenti di sini, namun justru baru dimulai sebagai bentuk advokasi dari daerah dengan hasil realist evaluation sebagai evidence based di berbagai provinsi dan daerah. PKMK mengajak berbagai unsur (pemerintah daerah, oraganisasi masyarakat, akademisi dll) di daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota untuk bergabung bersama dalam setiap tim daerah untuk bekerja sama melakukan evaluasi implementasi JKN dengan pendekatan realist.

 {jcomments on}

Reportase Diskusi Outlook 2019: Kebijakan Obat dan Teknologi Kedokteran

Senin, 4 Februari 2019

Diskusi Outlook ke – 7 membahas “Kebijakan Obat dan Teknologi Kedokteran”. Narasumber pertama adalah Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc, PhD yang membahas manajemen obat. Aspek obat dalam JKN berhubungan dengan regulator (sering terlambat), provider (langkanya obat) dan industri (sering miss-match kapasitas dan kebutuhan). Obat yang dibutuhkan sering mengalami kendala tidak ada izin edar padahal dibutuhkan pasien. Butuh waktu, karena bahan-bahan dalam pembuatan obat merupakan produk impor.

Reformasi kesehatan terkait manajemen obat memang membutuhkan siklus baru. Rencana Kebutuhan Obat (RKO) memang menjadi kendala utama dalam ketersediaan obat. Stok sering habis di rumah sakit dan apotek, akibatnya sering terjadi belanja obat di luar fornas. Pengaturan obat dalam JKN diatur dalam 6 instrumen, yaitu formularium nasional, obat di luar tarif INA-CBGs, obat program rujuk balik (PRB), obat yang belum diatur dan e – katalog.

Iwan dalam persentasinya memaparkan bahwa jumlah item dan sediaan obat fornas mengalami peningkatan setiap tahunnya, penggunaan obat generik, branded dan patent dalam fornas juga mengalami perkembangan. Obat dalam fornas tidak didominasi oleh generik saja. Namun, dalam pelaksanaannya selama 5 tahun fornas memiliki tantangan sebagai berikut usulan obat cenderung high cost atau tidak memenuhi kaidah cost -effectiveness; selalu terdapat gap antara daftar dalam fornas dengan e – katalog; industri multinasional cenderung menggunakan harga global di keterbatasan JKN; pengawalan mutu obat dan single winner.

Peran rumah sakit dalam mengusulkan/ merencanakan obat diketahui bahwa belum semua rumah sakit memasukan perencanaan kebutuhan obat, hal ini menyebabkan sulit dikelola dengan baik. Rencana Kebutuhan Obat (RKO) di rumah sakit atau faskes lainnya mengalami dilema yaitu masalah akurasi, belum didasarkan pada data riil, kesiapan industri, ketersediaan obat di beberapa kabupaten/ kota dan rumah sakit swasta yang belum dapat melakukan e -purchasing.

Dr. dr. Fathema Djan Rachmat, Sp.B, Sp.BTKV (K) (Direktur Utama RS Pelni) selaku pembahas turut menyampaikan bahwa perlu siklus baru dalam reformasi kesehatan sektor manajemen obat yang telah melibatkan rumah sakit dalam volume yang lebih besar. Memasuki UHC ada suatu hal menarik bahwa rumah sakit mengalami kesulitan mendapat obat. Rumah sakit mengeluarkan cost lebih besar karena membeli di luar rencana. Ketika harga obat sudah ramah di katalog, tetapi masih belum bisa dinikmati rumah sakit. Reformasi kebijakan kesehatan bidan manajemen obat memiliki tantangan pada 2019 bahwa tidak hanya volume, tetapi value layanan pasien, program rujuk balik dan ketersediaan obat di faskes 1 harus menjadi perhatian bersama. Reformasi kebijakan manajemen obat membutuhkan 3 unsur yaitu rumah sakit, farmasi, asuransi volume to value health care based.

Nara sumber kedua adalah Dra. Erna Kristin, M.Si., Apt yang mengulas Health Technology Assessment (HTA) bahwa kita harus membuat prioritas terhadap dampak teknologi kesehatan yang masuk ke Indonesia. HTA tidak mudah dilakukan, karena adanya kesulitan dalam melakukan pemetaan siapa melakukan apa, tentunya dalam hal ini juga membutuhkan sumbangsih disiplin ilmu lainnya. Erna Kristin menyampaikan ada 10 langkah dalam melakukan HTA. HTA membawa keuntungan pada klinik, keamanan dan cost effectiveness, namun kita memiliki tugas besar yaitu membuat sistem data kesehatan berbasis teknologi yang terintegrasi dan terpadu, regulasi yang mendelegasikan kewenangan oleh insitusi terkait tugas dan tanggung jawabnya dengan jelas dan independesi assessment yang bekerja sama dengan perguruan tinggi masing – masing wilayah.

