Mantan Menkes Disebut Terlibat

JAKARTA (Suara Karya): Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari disebut terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan alat kesehatan untuk menanggulangi wabah flu burung.

Hal tersebut terungkap saat majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta yang diketuai Nawawi Ponolango memeriksa saksi Tatang Saefuddin dalam perkara mantan Direktur Bina Pelayanan Medik Ratna Dewi Umar, kemarin.

Saksi yang menyebutkan keterlibatan Siti Fadilah adalah mantan Ketua Panitia Pengadaan Alat Kesehatan dan Perbekalan untuk wabah flu burung tahun anggaran 2006, Tatan Saefuddin. Menurut dia, Siti Fadilah melakukan penunjukan langsung pemenang tender proyek dengan pagu anggaran sebesar Rp 42,45 miliar tersebut. Menurut jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pengadaan tersebut seharusnya hanya menelan biaya Rp 32 miliar.

“Yang saya tahu pernah diperlihatkan rekomendasi penunjukan langsung itu, waktu pertama kali bertemu terdakwa (Ratna Dewi Umar–Red). Waktu pengarahan dikatakan ini ada rekomendasi dari Menkes (Siti Fadilah Supari),” kata Tatang yang bersaksi untuk mantan Direktur Bina Pelayanan Medik Dasar Ratna Dewi Umar itu.

Menurut Tatan, Ratna lah pejabat yang langsung melaksanakan penunjukan PT Rajawali Nusindo sebagai pelaksana proyek pengadaan alat kesehatan tahun 2006. Hal tersebut baru diketahuinya saat menjabat ketua panitia pengadaan sekitar Juni 2006.

Nama mantan Menteri Kesehatan itu, juga disebutkan dalam surat dakwaan terhadap Ratna Dewi Umar. JPU KPK menyebutkan Siti Fadilah mengarahkan penunjukan langsung untuk empat pengadaan alkes flu burung tersebut.

Jaksa I Kadek Wiradana saat membacakan dakwaan mengatakan bahwa pengadaan alat kesehatan dan perbekalan dalam rangka wabah flu burung tahun anggaran 2006 pada Direktorat Bina Pelayanan Medik Dasar Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan sebesar Rp 42.459.000.000, dilakukan dengan penunjukkan langsung atas arahan Siti Fadilah Supari.

“Sebelum melaksanakan kegiatan pengadaan alat kesehatan Tahun Anggaran 2006, terdakwa dengan Siti Fadilah Supari selaku Menkes membahas rencana tersebut. Dan Siti Fadilah menyampaikan agar pengadaan alat kesehatan tersebut dilakukan dengan metode penunjukan langsung dan sebagai pelaksana pekerjaan Bambang Rudjianto Tanoesoedibjo (PT Prasasti Mitra),” kata Kadek.

Menurut Tatang, sejak awal proses lelang, mereka sudah diperintahkan agar PT Rajawali Nusindo yang menjadi pemenang lelang alat kesehatan flu burung untuk 44 rumah sakit. Tetapi, agar proses lelang tampak sesuai prosedur, disertakan dua perusahaan pendamping, yakni PT Indofarma Global Medika dan PT Biofarma. Jadi walaupun ketiganya mengajukan penawaran lelang, tetap saja yang menang adalah PT Rajawali Nusindo.

Dalam surat dakwaan, Ratna dianggap menyalahgunakan wewenang sebagai pejabat negara, dengan menunjuk langsung PT Rajawali Nusindo dalam proyek pengadaan alat kesehatan dan perbekalan dalam rangka wabah flu burung tahun anggaran 2006-2007 di Kementerian Kesehatan.

Namun, dalam prakteknya, dalam dakwaan Jaksa, PT Rajawali Nusindo justru menyerahkan pekerjaan kepada PT Prasasti Mitra. Perusahaan itu milik Bambang Tanoesudibjo, kakak dari bos Media Nusantara Citra dan Ketua Umum organisasi masyarakat Perindo, Hary Tanoesoedibjo.

Dalam pelaksanaannya PT Prasasti Mitra malah kembali mengalihkan pengadaan alat kesehatan itu dari beberapa agen tunggal. Yakni PT Fondaco Mitratama, PT Prasasti Mitra, PT Meditec Iasa Tronica, PT Airindo Sentra Medika, dan PT Kartika Sentamas dengan harga lebih murah.

