Ratifikasi aturan FCTC buat ribuan buruh rokok terancam PHK

Rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang akan diberlakukan pada tahun 2014 mendatang bakal membuat produk tembakau lokal tersisih. Padahal, produk tembakau dari Indonesia sudah memiliki ciri khas sendiri.

Anggota Komisi IX DPR RI Poempida Hidayatulloh mengatakan apabila pemerintah tetap memberlakukan FCTC maka akan ada pengurangan pekerja di sektor industri rokok, bahkan juga merugikan para petani tembakau. “Bahkan tidak menutup kemungkinan akan terjadi PHK besar-besaran hingga pabrik gulung tikar,” ujarnya di Jakarta, Minggu (11/8).

Padahal, lanjut dia, secara keseluruhan pekerja di sektor industri tembakau menyerap tenaga kerja sekitar 4,1 juta tenaga kerja. Dari jumlah itu 93,77 persen diserap kegiatan usaha pengolahan tembakau, seperti pabrik rokok. Sedangkan, penyerapan di sektor pertanian tembakau menyerap sekitar 6,23 persen.

“Lebih rincinya 1,25 juta orang telah menggantungkan hidupnya bekerja di ladang cengkeh dan tembakau, 10 juta orang terlibat langsung dalam industri rokok, dan 24,4 juta orang terlibat secara tidak langsung dalam industri rokok,” lanjut dia.

Poempida menegaskan visi misi Presiden SBY adalah ingin menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan inklusif. Salah satu definisi dari pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan akselerasi maupun peningkatan bagaimana setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi itu mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 450.000 orang.

“Dalam konteks rencana Menkes meratifikasi FCTC, sama halnya Menkes mengingkari visi misi Presiden SBY,” tegas dia.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Nurtantio Wisnu Brata mengatakan jika diberlakukan standarisasi, sementara perlindungan pemerintah tak ada, maka produk tembakau lokal makin tersisih.

Nurtianto menjelaskan, apabila produk yang dihasilkan harus sama dengan di luar negeri, berarti tembakau-tembakau lokal tidak bisa dijadikan bahan baku rokok dan produk turunan lain.

“Dalam FCTC akan diciptakan suatu standarisasi produk tembakau dengan yang ada di luar negeri padahal tembakau kita berbeda. Itu kita belum bicara pengaturan iklan, promosi, CSR dan lain-lain,” kata dia dalam pesan singkatnya kepada merdeka.com.

Menurut dia, seharusnya pemerintah membuat aturan rokok yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Indonesia ketimbang memberlakukan FCTC tersebut. “FCTC bisa saja sesuai dengan kondisi di luar negeri belum tentu akan cocok di Indonesia,” tegas dia.

Sebelumnya diberitakan, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi secara terbuka menyampaikan keinginannya di hadapan para perwakilan industri rokok dalam acara sharing informasi PP No 109 Tahun 2012. Dalam PP ini telah mengadopsi FCTC tersebut.

Bendahara Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) I Ketut Budiman menilai, petani tembakau Indonesia akan menderita kerugian hingga mencapai Rp 10 triliun. Jika pemerintah meratifikasi kerangka kerja pengendalian tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

“Jika memang peraturan ini benar-benar diresmikan pemerintah maka akan ada 100.000 ton cengkeh atau tembakau yang bakal terlantar atau senilai hampir Rp 10 triliun yang akan terbuang,” katanya.

sumber: www.merdeka.com

 

10,3 Juta Warga Miskin Terancam Tak Dapat Layanan Kesehatan

Meskipun Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) mulai efektif pada tanggal 1 Januari 2014 mendatang, sebanyak 10,3 juta penduduk miskin di Indonesia dipastikan tak bakal mendapat layanan dan jaminan kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Hal itu disebabkan pemerintah hanya menyetujui jumlah penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesesehatan (Jamkes) untuk orang miskin dan tidak mampu sebesar 86,4 juta orang dengan nilai iuran Rp 19.225 per orang.

“Padahal, data orang miskin dari Tim Nasional Pendataan Penduduk untuk Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (TNP2K dan DJSN), jumlah PBI mencapai 96,7 juta orang,” ujar Sekretaris Jenderal Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) M Said Iqbal kepada harian Kompas, Senin (5/8/2013) di Jakarta.

