Diseminasi “Analisis Implementasi Pelayanan Kesehatan untuk Penyandang Disabilitas dalam Mencapai Universal Health Coverage (UHC)”

handicap symbol

Policy Brief

  Pendahuluan

Di Indonesia, 1,2 juta penyandang disabilitas memiliki akses ke JKN-PBI, dan sekitar 20.404 orang menerima alat bantu sejak 2015 hingga 2017 (TNP2K & Pemerintah Australia, 2019). Namun, jaminan kesehatan yang telah dimiliki oleh orang dengan disabilitas tersebut dinilai belum optimal dalam menyediakan manfaat pelayanan kesehatannya. Disisi lain, pelayanan kesehatan yang tersedia dinilai masih sulit untuk diakses oleh orang disabilitas karena fasilitas kesehatan belum inklusif. Saat ini, jaminan kesehatan telah menyediakan manfaat untuk disabilitas berupa alat bantu kesehatan seperti alat bantu dengar, protesa alat gerak, korset tulang belakang serta collar neck dan kruk sesuai dengan standar yang telah⁷ ditetapkan dalam Permenkes 28/2014. Namun, memastikan pencapaian UHC di Indonesia telah inklusif untuk kelompok rentan-marginal utamanya orang dengan disabilitas, tidak cukup hanya dengan melihat jumlah alat bantu yang telah diberikan. Hal ini karena kebutuhan kesehatan disabilitas tidak hanya berkaitan dengan alat bantu, tetapi mereka juga perlu untuk mendapat pelayanan kesehatan mendasar lainnya.

Untuk itu, PKMK FK-KMK UGM dengan dukungan INKLUSI melakukan survei di Bali, DI Yogyakarta dan NTT pada September – Desember 2023 untuk mengukur manfaat pelayanan kesehatan pada penyandang disabilitas yang telah didapatkan. Saat ini, terdapat 2666 data yang telah kami kumpulkan dan analisis. Dari data tersebut, kami mengetahui jumlah penyandang disabilitas yang memiliki jaminan kesehatan nasional (JKN), yang memiliki alat bantu kesehatan dan kualitasnya, dan yang mengakses pelayanan kesehatan dan kualitasnya. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan kualitatif sehingga pada Januari – Februari kami melakukan FGD dengan pemangku kepentingan. Dari hasil FGD tersebut didapatkan bahwa masing-masing pemangku kepentingan telah berperan untuk menyediakan kebutuhan kesehatan penyandang disabilitas. Namun, hasil FGD kami menemukan masih adanya tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam menyediakan pelayanan kesehatan inklusif untuk penyandang disabilitas. Selain itu, berdasarkan pengalaman dari penyandang disabilitas, terdapat tantangan yang mereka hadapi ketika mengakses pelayanan di fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan RS. Tantangan yang paling banyak dihadapi adalah sarana prasarana dan tenaga kesehatan yang tidak inklusif untuk penyandang disabilitas. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan bagi pengambil keputusan untuk menyusun kebijakan kesehatan yang inklusif. Kemudian, Mitra INKLUSI dan organisasi penyandang disabilitas lainnya dapat memanfaatkan untuk proses advokasi kebijakan tingkat nasional dan daerah.

  Tujuan

  1. Memaparkan hasil penelitian mengenai implementasi pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas fisik, disabilitas sensorik, dan disabilitas ganda
  2. Mendiskusikan tantangan dan peluang dalam perbaikan layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas fisik, disabilitas sensorik, dan disabilitas ganda
  3. Menyampaikan rekomendasi kebijakan untuk peningkatan akses dan kualitas layanan kesehatan yang inklusif bagi penyandang disabilitas fisik, disabilitas sensorik, dan disabilitas ganda

  Waktu

Hari, tanggal : Rabu, 30 Oktober 2024
Pukul : 12.00 – 16.00 WIB
Tempat : Ruang Auditorium Lt. 1, Gedung Pascasarjana Tahir Sayap Utara, FK-KMK UGM