Sementara itu Antara melaporkan mantan Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin menjadi saksi atas terdakwa mantan Rektor Universitas Jambi, Kemas Arsyad Somad dan Elianty mantan bendara terkait kasus dugaan korupsi Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk Program Studi Pendidikan Dokter (PSPD).

Zulkifli Nurdin hadir dalam persidangan Tipikor yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jambi, Senin, setelah dua kali panggilan dari jaksa tidak pernah diindahkan karena alasan tidak pernah menerima surat panggilan.

Di hadapan majelis hakim Tipikor Jambi yang diketuai Suprabowo, Zulkifli mengakui ada nota kesepahaman (MoU) antara Pemprov Jambi yang diwakili Gubernur Jambi bersama Ketua DPRD Jambi dan seluruh Bupati dan Wali Kota serta Ketua DPRD kabupaten/kota saat itu untuk menandatangani MoU untuk program kedokteran di Universitas Jambi (Unja). (Nefan Kristiono)

(sumber: www.suarakarya-online.com)

 

Relasi Bisnis Politik Tembakau

Jakarta – Tanggal 31 Mei sering diperingati sebagai Hari Anti Tembakau Sedunia. Walaupun Indonesia sebagai yang belum ikut meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau (Frame Convention on Tobacco Control/FCTC) dari WHO namun tidak kalah meriah merayakan imbauan untuk tidak merokok. Apalagi saat ini publik sedang dihadapkan pada pro kontra kebijakan publik tentang RUU Pertembakauan yang konon “nylonong” tiba-tiba masuk Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) padahal belum melalui proses usulan dari komisi ataupun pemerintah.

Dalam sebuah majalah nasional belum lama ini bahkan disinggung tentang potensi dan indikasi adanya kongkalikong antara industri rokok dengan politisi di DPR. Hal tersebut khususnya terkait dengan kebijakan tembakau.

Sebelumnya, tahun 2012 lalu RUU Pengendalian Tembakau dan Kesehatan telah dibatalkan oleh DPR. Aroma kuat adanya deal bisnis dan politik dalam sektor tembakau khususnya rokok ini kiat menguat menjelang Pemilu 2014. Tidak lain dan tidak bisa dipungkiri ‘bisnis kebijakan” rokok diduga bisa menjadi bahan bakar agar “dapur partai” mengepul jelang pertempuran politik tahun depan.

Setidaknya analisis tersebut tidak berlebihan, saat jelang Pemilu tahun 2009 di DPR, ayat tembakau dalam UU Kesehatan pada pasal 2 ayat 13 tiba-tiba hilang. Diduga ada proses transaksional suap untuk kepentingan Pemilu saat 2009. Padahal pasal tersebut sudah disetujui dalam rapat paripurna.

Ayat tersebut berbunyi “zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/ atau masayrakat sekelilingnya”. Sekilas, pasal ini dapat “membunuh” produksi rokok oleh industri.

Sayangnya, penanganan kasus tersebut menguap. Kasus penghilangan ayat-ayat tembakau tersebut yang ditangani Kepolisian di SP3 (surat Perintah Penghentian Penyidikan). Awalnya salah satu anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan yaitu Ribka Tjiptaning menjadi tersangka dalam kasus tersebut, namun telah di SP3 oleh Kepolisian. Ribka saat itu menjadi orang yang paling bertanggungjawab karena sebagai ketua Pansus RUU Kesehatan.

Bahkan proses penegakkan kode etik di Badan Kehormatan (BK) DPR juga berjalan setengah hati, Ribka hanya diberi sanksi tidak diperkenankan memimpin Panja dan Pansus di DPR. Vonis ringan tersebut dirasa tidak memuaskan publik, bahkan aktivis anti tembakau sebaliknya menyerukan di sanksi yang lebih berat maksimal yaitu pemecatan.

Kembali kepada momentum Prolegnas, RUU Pertembakauan yang banyak didorong oleh petani tembakau dan koalisi kepada DPR saat ini perlu diwaspadai oleh publik. Kecenderungan di Indonesia, dalam sektor apapun, dalam kebijakan apapun, menjelang Pemilu 2014, relasi bisnis politik saling menguat.

