Kemenkes Segera Distribusikan 500 Ton MP ASI

Jakarta, PKMK. Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) segera mendistribusikan makanan pengganti air susu ibu (MP ASI) sebanyak 500 ton ke sejumlah daerah. Kuota untuk tiap daerah mendapatkan 9 ton. Hal itu dijelaskan Supriyantoro, sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI di Jakarta (11/7/2013). Sejumlah barang ataupun program yang lain pun segera didistribusikan. Beberapa diantaranya, 746 buah mesin fogging, 90 buah kendaraan ambulans, 140 set peralatan ASI eksklusif di tempat kerja, 756 set bidan kit, 70 set poned kit. Di samping itu, ada 1.800 ton pemberian makanan tambahan ibu hamil kekurangan energi kronis (PMT bumil KEK), serta 882 ton makanan tambahan untuk program penyediaan makanan tambahan anak sekolah (PMT AS).

Dalam rapat yang dipimpin Irgan Chairil Mahfuz, dari Partai Persatuan Pembangunan, Komisi IX DPR RI telah disetujui pendistribusian program ataupun barang tersebut. Sekaligus, Komisi IX mengesahkan alokasi anggaran Kemenkes setelah adanya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013. Itu mencakup anggaran untuk Unit Eselon I Kemenkes, Sekretariat Jenderal Kemenkes, Direktorat Jenderal Bina Gizi Kemenkes, Badan PPSDM Kemenkes, dan lain-lain. Disetujui pula alokasi pemanfaatan anggaran tambahan non-pendidikan senilai Rp 1,9 triliun, alokasi pemanfaatan anggaran reward senilai Rp 22,17 miliar, dan lain-lain. “Kami juga meminta Kemenkes membuat penyesuaian terhadap program dan kegiatan APBNP 2013 sesuai rapat hari ini,” ucap Irgan.

 

Wamenkeu: Ekonomi Indonesia Dukung Pelaksanaan Jamkesnas

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Mahendra Siregar menyatakan bahwa keadaan ekonomi Indonesia yang makin berimbang siap mendukung pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesnas) yang akan berlaku per 1 Januari 2014.

“Sebenarnya bagi Indonesia, saat inilah masa yang tepat untuk masuk ke dalam sistem universal health care (layanan kesehatan menyeluruh). Hal itu dilihat dari sisi bonus demografi dan kekuatan ekonomi yang makin berimbang,” kata Mahendra di Jakarta, Rabu (10/7).

Pernyataan tersebut dia sampaikan dalam rapat kerja (raker) dengan Menteri Kesehatan, Bappenas, dan Komisi IX DPR RI untuk membahas kesiapan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Menurut Mahendra, kesiapan ekonomi nasional untuk mendukung pelaksanaan Jamkesnas itu terlihat dari kemampuan perekonomian dalam negeri, mulai dari segi produktivitas hingga segi konsumsi.

“Dengan demikian, apa yang kita cita-citakan selama ini untuk memperbaiki kualitas hidup sumber daya manusia di Indonesia melalui layanan kesehatan yang baik dapat tercapai. Tentunya selaras dengan perkembangan ekonomi yang ada,” ujarnya.

Namun, kata Wamenkeu, tidak bisa dipungkiri bahwa sistem universal health care bila dilihat dari sisi pengelolaan fiskal, ada yang berhasil dikelola dengan baik oleh suatu negara, tetapi ada juga yang kurang berhasil. “Bahkan, saat ini kita saksikan banyak sistem universal health care yang justru menjadi persoalan tidak terkendali dan menciptakan krisis keungan di berbagai negara,” katanya.

Oleh karena itu, dia berharap agar pemerintah dapat mencegah agar Indonesia tidak ikut masuk dalam persoalan fiskal yang berkelanjutan melalui pembatasan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang kemudian akan dialihkan untuk premi jaminan kesehatan.

