Pembahasan RUU Pertembakauan Mandek Lantaran Perkara Judul

Jakarta – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI belum menemui kata sepakat tentang judul Rancangan Undang Undang (RUU) pertembakauan. Sejumlah fraksi menginginkan judul RUU Pertembakauan diganti dengan RUU Dampak Kesehatan Bahaya Rokok.

“Ada yang keberatan dengan sebutan RUU Pertembakauan,” kata Ketua Baleg DPR RI, Ignatius Mulyono ketika dihubungi Republika di Jakarta, Selasa (11/6).

Tarik menarik judul bukan kali ini terjadi. Menurut Ignatius, persoalan ini sudah terjadi sejak 2009. Masing-masing pihak merepresentasikan kepentingannya atas usul judul yang diajukan.

Kelompok yang mengusung judul RUU Pertembakauan adalah kelompok yang merepresentasikan kepentingan industri rokok lokal. Sedangkan yang mengusulkan judul RUU Dampak Kesehatan Bahaya Rokok merepresentasikan kepentingan kesehatan.

“Kita masih mencari masukan judul yang pas,” ujar Ignatius.

Berbicara dampak kesehatan rokok, ia ingin semua pihak mengkaji secara komprehensif. Usaha menyehatkan masyarakat jangan sampai menjadi jalan kehancuran industri rokok lokal. Saat ini, Ignatius menyampaikan para penggiat kesehatan mesti mewaspadai kepentingan industri rokok asing masuk ke Indonesia.

Industri rokok lokal menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Diperkirakan ada puluhan juta orang yang menggantungkan hidup di industri ini mulai dari petani tembakau, perajin rokok, hingga pedagang asongan. Bahkan, kata Ignatius, pendapatan negara dari industri rokok mencapai Rp 80 triliun saban tahunnya.

“Ini lebih besar daripada sektor tambang,” kata Ignatius.

(sumber: www.republika.co.id)

 

WHO Peringatkan Dunia untuk Waspadai Gejala MERS

Organisasi Kesehatan Dunia meminta kepada para pekerja kesehatan di seluruh dunia agar waspada terhadap gejala penyakit pernafasan maut coronavirus Middle East Respiratory Syndrome (MERS).

Para pejabat WHO mengeluarkan peringatan tersebut, Senin (10/6) saat mengakhiri penyelidikan enam hari di Arab Saudi, dimana 40 dari 55 orang menderita penyakit pernafasan itu. Enam puluh persen dari penderita sudah meninggal dunia.

Badan PBB itu prihatin bahwa virus MERS mungkin akan menular ke para peziarah yang diperkirakan akan mengunjungi tempat-tempat suci di Arab Saudi bulan depan dalam bulan Ramadan, atau jutaan lagi diperkirakan akan datang bulan Oktober untuk menunaikan ibadah Haji di Mekah.

Para pejabat juga khawatir bahwa para pekerja tamu di kerajaan itu dapat membawa virus itu ke negara-negara asal mereka, kemungkinan mengakibatkan pandemik global.

Orang-orang yang melakukan perjalanan internasional telah membawa virus itu ke Inggris, Perancis, Jerman, dan Italia. Orang yang terinfeksi juga telah ditemukan di Yordania, Qatar, Tunisia dan Uni Emirat Arab.

(sumber: www.voaindonesia.com)

 

Tiga Isu Bikin Pembahasan RUU Tembakau Alot

Jakarta – Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tembakau di Komisi II DPR RI masih alot.

Ada tiga isu yang masih menjadi perdebatan yaitu perlindungan terhadap petani tembakau, dampak tembakau bagi kesehatan, dan desas-desus kepentingan asing.

Hal itu diungkap anggota Badan Legislastif (Baleg) DPR, Abdul Malik Haramain dalam diskusi bertajuk Kretek Sebagai Warisan Budaya Nusantara di Jakarta, Senin (10/6).

Ia menjelaskan draf RUU tentang tembakau yang masuk Baleg ada lima. Hal itu karena perdebatan sangat a lot sehingga nomenklatur selalu berubah-rubah.

“RUU Pertembakau masih ada di Baleg. Masih ada perdebatan sengit antar fraksi,” katanya.

Dengan kondisi itu maka Baleg membuka ruang masukan dari masyarakat, baik itu dari kelompok yang pro terhadap tembakau, maupun yang anti tembakau.

Baleg akan menyerap, dan mendengarkan masukan dari berbagai pihak agar regulasi tentang pertembakauan itu benar-benar komprehensif.

“Yang belum disepakati, terutama tentang bagaimana tembakau diatur,” ujarnya.

