Indonesia Didesak Segera Mengaksesi Konvensi Pengendalian Tembakau


Konferensi Asia Pasifik tentang Pengendalian Tembakau dan Kesehatan (Asia Pacific Conference on Tobacco or Health – APACT) 2013 di Chiba, Jepang yang berlangsung pada 18-21 Agustus lalu secara resmi mendesak pemerintah Indonesia segera mengaksesi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control-FCTC).

“Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang belum mengaksesi konvensi ini, dimana komitmen pemerintah dalam dunia Internasional untuk turut serta memperhatikan kesehatan rakyat dipertanyakan,” kata Dr. Kartono Mohamad selaku ketua TCSC (Tobacco Control Support Center) di Jakarta, Senin (9/9).

Menurut Kartono, seluruh peserta konferensi yang terdiri dari 785 peserta dari 42 negara sepakat menekan pemerintah Indonesia untuk segera menandatangani peraturan internasional mengenai kesehatan masyarakat ini.

“Jika tidak, Indonesia membahayakan efektifitas upaya pengendalian tembakau yang sudah dilakukan dengan amat baik di kawasan Asia,” imbuhnya.

Disahkan pada 2003 lalu, Konvensi Pengendalian Tembakau sudah diratifikasi oleh 177 negara di dunia. Saat ini di antara negara-negara dengan penduduk terbesar di dunia, Indonesia termasuk negara dari sebagian kecil yang belum mengaksesi FCTC ini.

Indonesia merupakan pasar terbesar ketiga tembakau di dunia. Populasinya terbesar keempat dan prevalensi merokok terus meningkat per tahunnya. Lewat deklarasi itu, Indonesia juga diimbau untuk melarang iklan, promosi, dan sponsor oleh industri tembakau. Artis dan atlet yang tampil di Indonesia juga diimbau agar tidak disponsori industri tembakau.

“Peserta konferensi melihat lambannya pemerintah Indonesia merespon tuntutan masyarakat sipil soal pengendalian tembakau, ini jelas membuat komitmen Indonesia di dunia Internasional dipertanyakan terlebih komitmen untuk mencegah remaja kecanduan nikotin,” tutup Kartono.

sumber: www.beritasatu.com

 

RUU Keperawatan Jangan Macet Karena Judul

Jakarta, PKMK. Pembahasan Rancangan Undang-undang Keperawatan (RUU Keperawatan) sebaiknya tidak terhenti karena perdebatan judul. Sebab, keberadaan undang-undang keperawatan penting bagi perlindungan hukum profesi perawat. Dengan undang-undang itu, kesejahteraan perawat lebih terjamin, begitu pula distribusi mereka ke seluruh Indonesia. Demikian dikatakan oleh Rieke Diah Pitaloka, Anggota Komisi IX DPR RI, di Jakarta (9/9/2013).

Sebenarnya, saat membicarakan terkait perawat, otomatis tentang kebidanan pula. Maka, debat tentang perlu atau tidaknya kata “dan kebidanan” ditambahkan ke judul RUU Keperawatan, tidak terlalu penting. Perdebatan harus lebih mengarah ke hal-hal yang lebih substansif, kata legislator dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu. Lebih baik RUU Keperawatan bernasib sama dengan Revisi Undang-undang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Pada revisi tersebut, perdebatan judul memerlukan waktu dua kali masa sidang. “Kalau RUU Keperawatan tidak selesai di masa sidang ini, berarti harus diperpanjang di periode berikutnya. Karena tenggatnya terlewati, sehingga harus mulai dari awal lagi,” ia berkata. Penyelesaian RUU Keperawatan merupakan salah satu rekomendasi hasil Rapat Kerja Nasional PDIP yang berlangsung akhir pekan kemarin. “Fraksi PDIP ditugaskan untuk mempercepat pembahasan RUU Keperawatan,” kata Rieke.

 

Program CEPAT USAID bantu penderita TB di Indonesia

Wakil Direktur Badan Pengembangan Amerika Serikat (USAID) Derrick Brown dan Direktur Jenderal Badan Pengendalian Penyakit Menular dan Kesehatan Lingkungan Dr Tjandra Yoga Aditama meluncurkan dana $12.000.000 untuk Komunitas Pemberdayaan Masyarakat Melawan Tuberkulosis (CEPAT) pada 3 September.

