Imunisasi Tidak 100 Persen Lindungi Anak

Jakarta, PKMK. Vaksin yang diberikan kepada anak tidak bisa 100 persen mencegah penyakit. Bayi ataupun anak usia kurang dari lima tahun masih bisa tertular penyakit walau sudah diimunisasi. Tetapi, akibat yang diperoleh lebih ringan dan tidak membahayakan. Adapun anak yang belum diimunisasi lengkap bila tertular penyakit tersebut bisa sakit berat, cacat, bahkan meninggal, ungkap dr. Soedjatmiko, Sp.A(K), MSi, Wakil Ketua Tim Koordinasi Advokasi Imunisasi Indonesia (27/4/2013). Ia menjelaskan tidak semua penyakit menular dapat dicegah melalui imunisasi. Kini imunisasi baru bisa mencegah beberapa penyakit, antara lain tuberculosis, polio, difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, diare berat rotavirus, campak berat, influenza, cacar air, meningitis, pneumonia, dan lain-lain.

Sedangkan sejumlah penyakit yang belum bisa dicegah dengan imunisasi, diantaranya demam berdarah dengue, malaria, HIV, meningitis virus, dan sebagai. Penyakit tersebut bisa dicegah dengan menjaga kebersihan badan, rumah, lingkungan, dan air. Pengobatan sesegera mungkin harus dilakukan bila terkena penyakit itu. Dengan semua itu, bukan berarti bahwa imunisasi merupakan program gagal. Sebab, imunisasi terbukti bermanfaat mencegah sejumlah penyakit. Di sejumlah negara, peningkatan cakupan imunisasi telah secara berarti mengurangi penyebaran sejumlah penyakit. Maka, kini program imunisasi dilakukan terus-menerus di 194 negara berkemampuan ekonomi tinggi ataupun rendah. Mereka berupaya meningkatkan cakupan itu menjadi 90 persen. “Di Indonesia, tahun 2005 dan 2006 wabah polio terjadi karena banyaknya bayi yang tidak diimunisasi, 356 anak lumpuh permanen. Setelah imunisasi polio diintensifkan, kini tidak ada kasus baru,” kata Soedjatmiko.

Sementara Arist Merdeka Sirait, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak mengungkapkan bahwa setiap anak berhak memperoleh layanan kesehatan berupa imunisasi. Melalui imunisasi, anak mendapatkan derajat kesehatan yang optimal, dan terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup ataupun menimbulkan cacat. “Imunisasi terbukti sebagai intervensi paling cost effective dalam menurunkan angka sakit dan kematian. Tiap tahun, imunisasi mencegah kematian dua sampai tiga juta anak di dunia,” kata Arist.

Polio Masih Mungkin Berkembang

menkes29apr

menkes29aprJakarta, PKMK. Penyakit polio saat ini sudah berkurang cukup banyak di Indonesia berkat pemberian vaksin. Meskipun begitu, kemungkinan kembalinya penyakit itu tetap mesti dicermati. Bisa saja penularan itu datang dari negara lain. Hingga saat ini, vaksin polio tetap diberikan di Indonesia ungkap Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi (27/4/2013). Pemberian vaksin terbukti mencegah sejumlah penyakit. Selain polio, penyakit cacar pun berkurang banyak. “Dulu di tahun 1974 saat saya muda, wajah bopeng akibat penularan cacar mudah ditemui, sekarang kan tidak begitu lagi. Walau begitu, penularan cacar harus terus dipantau,” kata dia.

Semua pihak di Indonesia melalui program imunisasi harus memberikan kontribusi dalam mencegah penyakit seperti itu. Sebab, keberhasilan program itu ditentukan oleh banyak pihak, tidak hanya oleh Kementerian Kesehatan RI. Bila di Indonesia ada anak yang tidak mendapatkan imunisasi, berarti haknya sudah dilanggar. Maka semua warga harus mengupayakan agar anak itu diimunisasi sehingga terhindar dari sejumlah penyakit, tegas Nafsiah. Saat ini, program imunisasi dasar lengkap baru mencakup sekitar 80 persen. Dengan demikian, jumlah anak yang belum terjangkau sekitar 3 juta orang. “Jumlah ini tidak sedikit dan bisa ditemui terutama di desa-desa,” jelas Nafsiah.