Pembahasan manajemen obat dan HTA dimungkinkan akan terus berlangsung melihat antusias penanya dan usulan yang masuk dalam sesi outlook pagi ini. Untuk yang memiliki perhatian terhadap topik tersebut dapat terus mengakses website kebijakankesehatanindonesia.net untuk informasi selanjutnya.

Reporter: Tri Aktariyani (PKMK UGM)

{jcomments on}

Reportase Sesi 4. Mengurangi Fragmentasi Sistem Kesehatan untuk meningkatkan Kualitas dan Kesinambungan Program JKN

Jakarta, 31 Januari 2019

31jan 4

PKMK – Jakarta. Indonesia adalah negara dengan sistem desentralisasi yang terdiri dari 34 provinsi dan 514 kabupaten/ kota, dimana daerah – daerah tersebut memiliki kapasitas sistem kesehatan dan kualitas tata kelola pemerintahan yang bervariasi. Diseminasi yang berlangsung telah memaparkan hasil analisis evaluasi JKN di 7 provinsi yang mana hampir 8 sasaran peta jalan JKN yang ditetapkan DJSN belum mampu tercapai.

Dialog ini menjadi penutup agenda diseminasi, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D. menyimpulkan bahwa kebijakan JKN telah berhasil melindungi sebagian masyarakat dari masalah ekonomi akibat sakit. Namun, sasaran JKN yang tertera di peta jalan belum tercapai. Setelah lima tahun program JKN, masalah pemerataan dan penjaminan mutu di tujuh provinsi masih terjadi. Kebijakan JKN gagal menyeimbangkan fasilitas pelayanan kesehatan antar daerah. Terjadi fragmentasi sistem kesehatan akibat adanya BPJS yang sentralistik dengan sistem kesehatan yang desentralistik. Sistem mutu belum terbangun dengan baik. Ada perbedaan yang sangat tajam antara provinsi yang maju dengan yang kurang maju dalam hal penjaminan mutu. Berbagai prinsip dalam JKN seperti kegotongroyongan, keterbukaan dan akuntabilitas belum dilaksanakan secara maksimal, akibatnya masalah pengambilan keputusan terjadi di semua tingkatan pemerintah terkait urusan kesehatan.

Pada sesi ini, perwakilan dari Bappenas menyampaikan bahwa adanya kebijakan JKN menjadikan status kesehatan menjadi baik. Defisit tidak dijadikan isu utama karena kondisi tersebut sudah menjadi risiko pemerintah yang menerapkan asuransi sosial. Fragmentasi pelayanan kesehatan yang mengakibatkan kesenjangan pemerataan pelayanan kesehatan karena supply side yang timpang. Saat ini Bappenas sedang menyusun RPJMN teknokratis dan kebijakan baru yang afirmatif dengan paket pelayanan khusus daerah DTPK. Akses data di BPJS Kesehatan dirasakan Bappenas sulit akses. Ada indikasi kekhawatiran pada lembaga atas data mikro. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan integrasi sistem data JKN dengan data kebijakan kesehatan. Selain itu, aktor kelembagaan atau pengawas pelaksanaan JKN (BPJS Kesehatan) yang patut didorong independensinya yaitu DJSN.

Prof. dr. Laksono Trisnantoro, menanggapi bahwa usulan supply side membutuhkan waktu lama sekitar 3 – 5 tahun. Saat ini, premi PBI surplus. Lalu data penelitian menunjukkan adanya gotong royong terbalik. Undang – undang jelas menyatakan bahwa wajib membantu orang miskin dan tidak mampu, terkait hal ini sejak UU SJSN terbentuk sudah terdapat kebijakan kompensasi yang diperuntukan bagi daerah yang terbatas. Namun, hal itu belum dapat dilaksanakan karena tidak ada dananya. Kompartemen pada kantung kas JKN perlu dikaji lebih mendalam. Peserta PBI sakit namun sulit aksesnya. Kompartemen perlu ditelaah untuk menjamin hak pelayanan kesehatan yang mewujudkan keadilan sosial. Asuransi sosial memiliki mekanisme yang sama, yaitu selalu menguntungkan orang kaya atau mampu. Hal tersebut sedini mungkin harus diidentifikasi.