  Poster

Waktu Kegiatan
12.00 – 13.00 WIB Registrasi Peserta dan Makan Siang Bersama

13.00 – 13.10 WIB

Sambutan

  1. Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes, MAS – Kepala Pusat PKMK, FK-KMK UGM
  2. Irene Widjaya – Head of Partnership and Policy, INKLUSI

video

13.10 – 13.15 WIB

Pembukaan: Dr. Dra. Retna Siwi Padmawati, M.A – Ketua Tim Penelitian

video

13.15 – 14.20 WIB

Presentasi Hasil Penelitian

  • Metode yang diimplementasikan dalam penelitian – (Tri Muhartini – Peneliti)
  • Pelayanan Kesehatan Inklusif – (Relmbus Fanda – Peneliti)
  • Penggunaan Jaminan Kesehatan – (Ardhina Nugrahaeni – Peneliti)
  • Alat bantu dan alat bantu kesehatan – (M Faozi Kurniawan – Peneliti)
  • Akses Pelayanan Terapi – (Tri Muhartini – Peneliti)

video   materi

14.20 – 15.20 WIB

Pembahasan dalam bentuk Talk Show

  1. drg. Vensya Sitohang, M.Epid, PhD – Direktur Kesehatan Usia Produktif dan Lanjut Usia, Ditjen Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan
  2. Sedy Fajar – BPJS Kesehatan
  3. Iftita Rahma Iklima – BAPPENAS
  4. Muh Syamsudin, S.E – Wakil Direktur SIGAB
  5. Sigit Triyono, A.Md. Kep. – Kasi Tim Medis, Pusat Rehabilitasi YAKKUM
  6. drg. Iien Adriany, M.Kes – Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur

Video

15.20 – 15.45 WIB Diskusi: tanya dan jawab – Shita Listya Dewi – Peneliti
15.45 -16.00 WIB

Penutupan – Dr. Dra. Retna Siwi Padmawati, M.A – Ketua Tim Penelitian

video

 

PKMK-Yogya. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) bekerja sama dengan INKLUSI menyelenggarakan Diseminasi Hybrid yang bertajuk “Analisis Imlementasi Pelayanan Kesehatan untuk Penyandang Disabilitas (Fisik dan Sensorik) dalam Mencapai Universal Health Coverage (UHC)” pada Rabu (30/10/2024). Kegiatan penelitian ini didukung oleh Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia melalui progam INKLUSI Kemitraan Autralia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif.

30okt

Acara dibuka dengan sambutan yang disampaikan oleh Dr. dr. Andreasta Meliala, M.Kes, MAS selaku Ketua PKMK mengenai tantangan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas agar dapat menerima pelayanan kesehatan, baik di layanan kesehatan primer maupun rujukan. Melalui UHC, diharapkan tidak ada perbedaan dalam mengakses layanan kesehatan termasuk untuk para penyandang disabilitas. Selain itu, pelayanan kesehatan harus inklusif dan tidak membedakan seperti slogan “No one left behind”.

Sambutan kedua disampaikan oleh Irene Widjaya selaku Head of Partnership and Policy INKLUSI. Irene menyampaikan pentingnya program ini agar dapat meningkatkan kualitas hidup kawan-kawan penyandang disabilitas. Riset ini diharapkan dapat memberikan informasi berbasis data kepada pemangku kepentingan terkait implementasi layanan kesehatan penyandang disabilitas.

Dr. Dra. Retna Siwi Padmawari, M.A selaku Ketua Tim Penelitian memaparkan bahwa penelitan telah dilakukan sejak bulan 2023 hingga September 2024 di Yogyakarta, Bali, dan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Penelitian ini telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan khusunya mitra INKLUSI yaitu SIGAB dan YAKKUM, pemerintah pusat meliputi Kementerian Kesehatan, BAPPENAS, Kemenko PMK, Kementrian Sosial dan Komisi Nasional Disabilitas. Selain itu, penelitian ini juga melibatkan pemerintah daerah setempat seperti Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan BAPPEDA. Penelitian ini merupakan Langkah awal untuk menganalisis tantangan pelayanan Kesehatan yang dihadapi penyandang disabilitas. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu proses advokasi kebijakan serta dapat menjadi data/evidence untuk menyusun kebijakan.

