Peserta Lelang Alat Medis RS Cenderung Terbatas

6mei2

6mei2Jakarta, PKMK. Peserta lelang aset peralatan medis milik rumah sakit pemerintah di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta cenderung terbatas. Umumnya, peserta merupakan kalangan yang benar-benar mengetahui fungsi peralatan medis tersebut. Setelah dibeli, peralatan medis itu mungkin dijual lagi ataupun diperbaiki. Melalui proses ini, mereka benar-benar mengetahui pihak yang berminat membeli, ungkap M. Subagyo, Pejabat KPKNL Jakarta V di Jakarta (6/5/2012).

Subagyo menjelaskan pihaknya sering berupaya ekstra mendatangkan peserta. Dalam hal ini, pihak rumah sakit selaku pemilik aset diminta membantu mendatangkan peserta lelang. “Kalau kami kan kurang tahu persis tentang siapa yang kira-kira meminati peralatan medis. Terlepas dari itu, lelang tersebut seperti biasa juga diumumkan melalui surat kabar beberapa hari sebelumnya. Peminat harus membayar uang jaminan,” kata Subagyo.

Peralatan medis yang dilelang, biasanya memang yang sudah tidak ataupun kurang berfungsi. Maka dari itu, manajemen rumah sakit lantas mengusulkan agar itu dimasukkan sebagai aset yang dihapuskan, lantas dilelang. Ia pun berkata, peralatan medis tersebut sering dijual per paket. Dengan demikian, peralatan medis yang bernilai sangat rendah dan tidak bisa berfungsi, terdongkrak oleh yang masih berfungsi. Berbeda dengan semua itu, lelang aset non-peralatan medis milik rumah sakit pemerintah ataupun Kementerian Kesehatan biasanya lebih ramai. Misalnya, lelang aset mobil milik Kementerian Kesehatan diikuti banyak peserta, jumlah peserta lelang tersebut bisa mencapai ratusan orang, ungkap Subagyo.

Indonesia Waspadai Masuknya Virus Corona dari Arab Saudi

Jakarta – Kementerian Kesehatan meningkatkan kewaspadaan bagi kemungkinan masuknya virus corona di Indonesia setelah Arab Saudi kembali mengumumkan adanya korban tewas akibat virus tersebut.

“Sebagai kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya penyakit ini ke Indonesia maka kami telah membuat surat edaran ke Dinas Kesehatan dan KKP seluruh Indonesia,” kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Sabtu (4/5).

Surat edaran tentang peningkatan kewaspadaan Novel Corona Virus tanggal 3 Mei 2013 itu melanjutkan surat edaran sebelumnya perihal kewaspadaan virus corona baru tanggal 13 Februari 2013.

Pada tanggal 1 Mei 2013 lalu The National IHR Focal Point dari Arab Saudi telah melaporkan ke WHO adanya tujuh kasus baru infeksi virus corona pada rumah sakit di provinsi bagian timur Saudi Arabia dengan lima kasus diantaranya meninggal dunia dan dua kasus dalam kondisi kritis.

“Ini laporan kasus yang baru muncul sesudah beberapa waktu tidak ada kasus baru,” kata Tjandra.

Sejak bulan September 2012 sampai dengan tanggal 1 Mei 2013, WHO telah mendapatkan informasi jumlah total kasus konfirmasi Novel Corona Virus (nCoV) sebanyak 24 kasus, dengan 16 kasus meninggal dunia atau tingkat “case fatality rate” (CFR) yang cukup tinggi sebesar 66,66 persen.

Sementara itu, Dinas Kesehatan dan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) diseluruh wilayah Indonesia diminta untuk meningkatkan surveilans terhadap kasus Severe Acute Respiratory Infection (SARI) yang mungkin ditemukan di masyarakat khususnya pada kasus klaster.

