Simposium Nasional dan Musyawarah Kerja Nasional XII IAKMI

materisym

SIMPOSIUM NASIONAL DAN MUSYAWARAH KERJA NASIONAL XII
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia

“Penguatan Kepemimpinan Berwawasan Kesehatan Masyarakat
melalui Peningkatkan Mutu & Peran Tenaga Kesehatan Masyarakat”

Pontianak, Kalimantan Barat
8 – 10 Juli 2012

materisym

LATAR BELAKANG

Pembangunan kesehatan Indonesia belum mengalami perbaikan yang signifikan. Menurut UNDP, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2011 menempatkan Indonesia di posisi 124 dari 177 negara, masih di bawah negara-negara ASEAN. Selain itu, beberapa target MDGs juga belum mencapai target. Masalah bertambah rumit karena terjadinya disparitas status kesehatan di berbagai daerah. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah antara lain dengan memberlakukan sistem desentralisasi atau otonomi daerah. Namun, kebijakan tersebut kini mu-lai menimbulkan kekecewaan. Banyak daerah justru mengalami kemunduran karena komitmen politik pemerintah daerah yang belum menjadikan pembangunan kesehatan sebagai prioritas utama pembangunan. Kondisi seperti ini dapat dipahami mengingat masih lemahnya Public Health Leadership baik di tingkat nasional maupun lokal.

Melihat kompleksitas permasalahan yang ada, dibutuhkan upaya dari seluruh elemen bangsa untuk memperkuat pembangunan kesehatan. Atas dasar tersebut Pengurus Pusat Ikatan Ahli kesehatan Masyarakat Indonesia akan menyelenggarakan Simposium Internasional sekaligus Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) XII IAKMI. Kegiatan ini juga merupakan ajang pertemuan ilmiah yang menghadirkan akademisi, peneliti, praktisi, pemerintah pusat dan daerah serta mahasiswa untuk memberikan solusi dan rekomendasi terhadap kesehatan bangsa.

TEMA

“Penguatan Kepemimpinan Berwawasan Kesehatan Masyarakat melalui Peningkatkan Mutu & Peran Tenaga Kesehatan Masyarakat”

 TOPIK PLENO/SIMPOSIUM

  • Kepemimpinan Berwawasan Kesehatan Masyarakat dalam Mempercepat Pencapaian MDGs
  • Reformasi Mutu Tenaga Kesehatan Masyarakat melalui Sertifikasi Tenaga Kesehatan Masyarakat
  • Pengobatan Tradisional, Komplementer dan Alternatif Sebagai Salah Satu Pendekatan Promo-tif dan Preventif untuk Meningkatkan Derajat Kesehatan Masyarakat
  • Upaya Pengendalian Penyakit Tidak Menular
  • Kesiapan BPJS Melaksanakan Jaminan Kesehatan dalam Rangka Menuju Universal Coverage

 

WAKTU DAN TEMPAT

Waktu : Minggu-Selasa 8-10 Juli 2012

Tempat : Hotel Kapuas Palace Pontianak Kalimantan Barat

 KEYNOTE SPEAKER

 Menteri Kesehatan RI

 

PEMBICARA

Menteri PPN, Kepala BKKBN, Duta MDGs Indonesia, Gubernur Kalbar, WHO Geneva, WHO INO, Dirjen Dikti Kemdikbud, Ka Badan PPSDM, Direktur Tradkom Kemenkes, Litbangkes Kemenkes, PT Sido Muncul, UNFPA, UGM., PT Askes

CALL FOR PAPER

Akademisi, peneliti, praktisi, pemerintah/swasta, mahasiswa dipersilakan mengirim abstrak untuk dipresentasikan pada sesi paralel. Isi abstrak memuat latar belakang, metode, hasil dan kesimpulan. Panjang abstrak maksimal 500 kata, huruf times news roman ukuran 12, spasi 1,5, format doc/pdf. Kirimkan abstrak ke [email protected] dan [email protected].

TOPIK MAKALAH

Topik abstrak secara umum terbuka meliputi bidang ilmu kesehatan masyarakat dengan pene-kanan pada beberapa aspek berikut::

  1. Mutu Tenaga Kesehatan Masyarakat
  2. Kepemimpinan Berwawasan Kesehatan Masyarakat
  3. Upaya Preventif dan Promotif dalam Penanggulangan Penyakit Tidak Menular (PTM
  4. Jaminan Kesehatan Semesta dan Pembiayaan Kesehatan
  5. Kependudukan, Kesehatan Reproduksi, HIV dan AIDS
  6. Pengobatan Tradisional, Komplementer dan Alternatif
  7. Determinan Sosial Kesehatan

 TANGGAL PENTING

21 Mei Penerimaan Abstrak Dimulai

21 Juni Deadline Pengiriman Abstrak

25 Juni Pengumuman Hasil Abstrak

6 Juli Deadline Pengiriman Makalah

8 Juli Pre Simposium/Training

9-10 Juli Pelaksanaan Simposium & Mukernas XII.

 

Download :

Leaflet Mukernas.pdf

Pertemuan Jejaring EPI-4

epi2

PERTEMUAN JEJARING EPI-4

ANALISA KESENJANGAN PENCAPAIAN MDG 4, 5 & 6 DI INDONESIA
DALAM UPAYA PENCAPAIAN TARGET TAHUN 2015

SUSUNAN ACARA
Selasa, 5 Juni 2012 : MDG 4 dan 5

 

Waktu

Acara

Penyaji Materi

09.00 – 09.15

Pembukaan

Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA

(Dr. H. Slamet Yuwono, MARS, DTM&H)

09.15 – 10.00

Sesi I : Presentasi dan diskusi panel

Situasi terkini terkait MDG 4 & 5

  1. Pencapaian MDG 4 & 5 saat ini
  2. Kebijakan dalam Percepatan Pencapaian target MDG 4 & 5

Moderator : Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs (Prof. Dr. Nila Djuwita F. Moeloek, dr., Sp.M(K))

Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA (Dr. H. Slamet Yuwono, MARS, DTM&H)

epi2

10.00 – 10.30

Rehat

 

10.30 – 11.00

Lanjutan Diskusi Sesi I

Moderator : Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

epi1

11.00 – 12.00

Sesi II: Presentasi dan Diskusi Kegiatan EPI – 4

  1. Pengantar : Kegiatan EPI-4 di China, India, Indonesia, Vietnam
  2. Hasil Kegiatan Review dan Analisis data EPI-4 di Indonesia terkait MDG 4 dan 5

Moderator : drg. Dibyo Pramono, SU, MDSc.

Koodinator EPI – 4
(Sarah Thomsen, Ph.D – Karolinska Institute, Sweden)

ftepi3

Peneliti EPI – 4
(dr. Nawi Ng., MPH, Ph.D / Prof. Lars Weinehall, Ph.D – Umea University, Sweden)

12.00 – 13.00

Makan Siang

 

13.00 – 14.00

Sesi III : Diskusi Kelompok I

Sintesis Hasil Kegiatan EPI – 4

Peserta

14.00 – 15.00

Sesi IV : Diskusi Kelompok II

Perumusan Policy Brief dan Rencana Tindak Lanjut

Peserta

15.00 – 15.30

Rehat

 

15.30 – 16.00

Pleno

Moderator : Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D

16.00 – 16.15

Penutupan

Prof. dr. Hari Kusnanto, Dr.PH

 

 

notulensi final forum melaka

Post Graduate Forum  Laporan Hari I Laporan Hari II

Point Sesi Oral Presentation Pertama:
21 May 12/ Room 1 / Theme: Health Policy / Health Promotion

  1. Evidence based budgeting policy in maternal and child health program: Do they work?

    (Deni Harbianto, Digna Purwaningrum, M. Faozi Kurniawan, Tiara Marthias ; Gadjah Mada University Indonesia)

    Point presentasi: Meskipun jumlah yang relatif besar MNCH dana di Papua, keterbatasan sumber daya manusia menimbulkan masalah serius dalam skala untuk intervensi prioritas. Kendala utama dalam kebijakan kesehatan penganggaran adalah komitmen pemerintah daerah masih rendah. Masalah-masalah ini mungkin juga berlaku untuk daerah lain di Indonesia sebagai efek dari desenftralisasi kesehatan.

  2. Improving mental health policy in the case of schizophrenia in Thailand: Evidence-based information for efficient solutions

    (Pudtan Phanthunane; Naresuan University, Thailand)

    Point presentasi:
    Skizofrenia adalah salah satu penyakit yang membutuhkan biaya perawatan relatif mahal. Saat ini skizofrenia sudah menimbulkan dampak ekonomi tinggi pada pasien dan keluarga, perubahan kebijakan yang mendorong biaya kesehatan ke pasien mungkin menyebabkan efek jangka panjang negatif bagi pasien dan pemerintah jika terjadi peningkatan pada pasien yang tidak diobati. Dengan mengupayakan intervensi yang lebih efektif dan dengan kombinasi penggunaan risperidone generik, diharapkan hal ini menjadi solusi tepat bagi pasien skizofrenia. Para pembuat kebijakan dan dokter perlu mempertimbangkan kebutuhan riil pasien.

  3. Global initiatives to improve access to essential medicines and health products for neglected tropical diseases (NTDs)

    (Ahmed Amara; United Nations University International Institute for Global Health)

    Point presentasi:
    Peningkatan akses terhadap obat-obatan esensial yang berkualitas untuk masyarakat miskin tetap merupakan masalah kritis. Saat ini kemitraan internasional, termasuk perusahaan farmasi yang terlibat dalam penyediaan obat-obatan atau melakukan penelitian dan pengembangan untuk NTDs.

  4. Cervical cancer in Malaysia: can we improve our screening and preventive practice?

    (Shanthi Varatharajan; Majdah M.; Syed Al-Junid3; Won- Sun Chen; Mukarramah A and Chee-Meng Yong; UNU-IIGH Malaysia)

    Point presentasi:
    Saat ini Malaysia sedang berusaha untuk mengatur ulang dan memperbaharui program screening kanker serviks. Pendekatan praktis dan hemat biaya perlu dikembangkan. Proses ini harus termasuk peneliti dan praktisi dari berbagai disiplin ilmu dan menggunakan pendekatan berbasis bukti.