30okt 2

Kegiatan pemaparan hasil penelitian dimoderatori oleh Shita Listya Dewi, MM., MPP., selaku peneliti PKMK FK-KMK UGM dan wakil direktur PKMK FK-KMK UGM. Terdapat 4 peneliti yang memaparkan hasil penelitian.

Tri Muhartini, MPA memaparkan hasil penelitian yang menemukan bahwa kebijakan kesehatan untuk penyandang disabilitas di level telah tersedia. Namun, masih belum dapat diimplementasikan secara optimal karena terbatasnya kebijakan operasional. Sementara itu, di level daerah, kebijakan kesehatan untuk penyandang disabilitas masih berpusat pada Peraturan Daerah tentang penyandang disabilitas yang hanya mengatur hak-hak kesehatan secara prinsip. Kondisi ini dapat terjadi karena terbatasnya data untuk merumuskan kebijakan, keterbatasan pemahaman tentang disabilitas, dan urusan disabilitas masih terpusat di Dinas Sosial (untuk level daerah). Kondisi ini membuat penyandang disabilitas mengalami keterbatasan akses ke fasilitas pelayanan kesehatan. Di sisi lain, fasilitas pelayanan kesehatan yang telah diakses belum memiliki sarana prasarana inklusif untuk penyandang disabilitas. Kondisi ini semakin diperburuk dengan SDM (sumber daya manusia) kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan yang belum dapat berkomunikasi sensitif dengan disabilitas.

Relmbus Fanda, MPH menyampaikan jika sebagian besar responden disabilitas fisik dan sensorik dari penelitian yakni 89% telah memiliki JKN, sedangkan yang belum memiliki JKN sebanyak 11,25% (300 disabilitas). Alasan belum memiliki JKN salah satunyakarena sistem pendaftaran belum dimengerti dan tidak mampu membayar premi. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah berupaya untuk memastikan penyandang disabilitas tercakup dalam JKN. Namun, penyanadang disabilitas yang memiliki JKN, hanya 25% memanfaatkannya. Terbatasnya pemanfaatan itu karena layanan JKN belum mencakup kebutuhan, tidak jelasnya layanan dan kepastian keaktifan peserta. Dari hasil analisis regresi, ditemukan salah satu faktor yang mempengaruhi penyandang disabilitas memanfaatkan JKN.

Ardina Nugrahaeni, MPH memaparkan hasil survei terkait kepemilikan alat bantu kesehatan, menunjukkan bahwa 66,35% penyandang disabilitas tidak memiliki alat bantu. Alasan utama meliputi tidak merasa membutuhkan, keterbatasan biaya, dan kurangnya informasi. Tantangan dalam penyediaan alat bantu melibatkan keterbatasan produksi dalam negeri, anggaran daerah, serta keterbatasan cakupan jenis dan tarif alat bantu di BPJS Kesehatan.

Muhamad Faozi Kurniawan, SE, MPH menyampaikan akses terhadap layanan terapi, seperti terapi fisik, wicara, dan okupasi, untuk penyandang disabilitas. Hasil menunjukkan bahwa 75% responden tidak mengakses layanan terapi, dengan alasan terbesar adalah tidak membutuhkan. Tantangan yang dihadapi termasuk kurangnya layanan terapi di Puskesmas dan keterbatasan durasi terapi yang didanai JKN.

Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa kebijakan kesehatan yang mengatur kebutuhan layanan kesehatan disabilitas saat ini sudah tersedia namun dalam pelaksanaan masih belum optimal. Selain itu, diperlukan pedoman untuk fasilitas pelayanan kesehatan inklusif, menyediakan pelayanan khusus seperti deteksi dini risiko disabilitas, informasi dan akses alat bantu kesehatan, materi dan metode komunikasi. Dari sisi pembiayaan kesehatan untuk penyandang disabilitas perlu adanya penguatan JKN dengan skema khusus untuk penyandang disabilitas.