Surat edaran Dirjen P2PL itu juga meminta agar ada peningkatan kewaspadaan di Rumah Sakit untuk semua kasus SARI yang tidak jelas penyebabnya dan harus ditangani dengan seksama serta dilakukan pemeriksaan laboratorium.

Sedangkan KKP diminta untuk melakukan pengamatan bagi seluruh orang (kru dan penumpang) yang memiliki gejala demam, batuk, dan kesulitan bernapas di bandara maupun pelabuhan.

Tjandra juga meminta jemaah umrah di Arab Saudi untuk selalu menjaga kesehatan dan segera mendatangi fasilitas pelayanan kesehatan bila menderita penyakit dengan gejala seperti tersebut di atas, serta selalu melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) termasuk cuci tangan pakai sabun (CTPS).

Masyarakat juga diharap untuk dapat melaporkan kepada Ditjen P2PL Kementerian Kesehatan bila menemukan kasus dengan gejala seperti tersebut diatas melalui sarana POSKO KLB.

“Saya juga terus berkoordinasi dengan WHO Jenewa dan WHO Jakarta untuk mengetahui perkembangan situasi epidemiologis virus novel ini,” kata Tjandra.

(sumber: www.beritasatu.com)

Kemensos Siapkan Rp 200 Miliar untuk Rumah Sehat

Jakarta:Kementrian Sosial anggarkan Rp 200 miliyar untuk membangun 20.000 rumah layak huni di 33 provinsi di Indonesia.

Menteri Sosial, Salim Segaf Al-Jufri mengatakan hingga saat ini sudah ada 5.000 rumah yang mendapat bantuan masing-masing senilai Rp 10juta. Salim mengatakan dana tersebut digunakan untuk membangun rumah baru sekaligus sarana prasarana.

“Kita targetkan ada 100.000 rumah yang terbangun. Dana lainnya bisa berasal CSR (Corporate Sosial Responsibility) , masyarakat, donatur lokal maupun internasional ,” kata Salim, usai meresmikan SDN 01 Blongkeng di Kecamatan Ngeluwar, Magelang, Ahad 5 Mei 2013.

Salim mengatakan dana Rp 10 juta memang tidak cukup untuk membangun rumah apalagi membayar buruh. Ia berharap rumah ini bisa dibangun oleh relawan masyarakat sehingga bisa memupuk gotong royong.

Ia melanjutkan Kemensos juga menganggarkan Rp 5,5 triliun untuk Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Dana tersebut untuk perawatan anak-anak terlantar,penyandang disabilitas, anak jalanan, dan lainnya.

Wakil Bupati Magelang, Zaenal Arifin mengatakan dana bantuan rumah dari Kemensos direspon positif oleh masyarakat. Hingga saat ini, sudah ada 500 proposal dari warga masyarakat yang mendaftarkan diri.

“Proposal tersebut akan diverifikasi terlebih dahulu oleh tim yang kami bentuk. Kami akan mengadakan survey di lapangan untuk menentukan apakah layak atau tidak. Tidak ada unsur kepentingan apapun dalam verifikasi, ” kata Zaenal.

Ia mengatakan target bantuan rumah layak huni di Kabupaten Magelang pada 2013 sekitar 300 rumah. Kriteria rumah yang akan dibantu diantaranya rumah berukuran sangat kecil dan keadaan ekonomi yang lemah.

(sumber: www.tempo.co)

Beasiswa Dokter Perlu Diiringi Sentralisasi

Jakarta, PKMK. Rencana Pemerintah Indonesia memberikan beasiswa dan ikatan dinas kepada dokter yang tercantum dalam Rancangan Undang-undang Pendidikan Tinggi Kedokteran, secara teoritis lebih mendukung pemerataan distribusi dokter di Indonesia. Meskipun begitu, yang perlu diperhatikan adalah pelaksanaan hal itu dalam masa desentralisasi pemerintahan Indonesia. Sebab, dalam Undang-undang Otonomi Daerah, disiratkan bahwa yang menggaji dokter adalah Pemerintah Daerah. Tatkala Pemerintah Pusat menempatkan dokter di pelosok namun pemerintah disana tidak memiliki anggaran untuk menggaji, tentu menimbulkan kesulitan tersendiri, dr. Kartono Mohamad, pengamat kesehatan di Jakarta (4/5/2013)