  5. Medical pluralism in diabetes care among the urban poor of Yogyakarta: closing the gap in healthcare reform?

    (Retna Siwi Padmawati; Universitas Gadjah Mada)

    Point presentasi:
    Pola pengobatan diabetes pada masyarakat miskin sangat bervariasi. Mencari obat yang cocok, kebosanan, keputusasaan, tingginya biaya pengobatan formal, dan tekanan sosial adalah penyebab pluralisme tersebut. Asuransi bagi masyarakat miskin telah mendukung merawat pasien diabetes, tetapi pengeluaran keluarga yang memiliki anggota keluarga pasien diabetes termasuk yang tertinggi di lingkungan itu. Skema asuransi tidak diberikan kepada semua pasien diabetes. Hambatan yang ada bagi pasien yang memiliki jaminan asuransi kesehatan adalah waktu pelayanan, informasi, prosedur, cost sharing, percaya kepada penyedia, dan pilihan pengobatan. Hambatan-hambatan inilah yang terkadang memaksa orang-orang terpinggirkan untuk memilih sumber non kesehatan formal.

  6. Service infrastructure and health workforce in Bangladesh: Experience of an NGO

    (Mohammad Fazlul Haque, JatiyaTarun Sangha; Bangladesh)

    Point presentasi:
    Bangladesh memiliki permasalahan utama dalam hal kurangnya sumber daya manusia dan infrastruktur memadai untuk pelayanan kesehatan. Pelatihan gadis-gadis muda untuk bekerja sebagai paramedis masyarakat di Bangladesh dan keterlibatan masyarakat untuk pembangunan infrastruktur pelayanan kesehatan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan di tingkat akar rumput.

 

Point Presentasi Scientific Award:
21 May 2012 / Room 1/ Scientific Merit Symposium O1

  1. Oral manifestations among 20-25 year old women in Bangalore City suspected with eating disorders

    (Pallavi Vasantrao, M.R.Ambedkar; Dental College, Bangalore India)

    Point presentasi:
    Penelitian ini membahas tentang pentingnya deteksi dini manifestasi oral dari gangguan makan (eating disorder). Dokter gigi memegang peranan penting dalam mendeteksi manifestasi oral gangguan makan dan mencegah apa saja kemungkinan yang memperparah situasi ini.

  2. What does health system need to act on informal drug dispensaries? The case of self-medication in Yogyakarta Province.

    (Eunice Setiawan, Mubasysyir Hasanbasri, Laksono Trisnantoro; Gadjah Mada University, Indonesia)

    Point presentasi:
    Peningkatan jumlah apotik tidak resmi di Yogyakarta perlu mendapat respon dari otoritas kesehatan provinsi dan kabupaten dalam bentuk pengawasan dan pengaturan. Studi ini menunjukkan bahwa apotik tidak resmi memperoleh pasokan obat dari distributor farmasi yang tidak terdaftar.

  3. Patient-reported outcomes after one year of periodontal treatment at public specialist dental clinics in Peninsular Malaysia.

    (Tuti Ningseh Mohd Dom, Syed Mohamed Al Junid, Mohd Rizal Abd Manaf, Khairiyah Abd
    Muttalib, Ahmad Sharifuddin Mohd Asari, Rasidah Ayob, Yuhaniz Yaziz, Noorlin Ishak,
    Hanizah Abdul Aziz and Noordin Kasan; UKM-UNU IIGH, Malaysia)

    Point presentasi:
    Pelayanan kesehatan gigi di klinik kesehatan gigi milik pemerintah terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup dan status kesehatan gigi-mulut pasien. Dengan melakukan analisis efektivitas pelayanan kesehatan gigi dan mulut, diharapkan hal ini dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan itu sendiri.

  4. Health impact of intimate partner violence and implication on services

    (Tengku Nur, Siti Hawa, Halim Salleh, Mohamed Yusoff; University of Sciences of Malaysia)

    Point presentasi:
    Perempuan menderita konsekuensi kesehatan fisik dan mental karena intimate partner violence. Sektor kesehatan telah mulai menunjukkan perhatian terhadap masalah ini, namun masih perlu ditingkatkan melalui pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu dan inisiatif manajemen dari penyedia layanan kesehatan.

  5. Home-based family-assisted therapy for people with stroke: Findings from a Randomised Controlled Trial

    (Nor Azlin Mohd Nordin, Noor Azah Aziz, Saperi Sulong, Syed Aljunid; UKM-UNU IIGH, Malaysia)

    Point presentasi:
    Terapi perawatan rumah berbasis keluarga merupakan cara efektif untuk meningkatkan kualitas hidup pasca stroke. Program ini dapat menjadi alternatif dalam proses rehabilitasi pasca perawatan di rumah sakit.

  6. Using the adjusted clinical group to determine morbidity burden and healthcare resource use of diabetes patients at Buddhachinaraj Hospital, Phitsanulok

    (Roongkarn Pannarunothai; Naresuan University, Thailand)

    Point presentasi:
    Penelitian ini menunjukkan kemungkinan penggunaan sistem ACG (Adjusted Clinical Group) untuk menentukan morbiditas pasien dengan diabetes dan bagaimana menjelaskan penggunaan layanan kesehatan dan biaya yang dikeluarkan.

  7. Selection of HMG-coenzyme A reductase inhibitors using multiattribute scoring tool

    (Azuana Ramli, Syed Mohamed Aljunid, Saperi Sulong, Faridah Aryani Mohd. Yusof; UKM-UNU IIGH, Malaysia)

    Point presentasi:
    The multiattribute utility scoring tool telah berhasil membuat sistematika model pembuatan keputusan untuk penggunaan statin. Berdasarkan skor total penggunaan hasil model MAST, atorvastatin dan simvastatin sebaiknya dipertimbangkan menjadi obat lini pertama bagi kasus hiperkolesterolemia.

  8. Role of microRNAs in the pathophysiology of sporadic colorectal cancer

    (Fung Lin, Chee Wei, Chee Woon; UM-UNU IIGH, Malaysia)

    Point presentasi:
    MiRNAs dapat menjadi sumber informatif dalam menyoroti mekanisme molekuler yang mendasari patogenesis CRC sporadis. Penelitian lebih lanjut ke profil darah MiRNAs akan menjelaskan peran potensinya sebagai biomarker noninvasif dalam CRC.

 

 

 

Reportase Room 1 dan Room 2

Post Graduate Forum  Laporan Hari I Laporan Hari II

The 6th Postgraduate Forum on Health Systems and Policies
Melaka, Malaysia

Reportase :

Room 1 : Health Policy and Health Promotion
22 Mei 2012 Jam 11.00-13.00

  1. Paper : Alert Village Program and Health Promotion Regarding Healthy Behaviors

    From : Sriwijaya University
    Pembicara : Asmaripa Ainy

    Point: Desa Siaga yang merupakan program dari Kementerian Kesehatan tahun 2009 dengan 56,1% desa di Indonesia dijadikan desa siaga. Program desa siaga dalam tulisan ini diambil di Sumatra Selatan. Tujuannya implementasi kebijakan desa siaga. Dengan kualitatif studi di Ogan Hilir, Puskesmas Indralaya dan Poskesdes di desa Sakatiga. Yang hasilnya bahwa seluruh kegiatan promosi kesehatan di lakukan di poskesdes desa Sakatiga tersebut. Pemberdayaan masyrakat penting untuk optimalisasi poskesdes di desa siaga tersebut.

    Question from Thailand: Bagaimana desa mendapatkan dana untuk menjalankan aktifitas sebagai desa siaga?

  2. Paper : Prevention of Chronic Kidney Disease (CKD) in Khlong Khlung Hospital, Kamphaeng Phet Province, Thiland

    From : Naraseun University
    Pembicara : Vinai Leesmidt

    Point: Terdapat dua resiko penyakit yaitu DM dan HT dengan tujuan research yaitu mengembangkan screening strategi di CKD untuk DM dan HT pasien di comunitas/masyarakat. Studynya experimental dan membandingkan estimeted Glomerular Filtration Rate (e-GFR) pada populasi sebelum dan sesudah implementasi eGFR. Data terdiri dari 228 sampel yang dianalisis dengan t-tes statistik. Hasilnya dengan melalui terapi melalui end stage renal disease (ESRD) bisa menghemat 18 juta USD per tahun.

    Question:

    GMU: Bagaimana mendapatkan sampel pasien di komunitas karena masyrakat cenderung menutupi penyakit yang dideritanya apalagi di masyarakat miskin yang tidak terdapat banyak data atau sedikit data yang bisa diakses dari masyrakat miskin?

  3. Paper : Measurement of Health Literacy in Rural Malang: Stuy in Private Outpatient Care Provider

    From : Brawijaya University
    Pembicara : Asri Maharini

    Point: Pengetahuan masyarakat tentang level literatur kesehatan. Studi ini ada di klinik swasta di Malang yaitu Apotik Klinik Desa. Studi bertujuan untuk mengukur tingkatan pengetahuan kesehatan pasien swasta di daerah miskin. Ada tingkatan Very low, low dan adequete health literacy. Hasilnya ada korelasi antara pendidikan dan pengetahuan tentang kesehatan. Rekomendasi doktor memberikan pengetahuan tentang kesehatan kepada pasien selama ada terapi.

  4. Paper : An Exploration of Sexual Health Needs in Young Somali Muslim Women in the London Borough of Camden

    From : UNU-IIGH
    Pembicara : Sima Barmania

    Point: Paper ini membahas komunitas Somali di London yang berbeda dalam hal etnic minoritas yang ada di kota. Diterangkan bahwa sedikit data yang tersedia dimana kesulitan akses kamu minoritas terhadap pelayanan kesehatan sexual. Studi ini bertujuan mengungkapkan hubungan kesehatan seksual yang dibutuhkan bagi kaum muda wanita Somali. Studi dilakukan dengan grup diskusi dengan kaum muda wanita Somali. Hasilnya kaum muda ini memang membutuhkan informasi kesehatan seksual karena pendidikan sex yang mereka terima terkadang tidak cocok bagi mereka.