Lebih lanjut, di Indonesia baru delapan penyakit yang bisa dicegah melalui program imunisasi dasar, sementara di Kuba sudah mencapai 13 penyakit. Selain keberhasilan, ada tantangan yang mesti dihadapi Indonesia dalam pencegahan penyakit itu. Beberapa diantaranya : kendala geografis yang menyebabkan berkurangnya jangkauan program itu. Di samping itu, orang tua sering enggan mengimunisasi anak karena kendala waktu. “Tahun ini, kita mulai memberikan sejumlah vaksin jenis baru,” tutup Nafsiah

WITT Prihatin, Makin Banyak Wanita Perokok

Bandung – Komunitas Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (WITT) Jawa Barat menyatakan keprihatinannya, karena makin banyaknya wanita perokok di Indonesia, termasuk kaum remaja.

“Jumlah perokok terus mengalami peningkatan, tidak hanya pria, tetapi juga dari kalangan wanita dan remaja putri. Jumlahnya cukup memprihatinkan,” kata Ketua Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (WITT) Jabar, Laila Agung Sutrisno, tanpa menyebutkan jumlahnya, saat peringatan Hari Kartini yang digelar di kawasan Bandung utara, pertengahan pekan ini.

WITT merupakan salah satu organisasi sosial yang peduli terhadap kesehatan dan lingkungan, terutama dampak kebiasaan merokok dan produk tembakau lainnya.

Menurut Laila kepada Antara, selain berbahaya untuk kesehatan diri perokok, juga membahayakan dan mengganggu kesehatan perokok pasif, juga terhadap ibu hamil yang bisa berdampak negatif bagi kesehatan bayi yang di kandungnya.

“WITT melakukan kampanye hidup tanpa tembakau, tidak hanya kepada para wanita, tetapi juga pria perokok untuk sadar terhadap dampak kebiasaannya itu,” kata Laila.

Untuk mengoptimalkan kampanye tanpa tembakau, WITT Jabar membentuk duta remaja antirokok dengan melibatkan para remaja dan pelajar.

Menurut Laila, ada sekitar 15 orang remaja yang dilantik menjadi duta remaja antirokok. “Kita berharap agar mereka bisa menyosialiasikan tentang kesehatan dan bahaya merokok,” kata wanita yang juga istri Ketua Kadin Jabar H. Agung Suryamal Sutrisno itu.

Sementara itu, suasana Hari Kartini yang digelar oleh Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (WITT) Jabar itu relatif cukup unik karena tidak semata-mata membahas tentang emansipasi dan kegiatan yang biasa digelar, tetapi diisi dengan program membangun kesadaran, khususnya kaum wanita untuk menghindari kebiasaan merokok.

Kegiatan yang didukung oleh PT Bank Pembangunan Daerah Jabar Banten (Bank BJB) tersebut berlangsung dalam nuansa lain dari biasanya karena bahaya merokok menjadi tema peringatan komunitas itu. (TMA)

(sumber: www.gatra.com)

Debat Nilai PBI Karena Ketiadaan Standar Layanan Medik

Jakarta, PKMK. Perdebatan mengenai nilai penerima bantuan iuran (PBI) untuk warga miskin peserta Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan disebabkan tidak adanya standar pelayanan medik nasional. Bila standar itu ada, semua pihak bisa mengalkulasi nilai PBI itu. “Melalui standar pelayanan medik nasional, kita bisa menyatakan bahwa jika PBI tidak diletakkan di nilai X, maka layanan tidak bisa berjalan,” ungkap dr. Marius Widjajarta, Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia i Jakarta. Ia menambahkan bahwa nilai PBI yang layak sangat perlu. Sebab, itu berhubungan dengan keselamatan sekitar 86 juta warga miskin penerima PBI. “Soal nyawa, itu nomor satu. Soal keseimbangan fiskal, letakkan saja di nomor dua atau tiga,” tegasnya.