Demi memperbaiki tidak meratanya distribusi itu, sistem pelayanan kesehatan di Indonesia perlu direvisi, dari desentralisasi menjadi lebih terpusat. “Jadi, yang perlu ada bukan hanya beasiswa dan ikatan dinas itu. Namun juga mengkaji kembali desentralisasi pelayanan kesehatan,” kata mantan ketua umum Ikatan Dokter Indonesia itu. Secara teoritis, beasiswa dan ikatan dinas itu bisa dijalankan di Indonesia. Pada akhir tahun 1960-an, Pemerintah Indonesia juga pernah memberikan hal serupa. Tapi saat itu, jumlah fakultas kedokteran se-Indonesia hanya dua sehingga peminat beasiswa tidak banyak. “Kalau sekarang, jumlah fakultas kedokteran kan sudah sekitar 70-an,” kata Kartono.

Jika nantinya diberikan lagi, beasiswa dan ikatan dinas itu harus diberikan selektif. Penerimanya harus sungguh-sungguh diseleksi. Kemudian, waktu ikatan dinas tersebut harus lebih lama. Bukan sekadar enam bulan ataupun dua tahun seperti yang kini diberikan ke dokter pegawai tidak tetap (PTT). “Mahasiswa kedokteran dibiayai Pemerintah Indonesia selama pendidikan dan dia membayar utangnya berupa ikatan dinas yang cukup lama dengan rumus tertentu,” Kartono mengatakan. Hal yang jelas, nantinya peminat beasiswa dan ikatan dinas tersebut bisa banyak. Pelajar pintar namun berkemampuan ekonomi rendah akan banyak mengincar fasilitas tersebut. Hal ini mengingat biaya pendidikan di fakultas kedokteran yang mahal, ujar Kartono.

Developer Real Estate Miliki Potensi Lomba Bisnis Rumah Sakit

Jakarta, PKMK. Developer real estate besar di Indonesia memiliki potensi berlomba masuk bisnis rumah sakit. Sebab, dari sisi potensi pasar ataupun tingkat pengembalian investasi, bisnis rumah sakit bisa lebih menguntungkan daripada bisnis real estate, ungkap Budi Santoso, pengamat properti (2/5/2013). Budi menjelaskan, orang sakit pasti tidak akan menunda berobat. Terlebih lagi kalangan menengah ke atas. Berbeda dengan masalah kesehatan, kalangan ini masih mungkin menunda pembelian apartemen, rumah, ataupun properti yang lain. “Kalau terletak di lokasi berkembang dan di daerah dengan pendapatan tinggi, bisnis rumah sakit bisa balik modal dalam lima sampai tujuh tahun,” kata penulis puluhan buku real estate tersebut. Bisnis real estate dan rumah sakit sama-sama berjangka panjang. Namun bisnis rumah sakit lebih bisa memberikan keuntungan jangka panjang. Bila kawasan real estate perumahan seluas 10 hektar dikembangkan intensif, maka bisa selesai dalam setahun. Namun satu kawasan rumah sakit bisadapat terus memberikan pendapatan dalam waktu 10 tahun ataupun lebih.

