Pembahasan RUU Pendidikan Tinggi Kedokteran Terhenti

Jakarta, PKMK. Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Pendidikan Tinggi Kedokteran di Komisi X DPR RI saat ini terhenti. Sebab, tim dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan Nasional ingin memperbarui daftar isian masalah (DIM) RUU tersebut. Seperti diketahui, sebelumnya Panitia Kerja (Panja )RUU Pendidikan Tinggi Kedokteran Komisi X DPR RI sudah menyetujui DIM RUU itu, ungkap Raihan Iskandar, Anggota Komisi X DPR RI di Jakarta (16/5/2013). Apa poin di DIM RUU yang membuat tim Kementerian Pendidikan belum sepakat? Ada adu argumen tentang DIM RUU dalam rapat pembahasan terakhir dan ditemukan adanya sejumlah DIM RUU yang tidak tepat. Kemudian, tim Kementerian Pendidikan mengakui bahwa belum ada kesiapan untuk pembahasan lebih lanjut serta mereka menyatakan ingin memperbarui DIM RUU itu.

Saat ini, tim Kementerian Pendidikan tengah menyusun DIM RUU lagi. Menjadi tugas tim itu untuk menyusun sebab merekalah yang menarik DIM RUU itu, sementara Panja sudah setuju. “Untuk pembahasan RUU itu berikutnya, ya kami menunggu DIM baru tersebut,” ucap Raihan. Seberapa lama waktu yang diperlukan untuk DIM RUU baru? Raihan mengatakan, pihaknya tidak bisa memastikan hal tersebut. Hal yang pasti, sudah menjadi tugas Panja untuk mengingatkan agar proses tersebut tidak berlarut-larut. “Awalnya, Kementerian Pendidikan juga sudah menyetujui DIM RUU itu. Tapi lalu mau mengkaji ulang. Okelah, kami setuju,” ucap Raihan. Sebaiknya, penyebab terhentinya pembahasan RUU tersebut tidak ditujukan ke Panja sebab DIM RUU lama itu disetujui Panja, kata Raihan. Pembahasan beasiswa dan ikatan dinas untuk mahasiswa fakultas kedokteran, termasuk dalam salah satu DIM RUU yang sudah disetujui Panja. Rapat pembahasan DIM RUU tersebut bisa dijadwalkan lagi jika Kementerian Pendidikan sudah menyerahkan DIM RUU baru. Kementerian Pendidikan telah membentuk tim baru untuk membuat DIM RUU versi baru.

 

Mantan Menpera Sarankan Sosialisasi Rumah Honai Lebih Mengena

Jakarta, PKMK. Siswono Yudhohusodo, Mantan menteri perumahan rakyat RI, menyarankan agar sosialisasi rumah honai sehat ke masyarakat Papua berlangsung lebih mengena. Untuk itu, sosialisasi perlu lebih dulu dilakukan melalui pendekatan sosiologis ke tokoh adat. Setelah itu, barulah sosialisasi berlangsung ke masyarakat sasaran rumah tersebut. “Kalau sosialisasi langsung dilakukan ke masyarakat, ya sulit. Sebab masyarakat tradisional cenderung sulit berubah daripada masyarakat modern,” kata Siswono di Jakarta (16/5/2013).

Dengan kecenderungan tertutup itu, bisa dipahami bahwa desain rumah honai sehat masih sukar diterima masyarakat. Dalam upaya mengatasi hal tersebut, sosialisasi pun perlu lebih bersifat lintas instansi Pemerintah Indonesia. Sosialisasi sebuah program Pemerintah Indonesia bukan sekadar tanggung jawab sektoral. Kata Siswono, “Sudah tentu, Pemerintah Daerah perlu terlibat intensif. Demikian pula tokoh agama dan adat. Pertama kali, manfaat program tersebut harus dijelaskan.”