Dengan nilai PBI Rp 15.500/orang per bulan seperti yang direncanakan, pasti pelayanan yang diberikan buruk. Penelitian di 12 propinsi oleh Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan menunjukkan bahwa kini pasien masih harus keluar uang untuk beberapa jenis obat, juga beberapa jenis bahan habis pakai. “Saat saya tanya penyebab hal tersebut, jawabannya karena paket jaminan yang disediakan Pemerintah Indonesia nilainya terlalu kecil,” kata Marius. Penyedia jasa menerangkan, ‘Itu paket jaminan pokoke dan tidak jelas juntrungannya. Suka atau tidak, RS harus menerima.'” Benang operasi bedah pun disiasati, untuk lapisan dasar, menggunakan benang standar internasional. Sedangkan untuk lapisan selanjutnya menggunakan benang jaman dulu. “Itu benang rol-rolan yang mirip benang membuat jok. Hanya saja benang itu sudah disterilkan,” tambah Marius. Standar biaya kesehatan di Indonesia sudah seharusnya diperjelas. Bila standar pelayanan medik nasional tidak ada, janganlah membicarakan kualitas pelayanan. “Bukankah untuk membangun rumah, harus ada pondasinya? Di Indonesia, ada undang-undang yang tidak dilengkapi peraturan turunan memadai. Ini kan ibarat mobil yag tidak punya roda,” tutup Marius.

Produk Suplemen Indonesia Siap Bersaing di ASEAN

Jakarta – Produk suplemen kesehatan Indonesia dinilai siap bersaing di pasar global. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Lucky S. Slamet mengatakan ada beberapa langkah yang harus dilewati jika pelaku usaha suplemen kesehatan asal Indonesia ingin meningkatkan kualitas produk mereka.

“Ada tiga faktor utama dalam proses produksi. Stability, efficacy, dan safety. Tiga faktor ini amat membantu meningkatkan kualitas produk suplemen kesehatan,” ujarnya kepada Tempo, 24 April 2013.

Menurut dia, langkah-langkah itu sudah diterapkan di beberapa negara ASEAN. Sehingga para produsen suplemen kesehatan harus menimalisir peluang terjadinya human error dalam proses produksinya.

Lucky menjelaskan harmonisasi kebijakan ekonomi di ASEAN sangat berdampak pada kebijakan ekspor-impor. Terutama soal standar kualitas produk satu negara. “Jelas ini tantangan bagi Indonesia,” katanya.

Dalam regulasinya, suplemen kesehatan memang disahkan untuk memakai bahan-bahan kimia. Vitamin, zat besi, natrium, dan mangan sebagai contoh yang diijinkan untuk bahan dasar suplemen kesehatan. “Asal sesuai takaran,” tandas Lucky.

Data BPOM menyebutkan kebutuhan orang Indonesia untuk vitamin D sebesar 0,01 miligram per hari, sementara masyarakat Thailand hanya membutuhkan 0,005 miligram per hari. Kebutuhan zat besi masyarakat Indonesia 30 miligram per hari, berbeda dengan Thailand, yang hanya butuh 20 miligram per harinya.

Menurut Lucky, perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yakni latar belakang negara, demografis, dan geografisnya.