Menurut dia, pada saat efektifnya UU SJSN justru terjadi ironisme.

“Sebab, pada saat itu, 10,3 juta orang miskin ini akan ditolak bila berobat ke rumah sakit. Ini berarti bahwa orang miskin dilarang sakit jika tidak ingin ditolak di rumah sakit,” tambahnya.

Said menjelaskan, situasi ini akan berisiko terjadinya konflik di masyarakat karena tidak akan ada rakyat miskin yang mau dikategorikan masuk ke 10,3 juta orang yang ditolak masuk ke rumah sakit karena tidak mendapat Jamkes.

“Asal tahu saja, di UU SJSN dan BPJS, Jamkes diberikan untuk semua rakyat. Oleh karena itu, KAJS mendesak pemerintah pada tanggal 1 Januari mendatang harus membiayai Jamkes untuk seluruh orang miskin dan tidak mampu, termasuk buruh penerima upah minimum, yang jumlahnya ada 156 juta orang,” paparnya.

Solusi agar warga miskin, termasuk buruh, mendapat layanan kesehatan, Said meminta iuran PBI diturunkan menjadi Rp 15.000 per orang sehingga dana PBI menjadi Rp 20,2 triliun bisa mencukupi, sebagaimana sudah disetujui Menteri Keuangan.

“Cara lain, integrasikan dana Jamkesda atau lewat APBD ke dana PBI (APBN). Dengan dua cara ini, seluruh warga miskin Indonesia, termasuk buruh dapat memperoleh Jamkes pada awal tahun depan,” harapnya.

sumber: nasional.kompas.com

 

Jasa Raharja Serahkan 15 Ambulans Mudik

Jakarta, PKMK. Sebanyak 15 unit ambulans diserahkan perusahaan asuransi PT Jasa Raharja kepada sejumlah lembaga. Penyerahan itu bersamaan dengan pemberangkatan 250 bus mudik bersama yang disponsori Jasa Raharja. Even tersebut berlangsung di Parkir Timur, Senayan, Jakarta (1/8/2013). Mudik bersama itu menyertakan sekitar 11 ribu pemilik sepeda motor bersama keluarganya.

Adapun lembaga penerima 15 ambulans sebagai satu wujud corporate social responsibility (CSR) diantaranya: RSUD Koja (Jakarta Utara), PT Kereta Api Indonesia, dan RS Bhayangkara (Kalimantan Timur). Dahlan Iskan, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara RI, secara simbolis menyerahkan tiga kunci ambulans kepada lembaga penerima tersebut.

Dalam acara itu pula, penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) diserahkan kepada Jasa Raharja. Penghargaan yang diperoleh Jasa Raharja yaitu rekor pendaftaran online terbanyak untuk mudik bersama bagi pesepeda motor. “Ini adalah penghargaan tingkat dunia. Jadi, melebihi permintaan Jasa Raharja untuk mendapat penghargaan tingkat nasional,” kata Jaya Suprana, Pendiri MURI.

Sementara itu, Budi Setiarso, Direktur Utama PT Jasa Raharja, mengatakan bahwa mudik bersama itu digelar untuk upaya mengurangi kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sepeda motor saat mudik. Jasa Raharja mengalihkan pesepeda motor ke 250 unit bus yang disediakan.

 

Dianggap Penyakit, Bunuh Diri Harusnya Masuk SJSN

Tindakan bunuh diri seharusnya masuk dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) karena bisa dikatakan salah satu jenis penyakit yang berkaitan dengan kejiwaan seseorang.

“Kan pertanyaannya ada tidak orang sehat yang mau bunuh diri, misalnya dia merasa capek hidup lalu bunuh diri, orang yang seperti itu (berniat bunuh diri) kan artinya orangnya ‘sakit’,” kataWakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Muktiusai acara peluncuran kampanye kesadaran publik ‘Lighting the Hope for Schizophrenia’ yang diadakan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) bersama Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) dan Asosiasi Rumah Sakit Jiwa dan Ketergantungan Obat Indonesia (ARSAWAKOI) di Jakarta, Selasa (30/7).