Terdapat 5 pembahas yang memberikan komentar terhadap hasil penelitian yaitu:

drg. Vensya Sitohang, M.Epid., PhD selaku Direktur Kesehatan Usia Produktif dan Lansia, Ditjem Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan menjelaskan bahwa Kementerian Kesehatan sedang menyusun Peraturan Menteri yang merupakan turunan dari UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023, yang mencakup substansi tentang kesehatan penyandang disabilitas. Rancangan ini mengedepankan kebutuhan SDM di Puskesmas, termasuk psikolog klinis dan fisioterapis sebagai tenaga prioritas. Tantangan terbesar dalam penyusunan kebijakan ini adalah kurangnya data tentang jumlah, jenis disabilitas, dan kebutuhan terapi spesifik. Kemenkes juga sedang mengembangkan kurikulum layanan kesehatan inklusif, dengan dua rancangan peraturan yang mengakomodasi penyandang disabilitas.

Sedy Fajar Muhamad selaku Analis Kebijakan Penjaminan Manfaat Rujukan BPJS Kesehatan menyebut bahwa tantangan utama dalam layanan untuk penyandang disabilitas meliputi akses, sarana prasarana, dan SDM, khususnya terkait jarak geografis dan transportasi. Saat ini, BPJS belum mencakup biaya transportasi, sehingga skema JKN belum mampu memenuhi kebutuhan perjalanan ke fasilitas kesehatan.

drg. Lien Andriany, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan NTT menyampaikan bahwa di NTT, masalah akses, sarana, dan SDM masih menjadi kendala dalam layanan disabilitas. NTT sedang mengembangkan layanan telemedicine dan telekonsultasi untuk meningkatkan akses di daerah terpencil dan mendorong integrasi layanan primer yang lebih inklusif.

Iftita Rakhma Ikrima, MTPn selaku Perencana Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan BAPPENAS menyoroti pentingnya penguatan sistem dan integrasi regulasi untuk memastikan layanan kesehatan inklusif bagi penyandang disabilitas. Selain akses, kualitas layanan juga harus setara dan ramah bagi mereka. Partisipasi masyarakat juga penting untuk mendukung layanan kesehatan yang inklusif.

Muh Syamsudin, S.E. selaku Wakil Direktur SIGAB menekankan pentingnya pendampingan bagi penyandang disabilitas dalam mengakses layanan kesehatan. Banyak penyandang disabilitas yang menahan sakit karena kurangnya rasa percaya diri atau takut ditolak. Pendampingan tidak hanya bersifat psikologis tetapi juga terkait dengan akses layanan kesehatan yang setara.

Sigit Triyono, A.Md. Kep selaku Kasi Tim Medis Pusat Rehabilitasi YAKKUM menjelaskan bahwa rehabilitasi bagi penyandang disabilitas bertujuan memenuhi hak kesehatan mereka, dengan kolaborasi dari pemerintah daerah, seperti Dinkes dan Dinas Sosial. Hambatan utama dalam rehabilitasi adalah stigma masyarakat yang masih tinggi.

Acara ini ditutup oleh Dr. Dra. Retna Siwi padmawati, M.A yang menyampaikan harapan dari diseminasi ini agar dapat dikembangkan sebagai kebijakan bagi penyandang disabilitas.

30okt 3

Reporter:
Irma Noor Budianti (Divisi Public Health, PKMK FK-KMK UGM)

Pertimbangan Implementasi Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) di Indonesia

Sejak 2020 hingga sekarang, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan Kementerian Keuangan sedang berupaya melakukan analisis untuk kelayakan penetapan kebijakan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Dorongan besar dari cukai MBDK ini lahir akibat penetapan strategi dalam RPJMN 2020 – 2024 bidang kesehatan untuk “pengembangan sumber pembiayaan baru”. Cukai MBDK ini dirasa tepat untuk menjadi sumber pembiayaan kesehatan baru karena mengingat konsumsi MBDK di Indonesia terbanyak ketiga Asia Timur Selatan (Ferretti & Mariani, 2019).

Dari data Studi Diet Total (SDT) untuk Survei Konsumsi Makanan Individu Indoneia pada 2014 menggambarkan juga bahwa konsumsi minuman kemasan cair (minuman cincau, minuman isotonik cair, minuman coklat cair, soybean cair, teh cair dan lain lain) telah dikonsumsi oleh anak sejak usia 0 – 59 bulan sebanyak 30,7 ml/orang/hari, usia 5 – 12 tahun sebanyak 49,6 ml/orang/hari dan 13 – 18 tahun sebanyak 38 ml/orang/hari. Kelompok usia anak ini merupakan kelompok konsumsi minuman kemasan cairan yang paling banyak jika dibandingkan usia dewasa.