Dari segi manajemen real estate, rumah sakit lebih mengalirkan pendapatan. Sebab, pendapatan dari pasien bisa disebut murni masuk ke manajemen rumah sakit. Sementara, kawasan real estate dibebani oleh kewajiban mengembalikan sebagian keuntungan ke warga seperti dalam bentuk layanan kebersihan dan keamanan lingkungan. Hal yang dilakukan PT Lippo Karawaci bisa menjadi contoh menarik. Developer tersebut terus berekspansi membangun rumah sakit ke seluruh Indonesia. Di Balikpapan, Kalimantan, Lippo Karawaci telah membangun Rumah Sakit Siloam. “Padahal, Lippo Karawaci belum membangun kawasan real estate di Kalimantan. Beda dengan Agung Podomoro Land,” Budi menambahkan. Saat ini, Grup Ciputra juga tengah membangun rumah sakit. Ini disebabkan adanya potensi pasar yang menarik. Ada sebuah simbiosis antara kawasan real estate menengah ke atas dengan rumah sakit. “Warga terbantu dengan adanya rumah sakit dan rumah sakit bisnisnya berjalan,” ujar Budi.

Demo Pekerja Juga Usung Isu Kesehatan

1mei

1meiJakarta, PKMK. Demonstrasi pekerja menyambut Hari Buruh di ibukota, diwarnai dengan sejumlah tuntutan terkait jaminan kesehatan. Hal tersebut terlihat dari spanduk ataupun kostum yang ada di lokasi demonstrasi di sepanjang Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin (1/5/2013). Sejumlah pekerja demonstran mengenakan kaus merah bertuliskan “Tolak Upah Murah, Laksanakan BPJS”. Kemudian, di beberapa bus, terpasang spanduk dengan tulisan : “Berlakukan BPJS Kesehatan untuk Seluruh Warga Mulai 1 Januari 2014. Bukan Bertahap”. Selanjutnya, sejumlah pekerja pun mengenakan kaus bertuliskan: “Jamsostum, Jaminan Sosial Tolak Upah Murah”. Beberapa ambulans tampak siaga di sepanjang Jalan Sudirman ataupun Jalan Thamrin. Ambulans milik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berjumlah kira-kira lima unit. Sedangkan ambulans milik Palang Merah Indonesia berjumlah lima pula. Seorang petugas ambulans PDIP mengatakan, pihaknya belum menemui pekerja demonstran yang sakit serius. “Baru merawat satu demonstran yang sakit biasa. Pusing-pusing,” ujar dia. Sementara, sampai sore ini, aliran demonstran masih mengalir ke arah Monumen Nasional. Situasi terlihat tertib; petugas keamanan dari Kepolisian RI siaga di sepanjang jalan.

Penyakit Tak Menular Perlu Kontrol via Pengendalian Risiko

Jakarta, PKMK. Pengendalian faktor risiko merupakan hal penting dalam mengurangi angka sakit dan kematian akibat penyakit menular. Estimasi juga perlu dilakukan terhadap beban akibat faktor risiko di Indonesia. Hal-hal ini terkait dengan diet tidak sehat, tekanan darah tinggi, merokok, obesitas, dan sebagainya yang perlu dikendalikan, ungkap Prof. Agus Purwadianto, Staf Ahli Menteri Kesehatan RI Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi Profesor di Jakarta (30/4/2013).

Dalam seminar di Kementerian Kesehatan Agus menambahkan, saat mengobati penyakit tak menular, dokter sering langsung memberi obat. Seharusnya dokter menyarankan sejumlah aktivitas seperti banyak berolah raga dan diet darah rendah. “Berbagai riset dan data menunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah penyakit tidak menular di Indonesia,” kata dia. Hal itu membawa konsekuensi berupa diperlukannya sistem pelayanan yang lebih spesifik, kompleks, dan mahal. Pengendalian terhadap faktor risiko penyakit tidak menular memang mesti ditingkatkan, Agus menegaskan. Peningkatan pengendalian tersebut dapat mengurangi dampak negatif secara cost effective. Hal ini, sudah terlihat di banyak negara maju dan berkembang dalam beberapa dekade terakhir.