Perkawinan bisnis politik biasanya lahir saat momentum haram dana kampanye dari insentif keduanya bertemu dan lahir dalam bentuk investasi politik jangka panjang. Sayangnya aksi tersebut akan menyandera kebijakan publik, dalam konteks ini yaitu dalam bentuk jaminan kesehatan akan kebebasan dari asap rokok yang melemah. Bahkan dihilangkan, rokok tidak dibatasi, produksi rokok selalu meningkat setiap tahun.

Akibat dari kongkalikong kebijakan tersebut, jaminan kesehatan masyarakat menjadi tidak terjamin. Jumlah perokok di Indonesia sendiri Januari 2013 menurut Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menduduki peringkat ketiga di dunia setelah Cina dan India. Dengan jumlah perokok 62 juta pria dan 30 juta wanita, sedangkan jumlah perokok pasif mencapai 92 juta jiwa.

Dampak dari rokok, pada tahun 2012 menurut Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Ekowati Rahajeng, diperkirakan rokok menyebabkan kematian 300 ribu orang pertahun di Indonesia. Sedangkan di dunia diperkirakan meningkat menjadi 5,4 juta kematian per tahun atau satu kematian tiap 6,5 detik.

Memutus Rantai

Menyikapi kuatnya relasi bisnis politik di sektor tembakau menjelang Pemilu 2014 membutuhkan pengawasan publik yang ekstra. Bagaimana tidak, di Indonesia belum mempunyai UU tentang Konflik Kepentingan yang mengatur bagaimana hubungan pembuatan regulasi dan mitra antara politisi di DPR dengan industri atau pengusaha.

Di Amerika, UU ini cukup kuat dan detail ditambah dengan aturan kode etik yang sangat mengikat. Sehingga anggota DPR tidak berani main-main membuat kebijakan sesuai selera pengusaha atau industri.

Di Indonesia, banyaknya anggota DPR yang terjerat kasus di KPK biasanya selain korupsi anggaran dan suap dari mitra Komisi DPR yaitu pengusaha. Sebagai contoh terhangat adalah kasus impor sapi, di mana kebijakan ekonomi diatur oleh politisi dan pengusaha sebagai bentuk hasil kesepakatan politik bisnis yang kotor.

Kasus lain di DPR sebenarnya banyak, di mana anggota DPR yang mempunyai bisnis kesehatan seperti rumah sakit misalnya, akan banyak berada pada Komisi Kesehatan, anggota DPR yang memiliki sekolah akan duduk di Komisi Sekolah, anggota DPR yang berbisnis sektor keuangan akan berada pada Komisi keuangan dan seterusnya. Di Indonesia, hal ini belum diatur dalam UU sehingga peluang suap korupsi dan buruknya kebijakan publik terjadi berulang-ulang tanpa perbaikan berarti.

Oleh karena itu dalam pembahasan RUU Pertembakauan yang penuh kontoversi, semua pihak harus memantau dan sadar akan posisi dan kepentingan masing-masing. Misalnya dari sisi petani tembakau hal apa yang harus dijamin dengan jaring ekonomi yang kokoh, dari sisi masyarakat yang terkena dampak tembakau tentunya juga perlu diperhatikan jaminan kesehatannya, dari sisi industri juga perlu diatur terkait regulasi kebijakan yang tidak hanya mencari untung tetapi aspek kesehatan masyarakat diabaikan.

Akan lebih baik, jika tensi relasi bisnis tembakau jelang Pemilu 2014 tersebut diturunkan dengan membatalkan Prolegnas “siluman” terkait RUU Pertembakuan. Pertama, agar hasilnya mewakili kepentingan publik, bukan sepihak industri rokok, petani atau masyarakat peduli kesehatan. Kedua, agar menghindari transaksional politik berupa suap, rente, dan upaya menghimpun dana kampanye haram. Ketiga, dari segi legislasi harus sesuai aturan, tidak melanggar prosedur dan tahapan pembuatan legislasi di DPR.

Akhirnya, tidak ada kado terindah pada Hari Anti Tembakau sedunia dan selamanya ke depan selain pembatalan RUU Pertembakuan sebagai bentuk cara memutus rantai relasi bisnis politik yang mengancam jaminan kesehatan publik. Selain itu semoga Presiden sadar dan segera meratifikasi FCTC dari WHO tentang pengendalian tembakau dan rokok di Indonesia.

