Jelang SJSN 2014, Kemenkes Siapkan Ribuan Fasilitas Kesehatan

Dalam persiapan diberlakukannya Sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang jatuh pada 1 Januari 2014, berkat arahan dan dukungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, telah disiapkan fasilitas kesehatan yang kurang lebih merata agar dapat dijangkau dengan pasien yang memerlukannya.

Demikianlah yang disampaikan langsung oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Dr. Nasfsiah Mboi. SpA,M.P.H, dalam kata sambutan di acara ‘Peresmian Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM) Kirana’ di RSCM Kirana.

“Yaitu, 9581 Puskesmas, termasuk Puskesmas dengan fasilitas perawatan rawat inap dan 2.138 rumah sakit di Indonesia,” ujar Nafsiah, di RSCM Kirana, Kamis (4/7/2013)

Disamping itu, Kementerian Kesehatan telah menyiapkan 110 ribu orang dokter dan dokter spesialis, 23 ribu orang dokter gigi, 296 ribu perawat, dan 136 ribu bidan.

“Termasuk di antaranya tenaga kesehatan yang ditempatkan di daerah terpencil, kepulauan dan perbatasan, untuk menjamin pemerataan,” tambah Nafsiah.

Kualitas pelayanan kesehatan pun terus menerus ditingkatkan oleh Kementerian Kesehatan. Menurut Nafsiah, melalui ini pula diharapkan RSCM Kirana dan Shangli dapat dijadikan contoh oleh rumah sakit lainnya.

(sumber: health.liputan6.com)

 

Mencari Kesembuhan sampai ke Negeri China

Bagdja Widjaja (70) menjalani perawatan akibat tumor tonsil kanan yang telah menyebar ke organ hati. Ia tak merasakan sakit meski oleh sejumlah rumah sakit di dalam dan luar negeri dirinya dinyatakan menderita kanker stadium lanjut. Bahkan, dia masih bisa mengendarai truk ekspedisi yang menjadi usahanya di Cirebon, Jawa Barat.

Hingga beberapa waktu lalu, dia merasakan keanehan. Dahaknya disertai bercak merah atau coklat darah. Bagdja diyakinkan koleganya bahwa hal itu merupakan gejala kanker.

“Awalnya saya sangsi karena tidak ada rasa sakit. Sejak usia 10 tahun, saya rajin bangun tidur langsung minum air putih 1 liter. Berenang 15 putaran saja kuat. Narik truk juga kuat. Kok dibilang kanker,” kata Bagdja yang ditemani istrinya, Susinawati (66), di Rumah Sakit Tumor Nanyang, Guangzhou, China, pertengahan Mei 2013.

Pola hidup sehat lain, Susinawati menuturkan, Bagdja tidak merokok atau minum minuman keras. Hanya saja, pengusaha ekspedisi ini tidak menyukai sayur. “Ada sayur sedikit saja di piringnya, ia marah,” kata Susinawati.

Penasaran, Bagdja memeriksakan diri. Rumah sakit di Semarang, Jakarta, hingga Singapura telah disambangi. Semuanya mendiagnosis Bagdja kena kanker tonsil kanan (right tonsil carcinoma) stadium lanjut.

Bahkan, di Semarang, dia sempat membuat janji dengan tim medis untuk menjalani kemoterapi. “Pagi, saat mau berangkat ke Semarang untuk menjalani kemoterapi, saya putuskan tidak berangkat. Saya memikirkan, kalau tubuh dikemoterapi, lalu sel-sel yang sehat bagaimana nasibnya,” katanya.

Kemudian, Bagdja memutuskan berobat ke China atas rekomendasi anaknya. Hasil pemeriksaan dokter China sama, kanker tonsil bagian kanan stadium lanjut.

Rekomendasi tim dokter, dia disarankan menjalani dua fase pengobatan. Pertama, pengangkatan tumor yang berdiameter 6-8 sentimeter. Kedua, biotargeting dengan radiasi mikro. Setelah tumor diangkat, pengobatan dilanjutkan dengan radiasi sebanyak 32 kali.