Berjalannya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) di tahun 2014 juga mengharuskan Indonesia mengantisipasi kebutuhan akan pelayanan kesehatan penyakit kronik degeneratif di berbagai daerah. Hal itu, sejalan dengan upaya peningkatan pengendalian penyakit menular serta penyakit terabaikan yang masih banyak ditemui. Selanjutnya, penguatan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan perlu terus dikuatkan. Pelayanan kesehatan oleh sektor publik ataupun swasta juga perlu terus ditingkatkan

BPJS Harus Menjamin Pasien Penyakit Berat

ht

htJakarta, PKMK. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) harus menjamin biaya pengobatan pasien penyakit berat. Penyakit yang dimaksud antara lain bedah jantung, hemodialisis, lupus, dan lain-lain. Sebab, Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 menyebutkan tentang penjaminan tersebut. Hal ini disampaikan Rof. Hasbullah Thabrany, pakar Ilmu Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia di Jakarta (30/4/2013).

Thabrany menambahkan, dalam UU SJSN jelas disebutkan bahwa pengobatan penyakit jantung dan hemodialisis dijamin oleh BPJS Kesehatan. Adapun penyakit lupus tidak disebutkan, namun harus dijamin. Transplantasi organ tubuh pun dijamin jika tersedia donor organ. “Jadi, semua penyakit harus dijamin,” kata Hasbullah. Definisinya, semua penyakit atas dasar indikasi medis dijamin oleh BPJS Kesehatan. Sejauh dokter mengatakan bahwa pasien akan meninggal kalau tidak diobati, BPJS Kesehatan harus menjamin pengobatannya, ungkap Hasbullah.

Lebih jauh ia berkata, tidak ada masalah bila 1,5 juta penderita lupus dijamin. Biaya besar bukan persoalan karena nantinya ada sekitar 230 juta jiwa yang akan membayar biaya kesehatan secara nasional. Melalui data tersebut, dapat ditafsirkan jumlah 1,5 juta penderita lupus tidak sampai 1 persen dari 230 juta jiwa. “Jika pengobatan penderita lupus ditanggung bersama, maka akan terasa ringan. Lain halnya bila mereka menanggung orang per orang,” jelas dia. Misalnya sampai kini penderita lupus belum mendapat kepastian, itu lebih karena masalah teknis. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 jelas menyebutkan bahwa semua penyakit atas indikasi medis dijamin pengobatannya, kata Hasbullah. Maka, sebagai penyelenggara BPJS Kesehatan, nantinya PT Askes harus menjamin pengobatan penderita lupus. “Tidak perlu ada kekhawatiran bahwa utilisasi sistem jaminan sosial nasional yang terlalu tinggi akan menjebol anggaran negara. Di dunia tidak ada bukti nyata atas hal tersebut. Sistem itu malah melahirkan efisiensi terhadap biaya belanja kesehatan nasional,” kata Hasbullah.

Kemiskinan Pasca – MDGs

Tidak lebih dari 2 tahun lagi Pembangunan Abad Milenium (MDGs) yang dicanangkan PBB tahun 2000, akan berakhir. Saat MDGs berakhir tahun 2015, bangsa Indonesia dalam waktu 30 tahun berikutnya genap berusia satu abad kemerdekaannya. Seluruh potensi bangsa perlu disiapkan untuk menyongsong satu abad kemerdekaan itu dengan rasa syukur dan kesiapan yang paripurna. Namun, beberapa waktu lalu kabinet telah mengadakan sidang dan diduga beberapa target MDGs masih memerlukan kerja keras agar tercapai.

Andaikan kerja keras itu menghasilkan pencapaian target yang disepakati, kita perlu kerja lebih keras lagi menempatkan Indonesia pada posisi strategis sebagai negara besar yang merdeka selama 100 tahun. Keadaan kesehatan bangsa masih belum ideal, tingkat kematian ibu dan anak masih sekitar 15 kali lebih buruk dibandingkan dengan keadaan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Infrastruktur dan pemeliharaan kebersihan lingkungan yang luas masih terbelakang, rawan sebagai sarang atau media penularan berbagai penyakit.