Program CEPAT USAID mendukung upaya Pemerintah Indonesia untuk memerangi tuberkulosis (TB) dan meningkatkan akses terhadap diagnosis dini TB dini secara efektif dan cara penanggulangannya.

“Atas nama rakyat Amerika, USAID bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan Indonesia memerangi tuberkulosis dan menyelamatkan nyawa manusia,” kata Brown. “Bersama dengan mitra kami, kami akan meningkatkan kesadaran tentang TB dan mendeteksi gejala tersebut secara dini. Kami juga membantu pengobatan mereka. USAID bangga bisa bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan mendukung program TB mereka.”

“CEPAT mendukung Program Indonesia Tuberkulosis Nasional untuk mencapai akses universal terhadap kualitas dan diagnosis dini serta pengobatan TB di antara semua penyedia layanan,” kata Dr Tjandra. “CEPAT dirancang dalam koordinasi yang erat dengan Program TB Nasional (NTP) dan dimaksudkan untuk mendukung Sistem Masyarakat Penguatan, Yang merupakan salah satu dari enam pilar NTP Model komprehensif untuk pengendalian TB di Indonesia.”

Program ini akan meningkatkan jumlah penderita TB yang akan dites dan disembuhkan untuk wilayah Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Papua, dan Papua Barat.

CEPAT bekerja dengan masyarakat dan organisasi lokal untuk menargetkan orang-orang yang tinggal di daerah kumuh perkotaan, pengungsi dan mobile, yang tidak diasuransikan dan orang-orang dengan kekebalan tubuhnya berkurang akibat kekurangan gizi atau infeksi HIV.

Program CEPAT USAID akan dilaksanakan oleh tiga organisasi Indonesia: Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU), Jaringan Kesehatan Masyarakat (JKM) dan Katolik Roma Keuskupan Timika (RCD).

Awal tahun ini, USAID diakui kepemimpinan global Indonesia dalam memerangi TB dalam upacara di Washington DC dan Jakarta, menyoroti kemajuan Indonesia dalam mencapai Tujuan Pembangunan Milenium untuk TB. Namun kemajuan ini perlu dipercepat, karena Indonesia masih di antara lima negara teratas global dengan infeksi TB tertinggi.

Ada sekitar 450.000 kasus TB baru dan 65.000 kematian terkait TB di Indonesia setiap tahun. Berbagai jenis obat untuk TB sedang meningkat. Sekitar 30 persen kasus TB di Indonesia diperkirakan tidak terdeteksi, dan banyak pasien yang terlambat didiagnosa.

USAID bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah untuk mengurangi ancaman penyakit menular dan memberikan pelayanan untuk mengurangi angka kematian.

Dukungan kami untuk memerangi TB merupakan komponen penting dari kemitraan kami secara keseluruhan dengan Indonesia di bidang kesehatan dan termasuk dalam Kerjasama Komprehensif AS-Indonesia, sebuah komitmen yang dibuat oleh Presiden Obama dan Presiden Yudhoyono untuk memperdalam hubungan bilateral antara Amerika Serikat dan Indonesia.

sumber: www.waspada.co.id

 

Total 2 Miliar Orang di Dunia Terinfeksi Virus Hepatitis B

Penyakit hepatitis kini menjadi ancaman serius bagi seluruh masyarakat dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam A Strategy for Global Action tahun 2012 mencatat khusus hepatitis B saja telah menginfeksi 2 miliar orang di dunia.

Lebih dari 350 juta orang di antaranya merupakan pengidap virus hepatitis B kronis, dan 150 juta penderita hepatitis C kronis. Sebanyak 350.000 di antara penderita hepatitis C meninggal dunia setiap tahunnya, dan antara 850.000 sampai 1,05 juta penduduk dunia meninggal setiap tahun disebabkan infeksi hepatitis B dan C.

“Penyakit hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk di Indonesia. Saat ini hepatitis yang kita kenal adalah hepatitis A, B, C, D, dan E. Yang paling banyak dan berpengaruh terhadap morbiditas serta ekonomi yaitu virus hepatitis A, B, dan C,” kata Menteri Kesehatan Nasfsiah Mboi di sela-sela acara peringatah Hari Hepatitis Sedunia ke-4 tahun 2013, yang ditandai dengan pelepasan jalan sehat untuk kampanye hepatitis yang diikuti ribuan orang, di Lapangan Monas, Jakarta, Minggu (8/7).