Terakhir, perwakilan DJSN menyampaikan bahwa memang perlu solusi untuk kepesertaan PBPU yang bermasalah atau mengalami kebocoran hingga500%. Perlu penghitungan cost INA-CBGs. Keterbukaan data di BPJS Kesehatan akan menyulitkan lembaga itu sendiri. Faktanya. negara demokrasi menutut besar partisipasi publik, hal ini semata – mata agar kebijakan yang dibentuk telah menggunakan data yang komprehensif dan akurat.

Pembahas menyampaikan terima kasih atas diselenggarakannya diseminasi hasil penelitian evaluasi 8 sasaran peta jalan JKN oleh PKMK FK – KMK UGM. Penelitian evaluasi JKN ini menjadi menarik dan penting pada momen yang tepat seperti ini. Selanjutnya, akan dilakukan pembahasan lebih lanjut mengenai hasil penelitian tersebut yang akan dituangkan dalam dimensi analysis of policy dan analysis for policy serta policy brief pada Februari .

Reportase : Tri Aktariyani (PKMK)

{jcomments on}

Reportase Diseminasi Evaluasi Peta Jalan JKN 2014 – 2018 dengan Pendekatan Realist Evaluation Sesi Tata Kelola

Jakarta, 31 Januari 2019

31jan 2 

PKMK – Jakarta. M. Faozi Kurniawan selaku peneliti dalam monev JKN berbasis realist evaluation menyatakan tata kelola menjadi bagian penting dalam upaya terciptanya pengelolaan organisasi termasuk pengelolaan JKN oleh BPJS Kesehatan. Peneliti PKMK FK – KMK UGM mengemukakan bahwa pada topik tata kelola, evaluasi JKN difokuskan pada sasaran 1, 5 dan 8. Pada sasaran 1 terdapat gotong royong terbalik dimana PBI mendanai kelompok PBPU yang dikarenakan kelompok PBI lebih banyak tidak menggunakan akses pelayanan kesehatan karena terbatasnya akses.

PBPU mengalami defisit yang lebih banyak karena terjadi tunggakan iuran dan keaktifan kepesertaan. Pada sasaran 5, koordinasi dan harmonisasi regulasi yang kurang selaras antara BPJS Kesehatan dan kementerian / lembaga. Regulasi yang berganti sangat cepat mengurangi posisi tawar provider untuk memperbaiki pelayanan. Pada sasaran 8, akses data yang sanagt terbatas dari BPJS Kesehatan, dimana data yang diperoleh hanya berupa presentasi buka data yang dapat digunakan untuk berbagai penentuan kebijakan. Keterbatasan akses data menyebabkan Pemda belum bisa ikut berperan dalam pelaksanaan kebijakan JKN termasuk membantu mengatasi defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan. Sifat sentralistik BPJS Kesehatan tidak memberikan kewenangan BPJS Kesehatan cabang untuk berbagi data dengan pemerintah daerah.

Suminto, S.Sos., M.Sc., PhD sebagai Staf Ahli Kementerian Keuangan mengemukakan bahwa isu ini sangat provokatif. Data terkait segmentasi pernah juga dibahas dalam beberapa pertemuan yang menunjukkan bahwa defisit terbesar pada peserta PBPU dan segmen bukan pekerja. Kemudian dari sisi regional bahwa terjadi ketidakadilan antara daerah satu dengan yang lainnya serta tidak seimbangnya benefit antar wilayah. Pemerintah telah melakukan intervensi dalam pelaksanaan JKN yaitu:

  1. Membayar 3% atas iuran PPU untuk PNS, ABRI/ POLRI
  2. Membayar 5% dari pension sebesar 5 T
  3. Membayar PBI 92,4 juta jiwa sebesar 25,5 T
  4. Menutup defisit melalui bantuan APBN sebesar 10,5 T

Dr. Widyastuti, MKM sebagai Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI
Sebelum JKN diberlakukan, 44 puskesmas di DKI Jakarta sudah BLUD, sehingga pengelolaan keuangan lebih baik dan sudah lebih mandiri. Dengan adanya kebijakan Gubernur, semua penduduk KTP DKI yang akan dirawat di kelas 3 dibiayai oleh Pemda. Pemprov DKI bersama Dukcapil melakukan harmonisasi terkait data tersebut. Cakupan kepesertaan jaminan kesehatan sudah hampir 99 %. Sumber dana setiap tahun 1,5 T untuk yang ber – KTP DKI dan kelas 3.