Buah dan sayur

Selama menjalani pengobatan, Bagdja menjadi suka sayur dan buah. “Saya ingat pesan dokter, jangan makan yang disukai kanker, yaitu daging, terutama daging merah. Perbanyak buah dan sayur,” ujarnya.

Dokter pendampingnya di Nanyang, Zhang Xiao Ming, kagum dengan kondisi Bagdja. Dengan usia lanjut, Bagdja mampu menjalani rangkaian pengobatan yang panjang. “Bagdja sangat kuat, tidak ada rasa mual. Setelah fokus pada tonsil, nanti kami turun ke bagian hati untuk dituntaskan,” ujar Zhang.

Karena Bagdja tak mengalami keluhan berarti, Zhang hanya memberikan obat-obatan tradisional China untuk memperkuat stamina. Ia juga diberi kapsul obat China untuk menekan pertumbuhan tumor.

Rumah sakit yang terletak di Distrik Baiyun itu terkenal dengan penerapan terpadu pengobatan tradisional China dan pengobatan modern Barat. Pengobatan seperti ini sedikit banyak menarik minat pasien dari luar negeri datang ke Guangzhou.

Bagdja merupakan satu dari total 36.384 pasien Indonesia yang berobat ke China. Jumlah ini hanya sedikit di bawah total pasien dari China atau lokal, yakni 51.252 pasien, dan lebih banyak dibandingkan dengan gabungan pasien dari beberapa negara (Hongkong, Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, Thailand, Kamboja, Australia, Selandia Baru, dan negara lain) yang berjumlah 35.252 pasien.

“Selain perpaduan pengobatan Timur dan Barat, daya tarik rumah sakit ini adalah penanganan yang melibatkan tim pakar,” kata Prof Yu Zhen Yang, Wakil Direktur Operasi Rumah Sakit Tumor Nanyang, yang juga pakar teknologi sel punca.

Untuk satu pasien, penanganan diputuskan bersama oleh tim yang terdiri dari pakar radiologi, ahli bedah mikroinvasif, ahli sel punca, dan lainnya. Ini dilakukan untuk meminimalkan kesalahan diagnosis dan prosedur pengobatan. Agaknya, penanganan total seperti ini membuat pasien merasa aman, nyaman, dan dihargai. (ICHWAN SUSANTO)

(sumber: health.kompas.com)

 

Nafsiah Mboi: Dekatkan RS ke Masyarakat Pedesaan

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengingatkan Pemerintah Provinsi Lampung agar membangun rumah sakit pratama yang lokasinya mendekatkan dengan masyarakat perdesaan.

“Daripada kita mengumpulkan masyarakat ke rumah sakit utama, lebih baik kita yang mendekatkan (rumah sakit) dengan mereka,” kata Menkes saat berdialog sekaligus meninjau ruangan bersalin Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM) Provinsi Lampung, di Bandarlampung, Selasa (2/7).

Menurut dia pembangunan rumah sakit pratama di perdesaan justru akan meringankan beban pasien. “Mereka tidak perlu jauh-jauh datang kemari, kitalah yang mendekatkan mereka dengan segala fasilitas yang memadai,” ujarnya di hadapan pejabat Dinas Kesehatan Provinsi Lampung dan pejabat utama RSUDAM.

Ia juga menegaskan daripada menambah jumlah kamar dan tempat tidur pasien, pembangunan RS di pedesaan dan mengoptimalkan tenaga kesehatan di desa-desa, justru memberi solusi tersendiri atas persoalan peningkatan jumlah pasien kabupaten yang dirawat di RSUDAM.

“Apa yang saya sampaikan saya pikir bisa menyelesaikan persoalan ini,” kata dia lagi.