Lalu siapa yang dijaminkan, kalau penderitanya saja sudah meninggal?

Wamen menjawab, bahkan ketika meninggal saja orang masih membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

“Apa kalau sudah meninggal dikira semuanya gratis? Meskipun sudah meninggal biaya yang dibutuhkan masih sangat banyak. Misalnya biaya otopsi, biaya ambulance, dan masih banyak lainnya. Orang meninggal itu biayanya masih banyak,” bebernya menjelaskan.

Ali Ghufron mengakui, saat ini bunuh diri memang belum masuk dalam SJSN.

Sebaliknya ditegaskan Wamen, penyakit gangguan jiwa berat seperti skizofrenia sudah masuk dalam sistem ini.

“Meskipun di negara-negara maju, skizofrenia itu di luar ya, tidak masuk (SJSN), namun di negara kita, ini masuk (SJSN),” ujarnya.

Dalam kesempatan sama, Direktur Bina Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan RI, Diah Setia Utami membenarkan hal itu.

“Gangguan jiwa sudah dimasukkan dan dijamin di dalam SJSN. Jadi, penderita bisa terlayani dengan lebih baik,” jelasnya.

Karenanya, penderita gangguan jiwa berat harus mendapat pelayanan yang baik sama seperti penyakit lainnya baik di layanan primer, sekunder maupun tersier.

“Primer itu puskesmas, sekunder itu rumah sakit umum, dan tersier itu rumah sakit jiwa,” beber Diah.

Misalnya, untuk penanganan di puskesmas, Diah menjelaskan, Kemenkes sudah menerapkan pelatihan kepada para petugas kesehatan, baik dokter maupun perawat untuk siap dan berani menangani penderita gangguan jiwa, termasuk kondisi gawat darurat.

“Mereka sudah dilatih dalam waktu lima hari, bagaimana penanganan dan tanggap darurat terhadap kondisi-kondisi tersebut,” jelasnya lagi.

Sementara kampanye ‘Lighting the Hopefor Schizophrenia’ dicanangkan sebagai reaksi kian peliknya permasalahan jiwa di Indonesia yang berkontribusi terhadap penurunan produktivitas bangsa. Kesehatan jiwa termasuk salah satu permasalahan serius karena selain dapat mengurangi produktivitas, ini juga bisa menimbulkan beban jangka panjang bagi masyarakat.

“Dengan kampanye ini diharapkan menjadi harapan baru bagi penderita skizofrenia untuk kembali produktif dalam masyarakat dan tak ada lagi stigma negatif yang melekat padanya maupun keluarganya,” ujar Ketua PDSKJI, Dr. Tun Bastaman SpKJ. [mor]

sumber: gayahidup.inilah.com

 

Sejuta Lebih Orang Indonesia Alami Gangguan Jiwa Berat

Sekitar 1.093.150 penduduk Indonesia atau 0,46 persen dari total populasi Indonesia berisiko mengalami gangguan jiwa berat, kata Wakil Menteri Kesehatan Prof Ali Ghufron Mukti.

“Itu hasil dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, ada lebih dari satu juta penduduk Indonesia berisiko alami gangguan jiwa berat termasuk skizofrenia,” kata Ali pada peluncuran kampanye ‘Lighting the Hope for Schizophrenia’ di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Rabu (31/7/2013).

Dari sekitar satu juta penduduk tersebut, hanya 38.260 orang yang terlayani dengan perawatan memadai di Rumah Sakit Jiwa, Rumah Sakit Umum, maupun Pusat Kesehatan Masyarakat.

Menurut Ali, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya paham mengenai penyakit ini, sehingga penderita tidak ditangani dengan benar seperti dirawat di pusat pelayanan kesehatan.

Selain itu berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2013, masih ada sekitar tujuh provinsi di Indonesia yang tidak memiliki Rumah Sakit Jiwa dan empat provinsi masih belum memiliki tenaga profesional kesehatan jiwa.