Menurutnya, dari sisi isi, RUU itu menjelaskan bahwa salah satu tujuan yaitu bagaimana petani tembakau itu terlindungi.

Selain itu, bagaimana tembakau dibudidayakan. Namun tetap juga dilihat bagaimana dampak terhadap kesehatan.

Budayawan Mohamad Sobary yang juga menjadi pembicara dalam diskusi itu mengemukakan dirinya pensiun dini dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) karena ingin langsung berjuang membela kaum yang termarginalkan.

Salah satu kaum yang termarginalkan itu adalah para petani tembakau. Ia sadar langkahnya membela petani tembakau selalu akan dicibir miring.

Ia mengaku mendapat kritikan atas langkahnya itu. Kritikan yang selalu diarahkan padanya adalah dengan membela petani tembakau, sama saja itu membela pelaku industri rokok kakap.

Dia menjawabnya bahwa yang dibela bukan industri rokok kakap, tapi petani dan home industri rokok yang jumlahnya ribuan. Nasib home industri, saat ini sama tergencetnya dengan para petani.

“Mereka dimarginalisasikan oleh pemerintahnya sendiri. Pabrik rokok ala rumah tangga, sudah banyak yang mati, dibunuh oleh departemen kesehatan dan keuangan, dipajaki dengan cukai tinggi,” ungkapnya.

Dia tidak percaya bila regulasi yang dibuat bebas dari kepentingan asing. Kekuatan asing berkepentingan terhadap industri kretek Indonesia.

“Isu kesehatan itu datangnya belakangan. Isu awalnya adalah pertarungan antara kretek dengan rokok putih. Rokok putih itu kalah, makanya mereka (asing-red) jengkel,” tegasnya. [R-14]

(sumber: www.suarapembaruan.com)

 

Terjadi Penurunan Anggaran Kemenkes 2014

Jakarta-PKMK. Okky Asokawati, Anggota Komisi IX DPR RI mempertanyakan penurunan anggaran Kemenkes untuk tahun 2014. Pagu indikatif untuk tahun 2014 Kemenkes adalah Rp 24,67 triliun. Sementara tahun 2013, anggaran itu senilai Rp 34,58 triliun. “Apakah anggaran Republik Indonesia sedemikian sulit sehingga anggaran Kemenkes harus diturunkan?” kata mantan peragawati terkemuka itu dalam rapat antara Komisi IX DPR RI dengan Kemenkes dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Ia pun mempertanyakan penyebab Kementerian Keuangan RI tidak mengikuti ketentuan bahwa minimal anggaran kesehatan adalah lima persen dari APBN. “Sekarang, anggaran kesehatan belum mencapai lima persen dan malah terus diturunkan,” kata Okky.

Sebelumnya, Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan RI, menjelaskan bahwa untuk tahun 2014, pagu indikatif Kemenkes sebesar Rp 24,67 triliun. Itu berarti menurun cukup signifikan, mencapai hampir 30 persen dibandingkan tahun 2013. Sementara itu, untuk tahun 2012, tingkat penyerapan anggaran Kemenkes di sekitar 91 persen. “Untuk tahun 2012, sisa anggaran kami senilai Rp 9,90 triliun. Tahun 2014, sisa anggaran diperkirakan Rp 1,56 triliun,” ucap Menteri Nafsiah.

Kemudian, dalam kesimpulan rapat, Komisi IX DPR RI menyatakan dapat menerima Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Kemenkes. Komisi IX DPR RI juga menerima pagu indikatif Kemenkes RI tahun 2014 yang sebesar Rp 24,67 triliun tersebut.

Persetujuan RKP dan pagu indikatif 2014 juga berlaku untuk Kemenakertrans.

“Agustus, Komisi IX akan melakukan rapat dengan eselon I Kemenkes dan Kemenakertrans. Untuk membahas pagu indikatif tersebut, kata Pimpinan Sidang Irgan Chairil Mahfuz. Irgan menambahkan, “Kami pun meminta Kemenkes dan Kemenakertrans untuk memantapkan RKP 2014 dengan penentuan sasaran yang realistis,” kata Irgan.

 

Penyiapan BPJS Sebagai Inisiatif Baru 2014

Jakarta-PKMK. Kementerian Kesehatan RI menyusun program penyiapan pelaksanaan BPJS Kesehatan sebagai satu dari dua inisiatif baru untuk tahun 2014. Adapun inisiatif baru yang lain adalah penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB). “Anggaran untuk penyiapan pelaksanaan BPJS itu sebesar Rp 4,04 triliun. Sedangkan untuk penurunan AKI dan AKB senilai Rp 310 miliar,” UNGKAP Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan RI, dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta (10/6/2013).