  5. Paper : Elderly Health Post Empowerment in Promoting Healthy Diets and Physical

    From : Sriwijaya University
    Pembicara : Afriyadi Cahyadi

    Point: Studi ini menekankan pada aktifitas manula di Indonesai. Studi dilakukan di Poslansia Silaberanti dan Poslansia Indralaya. Tahun 2012 ada 245 juta jiwa dengan manula 6.1%. manajemen empowerment sangat penting dilakukan.. Manajemen elderly healt post (EHP) pada promosi kesehatan untuk kaum manula sangat penting. Biasaya kaum manula di keluarga tidak mendapat pengetahuan yang cukup mengenai resiko kesehatan, kurang mengkonsumsi vitamin, makanan yang sehat seperti rendah kadar garam dan kolesterol. Juga bagaimana pos kesehatan desa untuk manula bisa menerangkan terapi kesehatan dan bagaiman aktifitas fisik yang seharusnya dilakukan manula. Hal ini juga terkait bagi kebijakan dinas kesehatan setempat sebagai pendidik dan advokasi. Dan sekarang hanya kader sebagai penghubung antara tenaga kesehatan dengan masyarakat.

    GMU: Karakteristik sampel adalah manula, pada manula biasanya mempunyai grup sopporting. Bagaimana dengan supporting grup disana untuk mendukung manula? Dijogja mungkin grup ini bisa digabung grup lain. Misal seperti posyandu balita dll.

  6. Paper : Health System, Policies and Infant Mortlityin Developing Countries

    From : UNU-IIGH
    Pembicara : David Baguma

    Point: Pada situasi global, bagaiman meningkatkan manfaat kehidupan pada sistem kesehatan dan kebijakan untuk mengurangi resiko kesehatan karena perubahan cuaca dan lingkungan. Fokus studi ini pada status kematian bayi pada kelahiran di negara berkembang. Studi area negara di asian dan africa. Hasil nya ada penurunan kematian bayi lahir dan uur satu tahun di Afrika Timur sebesar 7%, Eropa barat 23% dan negara Asia selatan 15%. Untuk mengurangi kematian bayi dilakukan dengan pelatihan , perhatian gizi, program emergensi. Meningkatkan pengawasan air bersih karena berhubungan dengan malaria dan diare/kolera. Pada negara dengan penghasilan rendah kebijakan bisa difokuskan pada pengembangan kesehatan global.

  7. Paper : Obesity Among The Poor Women Living In Urban Slum Areas: Health System Respone

    From : Gadjah Mada University
    Pembicara : Digna Purwaningrum

    Point: Obesitas menjadi isu kesehatan dan merupakan resiko untuk penyakit tidak menular. Obesitas diderita banyak di keluarga miskin di Indonesia. Dan bagaimana sistem kesehatan bisa merespon kondisi seperti ini. Hasil studi menunjukkan dari 140 wanita 34% adalah obesitas dengan subyek keluarga dengan pendapatan 600.000 IDR per bulan. Ditemukan banyak faktor resiko untuk obesitas pada wanita miskin. Dari diskusi yang terjadi disimpulkan bahwa pemerintah perlu meningkatkan promosi kesehtan khususnya bagi populasi yang memang rentan terhadap obesitas.

    Question dari Sriwijaya : Pendekatan promosi apa yang dilakukan pada aktifitas sosial seperti halnya promosi untuk berhenti merokok menggunakan grup PKK sebagai media untuk promosi kesehatannya?

    GMU: Bagaimana mensosialisasikan obesitas ?

    Bagaimana pendekatan kualitatif data untuk mengurangi obesitas.

  8. Paper : Usage of Uygur Herbal Medicine Among the People in Hotan

    From : UNU-IIGH
    Pembicara : Maihebureti Abuduli

    Point: Studi ini tentang pengobatan dengan Uygur Medicine (UM) merupakan cara pengobatan tradisional di Turki. Penelitian ini mencoba untuk menjelaskan tentang penggunaan obat Uygur oleh komunitas Turki yang tinggal di provinsi Sin Jiang, district Hotan, China. kombinasi TCM, 80% populasi di dunia menggunakan utk PHC. Modern uygur pada medical hospital di adopsi oleh RS dan teknologi farmasi untuk memproduksi UM. Intinya penggunaan UM menjadi Uygur Herbal Medicine (UHM) di Hotan. Studi ini menunjukkan pemakain UHM pada orang kaya, orang tua, orang yang bekerja di pemerintahan lebih digunakan dari pada yang lain. Kesimpulannya bahwa orang tua lebih memahami UHM dan memiliki pengetahuan yang lebih mengenai UHM. Implikasi kementrian kesehatan mengembangkan promosi kesehatan bagi UHM.

    Qestion from Thailand: Biaya antara UHM dan obat biasa yang dipakai untuk mengatasi masalah kesehatan?

 

Reportase :

Room 3 : Disease Epidemiology & Burden
21 Mei 2012 Jam 11.00-13.00

  1. Paper: Burden of risk factors for non-communicable diseases: an epidemiological review of the evidence from INDEPTH Health and Demographic Surveillance System (HDSS) in Indonesia

    Pembicara: Dwidjo Susilo
    Dari: Universitas Gadjah Mada

    Penelitian epidemiologis ini merupakan telaah literature yang berfokus pada Non-Communicable Disease di Indonesia. Sebanyak 64% kematian di Indonesia pada akhir 2008 disebabkan oleh penyakit tidak menular. Kenyataan ini diperparah dengan fakta bahwa prevalensi merokok, diet tidak sehat dan aktivitas fisik yang kurang di Indonesia masih sangat tinggi.

    Penelitian ini menemukan bahwa jenis kelamin pria, usia tua dan rendahnya tingkat pendidikan berhubungan dengan risiko tinggi terkena penyakit tidak menular yang kronis. Sementara jenis kelamin wanita, obesitas dan usia tua berhubungan dengan risiko terkena hipertensi. Kebijakan yang perlu diambil harus mengarah pada intervensi tingkat laku dan pengawasan ketat terhadap efek tembakau serta promosi pola hidup sehat.

  2. Paper: Epidemiological pattern of acute respiratory infection among under-fives in Almazar Aljanoubi District -South Jordan

    Pembicara: Nedal Awod Alhawadeh
    Dari: Universitas Kebangsaan Malaysia

    Penelitian dari Jordania ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor risiko terjadinya infeksi saluran napas akut pada anak balita di Jordania. Latar belakang penelitian ini adalah tingginya angka kematian akibat infeksi saluran napas akut, yaitu sebesar 21% di populasi umum.

    Penelitian ini menemukan bahwa faktor risiko terbesar untuk infeksi saluran napas akut adalah penggunaan kayu atau kerosin sebagai bahan bakar memasak dan penghangat rumah. Faktor risiko lain adalah ventilasi yang tidak baik, riwayat keluarga terkena infeksi saluran napas atas, serta rumah hunian yang terlalu padat.

    Faktor pelindung infeksi saluran napas akut adalah riwayat pernah menyusu dengan ASI serta interval kelahiran yang cukup panjang.

  3. Paper: Beta-thalassaemia major – a public health problem in Malaysia: Impacts, coping strategies and needs of parents with affected children

    Pembicara: Nursalihan binti Muhammad
    Dari: University of Malaya

    Penelitian dari Malaysia ini mengangkat topik penyakit thalassemia beta mayor yang prevalensinya di Malaysia saat ini cukup tinggi, yaitu sebesar 4.5%. Beban penyakit yang ditimbulkan tidak hanya dari sisi perawatan kesehatan tapi juga beban tidak langsung yang ditanggung orangtua atau pengasuh penderita, yang biasanya adalah anak-anak.

    Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dampak terhadap mental orangtua melalui metoda kualitatif pada populasi urban dan rural. Penelitian ini menemukan bahwa diseminasi informasi mengenai thalassemia cukup seimbang antar kedua populasi. Orangtua atau ibu di perkotaan mengalami masalah utama dalam pekerjaan karena sulitnya meminta izin dari kantor, sementara orangtua atau ibu di pedesaan tidak mengalami masalah ini. Karena ibu-ibu di pedesaan sebagian besar adalah ibu rumah tangga.

    Yang menarik adalah bahwa Pemerintah Malaysia telah meng-cover semua pembiayaan kesehatan dengan universal coverage. Namun, biaya transportasi masih belum di-cover. Hal ini tetap menjadi beban keluarga. Malaysia juga telah mengadakan program family support untuk keluarga yang memiliki anak penderita Thalassemia. Hal ini menjadi forum yang sangat mendukung diseminasi informasi, baik dari segi pengetahuan medis bagi keluarga tapi juga pengetahuan mengenai pelayanan kesehatan apa saja yang tersedia dan dapat diakses oleh pasien.

  4. Paper: Incidence of bacterial meningitis in South East Asia region

    Pembicara: Namaitijiang Maimaiti
    Dari: University Kebangsaan Malaysia

    Telaah pustaka sistematis dari beberapa negara di Asia Tenggara ini menunjukkan bahwa pendataan atau registri penyakit meningitis masih sangat terbatas. Dan dari data yang ada, Indonesia adalah negara dengan indidensi meningitis tertinggi di Asia Tenggara, diikuti oleh Thailand dan Sri Lanka.

    Insidensi yang sebenarnya kemungkinan besar lebih tinggi, mengingat keterbatasan deteksi dan pendataan di negara-negara berkembang, serta rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan.

  5. Risk factors of HT in people living with HIV/AIDS: A Single-center experience

    Pembicara: Nazisa Hejazi (PhD cand.)
    Dari: University Kebangsaan Malaysia

    Dengan meningkatnya prevalensi penderita HIV/AIDS, termasuk di Malaysia, penyakit penyerta pun (termasuk NCD) berpotensi menjadi beban dalam sistem kesehatan. Hal ini disebabkan karena dengan semakin potennya pengobatan anti-retroviral yang ada maka harapan hidup penderita HIV/AIDS lebih tinggi, namun populasi ini tetap lebih rentan terhadap berbagai penyakit. Penelitian ini memfokuskan pada hipertensi pada penderita HIV/AIDS dan hubungannya dengan faktor-faktor risiko.

    Ditemukan bahwa prevalensi hipertensi pada penderita HIV/AIDS jauh lebih tinggi daripada populasi umum, yaitu 44.7%. Faktor risiko yang ada hampir sama dengan populasi umum, yaitu obesitas serta umur tua. Pengobatan antiretroviral tidak berhubungan langsung dengan tingginya hipertensi pada penderita HIV/AIDS. Penelitian ini menegaskan perlunya pendekatan khusus untuk prevensi hipertensi pada populasi penderita HIV/AIDS.