“Mengingat kompleksnya permasalahan kesehatan jiwa termasuk skizofrenia di Indonesia, kami terus berkoordinasi dengan berbagai kementerian terkait untuk mengatasi permasalahan ini,” jelas Ali.

Selanjutnya Ali juga menyatakan bahwa Kementerian Kesehatan juga melakukan koordinasi terhadap dinas-dinas kesehatan terkait di daerah, untuk meningkatkan kapasitas pelayanan kesehatan jiwa bagi masyarakat.

“Tidak lupa bahwa upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat dan lintas sektor menjadi hal yang amat penting terutama untuk kesehatan jiwa, prevensi, dan penanggulangannya,” tutur Ali.

Menurut Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Tun Bastaman, skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang mengakibatkan penderitanya memiliki ketidakmampuan untuk menilai realitas.

“Hal ini disebabkan oleh gangguan keseimbangan neurokimia di otak yang mengganggu fungsinya secara keseluruhan,” imbuh Tun Bastaman.

sumber: health.liputan6.com

 

Ratifikasi FTCC Tak Sesuai Dengan Kondisi Indonesia

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi boleh-boleh saja bersikukuh untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dan akan memberlakukannya pada 2014 nanti. Namun, upaya itu mendapatkan penolakan keras dari kalangan petani dan pekerja di industri tembakau.

Menkes secara terbuka menyampaikan keinginannya dihadapan para perwakilan industri rokok dalam acara sharing informasi PP No.109 Tahun 2012, Jumat (26/7). Sejatinya, PP ini telah mengadopsi FCTC tersebut. Bahkan dikabarkan, guna mempercepat ratifikasi, naskah akademik sudah dikirim ke DPR.

Menanggapi hal itu, Ketua Asosiasi Petani Tembakau (APTI) Nurtantio Wisnu Brata menilai, sikap Kementerian Kesehatan yang memasukan draf akademik secara diam-diam ke DPR untuk ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FTCC) merupakan langkah tergesa-gesa.

Dia menilai, jika ratifikasi FTCC itu juga menyangkut dengan pengalihan tanaman dari tanaman tembakau ke tanaman lain, kemudian diaksesi pemerintah, maka para petani tembakau yang akan dirugikan.

“Tanah yang sekarang di sentra-sentra tembakau itu karunia Tuhan, diberi keunggulan untuk tanaman tembakau. Jika diganti dengan tanaman lain, kualitasnya tidak akan sama bagusnya dengan tembakau,” ujar Nurtantio, di Jakarta, Senin (29/7).

Dia bilang, dalam FCTC akan diciptakan suatu standarisasi produk tembakau dengan yang ada di luar negeri. Padahal, produk tembakau di Indonesia memiliki ciri khas sendiri yang tidak bisa begitu saja disamakan. Jika ada standarisasi, sementara perlindungan pemerintah tak ada, maka produk tembakau lokal makin tersisih.

“Jika produk yang dihasilkan harus sama dengan di luar negeri, berarti tembakau-tembakau lokal tidak bisa jadi bahan baku rokok dan produk turunan lain. Itu kita belum bicara pengaturan iklan, promosi, CSR dan lain-lain,” ujarnya.

Seharusnya, ketimbang pemerintah memaksakan ratifikasi, mestinya membuat aturan rokok yang benar-benar disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat. “FCTC bisa saja sesuai dengan kondisi di luar negeri belum tentu akan cocok di Indonesia,” tandasnya.

Amerikat Sendiri sampai sekarang belum meratifikasi FTCC karena mereka sadar harus melindungi industri rokoknya. “Amerika yang mendukung besar-besaran WTO saja belum meratifikasi. Begitu pula Jerman, Swiss, karena mereka punya industri tembakau,”sambungnya.

Jika Menteri membandingkan dengan Malaysia dan Singapura yang sudah meratifikasi, juga tidak tepat karena kedua negara tidak punya basis industri tembakau yang besar seperti Indonesia. China memang meratifikasi, namun memberikan beberapa pengecualian dan tidak mengadopsi penuh.

“Produk China jika keluar dia mengikuti regulasi FTCC, tapi di dalam negeri, mereka atur sendiri. Ini karena mereka punya kekuatan, sementara pemerintah daya tawarnya lemah,” tegasnya.