(sumber: news.detik.com)

 

Telepon Saja 119 Jika Mengalami Gawat Darurat Kesehatan

Jakarta : Kementerian Kesehatan kini punya layanan telepon darurat 119. Masyarakat bisa mengakses layanan 119 untuk laporan gawat darurat masalah kesehatan.

Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan dan Kementerian kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Spu (K) telah melakukan penandatanganan perjanjian kerjasama perihal pembukaan kode akses panggilan 119 bersama PT. Telekomunikasi Indonesia beserta 9 provider lainnya, Senin, (3/6/2013).

Kini masyarakat tidak perlu lagi kesulitan mendapatkan informasi pelayanan kegawatdaruratan bidang kesehatan.

“Dengan pembukaan kode akses ini masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi lengkap mengenai pelayanan kegawatdaruratan,” ujar Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan dan Kementerian kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Akmal Taher, Spu (K) kepada Liputan6.com.

Perjanjian ini dimaksudkan sebagai dukungan terhadap Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) Kementerian Kesehatan RI melalui pembukaan kode akses 119.

Tujuan perjanjian ini adalah terwujudnya kerja sama antara beberapa pihak tadi dalam rangka meningkatkan pelayanan pemberian informasi penanggulangan gawat darurat terpadu.

“Hal ini dimaksudkan untuk meningkatan pelayanan gawat darurat terpadu serta diharapkan dapat meningkatkan kesiapan pihak pelayanan bidang kesehatan terhadap masyarakat,” ujar Prof Akmal.

Kode akses 119 ini diberikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika kepada kementerian kesehatan berdasarkan Surat Menteri Komunikasi dan Informatika No. 486/M.KOMINFO/09/2012 pada 13 September 2012.

Kode akses ini dapat diakses tidak berbayar namun hanya berlaku untuk pelanggan PT. Telekomunikasi Indonesia saja. Untuk kesembilan provider lainnya diberlakukan tarif normal.

Prof. Dr. dr. Akmal Taher berharap kesembilan provider tersebut dapat menyesuaikan dengan PT. Telekomunikasi Indonesia terkait pembebasan biaya.

“Untuk mengakses 119 bagi pelanggan PT. Telekomunikasi Indonesia tidak berbayar, dan kesembilan lainnya diberlakukan tarif normal. Namun saya berharap ke depannya dapat disesuaikan terkait pembebasan biaya,” harapnya.

Kode akses 119 untuk informasi pelayanan kegawatdaruratan diharapkan dapat tersebar ke seluruh Indonesia, untuk saat ini baru Jakarta.

“Kode 119 ini baru dapat diakses untuk rumah-rumah sakit di Jakarta. Namun akan segera diberlakukan di seluruh Indonesia secara bertahap,” ucapnya.

(sumber: health.liputan6.com)

 

Legislator Imbau Penanganan Bencana Lebih Terorganisir

Jakarta, PKMK. Manajemen penanganan bencana di Indonesia harus lebih dikoordinasikan. Selama ini, langkah yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Sosial, masih saling terpisah. Sementara, dengan koordinasi yang lebih erat, penggunaan anggaran penanggulangan bencana bisa lebih efisien. Demikian dikatakan oleh Sumaryati Ariyoso, Anggota Komisi VIII DPR RI, dalam rapat dengan BNPB di Jakarta (2/6/2013).

Dalam hal pengadaan relawan penanganan bencana, koordinasi tersebut perlu lebih erat. Kementerian Sosial saat ini mempunyai relawan tersendiri, demikian pula lembaga yang lain. Kemudian, dalam penanganan bencana, posisi Puskesmas se-Indonesia di bawah Kementerian Kesehatan. Maka, semua hal tersebut perlu lebih dikoordinasikan. Lebih lanjut, Sumaryati meminta agar BNPB lebih berinovasi dalam merancang program penanganan bencana. Hal yang akan dilakukan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bisa menjadi contoh. Fungsi waduk di Pluit hendak dinormalkan untuk mengurangi bencana banjir di sana. Dengan demikian, di waktu berikutnya, anggaran penanggulangan bencana di kawasan Pluit bisa lebih sedikit.