Inisiatif baru terkait BPJS Kesehatan berjalan dalam beberapa bentuk. Antara lain, pembangunan administrasi kepegawaian/sumber daya manusia dengan anggaran Rp 607 miliar. Kemudian, Kemenkes menganggarkan dana Rp 890 miliar untuk peningkatan fasilitas Puskesmas dan jaringannya sebagai sarana pelayanan kesehatan dasar. Adapun anggaran Rp 1,82 triliun digunakan untuk peningkatan fasilitas dan penguatan RS sebagai sarana pelayanan kesehatan rujukan.

Kemudian, untuk isu baru penurunan AKI dan AKB, penjabarannya antara lain pemberdayaan masyarakat dan promosi kesehatan dengan anggaran Rp 60 miliar. Kemenkes menganggarkan Rp 30 miliar, untuk pembinaan pelayanan kesehatan anak. Kemudian, Rp 30 milliar untuk pembinaan pelayanan kesehatan ibu pada reproduksi, . Untuk bantuan operasional kesehatan, anggarannya Rp 30 miliar. Selanjutnya, dana Rp 50 miliar disiapkan untuk pembinaan surveilans, imunisasi, dan kesehatan matra. “Kemenkes kemudian menganggarkan Rp 110 miliar untuk peningkatan fasilitas Puskesmas dan jaringannya sebagai sarana pelayanan kesehatan dasar,” ucap Nafsiah.

Dalam rapat yang sama, Muhaimin Iskandar, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, mengatakan bahwa pihaknya pun menetapkan pelaksanaan BPJS Kesehatan sebagai satu dari 15 isu strategis di tahun 2014. “Anggaran kami untuk tahun 2014 sebesar Rp 4,16 triliun. Sebenarnya, yang ideal sekitar Rp 7 triliun,” kata Muhaimin.

 

Harga Sekantong Darah Dibandrol Rp250 Ribu

DEPOK – Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Depok membandrol darah seharga Rp 250 ribu per kantong. Harga itu untuk biaya pengolahan darah.

Penanggung Jawab Teknis Unit Donor Darah PMI Depok Kartono mengatakan biaya tersebut juga diperuntukan pemeriksaan komponen darah dan kegiatan teknis donor darah yang dilakukan di setiap daerah.

“Agar masyarakat tidak salah paham kenapa harus membayar Rp 250 ribu, karena darah juga harus diperiksa terhadap penyakit-penyakit seperti HIV, Hepatitis B dan C, untuk mencocokan antara darah pendonor dan pasien,” ujarnya Senin (10/6/2013).

Biaya tersebut, kata dia, juga telah diatur oleh Departemen Kesehatan RI. Biaya Rp250 ribu itu saat ini berlaku di DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Tangerang Selatan dan Provinsi Banten.

Lebih lanjut ia mengatakan, keberadaan darah yang telah didonorkan tidak dapat bertahan lama. Kekuatan darah dikatakannya hanya mampu bertahan paling lama 35 hari.

“Hal ini tak melanggar aturan, harga itu sudah diatur dan sama di Jakarta, Jawa Barat, Tangsel, dan Banten,” tutupnya.

(sumber: news.okezone.com)

 

Tanamkan Kebiasaan Preventif dalam Kesehatan

Selama ini kebanyakan orang baru berkonsultasi kepada dokter ketika sudah mengalami gangguan kesehatan. Dengan cara tersebut, mereka ingin mendapat kesembuhan dengan cara pengobatan.

Namun sebenarnya bila pemeriksaan kesehatan dilakukan secara rutin dan sejak dini sebelum sakit, hal itu dapat mengurangi risiko kejadian sakit yang membutuhkan biaya pengobatan tinggi. Mencegah lebih baik dari mengobati, itulah ungkapan yang kerap disampaikan dalam kampanye kesehatan.

Pentingnya untuk mengubah paradigma masyarakat terkait upaya kesehatan disampaikan dr. Rini Sekartini dokter spesialis anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM). Ia mengatakan, sebaiknya masyarakat mulai meninggalkan pemikiran datang dokter hanya setelah jatuh sakit. Artinya, masyarakat harus mulai meninggalkan pendekatan kuratif dan mulai menanamkan kebiasaan baru yakni upaya pencegahan atau preventif.

“Cara preventif salah satunya yaitu dengan pergi ke dokter sebelum sakit guna memahami kesehatan tubuh secara berkala,” ujarnya dalam konferensi pers seminar kesehatan bertajuk ‘Mom How’s Your Family: Seminar Tumbuh Kembang Anak’ di Jakarta, Sabtu (8/6/2013).