“Ini juga yang kami pegang bedasarkan raker 13 Maret, ada pengurangan subsidi BBM untuk dialihkan ke anggaran premi penerima bantuan iuran (PBI). Maka, iuran untuk PBI pun meningkat dari Rp 15.500 menjadi Rp 19.225 per bulan,” tuturnya.

sumber:  www.republika.co.id

 

Anggaran minim, Kemenkeu pangkas jumlah peserta BPJS kesehatan

Kementerian keuangan memutuskan untuk memangkas jumlah peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan menjadi sebanyak 86,4 juta jiwa. Padahal, DPR-RI meminta jumlah peserta BPJS kesehatan harus sebanyak 96,7 juta jiwa, hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang dibuat Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2011.

Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar beralasan, pemangkasan itu dilakukan setelah pihaknya menghitung kemampuan anggaran negara. Selain itu, pemerintah juga telah memiliki program lainnya yang juga bertujuan untuk melindungi dan membantu kehidupan rakyat miskin.

“Ada beban fiskal yang mesti dijaga pemerintah ke depan. Untuk membantu penduduk miskin lainnya, maka ada program-program lain yang dibagi dalam bentuk BLSM dan raskin,” ujar dia dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (10/7).

Menurutnya, sebanyak 86,4 juta jiwa itu diambil dari data program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) sehingga lebih tepat untuk diikutsertakan dalam BPJS kesehatan Adapun PPLH yang dilakukan BPS terbagi menjadi tiga kategori, yaitu, penduduk miskin, hampir miskin, dan sangat miskin. “Survey terakhir mencakup 96,7 juta jiwa,” katanya.

Anggota Komisi IX Endang Agustini Syarwan Hamid terus meminta penjelasan Kemenkeu yang memangkas jumlah peserta BPJS kesehatan menjadi sebanyak 86,4 juta. “Saya masih perlu jawaban dari Kementerian Keuangan. Padahal data penduduk miskin yang tercatat adalah sebesar 96,7 juta jiwa,” kata dia.

sumber:  www.merdeka.com

 

WHO Minta Masyarakat Dunia Gencarkan Perang Lawan Obesitas

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mendesak negara anggota agar melakukan upaya gencar demi memerangi kegemukan dan kelebihan berat agar penyakit yang terkait dengan kondisi ini makin berkurang.

Wakil dari 48 negara dalam konferensi menteri Eropa mengenai gizi dan penyakit tak menular menandatangani Deklarasi Wina dalam pertemuan dua hari.

“Kami menegaskan kembali komitmen kami dalam konteks Eropa dan gagasan global guna memerangi faktor risiko utama bagi penyakit tak menular, terutama makanan tidak sehat dan tidak aktif secara fisik,” kata deklarasi tersebut.

Berbagai tindakan yang disarankan meliputi pengurangan konsumsi lemak, gula dan garam pada makanan serta peningkatan kegiatan fisik.

Melalui kegiatan itu kematian pradini akibat penyakit yang tidak menular diharapkan bisa dikurangi sampai 25 persen paling lambat pada 2025.

Menteri Kesehatan Austria Alois Stoger mengatakan ia gembira dengan konferensi tersebut.

“WHO tampil dengan strategis gizi bersama di wilayah Eropa untuk pertama kali dan sekarang terserah negara masing-masing untuk melaksanakannya, sesuatu yang sudah dicapai oleh Austria,” katanya seperti dikutip dari Xinhua, Senin (8/7/2013).

Makanan lezat dan bergizi adalah kunci kesehatan yang berkualitas. Namun hari ini, makanan yang buruk, kelebihan berat dan kegemukan menjadi bagian terbesar penyakit tak menular; delapan dari 10 kematian di wilayah Eropa.

Menteri kesehatan, ahli dan wakil masyarakat sipil serta organisasi non-pemerintah bertemu di Wina pada 4-5 Juli 2013 untuk membahas kebijakan mengenai makanan, gizi dan kegiatan fisik untuk menangani masalah penyakit tak menular.