Menkes mengungkapkan, Indonesia sendiri tergolong negara dengan endemisitas tinggi, sehingga merupakan negara dengan pengidap hepatitis terbesar kedua di antara negara anggota WHO South East Asia Regional Office(SEARO), seperti Bangladesh, Bhutan, Korea, Maldives, Myanmar, dan Nepal.

Diperkirakan 9 di antara 100 orang di Indonesia terinfeksi hepatitis B.

Estimasi penderita hepatitis B dan C sebanyak 25 juta, di mana 50 persen atau sekitar 12,5 di antaranya diperkirakan akan menjadi chronic liver disease (penyakit liver kronis), dan 10 persen atau 1,25 juta akan menjadi liver fibrosis. Jika tanpa penanganan yang intensif penderita yang sudah liver fibrosis akan menjadi kanker hati.

“Karena itulah tujuan dari peringatan Hari Hepatitis Sedunia ini bertujuan meningkatkan kepedulian dan perhatian kita mengenai pentingnya pengendalian virus hepatitis,” kata Menkes.

Adapun, lanjut Menkes, tema yang diusung pada Hari hepatitis Sedunia tahun ini mengandung makna bahwa hepatitis virus perlu mendapat perhatian lebih. Sudah saatnya semua pihak peduli dan memberi dukungan yang nyata dalam penanggulangan penyakit mematikan ini.

Keberhasilan pengendalian hepatitis sangat ditentukan oleh dukungan semua pihak, termasuk lintas sektor pemerintah pusat dan daerah, organisasi profesi, dan seluruh lapisan masyarakat.

“Hepatitis merupakan masalah kesehatan dunia, termasuk Indonesia. Untuk itu saya mengimbau pada kesempatan ini, agar kita secara bersama-sama bahu-membahu berupaya dalam pengendalian hepatitis secara serius melalui gerakan pemerintah bersama masyarakat,” kata Menkes.

sumber: www.beritasatu.com

 

MK Tolak Ubah Penafsiran Iuran Kesehatan SJSN

Jakarta, PKMK. Mahkamah Konstitusi RI (MK) menyatakan menolak permohonan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 27 Ayat 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pasal/ayat dan undang-undang tersebut dinilai telah memakai prinsip gotong royong. “Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak keseluruhan permohonan,” kata Akil Mochtar, Ketua MK, dalam pembacaan keputusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta (5/9/2013).

Undang-undang tersebut, Akil mengatakan, mewajibkan warga yang mampu untuk membayar premi ataupun iuran asuransi. Selain untuk diri sendiri, iuran itu juga sekaligus untuk membantu warga yang tidak mampu. “Jadi, prinsip gotong royong ada di undang-undang itu,” kata Akil. Keputusan penolakan tersebut muncul dari rapat permusyawaratan hakim konstitusi yang telah berlangsung Selasa, 26 Maret 2013. “Sedangkan keputusan tersebut selesai diucapkan pada Kamis (5/9),” tambah Akil. Pemohon uji materi itu adalah M. Komarudin dan rekan dari Dewan Pimpinan Pusat Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia. Sedangkan bertindak sebagai kuasa hukum adalah Andi Muhammad Asrun dan kawan-kawan. Pasal 27 Ayat 1 tersebut berbunyi sebagai berikut: “Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk peserta penerima upah ditentukan berdasarkan persentase dari upah sampai batas tertentu yang secara bertahap ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja”. Pasal tersebut mengatur iuran jaminan kesehatan di SJSN. Pemohon meminta agar frasa “sampai batas tertentu” dimaknai: “Besaran iuran jaminan kesehatan untuk peserta penerima upah ditentukan berdasarkan persentase dari upah sampai batas besaran dua kali pendapatan tidak kena pajak”.

 

Buruh tuntut jaminan kesehatan tak diselewengkan

Ribuan buruh menuntut asistem jaminan kesehatan yang mulai 1 Januari 2014 dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), tidak diselewengkan.

“Kami menuntut agar jaminan kesehatan di Indonesia tidak lagi diselewengkan,” kata seorang orator demonstrasi di depan Istana Negara, Kamis.

Demonstran menilai seharusnya tidak ada lagi warga Indonesia yang ditolak rumah sakit karena tidak memiliki biaya pengobatan.

“Kalau ada rumah sakit yang menolak pasien karena biaya, akan kami kepung,” teriak sang orator.