Wartawan kecewa

Kunjungan Nafsiah Mboi ke RSUDAM Lampung pada Selasa sempat memunculkan kekecewaan sejumlah wartawan. Rupanya ada pembatasan peliputan hanya bagi beberapa wartawan saja,

“Wah, kami sudah menunggu tiga jam di sini, tapi begitu menteri datang pihak manajemen RSUDAM malah membatasi wartawan masuk dengan alasan ruangan penuh,” kata Okta, fotografer Harian Tribun Lampung.

Ia kecewa, karena telah kehilangan momentum penting atas kedatangan Menkes itu.

“Semestinya kalau tidak boleh masuk ya diberlakukan untuk semua wartawan, jangan dibedakan begitulah, kami ini mau mencari berita bukan lainnya,” ujarnya.

(sumber: www.republika.co.id)

 

Penggunaan jamu dapat dukungan ekonom APEC

Penggunaan obat tradisional seperti jamu yang diusung delegasi Indonesia dalam “Health Working Group” di Third APEC Senior Officials Meeting and Related meetings mendapat dukungan dari ekonom anggota APEC, seperti China, Australia, Rusia dan Amerika Serikat.

“Dengan dukungan dan semakin bisa dipahaminya keberadaan obat tradisional itu berdampingan dengan medis modern. Indonesia semakin berani berharap bahwa isu tentang kesehatan dengan obat tradisional itu bisa dibawa ke pembahasan tingkat menteri APEC di Bali, September mendatang,”kata Staf Ahli Menteri bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi Kementerian Kesehatan, Agus Purwadianto, di Medan.

Menurutnya, isu obat tradisional itu akan diseminarkan, hari ini, pada Policy Dialogue on Traditional Medicine dan bahkan kemungkinan ada kesempatan bagi para delegasi untuk meminum jamu.

Agus menjelaskan sebenarnya masalah obat tradisional sudah beberapa kali dibawa dalam rapat di APEC setiap tahunnya, tetapi baru dalam pertemuan di Medan, para ekonom itu semakin memahami soal obar tradisional tersebut.

“Berkaitan dengan obat tradisional, Indonesia dalam pertemuan itu mengingatkan perlunya pengubahan berpikir bahwa kesehatan menjadi sumber pemborosan anggaran negara, tetapi sebaliknya bisa memicu pertumbuhan perekonomian,”katanya.

Dengan obat tradisional itu, kata dia, bisa semakin memicu jumlah petani tanaman herbal dan produsen obat tradisional termasuk untuk keperluan ekspor yang tentunya menambah devisa msing-masing negara anggota APEC.

Indonesia juga mengingatkan, perlunya peningkatan kesehatan di suatu negara mengingat pembangunan berkelanjutan membutuhkan sumber daya manusia yang sehat.

Sementara itu Direktur Pembinaan Kesehatan Anak Kementerian Kesehatan, Jane Soepardi, menyebutkan memang masih perlu terus melakukan lobi agar masalah obat tradisonal itu bisa disepakati ekonom Apec.

Lobi, kata dia, bukan hanya untuk masalah obat tradisional itu, tetapi juga di setiap bidang yang diagendakan dibahas dalam APEC SOM III.

(sumber: www.waspada.co.id)

 

BPK Minta Anggaran Kesehatan Masyarakat Diutamakan

Jakarta – Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Rizal Jalil, mengingatkan Kementerian Kesehatan lebih memprioritaskan anggaran untuk kesehatan masyarakat. Meski sudah mendapat predikat wajar tanpa pengecualian (WTP), realisasi anggaran Kementerian Kesehatan untuk belanja modal masih tersisa 12 persen.

“Padahal belanja modal ini yang langsung diterima masyarakat, baik berupa pengadaan rumah sakit terapung, posyandu, dan pengadaan alat kesehatan masyarakat di daerah terpencil,” kata Rizal dalam sambutan penyerahan hasil pemeriksaan laporan keuangan Kementerian Kesehatan, Selasa, 2 Juli 2013.