Saat ini, kebiasaan bermukim di rumah honai biasa menyebabkan sejumlah gangguan kesehatan, salah satunya penyakit tuberkulosis lebih mudah menular. Lebih dari 70 persen masyarakat di Lembah Baliem terkena tuberkulosis karena desain rumah honai yang tertutup. Desain tertutup itu karena iklim pegunungan yang dingin. Sekeluarga tidur satu lantai dengan mengelilingi api sehingga hangat, ternak pun di situ. “Dengan ilmu kesehatan, kita mengetahui bahwa hal itu tidak sehat dan Pemerintah Indonesia memiliki prakarsa baik untuk mengubahnya,” jelas Siswono. Wujud prakarsa itu adalah bentuk rumah honai yang lebih sehat, yaitu sirkulasi udara dimungkinkan lebih baik dan berlantai dua. “Sekali lagi bisa dimengerti kalau desain itu belum bisa diterima, perlu sosialisasi yang lebih mengena dan intensif,” papar Siswono.

 

JAMINAN KESEHATAN: Pemberlakuan BPJS Bakal Meningkatkan Jumlah Kepesertaan Jaminan Kesehatan

SEMARANG – Kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang akan di berlakukan 1 Januari 2014 diperkirakan bakal mempengaruhi penggelembungan peserta jaminan kesehatan di wilayah Jateng dan DIY hingga mencapai 15 juta dari saat ini hanya 2 juta.

Operasionalisasi BPJS Kesehatan itu diberlakukan untuk menggantikan model pelayanan kesehatan melalui Perseroan, di mana Badan baru itu menggabungkan peserta asuransi kesehatan, Jamkesmas, eks-Jamsostek dan anggota TNI/Polri dalam satu wadah layanan.

General Manager PT Askes (Persero) Divisi Regional VI Jateng – DIY, Andayani Budi Lestari mengatakan secara nasional peserta Askes saat ini sebanyak 16,5 juta orang dan tercatat 2 juta di antaranya berasal dari di Jateng dan DIY, bahkan dipastikan jumlah peserta di dua provinsi itu akan meningkat berlipat menjadi sekitar 15 juta jiwa karena penggabungan dari beberapa lembaga penjamin kesehatan.

Pelaksanaan BPJS Kesehatan di Jateng-DIY itu, lanjutnya, sedang dipersiapka dengan peningkatan kompetensi sumber daya manusia dan peguatan sistem informasi layanan sehingga data yang didapatkan atau dipublikasikan bersifat realtime.

Perseroan di wilayahnya juga akan menambah sekitar 250 pegawai dari 500 pegawai yang saat ini aktif, sehingga pelayanan ke depan bisa dijangkau sesuai dengan kapasitas kepesertaan. (41/rsj)

(sumber: www isnis-jateng.com)

 

 

 

RS Siloam Manado Kurangi Pasien Berobat ke Malaysia

15mei

15meiJakarta, PKMK. Keberadaan Rumah Sakit (RS) Siloam di Manado, Sulawesi Utara, bisa mengurangi jumlah pasien kelas menengah ke atas yang berobat ke Malaysia. Sebab, fasilitas berobat yang ditawarkan RS Siloam di Manado sama dengan di Malaysia bahkan lebih baik, ungkap Cixo Sianipar, PR Corporate Siloam Hospitals, di Jakarta (15/5/2013).

Selanjutnya, kelak kehadiran RS Siloam di kawasan lain Indonesia Timur seperti Ambon (Maluku) dan Papua Barat, juga bisa mengurangi jumlah warga yang berobat ke luar negeri. “Memang, selama ini RS swasta di Indonesia Timur masih sedikit, khususnya yang menyediakan layanan spesialis. Maka kami melakukan ekspansi ke kawasan yang belum dijamah pemain RS swasta yang lain,” kata Cixo. Peralatan medis canggih yang dihadirkan di RS Siloam di Jakarta, juga dihadirkan di Indonesia Timur. Semaksimal mungkin, kualifikasi peralatan medis di Indonesia Timur setara dengan di Jakarta. Kata Cixo, “Hanya saja, kuantitasnya mungkin tidak sama. Misalnya, kalau di Jakarta ada dua atau tiga catch lab, di Kupang cukup satu.”