Penolakan juga disampaikan Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Mukhyir Hasan Hasibuan. Menurut Mukhyir, aksesi FCTC sama saja menegaskan bahwa industri hasil tembakau tidak diperlakukan sebagai industri prioritas nasional dan tidak dikategorikan sebagai komoditas strategis perkebunan.

Mukhyir sendiri sudah mengirimkan surat agar SBY tidak menandatangani FCTC. Pasalnya, pekerja pabrik rokok sangat rentan menjadi korban lantaran penurunan kesejahteraan akibat berbagai regulasi yang memberatkan industri.

Problem yang bakal muncul di tenaga kerja, mulai dari pengurangan pekerja hingga penutupan pabrik. Kalau ini terjadi, tentu PHK besar-besaran tidak bisa dielakkan.

“Tidak harus mengacu kepada peraturan internasional (FCTC). Indonesia telah memiliki berbagai aturan yang mengatur industri hasil tembakau (UU NMo 11 tahun 1995), UU No 26 tahun 2009, PP No 109 Tahun 2012,”katanya.

Salah satu yang memberatkan jika FCTC diberlakukan yakni tanaman cengkeh khas Indonesia akan tergusur. Rokok kretek merupakan produk budaya bangsa Indonesia yang menggunakan bahan tambahan cengkeh akan musnah. “Petani cengkeh dan pekerja rokok kretek akan menjadi korban FCTC. Indonesia tidak sama dengan negara lainnya dalam hal skala, kontribusi dan permasalahan tembakau lainnya,” pungkasnya.

sumber: www.neraca.co.id

 

8 Juta Penduduk Indonesia Konsumsi Air Tak Layak

Target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) mengenai air minum masih jauh dari sasaran. Delapan juta penduduk dicatat Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal (PDT) mendapatkan air minum dari sumber tak layak.

“Delapan juta penduduk mendapatkan air dari sumber tidak layak,” kata Asisten Deputi urusan Sumber Daya Kesehatan dari Kementerian Percepatan Daerah Tertinggal (PDT) Hanibal Hamidi dalam diskusi bertajuk “Daerah Tertinggal dalam Perspektif Negara Kesejahteraan” di Newseum Cafe, Jakarta, Selasa (30/7).

Pencapaian air minum layak secara nasional pada tahun 2010 masih 42,19% sementara target RPJMN seharusnya 68%. Sementara untuk air bersih tak hanya untuk minum, terdapat 13,08 rumah tangga (RT) belum menikmatinya. Hal ini khususnya terjadi di daerah-daerah tertinggal.

“Secara nasional target 2014 adalah 68%. Masih terdapat kesenjangan yang tinggi,” lagi kata dia.

Dia menambahkan, Kementerian PDT sendiri sedang mencoba menggiatkan perdesaan sehat dengan lima pilar di dalamnya. Capaian air minum layak dan air bersih menjadi salah satu pilar perdesaan sehat yang diharapkan bisa tercapai pada tahun 2014. Meski demikian kemajuan program RPJMN khusus untuk air ini tidak menunjukkan angka signifikan.

Selain air minum dan air bersih, empat pilar lainnya untuk mewujudkan perdesaan sehat di daerah tertinggal antara lain, ketersediaan dokter puskesmas, Keterseduaan bidan desa di seluruh daerah tertinggal, ketersediaan sanitasi dan kecukupan gizi khususnya untuk ibu hamil, menyusui dan anak.

“Rumah tangga yang punya sanitasi layak juga sangat rendah di desa tertinggal hanya 32,22 persen,” kata dia lagi.

Poin air bersih dan sanitasi ini menurutnya menjadi salah satu poin yang menjadi tantangan bagi pemerintah untuk segera direspon. Dengan pemenuhan yang lambat maka rencana pembangunan jangka menengah berpotensi tidak tercapai dari yang seharusnya.

sumber: www.beritasatu.com

 

STFI Siapkan Tenaga Terampil dan Profesional

Pendidikan bidang farmasi saat ini sedang tumbuh pesat, ditandai dengan berdirinya banyak sekolah baru, namun dengan spesifikasi yang hampir sama. Hingga saat ini di Indonesia terdapat lebih dari 60 institusi Perguruan Tinggi yang membuka program pendidikan farmasi S1 dengan berbagai akreditasi.