(sumber: www.tempo.co)

Rumah Sakit Perlu Kenali Teliti Karakteristik Bencana

Jakarta, PKMK. Pengelola rumah sakit (RS) perlu mengenali karakteristik bencana. Dengan demikian, RS dapat menyusun langkah-langkah kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. “Hal yang perlu diperhatikan bahwa tiap bencana mempunyai karakteristik tersendiri yang terkait erat dengan jenis masalah yang dapat diakibatkannya,” kata dr. Wily Pandu Ariawan dari Pusat Penanggulangan Krisis Kementerian Kesehatan RI, di Jakarta (25/4/2013). Berbicara dalam Emergency Summit yang diadakan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Wily menyampaikan hal tersebut melalui pengenalan karakteristik bencana yang mengancam, pengelola RS dapat mengetahui perilaku ancaman. Gempa bumi memiliki sejumlah karakter seperti terjadi mendadak tanpa pertanda, dan berdampak ke struktur bangunan/infrastruktur. Adapun masalah kesehatan terbesar dari gempa bumi adalah kasus trauma. Disini, evakuasi dan tindakan medis perlu dilakukan secepat mungkin. Persoalan lain yang muncul adalah kesulitan untuk akses dan mobilisasi bantuan.

Karakter bencana tsunami, tentu saja berbeda dengan gempa bumi. Tsunami didahului oleh sejumlah tanda seperti gempa dan air laut surut. Gelombang tsunami bisa sangat destruktif, dan sangat menghantam struktur bangunan ataupun infrastruktur. Sementara, permasalahan akibat tsunami antara lain waktu evakuasi yang singkat, dan perlunya tindakan medis selekasnya. Masalah kesehatan yang paling banyak pasca tsunami adalah korban meninggal dan luka trauma. Usai tsunami ataupun gempa dahsyat, beberapa hal yang perlu dihitungi dalam persiapan bantuan medis. Beberapa diantaranya bencana tersebut terjadi siang atau malam? Bila terjadi malam hari, hal yang perlu disiapkan bila bencana itu terjadi malam hari adalah kantung jenazah yang banyak dan lain-lain. Kemudian, dalam bencana banjir, masalah yang timbul adalah problem kesehatan masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah penyakit menular ataupun penyakit berpotensi kejadian luar biasa (KLB). Belakangan ini pun, bencana puting beliung sering terjadi di kawasan yang sebelumnya tidak pernah dilewati angin tersebut. Masalah kesehatan akibat bencana puting beliung adalah banyaknya korban kasus trauma.

1,5 Juta Penderita Lupus Harus Dijamin BPJS Kesehatan

Jakarta, PKMK. Seluruh penderita penyakit lupus (odapus/orang dengan lupus) harus dijamin pengobatannya oleh Badan Pelaksana Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) tahun 2014. Sebab, odapus memerlukan pengobatan yang berkelanjutan, bahkan seumur hidup. Putus berobat karena ketiadaan biaya dapat menaikkan aktivitas penyakit lupus, bahkan bisa berujung kematian ungkap dr. Shiane Hanako, Manajer Syamsi Dhuha Foundation (24/4/2013). Di BPJS Kesehatan, Pemerintah Indonesia perlu mengupayakan agar obat standar odapus dapat terdaftar. “Kami melalui proposal telah meminta agar 1,5 juta odapus di Indonesia masuk dalam BPJS Kesehatan,” ucap Shiane. Saat ini, sejumlah odapus yang tergolong warga miskin tidak lagi dijamin oleh Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Sebab, saat pendataan ulang di tahun 2013, sejumlah odapus tidak lagi mendapat Kartu Jamkesmas. Padahal sebelumnya mereka memiliki kartu tersebut.

Hal ini cukup menjadi ironi karena beberapa dari mereka sedang menjalani pengobatan sinambung. Pengobatan untuk odapus memerlukan biaya di kisaran Rp 4 juta sampai Rp 200 juta per tahun. Itu tergantung tingkat lupus yang diderita. Sementara, untuk penyakit lupus yang sangat ringan, penderita tidak perlu berobat khusus. Mereka hanya perlu cukup menjaga pola hidup sehat. Dari 1,5 juta odapus di Indonesia, mayoritas merupakan wanita aktif dengan usia produktif 15 sampai 45 tahun. “Persisnya, jumlah wanita penderita lupus sekitar 1,3 juta jiwa,” tutup Shiane.