Di Makassar, Sulawesi Selatan, manajemen RS Siloam bekerja sama dengan Universitas Hasanuddin untuk pengadaan ataupun pelatihan dokter. Di kota lain di Indonesia Timur, tidak tertutup kemungkinan bahwa pola serupa digunakan. “Kami pun akan mengutamakan tenaga medis putra daerah, porsi mereka sampai 98 persen dan didampingi tenaga ahli dari Jakarta,” Cixo mengatakan.

Dapat dikatakan bahwa segmen pasien yang dibidik RS Siloam di Indonesia Timur, campuran, yaitu segmen menengah ke bawah ataupun atas. Cixo menampik anggapan bahwa RS Siloam identik dengan layanan pengobatan yang mahal. “Dengan membidik segmen pasar bervariasi, kami membuat subsidi silang. Pasien kaya menyubsidi yang tidak mampu,” ujar Cixo. Siloam Hospitals menargetkan mempunyai 77 buah rumah sakit di tahun 2017. Saat ini, RS yang sedang dibangun ada di Padang (Sumatera Barat), Medan (Sumatera Utara), dan Kupang (Nusa Tenggara Timur).

 

Permenkes No. 7/2013 tidak adil? Poempida langsung bertindak

Komisi IX DPR RI akan melakukan langkah politik kepada Menteri Kesehatan (Menkes) jika Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 7/2013 tentang Pedoman Pengangkatan dan Penempatan Dokter dan Bidan sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) tidak memenuhi unsur keadilan.

“Apabila peraturan tersebut tidak terdapat asas ketidakadilan bagi para bidan PTT ini, maka saya akan meminta Permenkes itu,” ujar Poempida saat ditemui Licom di Gedung DPR RI, Senin (13/05/2013).

Baca juga: Sebelum naikkan BBM, Komisi IX desak pemerintah perbaiki ketenagakerjaan dan Politisi Senayan “tersinggung” BLT rakyat miskin, jawaban kenaikan BBM

Menurutnya, pengangkatan status bidan menjadi PNS dalam masa kerja 9 tahun ini belumlah terang benderang terkait hal-hal yang mengatur masa kerja bidan untuk diangkat menjadi PNS.

“Kemudian, statusnya menjadi PNS. Secara teknis, dalam konteks tersebut tidak jelas, apakah semua bidan PTT ini yang akan menjadi PNS atau sebagaian atau bertahap,” terangnya.

Lebih lanjut, politisi Partai Golkar ini menjelaskan, permasalahan yang nampak Permenkes No 7/2013 ini lebih pada periodesasi. “Permasalahan yang sangat jelas ini ketika ada Permenkes No. 7/2013, yang menyatakan status bidan PTT maksimal harus 3 periode. 1 periode itu ada 3 tahun, jadi maksimal 9 tahun,” bebernya.

Sehingga, lanjutnya, ini menjadi ketidakjelasan sendiri dari aspek keadilan bagi para bidan. Padahal, menurutnya, status bidan PTT yang sudah lima tahun hingga lebih dari tujuh tahun menjadi tidak jelas akibat Permenkes ini. Kecuali, menjadi bidan di tempat lain, bukan di tempat yang saat ini. Poempida menilai ini merupakan suatu ketidakadilan di dalam konteks kebijakan.

Hal ini, ia meyakini, jika para bidan nasibnya tidak jelas, yang dikemudian hari akan mengganggu kesukseskan program BPJS karena porsi kerja ibu-ibu bidan ini akan bertambah karena orang-orang tidak perlu ada biaya lagi dan yang menjadi ujung tombaknya adalah para Bidan.

“Gol utama Bidan itu kan menjadikan mereka PNS. Tapi kalau Permenkes itu tidak strategis, ya.. minta Permenkes itu dicabut karena nanti Menkes bisa berkelit di Permenkes itu tadi. Jadi, bisa menghambat mereka menjadi PNS karena adanya Permenkes itu tadi,” tuturnya.

Apabila memang Permenkes ini tidak adil atau diindahkan, Poempida tidak segan-segan untuk melakukan penindakan sebaik mungkin.