Adapun Raihan Iskandar, Anggota Komisi VIII DPR RI mengatakan, keberhasilan BNPB untuk memenuhi 11 target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014, patut diapresiasi. Di sisi lain, pagu indikatif BNPB untuk tahun 2014 turun dari Rp 1,3 triliun menjadi Rp 666 miliar. Sementara, kebutuhan dana penanganan bencana sudah pasti semakin besar. “Apa sebenarnya penyebab penurunan pagu indikatif tersebut? Ini perlu kita cari tahu?” ucap Raihan. Jumlah relawan penanganan bencana di Indonesia sangat memprihatinkan dan perlu lebih ditingkatkan. Tahun 2013, Nanggroe Aceh Darussalam hanya memiliki 55 orang relawan, turun daripada di tahun sebelumnya. Padahal, Nanggroe Aceh Darussalam merupakan propinsi rawan bencana dan sempat mengalami tsunami dahsyat di tahun 2004.

 

Kepala BNPB Keluhkan Minimnya Anggaran Bencana di Daerah

Jakarta, PKMK. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Mayor Jenderal (Purn.) Syamsul Maarif mengatakan, kesadaran Pemerintah Propinsi se-Indonesia untuk mengalokasikan anggaran penanganan bencana yang memadai, sangat rendah. Sebagian Pemerintah Propinsi mengalokasikan dana tersebut tidak sampai 1 persen dari total dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Bahkan di propinsi yang sangat rawan bencana, alokasi dana tersebut juga minim. “Dengan kondisi seperti itu, BNPB yang harus menanggulangi. Anggaran yang kami punyai harus disebar ke seluruh Indonesia,” ungkapnya dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI hari ini di Jakarta (2/6/2013).

Dia menjelaskan, di semua propinsi, sudah ada kemahfuman bahwa potensi bencana di Indonesia sangat besar dan potensi tersebut harus diantisipasi sedari awal. Dengan demikian, jumlah korban jiwa ataupun benda bisa diminimalkan. Namun ironi, kesadaran untuk mengalokasikan anggaran penanganan bencana yang memadai, masih minim. “Itu kan hal yang tidak sinkron,” kata mantan kepala Pusat Penerangan TNI tersebut. Nanggroe Aceh Darussalam memiliki APBD senilai kira-kira Rp 7 triliun. Tapi, anggaran penanggulangan bencana hanya Rp 53 miliar atau tidak sampai 1 persen. Kemudian, di DKI Jakarta, anggaran penanggulangan bencana hanya sekitar Rp 8 miliar. Sementara, APBD di propinsi tersebut sekitar Rp 26 triliun. “Saat peristiwa banjir di Jakarta kemarin, semua dana penanggulangan bencana berasal dari BNPB. Saat itu APBD DKI Jakarta belum disahkan oleh DPRD,” kata Syamsul.

Berikut ini beberapa propinsi yang mengalokasikan dana penanggulangan tidak sampai 1 persen dari APBD yakni Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Jawa Timur. “Kemudian, Sumatera Barat, itu hanya alokasikan sebesar Rp 11 miliar. Sedangkan APBD-nya sekitar Rp 1,9 triliun, Sumatera Barat sendiri tergolong rawan bencana, bukan?” Upaya Pemerintah Indonesia untuk mendesentralisasikan penanganan bencana juga belum berlangsung baik. Kondisi sentralisasi masih sangat terasa. Misalnya usai bencana gempa di Sumatera Barat di tahun 2009, bangunan rumah sakit disana belum dibangun kembali. Begitu pula gedung Pemerintah Propinsi Sumatera Barat, gedung Kepolisian Daerah Sumatera Barat, dan lain-lain. “Masih menanti peran dari Pemerintah Pusat,” tambahnya. Keinginan BNPB untuk terjadinya cost sharingdana penanggulangan bencana antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat juga belum terjadi. Ada semacam gap di situ. “Sepertinya, lima buah rumah hanyut oleh bencana banjir pun, penanganannya masih mesti melibatkan Pemerintah Pusat. Saat ini, desentralisasi penanganan bencana masih sulit tercapai,” kata Syamsul.