APLI Tidak Temui Suplemen Kesehatan Tanpa Izin Edar

Jakarta, PKMK. Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) sejauh ini tidak menemukan suplemen kesehatan yang dipasarkan perusahaan MLM (multilevel marketing) sebelum izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) keluar. Sejumlah persyaratan dikenakan APLI ke perusahaan MLM yang akan mengedarkan produk, pemantauan berkala pun dilakukan, ungkap Djoko Komara, Wakil Ketua Umum APLI (23/4/2013). APLI secara berkala mengaudit rencana pemasaran, izin edar produk, dan kode etik dari perusahaan MLM. Pengarahan tentang pentingnya izin edar produk diberikan ke perusahaan MLM. “Kiat dan cara mengurus izin edar produk kami berikan juga,” kata Djoko. Perusahaan MLM yang ingin menjadi anggota APLI harus terlebih dulu melampirkan salinan izin edar produk. Jadi, sebelum mendapatkan Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL), perusahaan MLM harus terlebih dulu mempunyai izin edar itu.

Bisakah dikatakan bahwa penjualan sebelum izin BPOM keluar itu dilakukan perusahaan MLM non-anggota APLI? Joko menerangkan APLI tidak mau berspekulasi tentang hal itu sebelum mendapatkan fakta langsung dari lapangan. Menurut informasi yang dihimpun wartawan situs ini, sebagian perusahaan MLM diduga memasarkan produk suplemen kesehatan saat izin dari BPOM belum keluar. Produk tersebut ada secara terbatas untuk dipasarkan para leader. Itu untuk sejumlah keperluan seperti tes ke pasar dan lain-lain. Seorang mantan petinggi perusahaan MLM menjelaskan, dengan begitu, perusahaan MLM memperoleh keuntungan. Antara lain, saat produk diluncurkan secara resmi, sudah ada testimoni dari pengguna sebagai alat promosi. Jadi, penetrasi produk ke pasar bisa dipercepat. Terkadang, saat produk tersebut sudah waktunya diluncurkan resmi sementara izin belum keluar, proses pemasaran secara sembunyi-sembunyi itu diteruskan. Hal tersebut terjadi karena sebelumnya perusahaan sudah mengeluarkan biaya pemasaran dan promosi. Maka, untuk menjaga kepercayaan konsumen, penjualan terbatas dan diam-diam itu diteruskan.”

Produk seperti itu biasanya merupakan produk pendamping, bukan produk utama. “Cara impor pun diam-diam yaitu disisipkan. Biasanya, 5 persen dari isi container shipping adalah produk sisipan yang belum punya izin,” kata dia. Ia pun menjelaskan, pelanggaran tersebut juga karena proses izin dari BPOM yang terlalu lama. Saat ini, tumpukan produk yang didaftarkan untuk diuji di BPOM sangat banyak. Proses keluarnya izin sebuah produk suplemen memerlukan waktu berbulan-bulan. Kalangan lain membenarkan proses izin yang terlalu lama tersebut. Hal tersebut dirasakan mengganggu kecepatan penetrasi bisnis perusahaan MLM. Adapun seorang manajer perusahaan MLM mengatakan, pihaknya tidak ingin memasarkan produk sebelum izin dari BPOM keluar. “Kami pilih menunggu izin itu benar-benar sudah keluar, bukan masih dalam proses,” kata dia.

RSCM Belum Dapat Kejelasan Kedatangan Bayi Edwin

Jakarta, PKMK. Manajemen Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, sampai saat ini belum memperoleh kejelasan tentang pemindahan bayi Edwin Sihombing (2,5 bulan) dari Rumah Sakit Harapan Bunda (Jakarta Timur). RSCM belum menerima surat rujukan dari manajemen Rumah Sakit Harapan Bunda. “Sejak Jumat lalu, kami memang mendengar bahwa bayi tersebut dirujuk ke sini. Tapi kami belum mendapat waktu pasti untuk itu,” ujar Wiwin Winarsih, seorang staf hubungan masyarakat RSCM (22/4/2013). Pada prinsipnya RSCM siap merawat bayi tersebut sampai sembuh. “RSCM kan tidak pernah menolak pasien,” Wiwin menambahkan. Lebih jauh ia mengatakan, mungkin saja saat ini perpindahan bayi Edwin ke RSCM masih dalam proses administrasi di Rumah Sakit Harapan Bunda. Termasuk di dalamnya adalah perundingan tentang biaya apa saja yang ditanggung oleh manajemen Rumah Sakit Harapan Bunda.