“Apabila Menkes tidak mengindahkan hal tersebut, saya akan melakukan tindakan-tindakan politik semampunya sebagai anggota IX DPR,” pungkasnya. @yuanto

(sumber: www.lensaindonesia.com)

 

Australia Perkuat Sistem Kesehatan Indonesia

Denpasar – Setelah mengikuti upacara peringatan 10 Tahun Bom Bali yang dipusatkan di Garuda Wisnu Kencana (GWK) Jimbaran, Badung, Menteri Kesehatan RI Dr. Nafsiah Mboi bersama-sama Gubernur Bali Mangku Pastika menyambut kedatangan Perdana Menteri Australia Julia Gillard di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, Jumat (12/10).

Di Lokasi, Perdana Menteri Gillard didampingi Menteri Kesehatan dan Gubernur Bali selanjutnya langsung meninjau Instalasi Penanganan Luka Bakar yang merupakan bantuan dari Pemerintah Australia pasca tragedi bom Bali 12 Oktober 2012. Selain itu, Gillard juga berbincang-bincang dengan para medis maupun keluarga korban mengenai pengalaman menangani bencana tersebut serta langkah –langkah yang dilaksanakan pasca tragedi sampai pada hari ini.

Julia Gillard dalam pidatonya menyampaikan komitmennya dalam upaya peningkatan sistem kesehatan di Indonesia melalui bantuan sebesar 50 Juta Dolar Australia sampai pada 2016. Mulai dari peningkatkan sarana dan prasarana penunjang medis sampai pada pengembangan sumber daya manusia bidang kesehatan sehingga dapat melakukan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat pada umumnya.

Terkait pertanyaan awak media tentang masih adanya 10 orang korban Bom Bali yang tidak mendapatkan perhatian dari Pemerintah, Gubernur Bali menyampaikan ini karena kurang komunikasi antara keluarga korban dengan pemerintah.

“Saya pastikan kita akan bantu mereka apalagi itu warga saya, kita punya JKBM yang bisa dipergunakan untuk perawatan maupun operasi. Tolong datang ke saya atau pada saat simakrama yang rencananya akan dilaksanakan pada akhir bulan ini”, demikian ujarnya lugas.

“Saya informasikan bahwa Gubernur tidak akan bisa tau segalanya, tolong kerjasama yang baik dan komunikasi yang intens agar semuanya bisa berjalan dengan baik”, imbuhnya.

(sumber: www.koridortimur.com)

Sosialisasi Rumah Honai Sehat Perlu Tokoh Agama

honai

honaiJakarta, PKMK. Dalam mengenalkan rumah honai sehat ke sebagian masyarakat Papua, Kementerian Perumahan Rakyat RI perlu melibatkan tokoh agama. Tokoh agama yang dimaksud antara lain para misionaris buat warga beragama Nasrani, dan para dai untuk yang beragama Islam. Jika sosialisasi tersebut hanya melalui birokrat pemerintah, sulit mengharapkan hasil memadai, ungkap Zulfi Syarif Koto, Pengamat kebijakan perumahan (13/5/2013). Mantan deputi menteri perumahan rakyat RI itu berkata, pembuatan desain rumah honai sehat tidak cukup hanya dari segi kelayakan teknis. Aspek antropologi, sosial budaya juga perlu dipertimbangkan. Dalam hal itu, para tokoh agama perlu dilibatkan saat pembuatan desain dan saat sosialisasi, mereka pun terus dilibatkan. Para kepala suku di Papua pun bisa berperan serupa,” kata dia.