Menurut Rizal, realisasi anggaran tahun lalu di Kementerian Kesehatan didominasi belanja pegawai sebanyak 98,5 persen. Untuk belanja barang, Kementerian menghabiskan 89,73 persen anggaran. Bantuan sosial realisasinya 89,73 persen. Sedangkan belanja modal hanya terealisasi sebesar 87,72 persen.

Rizal juga mengingatkan Kementerian Kesehatan bisa mengoptimalkan penggunaan pendapatan nasional bukan pajak yang jumlahnya lumayan besar. Pada 2012, jumlah realisasi BNPB mencapai 398,58 persen dari target yang ditetapkan.

Total realisasi pendapatan dari BNPB ini mencapai Rp 30 triliun. Angka ini, kata Rizal, merupakan bukti pencatatan, dan pertanggungjawabannya makin baik. Semua sudah tercatat, terdokumentasi dengan baik, yang perlu penggunaannya juga harus tepat. “Harus terus dikembangkan semangat kehati-hatian dan pruden. Itu saya hargai, dan kalau bisa diteruskan.”

Menurut catatan BPK, penggunaan keuangan negara di Kementerian pada 2012 sudah memenuhi standar akuntabilitas. Namun BPK belum mengganjar Kementerian dengan WTP murni karena masih ada beberapa catatan terkait proyek flu burung. BPK pun baru memberikan status WTP dengan catatan penjelasan.

Pada 2010, laporan keuangan Kementerian Kesehatan mendapat status disclaimer. Dan pada 2011, status ini berubah menjadi wajar dengan pengecualian.

(sumber: www.tempo.co)

 

Bermain di Air Keruh RUU Tembakau

Jakarta – Adanya dugaan suap dalam Badan Legislasi DPR dalam pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pertembakauan, telah membuat suasana makin gaduh.

Komisi Nasional Pengendalian Tembakau secara resmi telah melaporkan indikasi dugaan suap dalam pembahasan RUU Pertembakauan di Dewan Perwakilan Rakyat. Komnas Pengendalian Tembakau menduga ada permainan antara perusahaan dengan politikus di DPR.

Salah satu kejanggalan di dalam RUU Tembakau ini adalah:tidak fokusnya pembahasan pada pertembakauan ataupun nasib petani, tetapi lebih kepada industri rokok. Lagipula jika ingin fokus kepada suatu produk, mengapa mesti tembakau yang menjadi penting? Bukankah ada beras, atau kopi, coklat, yang menjadi andalan produk indonesia di skala dunia?

Dan anehnya, walapun RUU ini berbicara soal tembakau, tetapi sama sekali tidak memperhatikan masalah impor tembakau yang kian naik dari tahun ke tahun. Seharusnya jika ingin melindungi petani tembakau, pemerintah membatasi atau malah melarang impor tembakau.

Total impor tembakau indonesia selama 2012 naik sebesar 13%, mencapai US$382,43 juta atau setara Rp3,824 triliun. Sebagian besar impor tembakau ini berasal dari China, yaitu sebesar US$191,4 juta atau setara Rp 1,914 triliun.

Jelas ada permainan berbagai pihak yang ingin mengail di air keruh. Lalu siapa mereka? “Dulu kan ada UU kesehatan, terus ada ayat yang hilang. Itu sudah berproses lewat MK dan sudah beres. Sekarang ada lagi disebutnya UU Pertembakauan. Ini kira-kira begitulah kalau undang-undang ada yang hilang pasalnya. Dugaannya seperti itu. Saya laporin Anggota DPR, Baleg (Badan Legislasi),” kata Arifin Panigoro selaku Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau usai bertemu Pimpinan KPK, pekan lalu.