Pemda membayar untuk PBI sebesar 1,5T dari APBD provinsi ke BPJS Kesehatan, sekitar 3 T perkiraan dana non PBI ke BPJS Kesehatan, sehingga totalnya 4,5 T ke BPJS Kesehatan. Sedangkan dana yang kita terima dari BPJS Kesehatan yaitu dana kapitasi puskesmas 470 M, klaim CBGs 5,5 T, sehingga total 6,5 T. jadi selisih lebih juga dialami DKI Jakarta seperti D. I Yogyakarta. Namun perlu dilihat kembali terkait portabilitas, fasilitas kesehatan di DKI merupakan faskes rujukan nasional.

dr. Stefanus Bria Seran, MPH sebagai Bupati Kabupaten Malaka.
Kebijakan pemerintah pusat maupun kementerian/ lembaga di tingkat pusat akan dilakukan di tingkat daerah, sehingga perlu dilihat kembali bagaimana pelaksanaan kebijakan tersebut di daerah. Adanya acuan kebijakan atau perundangan yaitu UU No. 23 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menjadi dasar pelaksanaan kebijakan JKN di daerah. Pada UU No. 23 Tahun 2014 Pasal 12 menyatakan bahwa kesehatan menjadi urusan wajib, sehingga pemerintah daerah harus memberikan prioritas pada kesehatan. Lalu mengapa pemerintah daerah perlu dilibatkan, berikut beberapa alasannya:

  1. Pemda mempunyai peserta atau rakyat
  2. Pemda mempunyai faskes FKTP dan FKTL
  3. Pemda mempunyai APBD
  4. Pemda mempunyai OPD/ Dinas-dinas
  5. Pemda mempunyai kewenangan untuk menetapkan Perda, Perbup dan Perwal

Dari perhitungan Kabupaten Malaka dana PBI APBN dan PBI APBD serta beban yang dikeluarkan untuk Kabupaten Malaka seperti kapitasi dan klaim INA CBGs menunjukkan lebih dari 50 milyar terjadi selisih dan itu tidak dikembalikan ke daerah. Apabila dikaitkan dengan pengelolaan dana jaminan kesehatan secara mandiri yaitu layanan kesehatan dari jumlah e-KTP yang dibiayai APBD Kabupaten Malaka yaitu 68.410 x 23.000 x 12 = 18 Milyar dengan metode fee for service. Beban 2016 ialah 700 juta, pada 2017 sebesar 5,8 M, dan 2018 totalnya 9,7 M. Selisih pembiayaan anatara pengelolaan dengan BPJS Kesehatan dengan mengelola sendiri yaitu 40 M selama 3 tahun. Dana ini dapat dikembalikan ke daerah untuk pembangunan di daerah.

Beberapa rekomendasi yang diusulkan oleh Bupati Malaka antara lain:

  1. Pemda memberikan pelayanan di faskes FKTP dan FKTL (RSUD kelas B, C, dan D)
  2. BPJS Kesehatan 
    1. BPJS Kesehatan mengelola rujukan Tk 2 dan Tk 3 
    2. BPJS Kesehatan mengelola lintas wilayah 
    3. BPJS Kesehatan mengelola peserta pilihan. Tarif harusnya ditentukan oleh Pemda. Sementara Kemenkes menentukan kualitas layanan
  3. Kemenkes mengurus: 
    1. Pengembangan Faskes
    2. Kendali mutu Yankes
    3. Regulasi Yankes
  4. Kemenkeu
    1. Budget 

Sesi Diskusi

Peserta pertemuan menanyakan terkait penggunaan dana BPJS Kesehatan untuk biaya non pelayanan seperti transportasi sumber dananya darimana? Pembahas mengemukakan bahwa biaya tersebut dapat diambil dari BPJS Kesehatan yang dapat diklaimkan. Untuk dana transportasi yang lain bisa diklaimkan ke pemerintah daerah. Peserta lain juga menekankan perlunya me – review kembali data – data terkait dengan pengumpulan iuran dan beban yang dikeluarkan oleh suatu daerah. Misal di Kabupaten Malaka, beban yang dikeluarkan oleh rumah sakit sekitar 11 M selama 3 tahun.