Guna mencapai kesetaraan yang lebih besar, konferensi WHO di Wina membahas kebijakan mengenai penanganan kegemukan yang bersumber dari ketidak-setaraan di masyarakat.

sumber:  health.liputan6.com

 

Total Anggaran Kesehatan 2014 Capai 37 Persen APBN

10jul

10julJakarta, PKMK. Total alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) RI untuk keseluruhan sektor kesehatan diperkirakan mencapai 37 persen di tahun 2014 atau senilai Rp 67,5 triliun. Hal ini diungkapkan Mahendra Siregar, Wakil Menteri Keuangan RI, di Jakarta (10/7/2013). Mahendra menjelaskan, anggaran tersebut tidak hanya ada di Kementerian Kesehatan RI yang direncanakan sekitar Rp 25 triliun. Ada pula anggaran subdisi Penerima Bantuan Iuran (PBI) Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan sebesar Rp 19-an triliun, anggaran untuk Kementerian Negara RI lain yang masih terkait kesehatan dan lain-lain.

Anggaran senilai Rp 67,5 triliun tersebut masih lebih kecil daripada total subsidi BBM di tahun 2013. “Untuk tahun 2013, subsidi BBM bernilai sekitar Rp 300 triliun,” Mahendra mengatakan. Pengurangan subsidi BBM di tahun 2013, dialokasikan kepada kenaikan PBI di tahun 2014. “Jadi, pengurangan subsidi BBM membuat kenaikan PBI dari Rp 15.000-an per orang per bulan menjadi Rp 19.000-an per orang per bulan,” kata dia.

Sementara itu, Rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi Kedokteran disahkan di pengambilan keputusan tingkat pertama di Komisi X DPR RI (9/7/2013). “Selanjutnya, RUU Pendidikan Tinggi Kedokteran akan dibawa ke pengambilan keputusan tingkat kedua. Ke Sidang Paripurna DPR RI pekan ini untuk disahkan sebagai undang-undang,” kata Pimpinan Sidang, Syamsul Bachri. Adapun Menteri Pendidikan Nasional RI, Muhammad Nuh, mengatakan bahwa regulasi teknis dari Undang-undang Pendidikan Tinggi Kedokteran akan dibuat secepat mungkin. Selambatnya satu tahun setelah undang-undang itu disahkan, Peraturan Menteri-nya akan sudah ada,” kata Menteri Muhammad Nuh.

 

Industri Rokok Sponsori RUU Pertembakauan

USIANYA memang tak muda lagi, namun semangatnya masih terlihat kuat. Dokter kelahiran Batang, Jawa Tengah, 13 Juli 1939 itu, bernama Kartono Mohamad, cukup dikenal di kalangan dunia aktivis.

Setelah tak lagi menjadi Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bukan berarti Kartono pensiun. Justru kegiatannya semakin padat. Kini, Kartono yang dikenal hobi menulis ini, sibuk dengan dunia lamanya, yakni aktivis.

Satu lagi yang tak berubah dari Kartono adalah kepeduliannya dalam bidang kesehatan. Terutama perang terhadap industri rokok yang dinilai mengancam masa depan generasi muda.

Saat ditemui Iwan Purwantono dari InilahREVIEW di kantor Indonesia Tobacco Control Network di Jalan Benda, Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu, dia menjelaskan banyak hal soal industri rokok.

Kini, Kartono menjabat Dewan Penasehat Komnas Pengendalian Tembakau. Dia juga tercatat sebagai Ketua Indonesia Tobacco Control Network. Berikut petikan wawancara dengan Kartono:

Tentang pembahasan RUU Pertembakauan yang saat ini sedang dibahas di DPR, bagaimana Anda melihatnya? Kabarnya ada dugaan kongkalikong. Menurut Anda seperti apa?