Di sisi lain, cukai MBDK menjadi pilihan strategis pemerintah karena dampak kesehatan yang dihasilkan memiliki besar terhadap penanganan prevalensi penyakit dengan beban biaya tinggi yaitu penyakit tidak menular (PTM): diabetes, gagal jantung dan beberapa tipe kanker (DiMeglio & Mattes, 2000; Malik & Hu, 2019). Jika dikaitkan, tingginya konsumsi MBDK ini sejalan pula dengan adanya peningkatan prevalensi PTM dari 2013 ke 2018 di Indonesia berdasarkan Riskesdas 2018. Namun, saat ini yang menjadi pertanyaan besar oleh pemangku kepentingan khususnya kelompok industri adalah “apakah kebijakan cukai MBDK cukup efektif untuk mengatur konsumsi masyarakat, mencegah PTM dan meringankan beban biaya kesehatan Indonesia?”

Gambar 1. Klasifikasi dan Efektivitas Intervensi

Sumber: Hyseni et al., 2017.

Dua tinjauan sistematis menjelaskan pengaturan pola konsumsi masyarakat agar lebih sehat dapat dilakukan intervensi dari hilir ke hulu dimulai dari individu hingga kelompok masyarakat secara luas melalui kebijakan publik (Hyseni et al., 2017). Dari setiap intervensi tersebut juga dijelaskan memiliki tingkat efektifitas yang berbeda – beda (Hyseni et al., 2017). Dari beberapa tipe intervensi tersebut, UU/Regulasi dengan mengatur kandungan dalam makanan dan minuman memiliki tingkat efektivitas yang cukup tinggi untuk mengurangi konsumsi tidak sehat dan menurunkan kematian akibat dari PTM (Hyseni et al., 2017).

Intervensi dengan UU/Regulasi untuk MBDK di Indonesia dapat berupa cukai agar dapat mengatur kandungan gula. Sebuah tinjauan sistematis menjelaskan bahwa cukai atau/dan pajak dari makanan dan minuman memliki risiko tinggi terhadap kesehatan dapat mengurangi konsumi masyarakat (Afshin et al., 2017; Blakely et al., 2020; Briggs et al., 2013). Sementara peningkatan konsumsi yang lebih sehat dilakukan dengan memberikan subsidi makan sehat (potongan harga dan memberikan akses) (Blakely et al., 2020; Waterlander et al., 2012; WHO, 2015).

Namun, intervensi tersebut akan dapat lebih efektif ketika terdapat intervensi yang multi komponen, seperti pengenaan pajak dan subsidi diikuti dengan promosi perilaku konsumsi makanan dan minuman yang sehat (Snyder et al., 2004). Dengan ini, pemerintah dan pemangku kepentingan di Indonesia dalam menerapkan cukai MBDK perlu diiringi dengan strategi penanganan lain dan menginvestasikan hasil penerimaan cukai untuk peningkatan kesehatan masyarakat. Penanganan konsumsi MBDK juga membutuhkan keterlibatan dari berbagai sektor di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Penulis: Tri Muhartini, MPA
Divisi Public Health PKMK UGM