  6.  A study on social determinants of infant mortality in Malaysia

    Pembicara: Dr. Amaluddin Ahmad
    Dari: Cyberjaya University College of Medical Sciences)

    Paper ini menggunakan pendekatan inequality atau kesenjangan berdasarkan social determinants of health pada mortalitas anak di Malaysia. Analisa indeks pendapatan dan koefisien Gini menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan sosioekonomi dalam tingkat kematian anak di Malaysia. Faktor yang berhubungan erat dengan kesenjangan ini adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, perbedaan status ekonomi, akses ke pelayanan kesehatan, serta jenis tempat tinggal.

    Kesenjangan sosioekonomi dalam kesehatan anak perlu ditelaah lebih lanjut, terutama dalam hubungannya dengan kebijakan yang lebih terfokus pada populasi yang kurang beruntung.

Konferensi Internasional ke 4 Sejarah Kedokteran di Asia Tenggara

4th International Conference on
The History of Medicine in Southeast Asia (HOMSEA 2012)
http://www.fas.nus.edu.sg/hist/homsea/conference.html

To be held in Solo (Surakarta)
2-5 July 2012
to coincide with
IAHA 2012 (International Association of Historians of Asia)

Organised by:
PERSEKIN
(Perhimpunan Sejarah Kedoktoran Indonesia /
Indonesian Association of the History of Medicine)

With support from:
The University of Indonesia
KITLV
University of Sydney
The Canada Research Chair in Health Care Pluralism, Université de Montréal (Canada)

Program HOMSEA

Monday 2 July

1.30 – 2.00 pm

Opening

Rethy Chhem , president HOMSEA

Kartono Mohamad, president PERSEKIN

Wang Gungwu, NUS, TBC

2.00 – 3.30 pm

 

Disease and Political (In)stability

Chair:

  1. Promoters of Health, Preachers of Consciousness: The Philippine Islands Anti-Tuberculosis Society and its Crusade Against Spitting in the American Philippines, 1910-1946
    Aaron Rom O. Moralina, Ateneo de Manila University
  2. A Pox on the House of Nguyen: The Social and Political Effects of Smallpox on the Last Royal Dynasty of Vietnam
    Michele Thompson, Southern Connecticut State University
  3. Komiks and Public Health Policies during the Japanese Occupation Period in the Philippines
    Karl Ian Uy Cheng Chua, Ateneo de Manila University

3.30 – 4.00 pm

break

4.00 – 5.00 pm

Medical Professionalization and Nation-Building

Chair:

  1. Healers in the Medical Marketplace: Traditional Medical Practitioners, Medicosand Licensed Physicians in Nineteenth Century Philippines
    Mercedes Planta
  2. Reflections on Medicine’s Modernist Project in Indonesia
    Mary-Jo Delvecchio Good, Harvard University

5.00 – 6.00 pm

HOMSEA Plenary Address

Chair:

The Unending Dialogue of Past and the Present in Medicine
Firman Lubis, University of Indonesia 

7.00 – 9.30 pm

Opening Ceremony

 

Tuesday 3 July

 8.00 – 10.15 am

Plenary Session IAHA

10.15 – 10.30 am

Break

10.30 – 12.30 am

Medical Education in Indonesia

Chair:

  1. Indonesian Medical Education: The Role of the SEARO, International Aid, and the Implementation of Public Health during the 1950s
    Vivek Neelakantan, University of Sydney
  2. Midwifery Education inDutch East Indies, 1850-1915
    Liesbeth Hesselink, Independent Scholar
  3. The Oldest Medical School in Indonesia
    S. Somadikarta, University of Indonesia

Commentator: John Harley Warner, Yale University

12.30 – 1.15 pm

Lunch

1.15 – 3.15 pm

Traditional Medicines in Southeast Asia, I

Chair: 

  1. Continuity and Changes: The Evolution of Burmese Traditional Medicine
    CéCoderey, IRSEA, Marseille 
  2. Making Medicine, Materializing a Cure:the Therapeutic Efficacy of Shamanic Based Healing Among the Orang Sakai of Riau (Sumatra)
    Nathan Porath, Pechabun Rajhabat University 
  3. Indigenous Medical Traditions in a Frontier Society
    Sebastianus Nawiyanto, University of
  4. as Curer and Converter: History of Islamic Medicine in Early Indonesia
    Jennifer W. Nourse, University of Virginia

3.15 – 3.45 pm

Break

3.45-4.45 pm

Traditional Medicines in Southeast Asia, II

  1. The Undeclared War: Combating Malaria and Dysentery and Reviving Indigenous Medicine in the Philippines during the Japanese Occupation Period
    Arnel E. Joven, University of Asia and the Pacific

Commentator: C. Michele Thompson, Southern Connecticut State University

4.45 – 5.45 pm

HOMSEA Plenary Address

Exile and Healing: The Boven Digoel camp in the Dutch East Indies, 1927-1943
Rudolf Mrázek, University of Michigan, Ann Arbor

7.00 – 9.00 pm

HOMSEA Dinner

 

Wednesday July 4

8.00 – 9.00 am

Institutions for Health, from Public to Private Endeavours

Chair:

  1. Revisiting Bilbid and Iwahig: Prison Hospitals in the American Occupied Philippines
    Francis Gealogo, Ateneo de Manila University
  2. Non-State Hospitals in Indonesia: The Evolutive Change since the Colonial Period
    Laksono TrisnantoroBaha’uddin, Universitas Gadjah Mada

9.00 – 10.00 am

HOMSEA Plenary Address

‘Cholera’ Before and After 1817 in Indonesia
Peter Boomgaard, KITLV

10.00 – 10.30 am

Break

10.30 am – 12.30 pm

Leprosy in Southeast Asia

Chair: 

  1. United States Policy on Leper Segregation in the Philippines,1906-1935
    Antonio C. Galang, Jr., University of the
  2. Comparing Leprosy in Two Dutch Colonial Contexts
    Frank Huisman, Utrecht
  3. Leprosy in the Dutch East Indies: The Medical Debate on Hereditarianism and Contagionism
    Leo Van Bergen, KITLV

Commentator: Warwick Anderson, University of Sydne

12.30 – 1.15 pm

Lunch

1.15 – 2.15 pm

Mobility, Morbidity and Urban Settings

Chair:

  1. Public Health Organization in Modern Bangkok: Rulers’ Thinking, External Pressures and Habitants’ Reaction
    Nipaporn Ratchatapattanakul, Thammasat
  2. Two Birds with One Stone: Health Concerns in the Process of Urban Transport “Modernization” in American-Occupied Manila
    Michael D. Pante, Ateneo de Manila University

2.15 – 3.45 pm

Workshop on the History of Psychiatry in Indonesia

Byron Good, Mary-Jo Delvecchio Good, Hans Pols, Denny Thong and others

3.15 – 3.45 pm

Break

3.45 – 6.00 pm

Solo Batik Festival

7.00 – 9.00 pm

Dinner hosted by the Mayor of Solo

 

Thursday 5 July

8.00 – 10.00 am

Circulation and Construction of Medical Knowledge in Southeast Asia

Chair:

  1. Southeast Asian Medicine in the 18th Century: Notes from Linnaean Travel Accounts
    David Dunér, Lund
  2. Visualizing the Geography of Diseases in East Asia, 1870s-1930s
    Marta Hanson, Johns Hopkins
  3. Social Institutions as Moderators of Cross-Cultural Knowledge Transfer: The Dutch East India Company in Pre-Colonial Southeast Asia
    Matthew Sargent, University of California,
  4. Exploiting Quinine: From the Tropical Forests of the Andes to the Government Plantations of the Dutch East Indies, 1850-1900
    Arjo Roersch van der Hoogte and Toine Pieters, Utrecht University

10.00 – 10.30 am

Break

10.30 am – 12.30 pm

Doctors, Migrations and Medical Practice

Chair:

  1. Dr. Tung goes to China: Revisiting Ton That Tung’s Travels in the Socialist World, 1951-75
    Michitake Aso, National University of
  2. A Doctor and a Reformer: Dr. Willem Bosch on the Welfare of Java 1851-1869
    Rupalee Verma, University of Delhi TBC* 
  3. Czech Physicians in the Dutch East Indies
    Jan Mrázek, National University of Singapore

12.30 – 1.15 pm

Lunch

1.15 – 3.15 pm

Global Movements, Local Concerns

Chair:

  1. Cattle for the Colonizers: Veterinary Medicine in French Indochina
    Annick Guénel and Sylvia Klingberg, CASE (Centre Asie du Sud-Est), CNRS-
  2. Approaches to Women’s Health in Laos, 1969-2000
    Kathryn Sweet, National University of Singapore
  3. The Tropical Persists?: The ROK (Republic of Korea) Military and its Public Health in the Vietnam Context, 1965-1973
    John Di Moia, National University of
  4. Of Ethics and Profit: Opium Addiction as Health Issue in the Late Colonial Indonesia, 1910s-1940
    Abdul Wahid, Utrecht University/UGM Yogyakarta

3.15 – 3.45

Concluding remarks

4.00  – 5.30 pm

Trip to Prambanan Temple

6.00 – 7.00 pm

Dinner

7.00 – 9.00

Prambanan Ballet Dance

 

Friday 6 July

Excursion

Organized by PERSEKIN (Perhimpunan Sejarah Kedoktoran Indonesia; Indonesian Association of the History of Medicine)

Informasi lebih lanjut pada : http://www.fas.nus.edu.sg/hist/homsea/conference.html

 

 

hari kedua

Post Graduate Forum  Laporan Hari I Laporan Hari II

The 6th Postgraduate Forum on Health Systems and Policies
Melaka, Malaysia

Laporan Reportase Room 1 dan Room 2

Laporan Hari Kedua
Hari ke-2, Selasa 22 Mei 2012.

Plenarary Two:

Dr. Harleen Kaur, Research Fellow, UNU-IIGH menyampaikan topic Data Mining in NCD Research and Management. Pesan kunci dari topic ini adalah NCD diseases di Negara berkembang adalah masalah utama dari kesehatan public dan social ekonomi. Maka untuk mendukung program penurunan NCD, digunakan data mining. Data mining adalah bagian terintegrasi antara pengetahuan yang tersimpan dalam data base dengan seluruh proses menguraikan kasus-kasus yang terjadi. Data mining terdiri atas: (1) Data mining cycle. Aplikasi data mining NCD mengekstrasi pengetahuan dan digunakan untuk melakukan diagnosis, screening, prognostic, monitoring dan seluruh resiko manajemen pasien. (2). Teknik data mining yang mncakup aturan dasar data mining, (3) Pohon kesimpulan data mining yang meliputi: neural diagram, clustering dan sebagainya. (4) Aplikasi data mining.