“Perguruan tinggi penyelenggara pendidikan farmasi saat ini dihadapkan pada tantangan untuk menghasilkan sarjana dengan kualitas baik dan terampil karena bidang ini menyangkut kualitas kesehatan masyarakat pada akhirnya. Seorang sarjana farmasi di Indonesia memang mendapatkan tuntutan yang sangat berat karena secara kurikulum belum mengalami spesifikasi, sehingga masih merupakan kurikulum farmasi umum yang mencakup banyak keahlian, meliputi produksi obat, proses pemastian mutu obat, penemuan dan pengembangan obat, distribusi, pelayanan kesehatan, sampai penjualan ke konsumen, dan bidang lain yang berkaitan di dalamnya,” tutur Syarif Hamdani Koodinator LPPM Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia (STFI) di temui di kampusnya Jln. Soekarno Hatta No. 354 – Bandung. Senin (29/7/2013).

Menurut Syarif, luasnya cakupan bidang farmasi mendorong perlunya pola pembelajaran yang komprehensif namun mendalam. “Sebagai konsekuensi, dinamika terhadap tantangan yang harus dihadapi, baik dalam skala lokal, nasional, maupun internasional, peningkatan keterampilan dan profesionalitas, bertumpu pada dunia pendidikan,” katanya.

Pola pendidikan yang ditunjang dengan praktikum masih merupakan pilihan kurikulum saat ini karena dinilai memiliki tingkat keberhasilan tinggi. “Teori dan praktikum merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, harus seimbang, dan keduanya mempunyai peran penting. Praktikum bukan hanya sebagai perwujudan teori semata, tapi menjadi tolak ukur pembuktian teori tersebut. Dengan pembekalan teoritis yang dipadu dengan latihan dan pembuktian di laboratorium diharapkan dapat melahirkan tenaga terampil yang siap pakai,” ujarnya.

Namun demikian, dengan cepatnya perkembangan teknologi yang dipakai pada proses produksi obat menjadi kendala lain untuk perguruan tinggi, berkaitan dengan biaya pengadaan peralatan yang perlu disesuaikan. “Tidak banyak perguruan tinggi di Indonesia yang mampu mengadaptasi dengan cepat perkembangan teknologi dalam bidang farmasi tidak terkecuali perguruan tinggi negeri. Namun begitu, perguruan tinggi di Indonesia berusaha semaksimal mungkin untuk merespon perkembangan teknologi yang terjadi,” ucapnya.

Salah satu perguruan tinggi bidang farmasi di kota Bandung yaitu STFI melakukan pendidikan secara teori dan pratikum berbasis pratikum mandiri ditunjang dengan peralatan laboratorium yang disesuaikan dengan industri untuk merespon perkembangan teknologi tersebut dan lulusannya pun siap pakai. “STFI melengkapi laboratoriumnya dengan instrumen yang terus ditingkatkan. disesuaikan dengan di lapangan pekerjaan. Contohnya instrumen yang dipakai untuk produksi dan pemastian mutu seperti terdapat di industry farmasi yaitu: Mesin cetak tablet, alat-alat uji kualitas tablet, kromatografi cair kinerja tinggi, spektrofotometer infra merah, Spektrofotometer UV-Vis, dan lainnya,” katanya.

Instrumen penunjang praktikum lain untuk laboratorium teknologi steril dan non steril, farmakologi, biologi farmasi, mikrobiologi juga terus ditingkatkan. “Dengan pembelajaran berbasis teoritis dan praktikum mandiri yang ditunjang instrument praktikum tersebut, sejak diselenggarakannya program studi strata-1 farmasi pada tahun 2001, STFI telah menghasilkan lebih dari 300 lulusan. Dari sejumlah lulusan tersebut, 90% lebih terserap di dunia kerja yang tersebar pada lembaga pemerintahan, industry manusia dan hewan, rumah sakit, apotek, klinik kesehatan dan kecantikan, pedagang besar farmasi, guru dan dosen, wirausaha, dan sebagian kecil pada bidang di luar farmasi.” ujarnya.