Referensi

  • Afshin, A., Peñalvo, J. L., Gobbo, L. del, Silva, J., Michaelson, M., O’Flaherty, M., Capewell, S., Spiegelman, D., Danaei, G., & Mozaffarian, D. (2017). The prospective impact of food pricing on improving dietary consumption: A systematic review and meta-analysis. In PLoS ONE (Vol. 12, Issue 3). Public Library of Science. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0172277
  • Blakely, T., Cleghorn, C., Mizdrak, A., Waterlander, W., Nghiem, N., Swinburn, B., Wilson, N., & Ni Mhurchu, C. (2020). The effect of food taxes and subsidies on population health and health costs: a modelling study. The Lancet Public Health, 5(7), e404–e413. https://doi.org/10.1016/S2468-2667(20)30116-X
  • Briggs, A. D. M., Mytton, O. T., Madden, D., O’Shea, D., Rayner, M., & Scarborough, P. (2013). The potential impact on obesity of a 10% tax on sugar-sweetened beverages in Ireland, an effect assessment modelling study. BMC Public Health, 13(1). https://doi.org/10.1186/1471-2458-13-860
  • DiMeglio, D. P., & Mattes, R. D. (2000). Liquid versus solid carbohydrate: effects on food intake and body weight. International Journal of Obesity and Related Metabolic Disorders : Journal of the International Association for the Study of Obesity, 24(6), 794–800. https://doi.org/10.1038/SJ.IJO.0801229
  • Ferretti, F., & Mariani, M. (2019). Sugar-sweetened beverage affordability and the prevalence of overweight and obesity in a cross section of countries. Globalization and Health, 15(1). https://doi.org/10.1186/s12992-019-0474-x
  • Hyseni, L., Bromley, H., Kypridemos, C., O’Flaherty, M., Lloyd-Williams, F., Guzman-Castillo, M., Pearson-Stuttard, J., & Capewell, S. (2017). Systematic review of dietary trans-fat reduction interventions. In Bulletin of the World Health Organization (Vol. 95, Issue 12). World Health Organization. https://doi.org/10.2471/BLT.16.189795
  • Malik, V. S., & Hu, F. B. (2019). Sugar-Sweetened Beverages and Cardiometabolic Health: An Update of the Evidence. Nutrients, 11(8). https://doi.org/10.3390/NU11081840
  • Snyder, L. B., Hamilton, M. A., Mitchell, E. W., Kiwanuka-Tondo, J., Fleming-Milici, F., & Proctor, D. (2004). A meta-analysis of the effect of mediated health communication campaigns on behavior change in the United States. Journal of Health Communication, 9 Suppl 1, 71–96. https://doi.org/10.1080/10810730490271548
  • Waterlander, W. E., Steenhuis, I. H. M., de Boer, M. R., Schuit, A. J., & Seidell, J. C. (2012). Introducing taxes, subsidies or both: The effects of various food pricing strategies in a web-based supermarket randomized trial. Preventive Medicine, 54(5), 323–330. https://doi.org/10.1016/j.ypmed.2012.02.009
  • WHO. (2015). Fiscal Policies for Diet and Prevention of Noncommunicable Diseases.

 

Dampak Pandemi COVID-19 Pada Pelayanan KIA dan KB di 120 Kab/Kota Lokus Penurunan AKI dan AKB

person holding belly photo

person holding belly photoBencana nasional non alam yang disebabkan oleh Corona virus Disease (COVID-19) berdampak terhadap ekonomi, sosial dan kesehatan masyarakat secara luas. Pemerintah telah menetapkan bencana non alam ini sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non alam Penyebaran Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional.

Pandemi COVID-19 mengakibatkan terganggunya ketersediaan dari pelayanan kesehatan dasar, terutama pelayanan kesehatan untuk ibu, anak dan bayi baru lahir. Di Amerika, beberapa rumah sakit membuat kebijakan untuk mengubah bangsal bersalin menjadi bangsal perawatan untuk pasien COVID-19, membatasi pendamping persalinan di kamar bersalin dan menawarkan induksi persalinan agar ibu yang akan bersalin secepat mungkin meninggalkan rumah sakit. Sedangkan di negara miskin dan berkembang, bahkan sebelum ada pandemi COVID-19 akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak yang berkualitas sangat jarang bahkan tidak tersedia atau tidak dapat dijangkau oleh jutaan wanita. Adanya pandemi COVID-19 memperburuk keadaan ini dan kemungkinan berdampak pada morbiditas dan mortalitas ibu dan anak (Stein, Ward, & Cantelmo, 2020).