DSCN0083

Prof. Dr. Laksono Trisnantoro, UGM, menyampaikan topic Enganging Stakeholder in Developing Evidence Based Policies in NCD Management. Salah satu bentuk NCD di Indonesia adalah masalah kebiasaan merokok. Ini adalah kebiasaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Kebiasaan merokok ini menyebabkan masalah-masalah pernapasan dan bahkan ke arah penyakit yang lebih serius atau NCD. Beliau juga menyampaikan dukungan terhadap kebijakan kontrol tembakau dan memaparkan analisi stakeholder di level nasional. Pengamatan di level nasional mencakup kesulitan mengaitkan stakeholder di pusat, dan pengaruh dari masyarakat yang anti tembakau sangat kuat. Situasi sekarang yagn sedang berkembang adalah industry tembakau menyampaikan pendekatan baru untuk memperluas pengaruhnya yaitu dengan soft campaign. Maka, apa prospek jangka pendek kita? Yaitu: di level nasional harus siap, masing-masing-masing level perlu memikirkan bagaimana provinsi dan distrik dapat memperkuat diri untuk menyadarkan masyarakat tentang masalah tembakau.

Peta tembakau menunjukkan bahwa 3 provinsi memproduksi 96% tembakau dan 4 provinsi memproduksi 4% tembakau, dan beberapa provinsi lain memproduksi bungkus tembakau.

Prof. Dr. Supasit Pannarunothai, Naresuan University. Influencing Policies Through Research: Case Studi. Pokok bahasannya adalah memahami proses kebiajakan, penelitian NCD berbasis bukti, dan Kebijakan tentang NCD.

Resarch spending: di UK. 2.5 % penelitian berkaitan dengan pencegahan penyakit atau promosi kesehatan: 20% mengkaji pencegahan dasar untk modifikasi behavior. 38,6% melihat pada vaksinasi (UK Clnnical Research Collaboration 2006). Beliau juga menyampaikan keuntungan ekonomi di Jerman termasuk: tembakau, tekanan darah tinggi, kolesterol yang termasuk dalam NCD, dan kebijakan di semua sector kesehatan bagaimana bisa berlaku untuk waktu yang lebih lama dan efektif baik bagi orang miskin dan bagi orang kaya juga. Next step for NCD Policies: (1) pendekatan health in all policies butuh dikembangkan secara global, (2) Healthy public policy making, (3) Supportinve environments, dan (4) Capacity building for health promotion in addressing the determinants od health.

Symposium Two: Room 2

Terdaftar sebagai peserta dalam oral presentation adalah:

Rini Mutahar, Sriwijaya University menyampaikan topic The Analysis of Quality of Antenatal care in Primary Health Care in Ogam Hilir District South Sumatera, Indonesia.

W.D.A Shanta De Silva, USM/MOH Srilanka, menyampaikan topic Knowledge, Attitudes and Skill on Pre Hospital Care Among Primary Health Care Workers in Three Selected MOH Areas in Sri Lanka.

Kamal Kasra Kasim, Andalas University menyampaikan topic The Impact of Cae-Mix System on Quality of Patient care Class B Hospital in West Sumatera Propinsi, Indonesia.

Azam Rahimi, UNU-IIGH menyampaikan topic knowledge and Attitude Regarding Case Mix system among health staff in Indonesia

Misnaniarti, Sriwijaya University menyampaikan topic Analysis oof Readiness of Hospital Construction in the District Ogan Ilir

Weena Promprasert, Naresuan University menyampaikan topic Avoidable Hospitalization by Ambulatory Care Sensitive Conditions at a Tertiary Care Hospital.

Habibi Forouzan, UNU-IIGH menyampaikan topic Validity of AHRQ Pressure (Decubitus) Ulcer” Patient Safety Indicator (PSI3) in a Large Hospital in IRAN Using Reporting System

Arie Kusumaningrum, Sriwijaya University menyampaikan topic The Influence of Mother’s Embrace to the Level of Infant Pain on Injection

INTERACTIVE FORUM: Surviving Graduate Education.

Chair person: Asso Prof Dr Sharifa Ezat Wan Puteh University Kebangsaan Malaysia)

  1. Dr. Nilawan Upakdee, Naresuan University. Menyatakan bahwa softskill ini sangat penting, dan perlu bersungguh-sungguh untuk menguasainya. Banyak sekali yang harus dipelajari. Beliau mengatakan bahwa supervisornya sangat mendukungnya dan sangat mendorong dia untuk segera menyelesaikan PhD-nya.
  2. Dr. Retna Siwi Padmawati, Gadjah Mada University, mengatakan bahwa sulit sekali berbagi waktu antara belajar dan bekerja, bahkan untuk mengerjakan tugas-tugas PhDnya hanya 20%. Kuncinya adalah bukan menunggu tapi memanfaatkan waktu luang. Maksimal PhD-nya adalah 7 tahun walaupun dikerjakan part time. Pengalaman di penelitian dan menulis adalah sangat penting bagi program PhD. Supervisi kedua saya berasal dari Denmark, dan ini menuntut menulis email, Skype dan berbicara melalui telp, dan berbicara dengannya bagaimana dan kapan saya harus menyelesaikan tugasnya, semua ditulis dalam bahasa Inggris yang benar dan ini sangat sulit.
  3. Dr. Arpah Abu Bakar (UNU-IIGH). PhD di dua universitas: Malaya dan UNU. Dia hanya diberi waktu 3 tahun dengan perpanjangan waktu 1 tahun. Selama menjalani pendidikan, dia terus menanamkan dalam pikirannya: saya harus dapat menyelesaikan PhD ini tepat pada waktunya. Saya studi di Public health system dan ini cocok dengan PhD saya yang lain yaitu dalam bidang financing. Kedua pembimbing memberikan bimbingan sesuai dengan keilmuan masing-masing. Tidak masalah ketika kita memiliki dasar S1 dan S2 yang tidak linear karena PhD dapat menghubungkan kita dengan berbagai cara untuk mengatasi masalah yang begitu kompleks. Modal utamanya adalah kesabaran sehigga tidak menyerah, seperti banyak orang yang pintar tapi tidak sabar sehingga tidak bisa menyelesaikan PhDnya. Saya punya 6 anak. Saya usahakan yang terbaik untuk anak-anak saya, juga untuk pendidikan saya. Saya selalu bawa anak jika ada agenda atau kegiatan terkait PhDnya. Pentingnya kebugaran, misalnya nge-gym.
  4. Dr. Hasanain Faisal Ghazi (University Kebangsaan Malaysia). UKM/UNU. Saya langsung mendaftar PhD setelah selesai program master karena saya takut banyak pekerjaan dan lain-lain yang akan mengganggu jika saya menundanya. Saran saya: jika sudah berkeluarga maka gunakan system partime PhD sehingga bisa mengkoordinasi keluarga. Saya berpikir untuk menyelesaikan PhD adalah attitude. Yang menjadi masalah adalah saat berpikir Anda berpikir ini adalah sesuatu yang sulit dan Anda rasa tidak bisa mengatasinya maka anda menyerah dan tidak akan menyelesaikan PhDnya. Saya rasa kita harus merubah attitude ini. Menekankan pentingnya bekerja dalam kelompok untuk mengurangi beban kerja dan keuangan.

Rencana Ke Depan:

7th Postgraduate Forum Health System & Policy for the ASEAN Economic Community, 24 – 25 July 2013 in Thailand.

DSCN0083


Hari Pertama

Post Graduate Forum  Laporan Hari I Laporan Hari II

The 6th Postgraduate Forum on Health Systems and Policies
Melaka, Malaysia

Notulensi Final Room 1 & Room 2

Laporan Hari Pertama

Plenary session 1: Dr. Ali Akbari Sari (Teheran, Iran)
“Role of Screening in Preventing NCD”

Sesi pertama forum ini membahas tentang peranan screening dalam mencegah non-communicable diseases. Paparan pertama diberikan oleh Dr. Ali Akbari Sari dari Teheran University. Penyakit jantung menempati posisi pertama sebagai penyebab kematian tertinggi di Iran. Selain penyakit kardiovaskuler, kanker merupakan penyakit yang juga menyebabkan kematian dalam jumlah besar di Iran (tertinggi adalah kanker payudara).

Contoh upaya screening yang dilakukan di Iran adalah sebagai berikut: screening tahap pertama dilakukan untuk membedakan apakah penyakit yang kemungkinan diderita pasien merupakan communicable disease atau non communicable disease. Jika penyakit yang kemungkinan diderita termasuk ke dalam non communicable disease, maka kemudian screening dilanjutkan dengan membedakan apakah termasuk jenis kanker atau non kanker.

Beberapa jenis screening yang secara umum telah digunakan antara lain:

Kanker payudara  –  mammography
Kanker serviks  –  check up ginekologis secara rutin dan pap smear
Kanker kolon  –  stool screening test

Sedangkan jenis pemeriksaan untuk screening beberapa non communicable disease:

Diabetes type 2  –  FBS- gula darah 2 jam post prandial
CKD  –  pemeriksaan kreatinin dan urinalisis

Permasalahan di negara berkembang: data yang terbatas dan tidak lengkap mengenai efek metode screening, biaya screening, dan faktor sosioekonomi serta demografi yang kemungkinan mempengaruhi risiko insiden NCD.

Sebagai perbandingan, negara maju berbeda dalam hal keadaan sosioekonomi dan demografi sehingga kemungkinan memiliki perbedaan risiko insiden NCD dibandingkan negara berkembang.

Paparan selanjutnya menjelaskan bahwa screening dapat memperbaiki dan memperpanjang waktu untuk proses pengobatan, dengan demikian screening dapat memberikan umur hidup yang diharapkan lebih panjang bagi pasien. Selain memperpanjang usia hidup, upaya screening atau deteksi dini dapat meningkatkan kualitas hidup pasien serta meningkatkan efisiensi biaya pengobatan.

Terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam upaya screening atau deteksi dini, antara lain: presisi dari tes itu sendiri, risiko insidensi dari penyakit, umur saat onset/kejadian pertama kali, usia saat menjalani screening, kualitas pengobatan, perubahan kualitas hidup, dan biaya pengobatan.

Jika kita membandingkan antara negara maju dan negara berkembang, ada dua kesamaam yaitu dalam hal presisi tes yang dipergunakan relatif sama (terstandard).