Lihat pula, kemunduran gerakan keluarga berencana (KB) selama 13 tahun belum pasti dapat direhabilitasi dan sasaran tahun 2015 hampir pasti meleset. Akibatnya, tingkat kelahiran akan masih tinggi dan pertumbuhan penduduk yang tinggi akan memakan kembali keberhasilan pertumbuhan ekonomi sosial bangsa.

Dalam bidang pendidikan, disparitas antar-daerah masih menganga, bahkan kursus-kursus ketrampilan yang seharusnya dilaksanakan secara terpadu dengan usaha penciptaan lapangan kerja untuk anak muda putus sekolah dan anak muda di tingkat SMP dan SMA belum pasti dilaksanakan. Kurikulum baru yang diperkenalkan bukan segera disambut persiapan yang matang oleh berbagai kalangan, sehingga dalam 2 tahun ini, belum tentu bangsa Indonesia siap mengejar target MDGs 2015 dalam pengentasan kemiskinan, karena cita-cita yang terkandung dalam kurikulum itu belum tentu diikuti oleh berbagai instansi secara terpadu. Karena itu, bidang pendidikan dengan promis pemberian ketrampilan hidup secara terpadu kepada generasi muda belum tentu memberi sumbangan pada upaya pengentasan kemiskinan secara bermakna.

Andaikan kebersamaan di tahun 2013 dan 2014 tidak terganggu oleh kesibukan politik pemilu, sebenarnya anak-anak muda di tahun 2015, sebagai tahun akhir MDGs, melalui Kurikulum Baru 2013, disertai keterpaduan berbagai instansi dari pusat sampai daerah, bisa mengangkat anak-anak muda putus sekolah atau anak-anak muda lulusan SMP dan SMA melalui ketrampilan kerja, dapat menjadikan anak-anak muda Indonesia pelopor pelaksanaan ekonomi biru, memanfaatkan kearifan dan sumber daya lokal untuk menciptakan jutaan lapangan kerja bagi generasi muda Indonesia dan melepaskan diri dari belenggu kemiskinan.

Bagi Indonesia setelah MDGs, kiranya tidak perlu harus mengubah segalanya. Ada beberapa kelemahan yang perlu diperbaiki. Pertama, sifat charitas dari beberapa program perlu diluruskan dan hanya semata-mata ditujukan kepada keluarga sangat miskin yang betul-betul tidak mampu mengikuti proses pemberdayaan karena alasan yang jelas. Andaikan masih bisa mengikuti proses pemberdayaan, mereka perlu diyakinkan bahwa dukungan yang bersifat charity haruslah menjadi pengungkit untuk modal kerja menjadi manusia yang mandiri. Karena itu, pemberian yang bersifat charitas murni harus sangat terbatas dan dilakukan secara terbuka oleh masyarakat luas dalam konteks pemberdayaan yang berlaku secara inklusif.

Perubahan sikap itu harus diikuti dengan pemetaan yang akurat di setiap desa dan dukuh, dan upaya itu dilakukan melalui pos pemberdayaan keluarga (posdaya) di setiap dukuh agar masyarakat dapat diikutsertakan secara inklusif dan tidak sekadar menjadi penonton. Kehidupan gotong-royong antar-keluarga dalam masyarakat disegarkan kembali dengan menugasi keluarga yang lebih mampu mengampu keluarga kurang mampu sebagai upaya preventif sekaligus mengembangkan budaya sehat, pintar dan bekerja keras di bidang wirausaha mikro dan kecil, kalau perlu dalam bentuk magang dengan penuh kasih sayang. Upaya gotong-royong dijadikan komoditas informasi yang digelar dengan penuh kebanggaan di berbagai media massa sehingga menular kepada khalayak yang lebih luas.