Rini mengatakan, pemeriksaan dokter ditujukan untuk mengetahui gangguan kesehatan sedini mungkin agar dapat mencegahnya berkembang ke tahap yang lebih parah. Pemeriksaan dokter biasanya kemudian dijadikan rujukan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium.

Miftah Nur Rahman, perwakilan dari Laboratorium Klinik Prodia mengatakan, pemeriksaan laboratorium untuk kesehatan secara keseluruhan meliputi pemeriksaan anemia dan kelainan sel darah lainnya, status nutrisi, profil lemak, dan mendeteksi adanya inveksi virus hepatitis B dan ada tidaknya kekebalan.

Meskipun pemeriksaan kesehatan rutin identik dengan orang yang berusia lebih tua, namun bukan berarti anak-anak tidak membutuhkannya. Miftah memaparkan, pemeriksaan kesehatan sejatinya dibutuhkan oleh segala usia, dari mulai bayi baru lahir hingga orang tua.

“Bahkan anak-anak seharusnya lebih sering mendapat pemeriksaan kesehatan,” ujar Miftah.

Pasalnya, imbuhnya, ada kondisi kesehatan tertentu yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Oleh karena itu sangatlah penting uintuk memantau setiap fase pertumbuhan anak.

Rini menuturkan frekuensi yang disarankan untuk melakukan pemeriksaan yaitu untuk bayi setiap bulan, anak usia sekolah setiap enam bulan, anak remaja setiap tahun, dan dewasa setiap tahun atau setiap dua tahun.

(sumber: health.kompas.com)

 

Akibat Rokok, Pengeluaran Negara Lebih Besar dari Cukainya

Lebih dari 60 juta penduduk Indonesia adalah perokok, sekitar 60 persen pria dan 4,5 persen wanita di Indonesia merokok. Sementara itu, perokok pada anak dan remaja juga terus meningkat.

Selain itu, menurut keterangan tertulis Kemenkes yang diperoleh di Jakarta, Selasa, terdapat 97 juta warga Indonesia jadi perokok pasif, dan 43 juta diantaranya adalah anak-anak. Demikian dikutip Antara.

Rokok memang memberikan pemasukan cukai bagi negara, pengeluaran untuk mengatasi dampak rokok lebih besar lagi. Menurut Kemenkes, pengeluaran makro negara akibat rokok sebesar Rp254,41 triliun pertahun, sedangkan pendapatan negara dari cukai hanya Rp55 Triliun. Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran makro akibat rokok di Indonesia lebih besar dari cukai yang didapat Indonesia.

Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tjandra Yoga Aditama, pada acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam rangka Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), di Komnas HAM beberapa waktu lalu.

Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau, atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah konvensi internasional pertama yang mengatur kesehatan masyarakat. Menurut Tjandra, “FCTC adalah kesepakatan tingkat dunia, dan sudah diterima seluruh anggota WHO pada tahun 2003”.

Kini ada 176 negara sudah ikut FCTC sepenuhnya, ada 9 negara sudah menandatangani tapi belum meratifikasi/aksesi. Sementara itu, tinggal 9 negara di dunia yang belum menandatangani dan belum meaksesi/ratifikasi, termasuk Indonesia, bersama Andora, Dominika, Eritrea, Liechtestein, Malawi, Somalia, Tajkistan dan Zimbabwe.

Lebih lanjut Tjandra mengatakan, “FCTC mengatur masalah rokok baik dari sudut pasokan maupun permintaan. Sasaran FCTC adalah membentuk agenda global bagi regulasi tembakau, dengan tujuan mengurangi inisiasi penggunaan tembakau dan mendorong penghentian. Ketentuan-ketentuan FCTC dibagi menjadi langkah-langah untuk mengurangi permintaan atas produk tembakau dan langkah-langkah untuk mengurangi pasokan produk tembakau.

(sumber: www.hidayatullah.com)

 

Rieke Diah Ingin Rokok Kretek Jadi Heritage Indonesia

Jakarta, PKMK. Anggota Komisi IX DPR RI Rieke Diah Pitaloka mengusulkan agar rokok kretek menjadi heritage (warisan) Indonesia. Itu seperti halnya cerutu yang di dunia identik dengan Kuba. “Rokok kretek adalah tradisi Indonesia yang mesti terus eksis. Hal tersebut harus kita perjuangkan,” kata Rieke dalam rapat antara Komisi IX DPR RI dengan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia di Jakarta hari ini (5/6/2013).