Beberapa hal yang terjadi di negara maju:

  • Upaya pencegahan dilakukan melalui peningkatan pengetahuan, peningkatan pendapatan, imunisasi, keluarga berencana dan penataan lingkungan.
  • Pelayanan kesehatan telah menjadi salah satu prioritas pemerintah
  • Non communicable disease mulai menjadi pusat perhatian dari penyedia layanan kesehatan
  • Screening atau deteksi dini diprioritaskan sebagai upaya pencegahan NCD

Paradigma yang dianut adalah apabila sumber daya kesehatan ditingkatkan maka diharapkan status kesehatan juga dapat meningkat. Screening atau deteksi dini telah terbukti sebagai salah satu upaya pencegahan yang efektif di negara berkembang, diharapkan hal ini juga tepat untuk diterapkan di negara berkembang.


Economics of NCD Prevention

Prof. Aljunid

Profesor Aljunid dari UNU-IIGH (United Nations University – Institute for International Global Health) memapakarkan konsekuensi ekonomi dari penyakit tidak menular, ditinjau dari sisi global. Penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, telah menduduki urutan pertama penyebab kematian global (48%), dan dalam tahun-tahun mendatang, peringkat 10 besar kematian akan disebabkan oleh utamanya penyakit tidak menular, seperti diabetes, hipertensi, kanker, dan juga kecelakaan lalu lintas. Perkiraan ini menunjukkan bahwa fokus kesehatan tidak lagi akan berkisar di penyakit menular ataupun kesehatan obstetri.

Perkiraan yang telah dibuat oleh WHO (World Health Organization) menunjukkan bahwa beban ekonomi yang harus ditanggung dari tahun 2005-2020 akan berkisar antara US$ 7.28 trilyun, dan sebagian besar beban ini akan ditanggung oleh negara dengan pemasukan tinggi.

Sebagai salah solusi, beberapa intervensi “best buy” harus segera dilakukan. Intervensi “best buy” ini adalah daftar intervensi yang terbukti dapat menurunkan faktor risiko penyakit tidak menular, yang dibagi menjadi intervensi di level populasi dan intervensi di level individu.

Beberapa contoh intervensi “best buy” ini adalah peningkatan cukai rokok dan alkohol, regulasi penggunaan garam, dan program peningkatan pengetahuan masyarakat akan diet sehat dan kebugaran fisik.

Intervensi “best buy” harus terjangkau dan sesuai dengan prinsip kesehatan prevensi, yaitu sebagai “public good” dengan nilai eksternalitas dan “non-rivalry”-nya.

Symposium One

Beberapa topik yang dibahas dalam symposium pertama antara lain:

  1. Evidence based budgeting policy in maternal and child health program; do they worked?
  2. Improving mental health policy in the case of schizophrenia in Thailand
  3. Global initiatives to improve access to essential medicines and health products for neglected tropical diseases
  4. Cervical cancer in Malaysia
  5. Medical pluralism and diabetes care among the urban poor of Yogyakarta: closing the gap in health care reform?
  6. Service infrastructure and health workforce in Bangladesh.
  7. Burden of Risk Factors for NCD: an epidemiological review of the evidence from INDEPTH health and demographic surveillance system

Tiga konsultan dari Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan, yaitu M. Faozi Kurniawan, Retna Siwi Padmawati dan Dwijo Susilo telah mempresentasikan point pertama, keenam dan ketujuh.

Scientific Award Competition

Salah satu konsultan PMPK yaitu Eunice Setiawan mendapatkan kesempatan untuk mempresentasikan risetnya yang berjudul: “What does health system need to act in informal drug dispensaries? The case of self medication in Yogyakarta Province.”

Beberapa presentan yang lain berasal dari Bangalore (India), Malaysia dan Thailand.


Day V

 

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III Laporan Hari IV Laporan Hari V

 

Laporan Strategies for Private Sector and Engagement in Health

Seperti biasa, peserta membuat ringkasan dari hari kemarin. Hal ini merupakan keuntungan lebih bagi peserta karena kemarin kelas terbagi dalam dua kelompok (kelompok UMIC dan kelompok LMIC), dan mereka juga terbagi ke dalam kelompok pada saat kunjungan lapangan. Dengan demikian peserta tetap mendapat gambaran umum dari kelompok-kelompok lain.

Ringkasan dari kunjungan lapangan dari kelompok lain kemarin adalah:

  1. Friendly Care

    Ini merupakan jaringan (terdiri dari 6 klinik) penyediaan layanan dasar untuk kelompok middle class, dengan berbagai pelayanan untuk family planning and reproductive health, termasuk konsultasi spesialis, laboratory services, diagnostic, radiology, physical mobile clinics, some minor surgery, etc. Friendly Care mengenakan biaya hanya sepertiga dari harga umum, hanya utk BEP. Mereka tidak mendapat dana dari pemerintah dan mereka merupakan organisasi nirlaba, sehingga biaya yg mereka kenakan hanya untuk menutup BEP, sekitar sepertiga dari harga sector swasta pada umumnya.

  2. Well-Family midwive clinic

    Menyediakan franchise pelayanan untuk ibu hamil dan melahirkan, saat ini terdiri dari 137 klinik kebidanan. Keuntungan menjadi anggota franchise ini adalah mereka mendapat pelatihan (di awal mau pun untuk refreshing/upgrading), peralatan (bisa dipinjam atau dibeli) dan sudah terakreditasi PhilHealth sehingga bisa melayani pasien yg di-cover PhilHealth. (PhilHealth akan membayar P1,500 untuk ANC, P8,000 untuk melahirkan, dengan catatan: hanya dibayar P650 jika ibu yg melahirkan ini merupakan hasil rujukan dari rumah bidan (tujuannya: memotivasi bidan untuk mengusahakan agar ibu melahirkan di fasilitas, bukan di rumah – lalu menunggu situasi darurat sebelum dirujuk ke fasilitas), dan P1,550 untuk post-natal care). Biaya yg dikenakan (untuk pasien yg belum di-cover PhilHealth) lebih rendah juga dari biaya umum (swasta) tetapi lebih tinggi dari biaya di sector pemerintah. Biasanya pasien yg dilayani berasal dari kelompok menengah ke bawah.

Setelah itu, kembali sesi diisi dengan penjelasan mengenai salah satu tools lain, kali ini membahas dari sisi konsumen, dengan menggunakan instrument pembiayaan.

Demand Side Financing (Malabika Sarker)

vaKonsep yg mendasari pentingnya tools ini adalah pembiayaan berbasis hasil, artinya mengaitkan insentif dengan kinerja tertentu. Konsep ini bisa diterapkan baik di sisi supply (performance based financing, misalnya), mau pun di sisi demand (conditional/unconditional cash transfer dan vouchers, misalnya).

Cash transfer biasanya diberikan ke rumahtangga baik menggunakan prasyarat tertentu (jika ibu menggunakan layanan kesehatan selama masa kehamilan dan melahirkan dan pasca melahirkan, misalnya) atau pun tanpa prasyarat tertentu (misalnya memberikan tambahan pendapatan bulanan untuk rumahtangga). Pengalaman di beberapa Negara berkembang menunjukkan bahwa conditional Cash Transfer (CCT) memiliki potensi untuk menstimulasi demand terhadap pelayanan kesehatan, sementara unconditional cash transfer biasanya lebih ditujukan untuk penanggulangan kemiskinan secara umum. Keberhasilan CCT akan sangat bergantung pada nilai uang yg diberikan ke rumahtangga, bagaimana mekanisme pemberiannya, bagaimana enforcement terhadap prasyaratnya (sistem pencatatannya), ketepatan sasaran dan transparansi dari pengelolaannya.

Vouchers biasanya digunakan oleh pemerintah atau donor-driven. Sasarannya didefinisikan secara jelas (untuk kelompok tertentu, pada wilayah geografis tertentu, dsb). Voucher diberikan kepada kelompok sasaran, tetapi pembayarannya dilakukan oleh pemerintah atau donor kepada provider-nya. Biasanya voucher dikombinasikan dengan pemberian uang/cash untuk mengganti biaya transport.

Hal terpenting yang perlu diingat adalah:

  1. Demand-side financing tidak akan berhasil jika kita tidak memiliki control terhadap kualitas (artinya: kita tidak bisa memastikan bahwa pelayanan yg tersedia bermutu), dan tidak memiliki control terhadap supply-chain (artinya: kita tidak bisa memastikan bahwa pelayanan, obat dan peralatan yg dibutuhkan tersedia pada saat pasien membutuhkan).
  2. Sampai sejauh ini bukti literature menunjukkan bahwa demand-side financing yang efektif meningkatkan demand adalah yg dilakukan di Negara-negara dimana telah tersedia pelayanan yg gratis (misalnya, karena sudah disediakan secara Cuma-Cuma oleh pemerintah atau sudah di-biayai melalui asuransi social). Belum tersedia bukti yg cukup dimana demand-side financing akan berhasil di Negara-negara dimana pelayanan yg tersedia masih mengenakan biaya untuk pasien. Artinya, kita perlu menggarisbawahi bahwa financial-barrier ada pada point dimana pelayanan tersedia, dan juga pada kemampuan pasien untuk pergi ke tempat pelayanan. CCT, misalnya, diberikan bukan supaya rumahtangga bisa membayar biaya (charges) untuk mendapatkan pelayanan, tetapi supaya mereka bisa membayar biaya (cost) yg dibutuhkan untuk pergi ke fasilitas kesehatan, atau sebagai insentif untuk pergi ke fasilitas pelayanan (tidak soal apakah fasilitas ini merupakan fasilitas swasta atau pemerintah).
  3. Demand-side financing juga tidak akan mengatasi masalah jika masyarakat tidak mengakses pelayanan kesehatan karena factor non-financial barriers.

Sesi berikutnya kembali berupa studi kasus. Kali ini, studi kasusnya adalah bagaimana vouchers diterapkan di Bangladesh.

Sesi selanjutnya bukan merupakan sesi tentang tools yg tersedia, tetapi lebih pada salah satu actor dalam sector swasta yaitu penyedia pelayanan informal dan bagaimana kita merespon hal ini.