Selain jaminan kesehatan, para buruh juga menuntut Upah Minimum Provinsi (UMP) naik hingga 50 persen untuk nasional dan Rp3,7 juta untuk wilayah Jakarta.

Mereka juga menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mencabut instruksi presiden tentang penetapan UMP.

Dari pantauan ANTARA News, demonstran melanjutkan beraksi di Kementerian Kesehatan. Mereka juga berkumpul di depan patung MH. Thamrin, Jakarta Pusat.

sumber: www.antaranews.com

 

Kuota Tenaga Kesehatan Belum Jelas

Kuota penyebaran tenaga kesehatan baik dokter, bidan, maupun perawat di daerah belum jelas. Penyusunan kuota bagi tiap daerah belum diimplementasikan oleh Menteri Kesehatan (Menkes) secara jelas di hadapan Komisi IX DPR. “Bagaimana dengan penyusunan kuota bagi setiap daerah untuk tenaga kesehatan. Belum ada anggaran untuk tenaga kesehatan di daerah-daerah yang memang sudah ada kuotanya,” kata Okky dalam rapat kerja dengan Menteri Kesehatan di Jakarta, Selasa (3/9/13).

Diungkapkan, banyak dokter yang mendatanginya untuk berkeluh kesah soal kebijakan Menkes. Banyak tenaga medis termasuk dokter yang masih berstatus PTT dan hingga kini belum jelas kapan bisa diangkat menjadi PNS. Okky lalu membuka keluhan para calon dokter yang mengadukan pernyataan Menkes dalam rapat dengan Komisi IX tersebut.

Kata Okky, Menkes pernah mengatakan kepada para calon dokter PTT itu, “Bila tidak lulus sebaiknya jadi pengusaha saja atau mencalonkan diri jadi bupati.” Kata-kata ini sangat disayangkan bisa keluar dari seorang Menkes.

Okky berharap, agar para tenaga kesehatan PTT yang sudah terlalu lama mengabdi segera diprioritaskan untuk diangkat menjadi PNS. Dan mereka tersebar di beberapa daerah terpencil. Saat ini, pegawai di Kemenkes mencapai 52.427 orang. Jumlah itu terdiri dari dosen sebanyak 3.518 orang dan non dosen 48.909 orang. (A-109/A-108)***

sumber: www.pikiran-rakyat.com

 

Tertinggi di Indonesia, 11.151 warga Sulbar pecandu narkoba

Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat sebanyak 11.151 penduduk Sulawesi Barat (Sulbar) merupakan pecandu narkotika dan obat-obatan terlarang. Prevalensi penyalahgunaan narkoba di Sulbar sebesar 1,8 persen atau sekitar 11.151 orang dari jumlah penduduk Sulbar sebanyak 619.498 Jiwa.

“Data itu didapatkan dari hasil penelitian BNN bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (Puslitkes-UI),” kata Perwakilan BNN, Dokter Jolan Tedjokoesoema pada acara Focus Group Discussion (FGD) dengan tema rehabilitasi adiksi pengguna narkoba berbasis masyarakat yang digelar di Mamuju, Rabu (4/9).

Seperti diberitakan Antara, menurut dia pecandu narkoba di Sulbar yang tinggi karena belum mendapatkan rehabilitasi secara maksimal sebagai bentuk penanggulangannya. Namun bukan hanya di Sulbar yang tidak maksimal mendapatkan rehabilitasi, tetapi juga secara nasional, rehabilitasi pecandu narkoba tidak maksimal.

“Dari total penyalahgunaan narkoba di Indonesia, sebesar 4,7 juta orang hanya sekitar 18.000 atau 0.47 persen yang mendapat layanan terapi dan rehabilitasi, karena terbatasnya sarana rehabilitasi di Indonesia,” katanya.

Ia menjelaskan terdapat empat panti rehabilitasi di Indonesia di antaranya di Sukabumi Jawa Barat, Sulawesi Selatan, serta di pulau Batam, Provinsi Riau dan Kalimantan Timur yang baru akan dibangun tahun ini.

“Jumlah panti rehabilitasi hanya mampu menampung 2000 orang pecandu narkoba, tidak sebanding dengan jumlah pecandu narkoba yang ada di negara ini,” katanya

sumber: www.merdeka.com

 

Kebijakan Kesehatan Sering Irasional

Para pengambil keputusan di sektor kesehatan di Indonesia sering memutuskan kebijakan hanya berdasarkan intuisi.