 

Awas Ada Kasus Penyakit Mirip SARS

Kementrian Kesehatan Italia menemukan virus baru yang mirip dengan virus SARS. Pengumuman penemuan virus ini setelah seorang laki-laki usia 45 tahun yang baru-baru ini kembali dari lawatan 40 hari ke Yordania diopname di RS di Tuscany karena demam tinggi, batu-batuk dan kesulitan pernafasan.

Pejabat pemerintahan lokal di Tuscany, mengatakan seorang anak kecil yang terkait dengan laki-laki itu serta rekan sekerjanya juga mengidap virus tersebut. Ketiga pasien ini berada dalam kondisi baik dan sedang diobati dalam kondisi karantina.

Virus ini terkait SARS, yang menewaskan 800 orang ketika terjadi epidemi global pada 2003. PBB sebelumnya mengatakan ada 51 kasus virus barus sejak September.

Kasus-kasus seperti ini juga muncul di Inggris dan Jerman. Kebanyakan yang tertular pernah melawat ke Qatar, Arab Saudi, Yordania dan Pakistan.

(sumber: www.republika.co.id)

 

Program PHBS Dapat Tingkatkan Kesehatan Masyarakat

Jakarta, — Program Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dinilai mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Hal itu diungkapkan Ketua Tim Penggerak PKK (TP-PKK) Pusat, Vita Gamawan Fauzi, pada kunjungannya di Kabupaten Gorontalo, untuk meninjau langsung penerapan program Keluarga Berencana – Kesehatan (KB-Kes), Minggu (2/6).

Kunjungannya di Desa Huidu Utara, kata Vita, memberikan kesan yang baik, sebab ternyata desa tersebut dinilai layak mengukir prestasi di tingkat nasional.

Penerapan PHBS dan kesadaran masyarakat bukan sekedar untuk mengikuti lomba saja, namun sudah menjadi kebiasaaan rutin yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Penataan lingkungan yang baik, membuktikan desa di Kecamatan Limboto Barat ini, layak menjadi percontohan bagi daerah lain di Provinsi Gorontalo dan Indonesia.

Sementara itu, Sekretaris daerah (Sekda) setempat, Khadijah Tayeb, mengatakan, program KB-Kes dan PHBS di kabupaten ini berjalan dengan optimal, dan mendapatkan dukungan sepenuhnya dari masyarakat khususnya para kaum ibu.

Desa Huidu Utara sebagai pemenang lomba KB-Kes tingkat provinsi, mampu menunjukkan tingkat kesadaran masyarakat yang sadar akan pentingnya penerapan PHBS didukung berbagai program pemerintah daerah.

Diantaranya, program gemerlap sehat dan pembentukan gugus tugas (G-Gas) yang siap siaga 1×24 jam untuk membantu ibu yang akan menjalani proses persalinan di setiap desa dan kecamatan.

Serta keberhasilan pemanfaatan pekarangan rumah untuk tanaman sayur-sayuran.

(sumber: www.aktual.co)

 

Iklan Rokok Picu Remaja dan Anak Merokok

stan

stanJakarta, PKMK. Selain meningkatkan konsumsi, iklan rokok juga menyebabkan inisiasi perilaku merokok pada anak-anak. Iklan tersebut dikemas dalam tampilan yang sangat menarik. Pesan yang menekankan aspek rasa, lebih mudah menyentuh hati dan pikiran pemirsa. Nilai-nilai percaya diri, setia kawan, kreativtas, tampan, dan berani, sangat cocok dengan citra diri yang banyak diinginkan remaja. Demikian dikatakan Profesor dr. Tjandra Yoga Aditama, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan RI, di Jakarta (31/5/2013). Berbagai penelitian ilmiah menjelaskan keberadaan hubungan sebab-akibat antara pemasaran rokok dengan peningkatan konsumsinya. Iklan, promosi, dan sponsor rokok, membangun friendly familiarity terhadap produk rokok.

Untuk mengurangi konsumsi rokok, diperlukan pengendalian iklan dan promosi rokok secara menyeluruh. Hal ini merupakan larangan iklan rokok yang bersifat menipu dan menyesatkan, menghindari pemasaran rokok yang membidik remaja, dan lain-lain. Akhir tahun lalu, Pemerintah Indonesia telah menetapkan regulasi mendasar dalam pengendalian tembakau. Itu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. “Di dalamnya terdapat pembahasan mengenai pengendalian media iklan rokok. Juga pengendalian sponsor dan promosi rokok,” kata Tjandra.