Kami pernah melaporkan ke BK (Badan Kehormatan) DPR tentang RUU Pertembakauan. Kami punya keyakinan, RUU tersebut disponsori industri rokok. Agar bisa tembus ke DPR, mereka (industri rokok) menggunakan jasa front liner—istilah untuk broker alias calo.

Di mana letak keanehannya?

Menurut prosedur, masuknya RUU Pertembakauan, sangat tak lazim. Berdasarkan undang-undang yang berlaku di parlemen, tiap usulan RUU yang akan dibahas, harus dilengkapi dengan naskah akademik. Setelah ada naskah akademik, barulah disusun RUU untuk dibahas di DPR.

Apakah Anda punya bukti tentang adanya sponsor dalam proses pengajuan RUU Pertembakauan?

Tentu saja. Kami berani mempertanggungjawabkan. Kami punya bukti-bukti. Setidaknya indikasinya cukup kuat. Kalau tidak ada, kami tidak akan menduga-duga dong. Usulan RUU Pertembakauan masuk pada Desember 2012. Tanpa ada naskah akademik, kok Baleg (Badan Legislatif) DPR meloloskan begitu saja. Bahkan dimasukkan dalam Prolegnas (program legislasi nasional). Prosesnya begitu cepat dan kilat sekali.

Sebelumnya, Dr Hakim dari Komnas Pengendalian Tembakau mengusulkan RUU Pengendalian Tembakau. Namun dimatikan. Muncullah RUU Pertembakauan. Artinya apa, masuknya RUU Pertembakauan itu illegal.

Siapa yang Anda gugat dalam hal ini?

Pimpinan Baleg DPR-lah. Dalam kasus ini, Baleg DPR telah menyalahi aturan yang dibuat oleh parlemen. Dalam sidang paripurna, RUU Pertembakauan juga diputus untuk ditunda. Namun Baleg justru melanjutkan pembahasan. Makanya kami mengadukan pimpinan Baleg ke Badan Kehormatan DPR.

Dari ketidakwajaran itu, saya menilai ada upaya memperkuat posisi industri rokok. Substansi RUU Pertembakauan justru memberikan kekuasaan besar kepada industri rokok. Sehingga bisa menguasai jalur perdagangan tembakau dan sebagainya. RUU Pertembakuan kalau disahkan menjadi undang-undang akan membatalkan UU Kesehatan serta PP No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.

Sepertinya Anda tidak sepakat dengan pertumbuhan industri rokok nasional yang begitu cepat?

Industri rokok di Indonesia membunuh rakyat. Kenapa saya katakan begitu? Pemilik industri rokok di tanah air adalah orang terkaya di dunia. Sementara yang menikmati rokok kebanyakan orang miskin. Dan, kalau terkena dampak rokok, orang miskin itu semakin miskin.

Bukankah penikmat rokok kebanyakan kelas menengah ke atas?

Siapa bilang? Prevalensi perokok terus meningkat dari 27% (1995) menjadi 31,5% (2001), 34,4% (2004) dan 34,7% (2010). Ironisnya, perokok dari kelompok miskin, kenaikannya sangat signifikan. Yakni, tiga dari empat keluarga di Indonesia mengalami peningkatan pengeluaran untuk membeli rokok. Untuk keluarga miskin 12%, sedangkan keluarga kaya 7%.

Apa artinya itu?

Itu berarti orang miskin lebih memilih makan seadanya daripada tidak merokok. Beli beras atau lauk pauk bisa ditunda, tapi kalau untuk beli rokok, harus tersedia. Ini kan menyesatkan. Data tadi itu hasil riset dari Kemenkes dengan Global Youth Tobacco Survey (GYTS) dan Global Adult Tobacco Survey (GATS).

Survei nasional sosial ekonomi pada 2006 menyebut bahwa proporsi belanja rokok keluarga miskin menempati urutan kedua setelah beras. Yakni sebesar 12%, sedangkan beras 22%. Artinya apa, penghasilan orang miskin memang banyak tersita untuk belanja rokok.