Informal Providers (Dominic Montagu)

Di region Asia, para penyedia layanan informal adalah bagian besar dari sistem, walau pun mereka secara resmi tidak pernah terlihat (invisible) di dalam sistem. Biasanya bila suatu service delivery dijelaskan di dalam sistem, maka yg ditampilkan biasanya adalah berapa jumlah tenaga kesehatan di puskesmas, berapa puskesmas, berapa pustu, berapa polindes, dst. Tetapi dalam dunia nyata, masyarakat pergi bukan ke dokter di puskesmas atau bahkan ke puskesmas, melainkan pergi ke informal providers (mulai dari bidan praktek sampai penyembuh tradisional). Sehingga bila dilihat sebenarnya share terbesar adalah di sector swasta, tidak soal apakah mereka formal atau informal, terlatih atau tidak. Sehingga apabila kita memikirkan tentang bagaimana melibatkan sector swasta, kita tidak bisa (dan tidak boleh) mengabaikan mereka.

Informal providers biasanya tidak memiliki gelar tertentu (berdasarkan jalur pendidikan khusus), tidak ada standar kualitas yg disepakati, tidak berada di bawah aturan regulasi/sistem monitoring atau supervisi dan jarang sekali yg membentuk suatu asosiasi.

Contoh informal providers:

  • Penjual obat
  • Dukun bayi
  • Penyembuh tradisional

Sebuah systematic literature review (sekitar 109 literature) membahas intervensi apa yg cukup potensial untuk menghadapi informal providers (berdasarkan experiences di beberapa negara berkembang), yaitu:

  • Merubah situasi pasar (bukan melatih para informal providers … karena ternyata ini bukan intervensi yg efektif) : misalnya mengaitkan insentif dengan perilaku tertentu, microfinancing, dll
  • Memasukkan mereka ke dalam sistem melalui proses regulasi: misalnya di-register sehingga bisa mulai di-data dan di-supervisi. Tetapi tentu saja kita harus mempertimbangkan biaya yg terlibat untuk melakukan supervise (misalnya: siapa yg melakukan, apa otoritas mereka, dsb). Jika tidak, maka yg terjadi adalah adanya sekelompok aparat yg berkeliling menangkap/memenjarakan para informal providers, atau mengancam utk menangkap/memenjarakan sehingga secara tidak langsung menciptakan peluang ‘pemerasan’ dan pungli.
  • Mengurangi fragmentasi di antara para informal providers itu sendiri dengan cara mendorong mereka untuk membentuk asosiasi, sehingga memudahkan interaksi antara pemerintah dengan mereka (misal: Dinkes akan sulit berkomunikasi/menyampaikan informasi kebijakan kepada 2,000+ toko obat, tetapi akan lebih mudah seandainya ada Asosiasi Penjual Obat)
  • Membuat mapping informal providers
  • Mengaitkan mereka ke dalam sistem rujukan, tetapi untuk melakukan ini kita harus mengatasi keberatan dari Dinkes dan dari organisasi profesi/bidan

Dengan selesainya sesi ini, selesai pula penyampaian materi course ini. Esok, di hari terakhir, hanya akan diisi dengan ringkasan harian (seperti biasa), disusul dengan ringkasan/review seluruh course, presentasi poster hasil kerja kelompok peserta, pemilihan poster terbaik dan penutupan.

 

Day IV

 

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III Laporan Hari IV Laporan Hari V

 

Laporan Strategies for Private Sector and Engagement in Health

Oleh Shita Listyadewi

Hari ini difokuskan pada salah satu tools yang paling sering dilakukan: contracting. Peserta dibagi ke dalam dua kelas, satu kelas berfokus pada pengalaman contracting di Negara low-middle income, sementara kelas lain berfokus pada pengalaman contracting di Negara upper-middle income; hal ini dilakukan untuk memperdalam pemahaman dan membedakan peluang dan tantangan di dua konteks yg berbeda.

Contracting: Low Middle Income Countries (Syed Farid-ul-Hasnain)

Mekanisme contracting memisahkan peran penyedia dengan peran pembayar, dan menciptakan mekanisme insentif untuk mencapai suatu kinerja tertentu dan tujuan tertentu.

Elemen kontrak harus detil untuk masing-masing komponen di bawah ini:

  1. Jenis layanan
  2. Berapa banyak
  3. Untuk siapa
  4. Harganya
  5. Pembayaran: kapan, berdasarkan apa/prasyarat yg harus dipenuhi, bagaimana caranya dibayar
  6. M&E
  7. Jangka waktu kontrak
  8. Mekanisme penyelesaian masalah (jika ada)
  9. Kondisi untuk pemutusan hubungan kontrak

Disini tersirat keahlian yg terkait, yaitu kemampuan dan kapasitas dari keduabelah pihak untuk berinteraksi, menarik minat satu sama lain, dan menjaga hubungan, termasuk kapasitas untuk mengawasi dan kapasitas untuk memenuhi perjanjian.

Untuk contoh, diberikan hasil kasus contracting di Vietnam (dilakukan tahun 1999 – 2003 di 12 distrik) yang cukup berhasil untuk daerah yang miskin yang menunjukkan bahwa cakupan pelayanan meningkat, bahwa ada focus yang lebih tepat sasaran untuk pro-poor dan menurunkan OOP, jika dibandingkan dengan 3 distrik lain yang tidak melakukan contracting.

Beberapa kunci keberhasilan contracting adalah:

  1. Tujuan harus jelas dan spesifik (kuantitas, kualitas yg diharapkan, bagaimana prinsip equity diterapkan misal menetapkan target catchment area dan populasi atau kelompok populasi tertentu) dan terukur (dan ukurannya harus ditetapkan dan disepakati, dan cara untuk mengukurnya juga harus disepakati). Hal ini berimplikasi pada beberapa hal:
    • Harus ada insentif untuk pencapaian tujuan (dan sebaliknya “hukuman” apabila tujuan tidak tercapai)
    • Harus ada data baseline
    • Harus ada penggunaan sistem informasi yg tepat waktu
       
  2. Harus ada kejelasan mengenai mekanisme procurement dan standard kualitas yang harus dipenuhi, harus ada kejelasan mengenai “ukuran” yang digunakan untuk mendefinisikan jasa yang diminta: apakah berdasarkan jenis dan jumlah pelayanan, atau berdasarkan cakupan atau seberapa banyak target populasi terlayani; begitu pula harus ada kejelasan mengenai mekanisme yang akan dilakukan untuk memonitor dan mengevaluasi

ivbKemudian disajikan mengenai kasus hasil evaluasi contracting di Pakistan (kasus tersedia dalam bahan bacaan yg harus dibaca peserta). Contracting di Pakistan dilakukan pada level Basic Health Units (BHU) yang menyediakan pelayanan primer. Hal ini dilakukan karena masyakarat menganggap pelayanan di sector public buruk, dokter tidak ada di tempat, akibatnya masyarakat lebih suka pergi ke fasilitas swasta. Oleh karena itu disusunlah kontrak dengan pihak swasta (PRSP) untuk menyediakan pelayanan yang dibutuhkan. Daerah dibagi ke dalam cluster, dimana 3 BHU dikelompokkan ke dalam 1 cluster dan dimanajemeni oleh seorang dokter. Saat itu ada 12 dokter, kemudian PRSP merekrut 23 dokter baru. Insentif yang ditawarkan menarik: termasuk peningkatan gaji sebesar 150% tetapi mereka dilarang melakukan praktek pribadi, pinjaman tanpa bunga untuk mobil, dan lain-lain. Setelah masa kontrak berakhir terlihat dari evaluasi bahwa utilitas pelayanan meningkat, kepuasan pasien terhadap pelayanan meningkat, fasilitas di-upgrade dan dokter tersedia. Hal-hal ini tersedia walau pun nilai kontrak yang diberikan tidak lebih mahal daripada nilai yang dikeluarkan pemerintah selama ini untuk sector public, jadi secara umum ada peningkatan efisiensi dan cost-effectiveness. Namun ada satu hal yang tidak masuk di dalam kontrak yaitu kualitas, sehingga evaluasi tidak menunjukkan bahwa kualitas (clinical care quality) berubah (tidak bertambah baik walau pun juga tidak bertambah buruk).

Lesson learnednya adalah: MoU harus eksplisit, karena you’ll get you what you asked for: jika kita ingin mengatasi masalah A, maka mekanisme contracting dapat mencapai A, tetapi bukan A + B.

Beberapa peserta kemudian berbagi pengalaman “contracting” di negara mereka dan fasilitator memperjelas konsep mana yang “contracting” mana yang bukan (misalnya: banyak peserta menganggap bahwa “purchasing” atau “outsourcing” adalah “contracting” padahal bukan).

Contracting: Upper Middle Income Countries (Chantal Herberholz)

Isi dari sesi ini sama untuk bagian awal, yaitu menjelaskan apa itu contracting, apa kelebihan dan kekurangannya, apa tantangannya, kapan kita mungkin perlu mempertimbangkan untuk melakukan contracting (dan kapan tidak). Dijelaskan pula beberapa tipologi yang berbeda yang harus kita bedakan:

  • Management contract (infrastruktur disediakan pemerintah, pelayanan disediakan oleh swasta)
  • Service delivery contract (infrastruktur dan pelayanan disediakan oleh swasta)

Yang berbeda adalah contoh kasus yang diberikan, yaitu aplikasi contracting di Negara-negara Upper-middle income misalnya Malaysia dan Thailand.

Beberapa catatan penting dari pengalaman Negara-negara itu adalah bahwa contracting membutuhkan pendekatan yang sistematis, bahwa pemerintah harus mempertimbangkan economies of scale (baik dari sisi financial, dari sisi bagaimana kontrak dikelola dan bagaimana kontrak dimonitor dan dievaluasi) karena mekanisme contracting juga menyangkut transactional dan administrative cost. Ditambahkan pula bahwa mekanisme pay-for-performance adalah mutlak, dan bahwa pemerintah harus menahan diri dari kecenderungan untuk menghalangi otonomi dari pihak swasta (misalnya: men’dikte’ bagaimana suatu pelayanan harus disediakan, terlalu kaku dalam hal anggaran/line-item budget, memaksa pihak swasta menggunakan standard pemerintah dalam hal recruitment atau pun insentif utk pegawai yg dikontrak, atau bersikeras mempertahankan fungsi pemerintah dalam hal procurement (khususnya barang inputs yg stratejis).

Perlu dipertimbangkan pula seberapa banyak potential contractors yang tersedia dan memiliki kapasitas yang dibutuhkan, apakah menggunakan competitive bidding atau tidak, bagaimana lingkungan politik dan birokrasi serta landasan hukum yang tersedia (dan diperlukan) agar mekanisme contracting dapat dilakukan.