Tidak berdasarkan data-data yang akurat, sehingga sering muncul kebijakan irasional di bidang tersebut. Akibatnya cukup fatal. Banyak kemudian muncul kasus-kasus kematian yang mestinya tidak perlu.

“Dengan kebijakan berdasar intusisi tersebut, maka hampir bisa dipastikan akan muncul dampak kematian yang tak perlu. Harga yang harus dibayar pun sangat mahal, Indonesia akan semakin terpuruk di bidang kesehatan,” kata Ketua Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, Prof.Dr.Laksono Trisnantoro, MSc, PhD, di Yogyakarta, Senin (2/9/2013).

“Korupsi merupakan salah satu faktor yang banyak mempengaruhi kebijakan irasional di sektor kesehatan. Terutama, menyangkut pembelian berbagai alat kesehatan maupun obat-obatan yang seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan,” jelas Laksono yang juga guru besar FK UGM itu.

Kebijakan sektor kesehatan di Indonesia juga banyak yang longgar. Salah satunya mengenai larangan merokok yang terkenal paling longgar di dunia.

Sebagai ajang dialog antara akademisi dan para pengambil kebijakan, PKMK (Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan) FK UGM memprakarsai digelarnya Forum Nasional IV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia, sekaligus Konas IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia) ke 12, di Kupang, NTT, 4-7 September 2013. (Fetika Andriyani/BCS)

sumber: rri.co.id

 

Survei: Belanja Kesehatan dan Kemiskinan Pemda Mengecewakan

Kampanye sejumlah partai politik terkait pemilihan gubernur ditandai dengan serangkaian janji-janji kandidat untuk merealisasikan peningkatan dalam penyediaan progran kesehatan dan pengentasan kemiskinan. Namun, tampaknya janji-janji itu menguap seiring dengan terpilihnya sang kandidat menuju kursi nomor 1 di tingkat provinsi.

Indonesia Governance Index yang berhasil dikumpulkan oleh para peneliti menunjukkan bahwa pejabat terpilih di 33 provinsi di seluruh Indonesia ternyata hanya memberikan sedikit perhatiannya di bidang kesehatan dan peningkatan kemiskinan.

Dalam acara peluncuran nasional hasil indeks tata kelola pemerintahan Indonesia Governance Index IGI di

Jakarta (2/9) dipaparkan, belanja terbanyak dalam bidang kesehatan dilakukan provinsi Bangka Belitung dan itupun hanya sekitar Rp 170.000,- per orang setiap tahun.

Yang paling rendah investasi kesehatannya ironisnya ditemukan di provinsi yang kinerja keseluruhannya paling baik, DI Yogyakarta yang hanya mengalokasikan Rp.5.807,- per kapita tiap tahunnya.

“Angka-angka untuk pengentasan kemiskinan yang paling tinggi ditemukan di Bali dan jumlahnya kurang dari Rp 366 ribu per orang miskin setahun. Yang paling rendah ada di Nusa Tenggara Timur dengan Rp 20.900,- per orang miskin setahun,” papar Abdul Malik Gismar, Ph.D., selaku penasihat senior IGI.

IGI menelaah kinerja 33 pemerintahan provinsi dan bagaimana mereka memutuskan prioritas pembangunan dan penyediaan pelayanan masyarakat.

Indeks yang dibuat oleh Kemitraan ini membuat penilaian dengan mengukur empat arena tata kelola pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif,birokrasi, masyarakat sipil dan masyarakat ekonomis. Tiap provinsi diberi angka 1 hingga 10. 1 untuk paling rendah, dan 10 untuk yang terbaik.

Lebih lanjut Abdul Malik menyatakan bahwa, peneliti IGI menemukan rata-rata di 33 provinsi hanya ada 74,6 persen ibu melahirkan dibantu dengan petugas medis. Angka terendah ada di Sumatera Barat dengan 42.81 persen sedangkan perolehan tertinggi diraih oleh DI Yogyakarta.

Dari temuan penting lain yang berkaitan dengan pengentasan kemiskinan, terdapat fakta bahwa 16 provinsi tidak memiliki unit untuk menampung keluhan warga tentang pelayanan untuk mengurangi kemiskinan.

Ini memicu pertanyaan apakah pemerintah provinsi sebenarnya memiliki mekanisme untuk mencari tahu dan memastikan apakah program-program awal yang dicanangkan benar-benar menjangkau masyarakat miskin sesuai target.

sumber: www.beritasatu.com