Sementara, pemilik pabrik rokok menjadi kaya raya dari keringat orang miskin. Ketika industri rokok nasional sudah banyak dikuasai asing, semakin celaka saja. Uangnya rakyat Indonesia dibawa ke luar negeri.

Selama ini, pendapatan dari cukai rokok membantu mengisi kas negara. Dari sini juga dialokasikan untuk pembangunan. Komentar Anda?

Misalnya saja, tahun ini pemerintah menargetkan pemasukan sebesar Rp 90 triliun dari cukai rokok. Sangat kecil dibandingkan kerugian yang harus ditanggung rakyat. Biaya rumah sakit atau pengobatan karena rokok. Hitung-hitungan Kemenkes biayanya mencapai Rp 250 triliun.

Bukankah pendapatan cukai rokok bergantung pertumbuhan industri rokok. Ketika industrinya tidak maju, pendapatan negara berkurang?

Harus dipahami bahwa cukai rokok itu, uangnya bukan berasal dari industri rokok. Tetapi dibayar oleh pembeli rokok. Artinya, yang menyumbang cukai rokok itu, bukan industri rokok. Pemahaman ini yang mesti diluruskan.

Faktor yang tak kalah pentingnya, industri rokok saat ini, mulai menyasar remaja dan anak di bawah umur. Ini membahayakan karena bisa merusak generasi muda kita. Sayangnya, pemerintah seakan tidak sadar akan hal ini.

Analoginya sederhana saja. Penjual bakso atau makanan mengandung borax saja, bisa masuk penjara. Industri rokok yang jelas-jelas berisi racun, dibiarkan bebas. Harusnya dibatasi atau dikendalikan.

Kalau ditimbang banyak mudaratnya, industri rokok sebaiknya ditutup saja?

Untuk saat ini, tidak bisa begitu. Karena mereka sudah terlanjur besar. Akan menjadi masalah besar kalau ditutup. Saya tidak bicara soal menutup. Kalau mereka mau mati sendiri, silakan. Saya harap pemerintah sadar akan ancaman industri rokok yang bisa meracuni rakyat.

Kalau tidak ditutup, pengaturannya harus seperti apa?

Tidak boleh beriklan, penjualannya dibatasi secara ketat. Tidak boleh memasarkan kepada anak-anak, remaja dan perempuan. Susu formula saja dibatasi agar tidak mengganggu program ASI (Air Susu Ibu), kenapa rokok dibiarkan bebas?

Bagaimana dengan nasib petani tembakau apabila pembatasan terhadap industri rokok diberlakukan?

Perkembangan terakhir, industri rokok mulai mengandalkan tembakau impor asal China dan India. Jumlah impornya sampai di atas 50% dari kebutuhan bahan baku. Kalau industri rokok dibatasi, yang merugi adalah importir, bukan petani. Justru untuk mendukung majunya petani tembakau, pemerintah harus menutup izin impor tembakau. Jadi, gerakan antirokok tidak sedikitpun berniat untuk menghancurkan petani tembakau.

Selanjutnya, pemerintah mendorong adanya diversifikasi untuk tembakau. Saat ini, tembakau bukan hanya menjadi bahan utama rokok. Namun bisa pula menjadi bahan pestisida atau parfum. Perkembangan terbaru, protein yang terkandung dalam tembakau dijadikan bahan dalam rekayasa genetik obat. Saat ini tengah dikembangkan oleh para ahli di Jerman dan Jepang.

sumber:  www.indonesiatobacco.com

 

Pekerja Tuntut Peningkatan Layanan

Wakil Ketua Umum DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Prof. DR. Mathias Tambing menuntut peningkatan pelayanan jaminan kesehatan.

Hal ini didasari atas adanya kesepakatan Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional (LKS Tripnas) tentang besaran iuran jaminan kesehatan sebesar 3 persen yang berlaku mulai 1 Januari 2014.