Bagi Kementerian Keuangan perlu dilihat kembali mengapa iuran tidak dinaikkan, apakah karena terkait politik. Iuran tidak dapat dinaikkan tanpa melihat tingkat daya beli masyarakat, apakah memberatkan masyarakat atau tidak. Untuk menutup deficit, langkah yang harusnya dilakukan adalah upaya BPJS Kesehatan mengejar kepesertaan PBPU dan mengejar ketidakaktifan peserta. Bagi DKI Jakarta perhitungan iuran dan beban menjadi bahan diskusi dengan BPJS Kesehatan untuk akses data yang lebih detail. Evaluasi menyeluruh penyelnggaraan JKN di DKI Jakarta menjadi langkah selanjutnya untuk melihat pelaksanaan JKN di DKI Jakarta. Seperti,

  1. Segmen PBPU defisit – diceklagi atau di cek PBI untuk daftar nama peserta yang sehat dan PBPU yang sakit. Atau mencakup seluruh warga negara Indonesia.
  2. Mengapa uran tidak dinaikkan apakah ada unsur politik.
  3. Selisih pendapatan dan beban – perlu dick

Stefanus menyatakan bahwa transportasi ditanggung BPJS Kesehatan, untuk trnsportasi antar RS Pemda yang menanggung. Data di RSUD yaitu 11 M selama 3 tahun terkait dana ini.

Kemenkeu menegaskan penyebab defisit yaitu PBPU, pensiun dan PBI daerah. PBPU yang aktif hanya 54 % dan 46% tidak aktif membayar. PBPU sifatnya mandiri maka terjadi fenomena adverse selection, orang yang membutuhkan layanan mendaftar, setelah mendapat pelayanan dia akan berhenti membayar iur. Sehingga tugas BPJS Kesehatan mengejar peserta JKN. Lalu prtanyaan lain ialah mengapa sulit menaikkan iuran, Kemenkeu mempertimbangkan banyak hal seperti daya beli masyarakat, akan memberatkan masyarakat atau tidak dan seterusnya.

Perwakilan dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyatakan memang perlu dicekkembali terkait perhitungan pendapatan dan beban JKN. Perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terkait JKN, dan DKI Jakarta menegaskan siap kolaborasi terkait JKN di DKI. Peneliti menutup sesi dengan menyatakan akan melakukan perbaikan pada penelitiannya.

Reporter M Faozi Kurniawan

{jcomments on}

 

Reportase Sesi Mutu Layanan: Akankah Mutu Layanan Kesehatan Tercapai dalam Program JKN?

Jakarta, 31 Januari 2019

31jan 3

Puti Aulia Rahma sebagai peneliti monev JKN berbasis realist evaluation sekaligus pembicara pada sesi ini menyatakan dalam JKN, peningkatan mutu belum terasa adanya kepuasan pasien dan provider. Instrumen kepuasan perlu didetailkan dan definisi operasionalnya perlu dikonkretkan. Mutu layanan mengevaluasi pencapaian kualitas pelayanan kesehatan pada penelitian ini menggunakan 3 kebijakan, yaitu Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan (KBKP) di level FKTP, Kendali Mutu dan Kendali Biaya dan penceghan fraud.

Sesi ini dibahas langsung oleh peneliti dari PKMK FKKMK UGM, IDI, PERSI Kementerian Kesehatan, dan Kementeraian Dalam Negeri. Peneliti menyampaikan bahwa ketiga kebijakan yang dianalisisnya bahwa Sistem mutu belum terbangun dengan baik di level nasional dan di tujuh provinsi. Dampaknya, kepuasan pelanggan (pasien & provider) akan sulit tercapai dalam program JKN karena implementasi kebijakan terkait mutu layanan kesehatan masih minim.