Para analis melihat, ada kepentingan yang bermain di RUU Tembakau ini yakni industri rokok yang merasa khawatir atas upaya-upaya pengendalian tembakau. Padahal sekeras apapun advokasi dan kampanye yang dilakukan, industri rokok tetap meraih keuntungan yang signifikan, kenaikan penjualan sekitar 10% setiap tahunnya.

Kalau pemerintah sungguh sungguh berupaya melindungi petani tembakau, seharusnya upaya yang dilakukan adalah pembatasan impor. Selain itu, upaya pemanfaatan tembakau dengan cara lain juga lebih bermakna.

Seperti sebagai pestisida alami pembasmi hama. Ini juga sangat efektif, daripada digunakan sebagai bahan yang meracuni kesehatan manusia. Jika sebagai pestisida alami, tembakau dapat mengisi pasar pestisida yang juga sangat tinggi di Indonesia, mencapai Rp 6-7 trilyun. Itu yang legal. Jadi, siapa yang diuntungkan? [berbagai sumber]

(sumber: nasional.inilah.com)

 

Menristek: Radio Isotop Indonesia Diminati Asing

Medan – Radio isotop Indonesia, khususnya untuk bidang kesehatan, mendapat perhatian besar dari dunia. Bahkan, Amerika Serikat (AS) yang selama ini mengandalkan dari Kanada berminat mengimpornya dari sini.

“Radio isotop, isotop dari zat radio aktif untuk bidang kesehatan seperti terapi kanker masih yang pertama di Asia dan semakin diminati dunia termasuk AS,” kata Menteri Riset dan Teknologi Gusti Muhammad Hatta usai pertemuan Working Group APEC Policy Partnership on Science, Technology and Innovation (PPSTI) pada Senin (1/7).

Pihak AS mengaku sangat berminat pada radio isotop dari Indonesia karena belum memiliki produk tersebut dan produksi di Kanada juga sudah berkurang akibat pabriknya semakin tua.

“Peluang besar itu harusnya dimanfaatkan Indonesia setelah selama ini masih mengekspor ke beberapa negara saja,” tuturnya.

Gusti menyebutkan pemerintah terus berupaya meningkatkan biaya riset karena secara nyata banyak hasil penelitian Indonesia diakui negara asing.

“Dalam APEC PPSTI di Medan telah disepakati bahwa negara di Asia Pasifik sepakat untuk bekerja sama dalam peningkatan riset untuk kemajuan semua sektor di negara-negara tersebut,” ujarnya.

Staf Ahli Menlu Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kementerian Luar Negeri M Wahid Supriyadi menyebutkan bahwa radio isotop itu sudah diekspor ke beberapa negara Asia, seperti ke Jepang, Korea, dan Malaysia. (Ant)

(sumber: www.metrotvnews.com)

 

Atasi DBD, Indonesia Bisa Mencontoh Singapura

Dalam mengendalikan kasus penyakit demam berdarah dengue (DBD), Indonesia sebaiknya mengadopsi langkah yang dilakukan Singapura dan beberapa negara lainnya di dunia. Dari Singapura misalnya, yang berhasil mengatasi penyebaran DBD dalam satu tahun, Indonesia dapat belajar bagaimana melakukan fogging yang tepat.

“Indonesia dapat mencontoh pada Singapura, Brasil, dan Kuba. Ketiga negara tersebut berhasil menurunkan angka penderita DBD. Kita bisa belajar dari Singapura, bagaimana fogging yang efektif. Hal ini bisa kita lakukan di Indonesia,” kata peneliti dari Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Budi Haryanto.

Di Singapura, kata Budi, penyakit DBD tidak lagi dilaporkan sejak 2005. Menurut Budi, pemberantasan virus dengue berhasil karena fogging yang berjalan efektif. Fogging dilakukan dengan dosis, radius, dan timing yang tepat.

Di negara tetangga tersebut, fogging dilakukan serentak di seluruh wilayah tanpa didasarkan kasus. Hal dilakukan guna mencegah nyamuk dewasa berpindah mencari lokasi sasaran lain. Fogging melibatkan 240 ribu relawan dan dilakukan satu bulan sekali terus-menerus, selama setahun.