Berdasarkan perkiraan para ahli dengan mempertimbangkan dampak epidemi Ebola (2014-2016) terhadap pelayanan kesehatan ibu dan anak, akan ada 4 negara miskin dan berkembang yang akan mengalami dampak tidak langsung dari pandemi COVID-19 ini. Keempat negara tersebut yaitu India, Indonesia, Nigeria dan Pakistan. Diperkirakan akan terjadi penambahan 31.980 kematian ibu, 395.440 kematian bayi baru lahir, dan 338.760 bayi lahir mati sehingga total 766.180 kematian tambahan di empat negara ini atau setara dengan peningkatan kematian sebesar 31% apabila terjadi penurunan pelayanan kesehatan saat pandemi. Hal ini akan menjadi kenyataan apabila tidak ada tindakan segera yang dapat membantu mencegah dampak tidak langsung pandemi COVID-19 pada pelayanan kesehatan ibu dan anak (Penn-Kekana, 2020).

Untuk mencegah dampak tidak langsung pandemi COVID-19, diperlukan suatu upaya inovatif untuk mengetahui bagaimana pandemi COVID-19 berpengaruh terhadap program KIA dan KB melalui kegiatan elektronik monitoring dan evaluasi (e-monev) yang dilakukan di 120 kab/kota lokus penurunan AKI dan AKB. Kegiatan ini melibatkan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kebijakan dan Manajemen (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK – KMK) UGM yang bekerja sama dengan 13 perguruan tinggi mitra untuk mendampingi 120 Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam mengumpulkan data, melakukan analisis, dan menyusun dokumen.

Sistem e-Monev ini berbasis web yang menggunakan data rutin Komdat untuk monitoring yang dilakukan Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi, dan Dinas Kesehatan kabupaten/kota. Kegiatan ini menghasilkan tiga bentuk dokumen meliputi dokumen analisis dampak, analisis kebijakan, dan policy brief berupa rekomendasi dan harapan untuk berbagai pihak. Terdapat 8 indikator pelayanan KIA dalam Komdat yang digunakan untuk monitoring yaitu kunjungan pertama ibu hamil (K1), kunjungan keempat ibu hamil (K4), persalinan di fasilitas kesehatan, kunjungan Neonatal (KN) Lengkap, pemantauan tumbuh kembang balita (SDIDTK), pelayanan imunisasi dasar lengkap, kematian ibu dan program KB. Data Komdat yang digunakan telah diverifikasi oleh Direktorat Kesehatan Keluarga, Ditjen Kesmas Kemenkes RI. Data yang telah diverifikasi dikelola dan disajikan dalam bentuk Dashboard yang disajikan di web. Data di web dianalisis oleh Dinas Kesehatan didampingi pendamping universitas, dan disajikan dalam bentuk analisis dampak.

Berdasarkan analisis di level nasional ada berbagai hasil menarik yang didapatkan, cakupan K4 merupakan indikator paling terdampak pandemi COVID-19 sedangkan program KB adalah indikator yang paling sedikit terdampak pandemi. Pandemi berdampak juga pada Posyandu yang tutup dan pembatasan jam pelayanan di fasilitas kesehatan yang berakibat pelayanan KIA dan KB tidak dapat terlaksana dengan optimal. Sebagian besar dinas kesehatan kabupaten/ kota memanfaatkan media sosial untuk memberikan edukasi dan memastikan pelayanan kesehatan tetap dapat diberikan.

Hal lain yang menyebabkan cakupan indikator mengalami penurunan adalah karena keengganan masyarakat untuk berkunjung ke fasilitas kesehatan. Kekhawatiran akan tertular virus COVID-19 membuat ibu hamil menunda untuk memeriksakan kesehatannya. Selain itu, kekhawatiran tenaga kesehatan akan tertular dari pasien juga memberikan dampak terhadap pelaksanaan pelayanan KIA dan KB. Beberapa dinas kesehatan kabupaten/ kota juga menginformasikan adanya stigma negatif di masyarakat yang beredar terkait pandemi ini telah berdampak pada menurunnya jumlah masyarakat yang berkunjung ke fasilitas kesehatan dan ketidakjujuran pasien dapat meningkatkan peluang tenaga kesehatan tertular sehingga pelayanan tidak dapat diberikan secara optimal. Berbagai kebijakan telah diberlakukan untuk menangani pandemi ini, akan tetapi dinas kesehatan masih membutuhkan dukungan dari berbagai lintas sektor untuk memulihkan pelayanan.