Dalam kebijakan pelayanan kesehatan yang menjadi permasalahan adalah asimetris informasi dan ketidakpastian pada sektor kesehatan. Model pelaksanaan mutu layanan kesehatan yang dilakukan di Indonesia bukan berasal dari negosiasi, tetapi berdasarkan dana yang ada di JKN. Hal ini berbeda dengan Inggris yang melakukan negosiasi sebelum bentuk kebijakan. Memang kondisi Indonesia sebagai negara berkembang mengalami banyak tantangan. Salah satunya, fasilitas kesehatan harus dipersiapkan.
Kementerian Kesehatan dalam hal ini menyatakan bahwa semenjak pembentukan Perpres 82/ 2018, pemerintah telah merencanakan sinkronisasi dan harmonisasi terhadap 13 Permenkes, 11 Peraturan BPJS Kesehatan, 3 Permendagri, dan 3 Permenkeu. Peran berbagai pihak sangat dibutuhkan untuk menjaga kualitas layanan kesehatan dalam era JKN. Pembentukan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menjadi fokus bersama karena banyak hal yang belum dinyatakan dengan jelas dalam peraturan tersebut. Terkait mutu layanan kesehatan ada yang dapat diupayakan salah satunya mengenai koordinasi manfaat asuransi kesehatan, karena hal itu telah diatur melalui Permenkeu 141/2018.

Suksesnya kualitas pelayanan kesehatan adalah tanggung jawab kita bersama. Maka dialog hari ini menjadi titik awal partisipasi publik untuk merumuskan kebijakan yang berdaya guna. Di akhir sesi, pembahas menyadari bahwa masih dibutuhkan koordinasi dan sinergi bersama. Kemendagri yang hadir akan melakuan kajian mendalam terkait kualitas pelayanan kesehatan dan bila diperlukan akan membentuk peraturan untuk mengoptimalkan peran pemerintah daerah.

Reportase : Tri Aktariyani (PKMK)

{jcomments on}

Reportase Sesi Equity: Apakah Manfaat JKN Sudah Merata?

Jakarta, 31 Januari 2019

31jan 1

PKMK – Jakarta. Equity merupakan salah satu topik yang diangkat dalam Evaluasi 8 Sasaran Peta Jalan JKN 2014 – 2018. Pada topik ini, sasaran JKN yang diamati adalah sasaran 2 tentang seluruh penduduk Indonesia mandapat jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan; sasaran 3 tentang paket manfaat medis dan non medis (kelas perawatan) sudah sama, tidak ada perbedaan, untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat; dan sasaran 4 tentang jumlah dan sebaran fasilitas pelayanan kesehatan (termasuk tenaga dan alat – alat) sudah memadai untuk menjamin seluruh penduduk/ dalam memenuhi kebutuhan medis mereka.

Kesimpulan penelitian pada topik ini adalah sasaran terkait equity masih belum tercapai. Salah satu penyebabnya adalah pendanaan program JKN yang masih belum baik. Saat ini, Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang bersumber dari dana APBN masih merupakan komposisi terbesar. Namun, pertumbuhan kepesertaan didominasi oleh peningkatan Pekerja Penerima Upah (PPU) dan sebagian oleh Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU). Masalah muncul ketika kelompok ini tidak membayar iuran secara tertib sehingga menghambat penerimaan dana JKN. Berbagai upaya sudah coba dilkukan untuk meningkatkan ketertiban pembayaran iuran ini salah satunya sanksi. Namun ternyata, “sanksi juga tidak membuat mereka (PBPU yang tidak membayar iuran, red.) sadar untuk taat membayar iuran,” tutur Andi Afdal Abdullah, Deputi Direksi Bidang Riset dan Pengembangan BPJS Kesehatan.

Pembayaran iuran ini juga terkait dengan data kepesertaan yang diolah dari data kependudukan yang dikelola oleh Kementerian Sosial (Kemensos). Data kepesertaan saat ini masih bermasalah. Masih banyak penduduk yang memiliki identitas ganda. Dampaknya data kepesertaan yang dikelola BPJS Kesehatan tidak valid. Untuk mengatasi hal ini, Asep Sasa Purnama, perwakilan Kemensos, menyarankan ada harmonisasi regulasi dan kebijakan terkait pendataan penduduk.

Pelayanan kesehatan yang merata juga dipengaruhi kemudahan akses pelayanan kesehatan. Dalam hal ini yang menjadi ujung tombak adalah pelayanan primer. Bila layanan primer memadai dan mudah diakses, maka jaminan kesehatan nasional akan dirasakan merata oleh penerima manfaat. Terkait ini, H. M. Subuh, Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan – Kementerian Kesehatan menegaskan untuk konteks Indonesia “Universal Health Coverage (UHC) tidak akan tercapai bila tidak ada puskesmas.”

Reporter: Puti Aulia Rahma