Lebih lanjut dia mengatakan, Indonesia sekarang menjadi negara ketiga dengan jumlah perokok aktif terbanyak, yakni sebesar 61,4 juta orang. Tingginya jumlah perokok aktif itu berbanding lurus dengan jumlah perokok pasif yang kian bertambah menjadi 97 juta orang. “Sekitar 43 juta anak-anak Indonesia terpapar asap rokok dan 11,4 juta di antara mereka berusia nol sampai empat tahun.” Rokok mengandung lebih dari 4.000 zat yang mengancam kesehatan. 43 di antara zat tersebut bersifat karsinogenik. Rokok menjadi faktor risiko bagi penyakit tidak menular yang mematikan seperti jantung koroner, stroke, dan kanker.

 

Gerakan Anti-Rokok di Indonesia Dinilai Luar Biasa

31mei

31meiJakarta, PKMK. Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menyampaikan gerakan anti-rokok di Indonesia bisa dikatakan luar biasa. Di luar Jakarta dan sekitarnya, gerakan tersebut juga berjalan bagus. Walau demikian, bisa dikatakan bahwa gerakan tersebut belum seperti yang diharapkan. “Saya mengucapkan terima kasih kepada yang sudah berhenti merokok. Mereka berhasil melewati sebuah perjuangan berat,” kata Menteri Nafsiah dalam acara Puncak Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2013 di Jakarta (31/5/2013).

Ia menceritakan, keluarganya mengalami beratnya perjuangan berhenti merokok. Ada yang berhasil berhenti merokok ataupun tidak. Serta ada pula yang meninggal karena penyakit kanker dari rokok. “Ibu-ibu yang berusaha agar suami ataupun anak berhenti merokok pun banyak dan upaya tersebut sering tidak dipedulikan,” ujar dia. Gerakan anti-rokok muncul oleh kepercayaan bahwa rakyat Indonesia berhak memperoleh derajat kesehatan yang paling tinggi. Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2013 di Jakarta, merupakan satu tonggak penting bagi Indonesia. Disini, ada satu konsensus dari generasi muda Indonesia untuk semakin menyadari bahaya zat adiktif dalam rokok. “Bagi Pemerintah Indonesia, perang terhadap bahaya rokok harus bersifat total football. Dari hulu, sudah ada regulasi memadai untuk hal itu,” kata Menteri Nafsiah.

Dalam gerakan anti-rokok, semua media harus dimanfaatkan. Bukan hanya media seperti televisi dan billboard, social media ataupun layanan SMS juga perlu digunakan. “Saya rasa, SMS bisa berperan vital. Sekarang ini, SMS bisa digunakan sebagai alat pressure. Semisal, saya memperoleh seribu SMS yang menanyakan kelanjutan Rancangan Undang-undang (RUU) Keperawatan. Ini mengherankan karena saya tidak menentang RUU itu,” kata dia. Sekarang merupakan waktu bagi masyarakat Indonesia untuk memerangi bahaya rokok melalui jalur masing-masing. Sudah tentu, industri rokok tidak akan tinggal diam terhadap hal itu, kata Menteri Nafsiah pula.

 

Bea Impor Alat Kesehatan Cukup Tinggi

Jakarta – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mempertanyakan kebijakan pemerintah yang masih mengenakan bea masuk alat kesehatan yang cukup tinggi. Akibatnya, biaya kesehatan yang harus dibayarkan masyarakat menjadi makin mahal. Di sisi lain, pemerintah justru tengah bersiap membangun jaminan sosial lewat Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan pada 2014.

“Parahnya lagi, impor untuk alat-alat kesehatan masih dikenakan pajak pertambahan nilai barang mewah (PPNBM),” kata Wakil Ketua Komite Tetap Kebijaksanaan Kesehatan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Herkutanto, di Jakarta, Rabu, (29/5).

Kadin menilai bea masuk seharusnya menjadi instrumen restriksi untuk melindungi barang yang bisa diproduksi di dalam negeri dari impor. Namun, kenyataannya, Indonesia hingga kini belum bisa memproduksi sendiri alat-alat kesehatan canggih di dalam negeri. Langkah impor pun tak bisa dihindari.