Hasil dari kegiatan ini telah dipublikasikan dalam Bulletin of the World Health Organization,

selengkapnya https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8795852/ 

 

Referensi

Penulis ringkasan: Monita Destiwi
Tim Peneliti : Laksono Trisnantoro, Insan Rekso Adiwibowo, Monita Destiwi, Rokhana Diyah Rusdiati

 

Hasil Penelitian Penilaian Beban Kerja Tenaga Kesehatan dan Lingkungan Kerja yang Mendukung Selama Pandemi COVID-19

group of doctors walking on hospital hallway

group of doctors walking on hospital hallwayPandemi COVID-19 telah menjadi tantangan pada sistem kesehatan dan dalam banyak kasus, melebihi kapasitas rumah sakit dan unit perawatan intensif (ICU). Para profesional kesehatan di fasilitas rujukan COVID-19 bekerja berjam – jam dengan mengenakan alat pelindung diri (APD) yang merepotkan dan tidak nyaman. Petugas kesehatan terus memberikan perawatan untuk pasien meskipun kelelahan, berisiko infeksi pribadi, ketakutan menularkan ke anggota keluarga, kecemasan terhadap penyakit atau kematian teman dan kolega, dan kehilangan banyak pasien.

Ditambah lagi ketika gelombang pertama dan kedua pandemi COVID-19 terjadi, tenaga kesehatan semakin berisiko cukup tinggi untuk terkena virus ini. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kebijakan dan Manajemen (PKMK) Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK – KMK) UGM bekerja sama dengan WHO Indonesia dan Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga, Kementerian Kesehatan, Republik Indonesia melakukan kajian terhadap situasi terkait petugas kesehatan, termasuk beban kerja dan lingkungan kerjanya di rumah sakit rujukan COVID-19.

Continue reading

Stunting di Indonesia Berpotensi Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi dan Beban Pembiayaan Kesehatan

Stunting di Indonesia Berpotensi Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi dan Beban Pembiayaan Kesehatan

Stunting di Indonesia Berpotensi Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi dan Beban Pembiayaan KesehatanStunting banyak terjadi di negara miskin dan berkembang, salah satunya Indonesia. Stunting bukan hanya masalah badan yang pendek, melainkan juga masalah gizi buruk pada anak – anak yang dapat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Di Indonesia masyarakat masih menganggap stunting merupakan keturunan, padahal hasil penelitian menunjukkan genetik berkontribusi sebesar 15% (Absori et al, 2022). Sementara menurut Brinkman et al dalam Absori et al (2022), faktor – faktor yang mempengaruhi stunting adalah infeksi berulang, hormon pertumbuhan, nutrisi, asap rokok, dan polusi.

Continue reading

Strategi Pandemi dan Mitigasi COVID-19: Implikasi Terhadap Kesehatan dan Gizi Pada Ibu dan Anak

Strategi Pandemi dan Mitigasi COVID-19: Implikasi Terhadap Kesehatan dan Gizi Pada Ibu dan Anak

Strategi Pandemi dan Mitigasi COVID-19: Implikasi Terhadap Kesehatan dan Gizi Pada Ibu dan Anak

Dampak Coronavirus 2019 (COVID-19) mempengaruhi tatanan dalam masyarakat, salah satunya sektor kesehatan. Pemanfaatan dan penyediaan layanan kesehatan khususnya layanan ibu dan anak terhambat dan akhirnya akan mengakibatkan peningkatan angka kematian ibu dan anak serta masalah kesehatan ibu dan anak lainnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Temesgen (2021) menunjukkan bahwa rendahnya pemanfaatan layanan ibu dikarenakan adanya kecemasan dan kekhawatiran mengunjungi layanan kesehatan sehingga mereka mengubah rencana dan merasa nyaman persalinan di rumah agar keluarga mereka tidak terpapar infeksi COVID-19. Di sisi lain, COVID-19 juga berdampak pada sektor lain seperti ekonomi, pangan, perlindungan sosial termasuk layanan dan akses air bersih dan sanitasi (Akseer, 2020).

Continue reading