Akhirnya, diidentifikasi langkah-langkah penting dalam contracting:

  1. Melakukan dialog dengan stakeholders
  2. Mendefinisikan layanan yg diminta (dengan jelas)
  3. Merancang metode M&E
  4. Menentukan bagaimana menetapkan kontraktor
  5. Merancang manajemen kontrak
  6. Men-draft dokumen kontrak
  7. Melakukan proses bidding dan akhirnya memanajemeni kontrak

(Untuk referensi mengenai Contracting, silakan lihat Performance-Based Contracting for Health Services in Developing Countries: a Toolkit)

Contracting by PhilHealth (CEO PhilHealth: Eduardo “Dodo” Banzon)

Konteks di Filipina:

  • Upaya mencapai Universal Coverage sebagai bagian dari Aquino Health Agenda
  • Sektor informal besar
  • Kebijakan nasional lemah dalam hal regulasi sector informal: Dual-practice, biaya kesehatan tinggi, pelayanan sector public lemah sementara layanan private di sector public berkembang pesat.

Dodo menekankan: You can not cure the system unless you kill the bad legacy. Bad legacies yang dimiliki PhilHealth saat ini adalah:

  • Fokus mereka adalah pada protecting funds rather than protecting members
  • Miskonsepsi umum mengenai reserve fund: berpegang pada pension fund mentality dan rebate mentality
  • Percaya pada mekanisme Fee-for-service payment
  • Melakukan ‘accreditation’ (akreditasi dalam tanda kutip karena sebenarnya PhilHealth intinya hanya melakukan lisensi ulang provider yang sebenarnya sudah di-licensed oleh pemerintah) dan mengaitkannya dengan ‘contracting’ (yaitu: yang bisa dikontrak hanya fasilitasi yang sudah di’akreditasi’ PhilHealth)
  • Kepersertaan voluntarily untuk sector informal.

Jadi per 1 April 2012 PhilHealth memulai contracting dengan nafas baru: tidak lagi disebut kontrak tetapi disebut “performance commitment”, dan mempercayai proses licensing yang telah dilakukan oleh pemerintah (tidak lagi perlu di-‘akreditasi’ oleh PhilHealth)

ivaStrategi yg dilakukan adalah market domination: karena tanpa market share yg besar, PhilHealth akan sulit bernegosiasi dengan providers. Dan sebaliknya, bagaimana kita bisa melakukan market domination jika kita tidak tahu siapa market kita. Oleh karena itu kunci dari strategi ini adalah sistem informasi: PhilHealth saat ini memiliki informasi yg paling lengkap mengenai rumahsakit di Filipina, jauh lebih lengkap dari data yg dimiliki pemerintah (depkes).

Sisa hari ini digunakan untuk melakukan kunjungan ke lapangan untuk melihat mekanisme contracting yang dilakukan PhilHealth di Filipina. Peserta dibagi ke dalam dua kelompok: satu kelompok melihat bagaimana mekanisme contracting dijalankan untuk program DOTS, dan kelompok lain melihat bagaimana mekanisme contracting dijalankan untuk klinik maternity (catatan: penulis memilih untuk pergi ke klinik DOTS).

Klinik DOTS didirikan oleh Tropical Disease Foundation, Inc, sebuah NGO yang tadinya merupakan research arm dari RS Makati Medical Centre (swasta). TDF tadinya adalah NGO yang melakukan riset national TB surveillance survey (tahun 1997) dan hasil temuan mereka menunjukkan bahwa health seeking behavior masyarakat mengindikasikan bahwa mereka lebih suka pergi ke klinik swasta untuk pengobatan TB. TDF akhirnya mendirikan klinik DOTS utk deteksi TB khususnya MDR-TB yang dibantu oleh dana dari Global Fund, fundraising mau pun pendapatan dari melakukan riset. Karena pada saat itu klinik itu merupakan OPD dari MMC, maka staff mau pun obat mau pun peralatan dibiayai oleh MMC.

Pada tahun 2010, TDF dipisahkan dari MMC, mereka memiliki gedung sendiri (lokasinya di seberang MMC) dan mereka tidak lagi mendapat dana dari MMC. Keterlibatan mereka dengan PhilHealth dimulai pada tahun 2011 ketika PhilHealth berinisiatif untuk mengajak mereka menjadi anggota jaringan provider dan menjelaskan mekanisme klaim dan eligibility pasien, form yang harus diisi utk keperluan klaim, dll. Penghasilan mereka saat ini berasal dari (1) ‘purchasing’ oleh PhilHealth (sistem claim P4000/pasien/case findings), (2) subsidi pemerintah kota Makati utk bahan habis pakai dan treatment kit dan (3) penghasilan dari melakukan penelitian untuk perusahaan farmasi dalam bidang manajemen TB. Seluruh penghasilan tersebut masuk ke dalam global budget dari TDF. Klinik TDF kini tidak lagi menerima dana Global Fund untuk MDR-TB tetapi mereka masih melakukan treatment utk regular TB dan masih melakukan screening untuk MDR-TB di local community mereka yang populasinya kebetulan kecil (hanya 150 orang, namun kebanyakan belum di-cover oleh PhilHealth). Kebanyakan pasien mereka adalah para karyawan dari daerah perkantoran sekitar (sudah dibayar melalui PhilHealth). Kasus MDR-TB kini mereka rujuk ke Treatment Klinik milik NGO lain yang menerima dana Global Fund.

Day III

 

Laporan Hari I  Laporan Hari II  Laporan Hari III Laporan Hari IV Laporan Hari V

 

Laporan Strategies for Private Sector Policies and Engagement in Health

Oleh Shita Lisyadewi

iiiaHari ketiga dimulai dengan ringkasan dari hari kedua. Sama seperti kemarin, peserta yang menyajikan ringkasan ini. Peserta hari ini cukup kreatif karena kali ini ringkasan disajikan dalam bentuk seolah-olah dua peserta melakukan Tanya jawab dalam sebuah acara TV. Hal ini membuat presentasi ringkasan lebih menarik untuk diikuti dan kadang-kadang diselipi lelucon.

Social Marketing (Dominic Montagu)

Social marketing adalah aplikasi dari konsep dan teknik pemasaran untuk mempengaruhi perilaku di dalam kelompok target tertentu demi kepentingan mereka sendiri dan masyarakat sekitar mereka.

 

  1. Commodity social marketing

    Commodity social marketing berbeda dengan behavior-change social marketing dalam hal bahwa pendekatan ini tidak hanya melihat dari sisi demand (perubahan perilakunya) tetapi juga dari sisi supply-nya (ketersediaan barang yg mendukung perubahan perilaku tersebut).

    Disinilah letak potensi peran swasta dalam hal ini, karena mereka bisa terlibat dalam penyediaan barang yang dibutuhkan secara Cuma-Cuma atau dengan harga yang sangat murah (karena banyak disubsidi) dimana mereka tetap bisa membuat sedikit keuntungan. Ini adalah kampanye yg langsung terkait dengan produk /barang tertentu (biasanya disubsidi sehingga harganya sangat murah) dan melibatkan supply chain/retailer. Contohnya: ORT, kelambu dengan insektisida, alat kontrasepsi, garam beryodium, pemurni air, dsb.

    Behavior-change social marketing: measures of success

    Commodity social marketing: measures of success

    Perubahan social/perilaku: namun, sulit mengaitkan secara langsung perubahan perilaku secara spesifik terhadap intervensi yg telah dilakukan

    Volume of sales: ini daya tariknya dari sisi swasta

     

    Market share: walau pun ini bukan tujuan utama. Tetap ada populasi sasaran khusus.

     

    Patient usage: ini insentif utama dari sisi promosi kesehatannya

     

    CYP (coupled year of protection)

     

    DALYs averted

     

    Cost/CYP

     

    Market growth: ini harapannya ketika perilaku masyarakat sudah berhasil dirubah

    Tantangannya adalah sulit menemukan sector swasta yang tertarik untuk “menjual” barang yg terlibat dalam commodity social marketing yang terkait dengan hal yg sensitive/tabu dan sulit di”promosi”kan, misal: morning-after pills.

    Misalnya: Apotik akan lebih senang menjual alat suntik sekali pakai untuk masyarakat umum (misalnya penderita diabetes) walau pun alat ini sebenarnya/awalnya ditujukan bagi pemakai narkoba untuk menghindarkan mereka dari HIV.

  2. Social Franchising

    Social franchising di region Asia bertumbuh, beberapa studi kasus (misalnya Blue Star di Filipina) menunjukkan keberhasilan pendekatan ini untuk memobilisasi layanan pada banyak delivery points. Tetapi biasanya social franchise lebih berhasil untuk melayani niche tertentu.

    Tetapi tetap diperlukan intermediary sedangkan peran pemerintah secara utama adalah sebagai perencana, pembayar dan fasilitasi antara para pelaksana dengan para donor.

    Hari ini ditutup dengan teaching case lain, kali ini membahas aplikasi social franchising di Myanmar. Para peserta dibagi ke dalam dua kelompok, masing-masing kelompok membahas pro dan kontra atas pilihan yg perlu dibuat untuk meluaskan pelayanan kesehatan yg terintegrasi ke masyarakat pedesaan: menggunakan social franchising yg telah terbukti berhasil di daerah perkotaan tetapi memiliki biaya monitoring dan pelatihan yang cukup tinggi, ATAU menggunakan jaringan sukarelawan dari antara masyarakat yg diberi kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan produk-produk yg tidak berhubungan langsung dengan program kesehatannya.

    Di dalam course ini peserta dari Negara yang sama juga dikelompokkan dan ditugasi untuk membuat rencana strategi engagement sector swasta di Negara mereka. Setiap hari, kelompok ini diberi waktu satu sesi penuh untuk berdiskusi di antara mereka sendiri untuk membahas aplikasi konsep yang disajikan pada hari tersebut di dalam konteks Negara mereka sendiri. Diskusi ini akan membantu dalam setiap langkah penyusunan rencana engagement sector swasta, mulai dari identifikasi dan pemilihan masalah, merencanakan PHSA dan identifikasi penelitian/data tambahan yg dibutuhkan, memilih strategi engagement yg workable, dan akhirnya memilih setidaknya dua tools/instrument untuk melaksanakan strategi tersebut. Pada hari terakhir dari course, para peserta akan mempresentasikan hasil diskusi mereka dalam bentuk poster, dan akan diadakan voting pemilihan poster terbaik.