Pemerintah memberi dukungan dengan niat dan kerja serta bukti nyata bahwa partisipasi masyarakat, sekecil apa pun, mendapat penghargaan dan didorong di segala tingkatan. Apalagi, kalau partisipasi itu bersifat preventif dengan mengikutsertakan seluruh anggota masyarakat, terutama keluarga miskin secara inklusif. Penghargaan pemerintah memberi semangat partisipasi tinggi dan sekaligus mendekatkan birokrat dan para pemimpin makin dekat dengan rakyat. Dorongan itu akan meningkatkan volume anggaran yang disediakan dalam APBN, APBD provinsi dan kabupaten/kota secara berlipat karena masyarakat akan menyumbang kalau pemerintah dapat menjadi fasilitator yang makin dicintai rakyat.

Sasaran yang dipertajam dan diketahui rakyat banyak harus menghasilkan simpati dan sekaligus diberikan dukungan fasilitasi yang memadai. Fasilitasi itu bukan hanya dalam bentuk pembuatan jalan yang memudahkan rakyat mengakses fasilitas kesehatan, pendidikan, pasar dan daerah-daerah padat penduduk lainnya, tetapi juga fasilitas birokrasi yang memihak.

Penduduk miskin yang sedang dan akan membuka usaha sebaiknya mendapat kemudahan perizinan usaha atau fasilitasi perbankan dengan keringanan agunan untuk pinjaman atau keringanan bunga usaha mikro dan kecil. Ada baiknya lembaga-lembaga pemerintah memberikan pendampingan petugas untuk merapikan administrasi usaha mikro dan kecil, sehingga syarat administrasi perbankan, terpenuhi. ***

Penulis adalah mantan Menko Kesra dan Taskin. Adv

(sumber: www.suarakarya-online.com)

Komunikasi Searah Rugikan Dokter dan Pasien

Jakarta, PKMK. Model komunikasi searah di dunia pelayanan kesehatan Indonesia cenderung merugikan dokter ataupun pasien. Sebab, dokter tidak mendapatkan informasi penuh tentang tindakan yang harus dilakukan. Sedangkan pasien tidak memperoleh respons seperti yang diinginkan. “Hubungan satu arah tersebut harus diubah nenjadi hubungan relasional. Suatu hubungan yang lebih bersifat humanistik, ungkap Dr. Lely Arrianie, M Si., ketua Program Pascasarjana Komunikasi Universitas Jayabaya, Jakarta (29/4/2013).

Ia mengatakan, di negara maju, hubungan dokter dengan pasien bukan sekadar transaksional, namun sudah lebih bersifat relasional. Komunikasi dokter dengan pasien pun menggunakan berbagai perangkat seperti smart phone. “Dokter dan pasien sering saling kirim BlackBerry Messenger. Kalau di Indonesia, hal itu dilakukan kalau kebetulan pasien merupakan teman dokter. Ataupun si pasien punya jabatan,” kata Lely yang juga staf ahli Ketua MPR RI Dr. Taufiq Kiemas. Pasien di Indonesia cenderung dalam posisi pasif. Pasien ditempatkan sebagai komunikan, bukan komunikator. Komunikan dalam hal ini disebut sebagai penerima pesan saja. Maka, perlu ada proses komunikasi yang memuat proses penyampaian pesan antara pasien dengan dokter secara timbal balik.

Dokter di Indonesia sering berargumen, tidak memiliki waktu untuk berkomunikasi intensif dengan pasien. Hal tersebut kurang tepat sebab dokter sudah seharusnya berperan melayani pasien. Hal tersebut adalah konsekuensi dari pilihan profesi dan hidup sebagai dokter, kata Lely. Proses transisi pada hubungan relasional tersebut merupakan tanggung jawab berbagai pihak, termasuk pemerintah Indonesia. Dalam hal ini, perubahan bisa dimulai dari dokter sebagai pemegang lapisan atas pelayanan kesehatan. Para perawat dan tenaga lain nantinya akan meniru hubungan relasional yang dijalankan dokter. “Sekarang, di rumah sakit, yang dilakukan kok terbalik yang diberi pelatihan komunikasi adalah tenaga medis di bawah,” Lely berkata.