Tahun 2007, Kementerian Perumahan Rakyat RI pun pernah membuat desain rumah honai sehat, bekerja sama dengan pihak lain seperti Universitas Gadjah Mada dan Universitas Cendrawasih. Hal itu terkait pemindahan masyarakat Kabupaten Yahukimo karena bencana kelaparan. Di kota, mereka ditempatkan di rumah honai sehat; rumah tersebut juga berlantai dua seperti yang ditawarkan sekarang. “Dulu menurut kita, itu rumah sehat yang bagus. Tapi masyarakat ternyata tidak berpendapat demikian,” ujar Zulfi sambil tertawa ringan. Pengubahan bentuk desain rumah honai juga mengharuskan perilaku baru. Masyarakat tersebut tampak enggan mengubah kebiasaan tertentu. Mereka terbiasa meminyaki tubuh dengan minyak babi dan tinggal satu lantai dengan ternak itu. Maka, saat ternak itu di lantai satu dan orang di lantai dua, ada kebingungan. Kini sudah waktunya Pemerintah Indonesia lebih memperhatikan aspek antropologi sosial budaya seperti itu. Jangan seperti Pemerintah Orde Baru yang menyamakan segala hal. “Kalau Orde Baru itu kan gebyah uyah. Penanganan Suku Asmat dianggap sama dengan suku lain di Papua,” ucap Ketua Umum The Hud Institute itu.

 

Dana BLT Sebaiknya Dialihkan ke BPJS Kesehatan

Jakarta, PKMK. Bila Pemerintah Indonesia akhirnya menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubdisi, sebaiknya jangan menggunakan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk membantu warga miskin. Namun, dana BLT tersebut digunakan untuk kenaikan nilai Penerima Bantuan Iuran (PBI) di Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, ungkap Poempida Hidayatulloh, anggota Komisi IX DPR RI, di Jakarta (13/5/2013). Politisi dari Partai Golkar itu mengatakan, penyaluran dana melalui BLT rawan oleh berbagai hal yang tidak diinginkan. Dalam konteks berlangsungnya Pemilihan Umum Tahun 2014, dana BLT bisa diklaim ataupun disalahgunakan oleh pihak tertentu. “Sementara, kesuksesan pelaksanaan BPJS Kesehatan antara lain ditentukan oleh nilai PBI tersebut,” ujar Poempida.

Hal yang paling krusial dalam kesuksesan BPJS Kesehatan adalah memadai atau tidaknya nilai PBI tersebut. Peraturan Presiden (Perpres) yang menyebutkan bahwa pengobatan semua penyakit berat harus dijamin oleh BPJS Kesehatan sudah ada. Maka, seharusnya nilai PBI dinaikkan, bukan di angka Rp 15 ribuan per orang per bulan. “Saya lebih suka mengacu ke nilai Rp 27ribuan sesuai dengan standar PT Askes. Juga sesuai dengan kalkulasi dari Dewan Jaminan Sosial Nasional,” kata dia. Apa akibatnya bila nanti yang digunakan nilai Rp 15.000-an itu? Berbagai permasalahan bisa muncul, nilai tersebut jelas tidak memadai bila semua penyakit akan ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Kini, peraturan teknis terkait nilai PBI tersebut belum ada. Saat ini, yang sudah keluar adalah Perpres tentang definisi ataupun kriteria warga yang akan memperoleh PBI. “Kemungkinan, besaran nilai PBI itu akan diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan atau dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Itu kalau saya tidak salah,” ucap Poempida.

 

Pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran Harus Diintensifkan

Jakarta, PKMK. Pembahasan Rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi Kedokteran (RUU Pendidikan Tinggi Kedokteran) oleh Komisi X DPR RI harus lebih intensif. Demikian pula pembahasan sejumlah RUU lain di DPR seperti RUU Jaminan Produk Halal dan RUU Pemberantasan Pembalakan liar. Sebab, semua RUU tersebut telah beberapa kali mendapatkan persetujuan perpanjangan masa pembahasan. Ketua DPR RI Marzuki Alie menyampaikan hal itu dalam Sidang Paripurna DPR RI di Jakarta (13/5/2013). Meski perpanjangan waktu itu disetujui, hendaknya jangan diartikan bahwa ketidaktepatan waktu selalu menjadi pilihan. “Kita harapkan bahwa pembahasan lebih produktif dan intensif dengan dorongan dari pimpinan komisi di DPR,” kata politisi dari Partai Demokrat itu.