Selain itu, Pemerintah Singapura juga menerapkan denda bagi pemilik tempat tinggal yang ditemukan jentik nyamuk. Denda menuntut warga untuk selalu menjaga kebersihan dan peraturan ini terbukti mampu menhhindarkan warga dari ancaman DBD.

Di Indonesia, penyakit DBD masih menjadi ancaman. Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan, DBD menjadi penyebab kematian nomor 5 pada balita setelah diare, pneumonia, dan meningitis, dengan jumlah kematian 6,8 persen.

Jumlah kasus DBD di Indonesia saat ini mencapa sekitar 160 ribu per tahun sedangkan di dunia rata-rata ada sekitar 925.896 setiap tahunnya. Indonesia juga pernah menempati posisi tertinggi kasus DBD di dunia pada 2006, 2007, dan 2008.

(sumber: health.kompas.com)

 

Panduan baru dalam pengobatan HIV

Sebuah panduan baru dalam perawatan HIV diperkirakan akan memberikan jutaan orang di negara berkembang berkesempatan mendapatkan obat yang bisa menyelamatkan hidup mereka.

Badan Kesehatan Dunia, WHO merekomendasikan kepada pasien untuk mulai melakukan perawatan pada tahap awal penyakit yang dideritanya itu.

WHO mengatakan panduan yang diluncurkan pada Konferensi Internasional AIDS di Kuala Lumpur ini akan mampu membantu menghindari jumlah tambahan kematian sebanyak 3 juta orang akibat AIDS pada 2025 mendatang.

Lembaga sosial bernama MSF menyambut baik langkah tersebut tapi mereka mengatakan langkah ini harus dibarengi dengan investasi lebih banyak.

Panduan pengobatan baru ini akan mengharuskan seorang pasien mengkonsumsi sebuah pil beserta tiga jenis obat-obatan lain saat dia dinyatakan positif mengidap HIV.

Konsumsi obatan-obatan ini dilakukan pada tahap yang sangat dini saat sistem kekebalan tubuh mereka masih kuat.

Sejumlah negara seperti Algeria, Argentina dan Brasil telah menjalani pengobatan yang didasari atas panduan baru dari WHO.

Konsultasi panjang

Saat ini tidak semua orang yang membutuhkan bisa mendapatkan pengobatan secara dini meskipun sejumlah kebijakan untuk membantu para pasien telah dibuat dalam beberapa tahun terakhir agar mereka bisa memperoleh akses lebih luas dalam pengobatan HIV.

WHO menyebut panduan ini merupakan bentuk dari wujud perubahan besar dalam kebijakan mereka.

Mereka berharap dari perubahan kebijakan ini akan menghasilkan peningkatan akses pasien dengan HIV terhadap obat-obatan di negara berkembang.

Mereka memperkirakan jumlah pasien yang bisa mengakses obat-obatan dengan cara ini akan meningkat dari 16 juta orang menjadi 26 juta orang atau 80 persen dari total orang dengan HIV yang ada di dunia saat ini.

Diperkirakan panduan ini akan memunculkan tambahan anggaran sebesar 10 persen dari biaya keseluruhan dalam menangani HIV/AIDS di seluruh negara berkembang.

WHO merasa bahwa negera donor dan negara berkembang akan bisa diyakinkan bahwa usulan tentang pengobatan dini ini jauh lebih efektif secara biaya.

Kebijakan ini sendiri disetujui dalam konfrensi di Kuala Lumpur setelah melalui konsultasi selama satu tahun lebih dengan menunjukan adanya bukti-bukti yang telah dipertimbangkan bahwa pengobatan dini berperan dalam mengurangi penyebaran virus.