Menurut data kementerian kesehatan pada tahun 2013 ini bahkan masih dibutuhkan kurang lebih 33.000 tenaga kesehatan, 5.000 tenaga kesehatan di antaranya adalah tenaga farmasi. “Belum tercatat berapa banyak tenaga farmasi yang dibutuhkan industri, pedagang besar farmasi, dan lembaga lainnya. Ini merupakan sebuah pekerjaan rumah untuk perguruan tinggi farmasi di Indonesia untuk mencetak lulusan farmasi yang berkompeten sehingga dapat mengisi kekosongan tersebut,” katanya.(A-71/A-147)***

sumber: www.pikiran-rakyat.com

 

Indonesia Akan Gugat AS ke WTO

Indonesia kecewa atas ketidakpatuhan Amerika Serikat (AS) dalam kasus larangan rokok kretek. Berdasarkan rekomendasi Panel Sengketa WTO yang memenangkan gugatan Indonesia, Section 907 dari Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act menyebutkan batas AS melarang penjualan dan peredaran rokok kretek namun membebaskan rokok menthol jatuh pada Rabu lalu (24/7).

Pemerintah AS menyatakan telah mengambil langkah-langkah sesuai rekomendasi Panel Sengketa dengan menggelar kampanye bahaya rokok menthol. Namun Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo menyatakan kekecewaan atas sikap tersebut. “Indonesia sangat kecewa atas sikap Pemerintah AS yang menyatakan bahwa langkah tersebut sesuai dengan rekomendasi Panel Sengketa. Padahal, tetap terjadi perlakuan diskriminatif karena rokok kretek tetap dilarang, sementara rokok menthol tetap beredar dan diperjualbelikan,” kata Iman, akhir pekan kemarin.

Melalui pembuktian oleh Panel Sengketa WTO tahun 2012 lalu, AS dinyatakan melanggar Artikel 2.1 dari Perjanjian Technical Barriers to Trade (TBT) karena memberikan perlakuan diskriminatif terhadap rokok kretek dibandingkan rokok menthol yang telah dikonfirmasi oleh Panel WTO sebagai ‘like products’. Pemerintah AS menyatakan bahwa pihaknya kini gencar mengkampanyekan bahaya rokok menthol tanpa memberlakukan pelarangan terhadap rokok menthol, namun tetap melarang rokok kretek.

Hal ini merupakan tindakan yang diskriminatif dan melanggar disiplin WTO. Selain melanggar Artikel 2.1 dari Perjanjian TBT, kebijakan AS juga melanggar Artikel 2.12 dari Perjanjian yang sama karena tidak memberikan waktu sekurang-kurangnya enam bulan antara diterbitkannya kebijakan tersebut dengan waktu efektif implementasinya.

Penerapan kebijakan dimaksud juga melanggar Artikel 2.9.2 Perjanjian TBT yang mengharuskan dilakukannya notifikasi kepada semua anggota melalui Sekretariat WTO. “Cukup mengherankan bahwa AS yang selalu menuntut negara lain agar patuh pada disiplin dan perjanjian-perjanjian WTO kini tidak melakukan tindakan koreksi atas kebijakannya yang jelas-jelas melanggar ketentuan WTO. Kita tidak mempersalahkan bukti bahwa merokok itu tidak sehat bahkan berbahaya bagi kesehatan. Poin yang dipermasalahkan adalah dilarangnya rokok kretek, sementara rokok menthol dibebaskan. Hal ini mengesankan bahwa rokok kretek berbahaya bagi kesehatan, sedangkan rokok menthol tidak berbahaya bagi kesehatan,” kata Iman Pambagyo.

Contoh Buruk

Ketidakpatuhan AS terhadap rekomendasi Panel WTO ini merupakan contoh buruk. Oleh sebab itu, Indonesia akan tetap mempertahankan haknya dalam kasus ini dengan membawanya sekali lagi ke WTO untuk mendapatkan penyelesaian yang adil. Sebagai ekonomi dalam proses transisi, Indonesia telah bekerja keras menciptakan perekonomian berbasis aturan yang sesuai dengan komitmen internasional, termasuk di WTO.