Ia lantas meminta agar wartawan situs ini menghubungi direksi rumah sakit buat penjelasan lebih lanjuat. “Silakan mengirimkan dulu surat permintaan wawancara via faksimil.” Berdasarkan pengamatan, sepanjang siang tadi, tidak terlihat ada kesibukan ekstra terkait pemindahan bayi Edwin ke RSCM. Wartawan pun tidak banyak terlihat di rumah sakit besar tersebut. Edwin adalah bayi yang satu jarinya diamputasi setelah dirawat di Rumah Sakit Harapan Bunda. Orang tua Edwin menyatakan bahwa tindakan itu dilakukan tanpa izin keluarga. Akhir pekan lalu, dalam perundingan selama beberapa jam, ada kesepakatan bahwa manajemen Rumah Sakit Harapan Bunda akan merujuk Edwin ke RSCM; juga menanggung seluruh biaya perawatan.

Angka Aduan Konsumen Kesehatan YLKI Rendah

22apr

22aprJakarta, PKMK. Dalam tiga tahun terakhir, angka pengaduan konsumen layanan kesehatan ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) rendah. Hanya ada lima sampai tujuh pengaduan per tahunnya. Adapun total angka pengaduan di tahun 2012 sebanyak 602, ungkap Sudaryatmo, Ketua YLKI di Jakarta (22/4/2013). Pihak yang diadukan tersebut bervariasi, ada konsumen ataupun pasien yang mengadukan hal yang berhubungan dengan persoalan medis seperti dokter, rumah sakit, dan lain-lain. Ada pula pengaduan nonmedis seperti soal keamanan lingkungan rumah sakit. Di sini, keluarga pasien mengadu karena kehilangan telepon genggam saat membesuk. Selanjutnya, muncul pula pengaduan terkait nilai tagihan dari rumah sakit. Ada tagihan tentang jasa konsultasi dengan dokter spesialis. Sementara, pasien merasa tidak pernah mendapatkan hal itu. “Ternyata, konsultasi itu dilakukan perawat via telepon dan pasien dikenai biaya tersebut,” ungkap Sudaryatmo.

Satu persoalan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia adalah buruknya komunikasi antara dokter dengan pasien. Meskipun begitu, sekarang di kota besar pasien sudah memiliki keberanian untuk banyak bertanya ke dokter. Sementara dokter, walau tidak diminta sudah lebih banyak menjelaskan hasil diagnosis, alternatif tindakan medis, risiko, dan biayanya. “Dokter sering sudah menginformasikan semua itu dari awal,” tambah Sudaryatmo. Ia mengatakan bahwa rendahnya angka pengaduan konsumen kesehatan disebabkan sejumlah faktor. Beberapa diantaranya yakni kebiasaan mengadu yang rendah; tidak tahu harus mengadu kemana karena tidak semua penyedia jasa kesehatan menyediakan sarana untuk itu; dan baru mengadu jika sudah merasakan penderitaan parah. “Kalau kenyataannya, YLKI meyakini bahwa angka keluhan konsumen lebih banyak daripada yang masuk,” tambahnya. Sebenarnya, saat konsumen tidak mendapatkan informasi lengkap dari dokter ataupun rumah sakit, haknya sudah dilanggar. Juga, saat apoteker sekadar melayani pembelian tanpa menjelaskan tentang obat yang dibeli, hak konsumen sudah dilanggar.