Ia menambahkan kualitas RUU yang dihasilkan DPR RI juga harus lebih dinaikkan. Dalam masa persidangan sebelum ini, DPR RI baru menyelesaikan pembahasan lima RUU. Sementara itu, DPR telah menetapkan penyelesaian 70 RUU di sebagai prioritas di Program Legislasi Nasional Tahun 2013. Lebih lanjut, sejumlah masalah sosial patut dicermati bersama oleh DPR RI. Satu di antara itu adalah pengaduan dari masyarakat terkait jaminan sosial. Menyikapi hal semacam ini, DPR perlu lebih responsif. Masalah sosial lain yang dicermati DPR RI adalah persoalan bencana alam yang masih sering terjadi di seluruh Indonesia. Bencana tersebut merugikan secara materil dan kerap kali menimbulkan korban jiwa. “DPR RI meminta agar Pemerintah Indonesia selalu bertindak cepat sekaligus tepat dalam mitigasi bencana alam,” ujar Marzuki. Sidang Paripurna untuk pembukaan Masa Sidang V Tahun Sidang 2012-2013, dihadiri oleh 306 orang anggota DPR RI. Jumlah tersebut telah mewakili seluruh fraksi di DPR RI. “Maka, kuorum telah tercapai,” ucap Marzuki saat membuka sidang itu.

Indonesia Berkomitmen Perangi Limbah B3 dalam KTT Genewa

Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) menjadi Focal Point Indonesia dalam pertemuan terkait Bahan Beracun Berbahaya (B3) dan limbahnya yang diselenggarakan United Nations of Environment Programme (UNEP) di Jenewa Swiss, Jumat (10/5). Pertemuan bertajuk ‘Ordinary and Extraordinary Meetings of the Conferences of the Parties of the Basel Convention, Rotterdam Convention and Stockholm Convention’.

Pertemuan tersebut merupakan lanjutan dari Konvensi Basel tentang ekspor dan impor limbah B3, Konvensi Rotterdam tentang informasi ekspor dan impor bahan kimia berbahaya dan beracun, dan Konvensi Stockholm tentang Persistant Organic Polutant.

Menteri Negara Lingkungan Hidup (MenLH) Balthasar Kambuaya menyatakan sebagai negara kepulauan di jalur pelayaran dunia, Indonesia sangat rentan terhadap datangnya limbah dan sumber pencemar lainnya.

“Karena itulah peranan kita dalam implementasi pengawasan amatlah penting,” ujar Balthasar dalam siaran Pers usai pertemuan di Jenewa Swiss, Jumat (10/5).

Balthasar mengakui pengawasan B3 dan limbahnya bukannya tidak ada kendala. “Kendala utamanya tentu saja keberadaan lebih dari 17.000 pulau di Indonesia tentu saja semakin memudahkan sekaligus godaan menggiurkan bagi banyak negara untuk membuang limbahnya ke Indonesia,” tegas Balthasar.

Komitmen Indonesia dalam upaya mengurangi dampak negatif perdagangan dan pergerakan bahan kimia menurut Balthasar benar-benar diperlukan. Jika tidak diatur maka resiko mengganggu kesehatan dan lingkungan hidup.

“Melalui komitmen ini kita dapat mencegah Indonesia dijadikan tempat ‘dumping’ senyawa kimia yang berbahaya dan beracun yang dilarang digunakan di negara maju,

Selain upaya melindungi lingkungan, Indonesia juga bisa mendapat manfaat dengan menggalang kerjasama Internasional dan membuka akses pertukaran informasi mengenai pergerakan B3 dan limbah B3.

Indonesia, lanjut Balthasar saat ini telah sampai di akhir proses ratifikasi Konvensi Rotterdam yang sudah mendapat persetujuan parlemen.

“Kita telah menyatakan komitmen mencegah dampak negatif pergerakan limbah B3 dan B3 ke Indonesia, tidak hanya bagi pemerintah, tetapi juga untuk industri di Indonesia dan masyarakatnya dari peredaran B3 dan limbah ilegal dari negara lain,” tegas Balthasar. (Soraya Bunga Larasati)

(sumber: www.metrotvnews.com)