“Sulit dipahami bahwa Pemerintah AS yang sering mempermasalahkan kebijakan negara lain sebagai tidak sesuai dengan disiplin WTO, kini justru mengabaikan kewajibannya yang juga diatur di WTO,” pungkas Iman Pambagyo.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan akan melanjutkan upaya hukum melalui WTO agar hak-hak Indonesia dihargai dan kepentingan Indonesia dilindungi.

Ketua Dewan Pembina Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Muhaimin Moefti berpendapat saat ini industri rokok dalam negeri semakin terdesak. Di satu sisi, industri rokok harus berhadapan dengan regulasi pemerintah lokal. Di sisi lain, Indonesia harus dihadapkan dengan regulasi dunia seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan WTO.

“Awalnya tujuan mereka mengendalikan industri rokok karena terkait bahaya kesehatan. Namun saat ini sudah bergeser menjadi pelarangan. Mereka ingin mematikan industri itu,” ucapnya. Padahal bagi Indonesia industri rokok sangat penting karena menyerap jutaan tenaga kerja. Berdasarkan catatan AMTI, saat in terdapat 2 juta petani tembakau, 12,5 juta petani cengkeh, dan 600 ribu pekerja pabrikan rokok.

sumber: www.neraca.co.id

 

Kemenkes Dinilai Rugikan Petani Tembakau

APTI menilai sikap Kementerian Kesehatan, yang memasukan draft akademik secara diam-diam ke DPR untuk ratifikasi FTCC, merupakan langkah yang tergesa-gesa.

Kementerian Kesehatan bersikukuh akan meratifikasi kerangka kerja pengendalian tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dan memberlakukannya pada 2014. Namun, upaya itu mendapatkan penolakan keras dari kalangan petani dan pekerja di industri tembakau.

Ketua Asosiasi Petani Tembakau (APTI) Nurtantio Wisnu Brata mengatakan, petani tembakau akan dirugikan dengan rencana dalam FTCC untuk mendiversifikasi atau pengalihan tanaman tersebut.

Pasalnya, lahan khusus tembakau tidak bisa ditanami tanaman lain. “Tanah yang sekarang di sentra-sentra tembakau itu karunia Tuhan, diberi keunggulan untuk tanaman tembakau. Jika diganti dengan tanaman lain, kualitasnya tidak akan sama bagusnya dengan tembakau,” ujar Nurtantio di Jakarta sebagaimana rilis yang diterima INILAH.COM, Minggu (28/7/2013).

Dalam FCTC tersebut akan diciptakan suatu standarisasi produk tembakau dengan yang ada di luar negeri. Padahal, produk tembakau di Indonesia memiliki ciri khas sendiri yang tidak bisa disamakan. Jika ada standarisasi, kata dia, sementara perlindungan pemerintah tak ada, maka produk tembakau lokal makin tersisih.

“Jika produk yang dihasilkan harus sama dengan di luar negeri, berarti tembakau-tembakau lokal tidak bisa jadi bahan baku rokok dan produk turunan lain. Itu kita belum bicara pengaturan iklan, promosi, CSR dan lain-lain,” jelasnya.

Nurtianto menambahkan seharusnya pemerintah membuat aturan rokok yang benar-benar disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat di Indonesia. “FCTC bisa saja sesuai dengan kondisi di luar negeri belum tentu akan cocok di Indonesia,” ucap Nurtianto.

Sebelumnya, petani tembakau Indonesia diestimasi akan menderita kerugian hingga mencapai Rp10 triliun. Itu akan jadi kenyataan jika pemerintah meratifikasi kerangka kerja pengendalian tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

“Jika memang peraturan ini benar-benar diresmikan pemerintah, akan ada 100.000 ton cengkeh atau tembakau yang bakal terlantar atau senilai hampir Rp10 triliun yang akan terbuang,” kata Bendahara Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) I Ketut Budiman. [jin]

sumber: ekonomi.inilah.com