(sumber: www.bbc.co.uk)

 

Menjadikan Indonesia Tuan Rumah Pengobatan Herbal

INDONESIA tak hanya terkenal sebagai negeri yang kaya akan sumber daya alamnya saja, tapi juga kaya potensi tanaman obat untuk penyembuhan berbagai penyakit.

Indonesia merupakan rumah dari 30.000 jenis dari 40.000 jenis tanaman obat yang tersebar di seluruh Indonesia. Potensi tersebut merupakan lahan yang bisa dimanfaatkan untuk menjaga kesehatan atau mengobati beragam penyakit di masyarakat. Apalagi, tanaman obat pun tak kalah efektif untuk mengobati beragam penyakit. Terbukti, saat ini banyak produksi obat-obatan yang menggunakan material tanaman obat.

Kombinasi antara pengobatan modern yang memanfaatkan bahan alami ialah terobosan inovasi yang perkembangannya harus didukung oleh berbagai lapisan masyarakat.

Perkembangan industri farmasi ini bertujuan untuk mencapai tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.

“Banyak yang sudah mulai menyadari pentingnya pemanfaatan bahan-bahan alami untuk kesehatan dan pengobatan penyakit. Untuk mencapai hasil yang maksimal, diperlukan usaha berkesinambungan antara penelitian yang dilaksanakan, edukasi berkelanjutan pada masyarakat dan tentunya dukungan dari pemerintah,”ungkap Indah Yuning Prapti, SKM, M.Kes, Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT) dalam acara bertema Menyingkap Kebaikan Alam untuk Indonesia Sehat, Four Seasons Hotel, Tapis Room, H.R Rasuna Said, Jakarta, Rabu 26 Juni 2013.

Pengobatan herbal dan pemanfaatan bahan alami untuk obat sudah memberikan kontribusi nyata bagi industri farmasi Indonesia. Tren penggunaan obat dengan bahan alami, baik untuk peningkatan kesehatan maupun pengobatan penyakit, cenderung meningkat di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Selama ini, pengobatan bahan alami sendiri digunakan berdasarkan praktis empiris, yaitu pencegahan penyakit, meningkatkan kesehatan, penyembuhan penyakit dan sebagai kosmetik. Contohnya tanaman brotowali, kumis kucing, buah merah, dan temulawak merupakan sedikit dari beragam jenis tumbuhan asli Indonesia yang diketahui dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti diare, darah tinggi, diabetes, hiperkolesterorl, hepatitis, asam urat, asma, batu ginjal, reumatik, batu empedu, keputihan, hingga obesitas.

Kendati demikian, agar produk obat dengan bahan alami Indonesia dapat menjadi produk yang diandalkan dan diterima di semua kalangan. Maka mutunya harus ditingkatkan, keamanannya harus dibuktikan, serta khasiatnya pun harus diteliti dan dapat dibuktikan secara ilmiah.

“Pemanfaatan tanaman asli Indonesia sebagai bahan pengobatan modern merupakan usaha yang terus harus dilanjutkan guna menjadikan Indonesia tuan rumah dari pengobatan herbal,” jelas dr. Pangestu Adi, SpPD-KGEH, Staf Senior Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya.

Saat ini, banyak pihak termasuk kalangan perusahaan farmasi modern telah memanfaatkan berbagai potensi keanekaragaman hayati tanaman di Indonesia untuk menciptakan berbagai produk kesehatan, baik yang bersifat pengobatan preventif maupun kuratif.

“Hal ini merupakan hal yang positif untuk mengembangankan dan melestarikan tanaman obat di Tanah Air,”imbuhnya.

Terlepas dari itu, pemerintah telah mengatur pemanfaatan herbal medik dalam fasilitas kesehatan melalui beberapa peraturan pemerintah, keputusan menteri, maupun peraturan perundang-undangan. Pemanfaatan bahan alami yang dapat digunakan sebagai bahan untuk obat pun sudah diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tentang pengawasan pemasukan bahan baku obat tradisional. (ind) (tty)

(sumber: health.okezone.com)