Kalaupun bisa diproduksi di dalam negeri, Herkuntanto mengatakan pemerintah belum memberikan insentif untuk bahan baku pembuatan alat kesehatan tersebut. Herkutanto menjelaskan, dengan besarnya pajak yang dikenakan pada alat-alat kesehatan, biaya operasional penyelenggara kesehatan pada akhirnya menjadi terlampau tinggi.”Yang mereka terima lebih sedikit dari yang riil dikeluarkan. Kalau kita lihat costnya, komponen yang lebih besar ada pada investasi alat-alat canggih. Kalau untuk penyakit sederhana tidak terlalu mahal karena tidak menggunakan alat canggih. Tapi kalau sampai masuk ICU bisa lebih dari Rp 15 juta,” lanjut Herkutanto.

Dia menegaskan, Kadin kini tengah mendesak Menteri Keuangan untuk menghapuskan bea masuk alat-alat kesehatan. “Kita bisa bersama-sama menekan Menkeu bagaimana menangani ini, acces to health care,” tegas Herkutanto.

Tantangan Global

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pendidikan dan Kesehatan, James T. Riady mengatakan dalam rangka persiapan menghadapi tantangan ekonomi global, seperti ASEAN Economic Community 2015, maka pemerintah Indonesia harus melakukan pembenahan kualitas tenaga kerja atau sumber daya manusia (SDM) yang berkompeten agar mampu berdaya saing.

“SDM dikatakan berkualitas, jika aspek kesehatannnya juga baik. Sementara saat ini kondisi layanan kesehatan masyarakat masih banyak yang perlu dibenahi, tentu ini berpengaruh pada kualitas sumber daya manusianya,” tuturnya.

James mengatakan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan tidak dapat terlepas dari kualitas tenaga kesehatan, khususnya dokter dan enaga profesional lainnya serta kualitas alat kesehatannya.”Kenyataan menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja kesehatan khususnya dokter spesialis masih terbatas dan belum merata disemua daerah, selain itu ketersediaan alat kesehatan canggih juga masih sangat terbatas,” ujarnya.

Menurutnya untuk meningkatkan kualitas SDM di bidang kesehatan diperlukan terobosan-terobosan dalam pendidikan bidang kesehatan, yakni kemudahan pendidikan, pelatihan dan praktek kerja yang cukup untuk meningkakan keterampilan skill.

Namun demikian, akibat keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan bidang kesehatan, menyebabkan pendidikan dan pelatihan bidang kesehatan menjadi sangat terbatas.”Sebagai contoh, mahalnya bea masuk alat kesehatan membuat praktek kerja dokter menjadi jarang, sehingga menyebabkan keterampilan para dokter kurang terasah. Di sisi lain, tingginya bea masuk alat kesehatan membuat biaya kesehatan semakin mahal, apalagi di tengah tuntutan untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam rangka BPJS,” tuturnya.

Maka, lanjutnya, Kadin meminta Kementerian Perdagangan membuka kran impor alat-alat kesehatan selebar-lebarnya, dengan cara mencabut tarif bea masuk barang mewah untuk peralatan kesehatan tersebut.

Bisnis Tumbuh

Pertumbuhan pasar alat kesehatan (alkes) domestik ternyata sejalan dengan pertumbuhan bisnis obat. Pebisnis farmasi menyatakan, pasar alat kesehatan di tahun 2012 naik 5% menjadi Rp 7 triliun dibanding tahun 2011.

Direktur Keuangan PT Kalbe Farma Tbk (KAEF), Vidjongtius, sebelumnya memaparkan, pertumbuhan bisnis alat kesehatan terus menunjukkan kurva positif. Vidjongtius yakin nilai pasar alat kesehatan tahun 2014 bisa naik menjadi Rp 10 triliun – Rp 15 triliun.

Kenaikan pasar itu karena Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional (BPJS) mulai beroperasi. Selain itu, belakangan ini mulai bermunculan sejumlah rumah sakit baru. Melihat peluang bisnis ini, Kalbe berani memasang target pendapatan hingga 20% di tahun ini.

(sumber: www.neraca.co.id)