Kesepakatan LKS Tripnas telah ditandatangani sebelumnya. Yakni pemerintah, pengusaha dan unsur pekerja, ditandatangani oleh Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenakertrnas Irianto Simbolon (wakil pemerintah), Haryadi B. Sukamdani (wakil organisasi pengusaha), dan Prof. Mathias Tambing (wakil serikat pekerja).

Menurut Mathias, ini penting mengingat mulai 1 Januari 2014, pelayanan jaminan kesehatan bagi pekerja yang selama ini dilaksanakan oleh PT Jamsostek (Persero) akan dialihkan ke PT Askes yang bertransformasi menjadi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan.

Untuk itu, para pekerja menuntut kualitas pelayanan kesehatan oleh BPJS Kesehatan makin meningkat, tidak menjadi lebih buruk dari pelayanan yang dilaksanakan PT Jamsostek. Juga tidak terjadi diskriminasi dalam pelayanan kepada pekerja dan keluarganya.

Menurutnya, kesepakatan iuran jaminan kesehatan menjadi 3 persen yang akan dibayar oleh pengusaha itu meningkat dibanding iuran yang selama ini dibayarkan ke PT Jamsostek sebesar 2 persen.

Kesepakatan itu merupakan batas atas upah pekerja sebagai dasar perhitungan iuran jaminan kesehatan sebesar Rp2 juta sebulan.

Dalam kesepakatan itu wakil pekerja memberi catatan. Bagi pekerja yang upahnya di bawah upah minimum provinsi atau kabupaten/kota, maka iurannya akan disubsidi oleh pemerintah sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI). Pemerintah sendiri telah menaikkan besaran PBI yang semula Rp19.225 menjadi Rp22.500 per orang.

Mathias yang juga Wakil Ketua LKS Tripnas dari wakil pekerja menyatakan, batas upah itu akan berlaku lima tahun dan setelah itu akan ditinjau kembali secara bersama antara organisasi pengusaha dengan unsur serikat. pekerja.

Besaran iuran 3 persen dari upah pekerja yang seluruhnya ditanggung oleh pengusaha itu akan berlaku mulai 1 Januari 2014 sampai 30 Juni 2015.

Mulai 1 Juli 2015 dan seterusnya, lanjut Mathias Tambing, iuran jaminan kesehatan sebesar 3 persen itu mungkin akan ditanggung bersama oleh pemberi kerja (pengusaha) dengan pekerja.

Namun, bagaimana komposisinya, nanti akan dibahas oleh pengusaha dengan pekerja. Kesepakatan itu akan diputuskan paling lambat tiga bulan sebelum 1 Juli 2015. “Selama ini, kaum pekerja minta agar iuran jaminan kesehatan tetap ditanggung oleh pengusaha.”

sumber:  www.harianterbit.com

 

Pekerja Inginkan Layanan Kesehatan Terbaik pada 2014

Kalangan pekerja mengingatkan otoritas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan agar tidak diskriminatif dan memberikan pelayanan terbaik kepada pekerja dan keluarganya mulai 1 Januari 2014 nanti.

“Pekerja menuntut kualitas pelayanan kesehatan yang lebih baik karena iurannya sudah dinaikkan tiga persen dibandingkan saat ini,” kata Wakil Ketua Umum DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Mathias Tambing dalam siaran persnya yang diterima di Jakarta, Sabtu (6/7).

Dikatakannya, kalau ternyata malah lebih buruk dari pelayanan PT Jamsostek selama ini atau terjadi diskriminasi maka pekerja akan menuntut pertanggungjawaban pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan.

Pernyataan Tambing itu terkait dengan kesepakatan Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional (LKS Tripnas) tentang besaran iuran jaminan kesehatan yang naik tiga persen mulai 1 Januari 2014.

Kesepakatan LKS Tripnas itu ditandatangani Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenakertrnas Irianto Simbolon (wakil pemerintah), Haryadi B. Sukamdani (wakil organisasi pengusaha), dan Tambing (wakil serikat pekerja) di Jakarta, Kamis (4/7).