Rieke yang juga artis mengatakan, kalau fair, sebenarnya Pemerintah Indonesia juga harus mengeluarkan regulasi yang melarang ataupun membatasi penetrasi rokok asing. Sekarang ini, industri rokok kecil termasuk rokok kretek cenderung akan dimatikan ataupun dibatasi. Tapi, tidak ada regulasi yang tegas terhadap rokok asing. “Di Jawa Timur, ada rokok brand asing diproduksi di sana. Bahan bakunya dari Indonesia. Di waktu yang sama, industri rokok lokal dapat perlakuan keras dari Pemerintah Indonesia,” Rieke berkata.

Regulasi Pemerintah Indonesia semestinya hanya mengatur dampak rokok bagi kesehatan. Tapi sekarang juga mengatur aspek lain seperti perdagangan tembakau. “Komisi IX DPR RI harus melakukan cek, apakah peraturan tembakau murni dari dalam negeri, ataukah dibuat atas tekanan pihak asing,” Rieke berkata lagi.

Sementara, di rapat yang sama, Anggota Komisi IX DPR RI Poempida Hidayatulloh mengatakan, petani memang mudah dirugikan oleh berbagai isu. Termasuk di situ adalah petani tembakau dalam hal isu dampak rokok bagi kesehatan. “Sebenarnya, kontribusi industri rokok itu kan luar biasa. Sayangnya, orang yang kaya dari industri itu sering dikriminalkan,” kata Poempida.

Sedari awal, sebenarnya Komisi IX DPR RI sudah sering mengingatkan agar Kementerian Kesehatan menimbang dampak dari regulasi yang terlalu membatasi produksi ataupun pemasaran rokok, seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. “Sejak masih berbentuk Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), Komisi IX sebenarnya sudah sering mengingatkan akan dampak itu,” kata Poempida.

Dengan kondisi sekarang, ia menambahkan, paling-paling Komisi IX DPR RI akan memberikan tekanan agar PP tersebut dicabut.

 

Pabrik Rokok Kecil Mulai Gulung Tikar

Jakarta, PKMK. PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, mulai mengancam industri rokok di Indonesia. Kini pabrik rokok skala kecil bahkan mulai tutup. Sedangkan pabrik rokok besar mulai mengurangi pembelian tembakau dari petani. “Kami minta PP tersebut direvisi, karena merugikan pabrik rokok menengah-kecil. Juga mengancam nasib tenaga kerja yang terkait dengan industri rokok,” kata Nurtanio Wisnu Brata, ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, dalam rapat dengan Komisi IX DPR RI hari ini (5/6/2013).

Wisnu mengatakan, PP tersebut sangat jelas mengancam eksistensi tembakau lokal. Antara lain, ketentuan standardisasi produk tembakau yang menyebabkan rokok putih mudah menyaingi rokok kretek. Standardisasi itu memang telah menjadi tren dunia, dan penerapannya di Indonesia sebenarnya kurang sesuai dengan kondisi lokal. Kesulitan yang mulai melanda pabrik rokok kecil itu jelas berimbas ke petani tembakau. Sebab, sekitar 30 persen dari total tembakau lokal selama ini dibeli oleh pabrik rokok tersebut. “Yang ironis, saat ini impor tembakau terus naik. Sepanjang tahun 2012, total impor tembakau mencapai 120.000 ton. Kini lebih dari separuh tembakau di Indonesia merupakan hasil impor. Kami merasa didiskriminasikan,” Wisnu mengatakan.

PP tersebut semestinya hanya mengatur dampak rokok bagi kesehatan masyarakat. Tapi yang janggal, PP itu telah overlapping karena mengatur juga hal-hal lain tentang rokok; termasuk mengatur tentang perdagangan dan cara promosi produk rokok. Selama ini, Pemerintah Indonesia berargumen bahwa PP tersebut tidak melarang petani untuk menanam tembakau. Tapi, secara faktual, PP tersebut mengancam eksistensi petani tembakau. Saat ini, jumlah petani tembakau sekitar 8 juta orang. “Selain kami, pabrik rokok menengah-kecil dan pekerjanya, selalu siap beraudiensi dengan Komisi IX DPR RI,” ucap Wisnu. Sementara, Ketua Komisi IX DPR RI dr. Ribka Tjiptaning menyatakan menerima aspirasi Asosiasi Petani Tembakau Indonesia itu. Selanjutnya, Komisi IX DPR RI akan membawa aspirasi itu dalam rapat dengan Kementerian Kesehatan RI ataupun Kementerian Tenaga Kerja RI.