Tambing menjelaskan kesepakatan iuran jaminan kesehatan menjadi tiga persen yang akan dibayar pengusaha itu meningkat dibanding iuran yang selama ini dibayarkan ke PT Jamsostek sebesar dua persen.

Kesepakatan itu merupakan batas atas upah pekerja sebagai dasar perhitungan iuran jaminan kesehatan sebesar Rp2 juta sebulan.

Dalam kesepakatan itu wakil pekerja memberi catatan. Bagi pekerja yang upahnya di bawah upah minimum provinsi atau kabupaten/kota, maka iurannya akan disubsidi oleh pemerintah sebagai peserta penerima bantuan iuran (PBI). Pemerintah telah menaikkan besaran PBI yang semula Rp19.225 menjadi Rp22.500 per orang.

Batas upah itu akan berlaku lima tahun dan setelah itu akan ditinjau kembali secara bersama antara organisasi pengusaha dengan unsur serikat pekerja. Besaran iuran tiga persen dari upah pekerja yang seluruhnya ditanggung oleh pengusaha itu akan berlaku mulai 1 Januari 2014 sampai 30 Juni 2015.

Mulai 1 Juli 2015 dan seterusnya, kata Tambing, iuran jaminan kesehatan sebesar tiga persen itu mungkin akan ditanggung bersama oleh pemberi kerja (pengusaha) dengan pekerja. Namun, bagaimana komposisinya, nanti akan dibahas oleh pengusaha dengan pekerja.

Kesepakatan itu akan diputuskan paling lambat tiga bulan sebelum 1 Juli 2015. “Selama ini, kaum pekerja minta agar iuran jaminan kesehatan tetap ditanggung oleh pengusaha,” ujarnya.

Selama jangka waktu 1,5 tahun ini, pengusaha dan pekerja akan mengevaluasi kualitas pelayanan jaminan kesehatan yang dilakukan oleh PT Askes yang telah berubah menjadi BPJS Kesehatan.

Dalam masa 1,5 tahun itu, para pekerja sangat mengharapkan pelayanan jaminan kesehatan lebih baik.

“Bila pelayanannya lebih buruk, kita akan minta pertanggungjawaban pemerintah yang menunjuk PT Askes sebagai BPJS Kesehatan. Bahkan, kita akan melakukan demo menuntut agar pelayanan meningkat dari yang ada sekarang,” katanya.

sumber:  www.beritasatu.com

 

WHO Adakan Pertemuan Tentang Virus Korona

Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) akan mengadakan pertemuan para pakar darurat internasional untuk mencari cara-cara bagaimana menangani MERS-CoV, penyakit baru seperti penyakit pneumonia atau radang paru-paru yang disebabkan virus korona yang terutama merebak di Timur Tengah.

WHO melaporkan penyakit itu hingga kini telah mengakibatkan 42 orang meninggal dari 79 orang yang terjangkit.

Ini baru untuk kedua kalinya WHO mengadakan pertemuan komite darurat sejak Peraturan Kesehatan Internasional dijalankan 2005. Pertemuan pertama diadakan 2009 ketika terjadi wabah flu burung H1N1.

Para anggota Komite Darurat adalah para ahli internasional yang independen di bidang-bidang seperti pengawasan penyakit, virologi atau ilmu mengenai virus, perkembangan vaksin dan khususnya virus korona.

Asisten Direktur Jenderal Keamanan Kesehatan dan Lingkungan, Keiji Fukuda mengatakan, tidak banyak yang diketahui tentang penyakit itu. Katanya, tidak ada yang tahu bagaimana orang terjangkit penyakit itu, apakah terpapar hewan atau ada faktor-faktor lingkungan lain yang menjadi penyebab penyebaran penyakit itu.

Dengan semua ketidakpastian seputar virus korona itu, katanya maka diputuskan untuk diadakan pembicaraan dalam komite darurat, supaya WHO dan negara-negara bisa siap menghadapi kemungkinan apapun dan di manapun virus ini menyebar.

“Setelah komite itu merasa cukup kuat, kami akan menanyakan kepada mereka apakah mereka rasa keadaan sekarang ini merupakan keadaan darurat yang memprihatinkan dunia internasional,” ujarnya.

“Sekarang, kami lihat pola yang tetap penyakit ini. Kita tidak berada di tengah-tengah kejadian gawat sekarang. Tidak ada keadaan darurat terkait Middle East Respiratory Syndrome (MERS). Tetapi, ada baiknya untuk melakukan apa yang bisa kita lakukan untuk siap menghadapinya.”

Penderita virus korona telah dilaporkan terdapat di Yordania, Qatar, Arab Saudi dan Emirat Arab. Arab Saudi adalah yang paling parah dilanda penyakit ini. Penyakit itu juga berjangkit di Tunisia, Perancis, Jerman, Italia dan Inggris, menjangkiti orang-orang yang bepergian ke Timur Tengah.

Virus korona mengakibatkan tingkat kematian yang tinggi, yaitu 60 persen dan orang yang menderita penyakit pernafasan parah dianjurkan untuk pergi ke dokter.

Organisasi Kesehatan Sedunia tidak mengeluarkan larangan bepergian ke negara-negara yang terkena wabah virus korona, tetapi minta orang-orang agar tetap waspada, khususnya para jemaah yang berencana pergi ke Arab Saudi untuk menjalankan ibadah haji.

sumber:  www.voaindonesia.com

 

Prof Dali: Kualitas Perawat dan Dokter Masih Timpang

Guru Besar Universitas Hasanuddin, Prof Dali Amiruddin, mengaku cukup prihatin dengan kondisi dunia pelayanan kesehatan di Indonesia saat ini.

Keprihatinan itu tertuju pada ketimpangan kualitas dan kapabilitas para dokter dengan perawat yang ada.

Padahal, menurut pakar kesehatan kulit dan kelamin ini, kualitas SDM dokter yang selaras dan sejalan dengan kapabilitas perawat, menjadi penentu kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan.

“Semua tahu, dokter itukan tidak merawat. Hanya menentukan penanganan obat bagi sang pasien. Nah yang selanjutnya melakukan perawatan itu perawat. Di sinilah pentingnya kesejajaran pengetahuan antara perawat dan dokter,” kata Dali, di ruang kerjanya, akhir pekan ini.

Dali menjelaskan, salah satu cara untuk meningkatkan kualitas perawat di Indonesia, adalah dengan mendorong lahirnya fakultas ilmu keperawatan baru di sejumlah perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Setelah lahir perawat andal dari perguruan tinggi itu, otomatis kualitas pelayanan kesehatan ikut membaik.

“Banyak perawat yang ternyata bekerja atas kebiasaan saja. Misalnya, karena melihat dokter kerap memperlakukan orang dengan satu tindakan, lalu ikut melakukan tindakan serupa. Tapi saat ditanya alasannya, si perawat ternyata melakukannya bukan karena paham, tapi karena melihat dan meniru dokter saja,” sambung Dali.

Dali mengakui, para perawat yang berkualitas lebih banyak ditemui di rumah sakit-rumah sakit yang memiliki standar pelayanan baik saja. Tapi secara umum, masih sangat kurang. Dali juga menduga, warga Indonesia yang memilih ramai-ramai berobat ke luar negeri rata-rata karena merasa kurang mendapat pelayanan perawatan yang baik.

“Padahal, sebenarnya kualitas ilmu para ahli yang ada di Indonesia hampir tidak jauh berbeda. Ilmunya sama, hanya penanganan pada pasien yang biasanya berbeda,” tegas Dali Amiruddin. (ysd)

sumber:  www.fajar.co.id